RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Rabu, 10 Februari 2010

Maklumat Front Oposisi Rakyat Indonesia : GANTI REJIM, GANTI SISTEM

Diserukan pada saat Deklarasi Front Oposisi Rakyat Indonesia (FOR Indonesia)


"Rezim SBY Gagal"

Front Oposisi Rakyat Indonesia pada hari ini memaklumatkan:


Babak Pertama: Problem Rezim SBY Lima Tahun Seratus Hari


Selama Lima Tahun Seratus Hari Rezim SBY berkuasa telah nyata berhasil menjadi jongos Rezim Neoliberal –yang menindas rakyat Indonesia dengan sistem “Tiga Bebas”, yakni investasi, keuangan dan perdagangan yang dipersembahkan kepada kaum modal besar yang beroperasi di seluruh sektor ekonomi di Indonesia.

Bidang investasi. Dalam masa pemerintahan Rezim SBY, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UU PM) dikeluarkan demi memberikan fasilitas, insentif dan kemudahan yang sangat luas kepada penanam modal. Fasilitas yang diberikan jauh lebih luas dibandingkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing (UU PMA). Padahal UU PMA telah menjadi pintu ke luar eksploitasi kekayaan alam tambang, perkebunan dan hasil hutan selama 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Selain itu UU PM yang kemudian diikuti dengan Peraturan Presiden RI Nomor 77 Tahun 2007 telah menyerahkan seluruh sumber daya ekonomi Indonesia untuk dikuasai secara mayoritas oleh modal asing. Di sektor energi dan sumber daya mineral 95 persen dapat dikuasai modal asing, sektor keuangan 85 persen dapat dikuasai modal asing, Bank Indonesia 99 persen boleh dikuasasi modal asing dan bahkan sektor pertanian 95 persen boleh dikuasai modal asing.

Bidang Keuangan. Rezim SBY mengeluarkan Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, sebagaimana telah direvisi dengan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2004, yang menjadikan Bank Indonesia (BI) sebagai lembaga independen menjadi dasar dari liberalisasi keuangan. Fungsi BI telah diprioritaskan untuk menjaga nilai tukar uang rupiah, yang menjadikan bank sentral sebagai spekulan pasar uang. Selanjutnya keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 1999 tentang Lalu Lintas devisa menetapkan pemberlakukan sistem devisa bebas dalam mengatur lalu-lintas devisa di dalam negeri dan ke luar negeri. Keluarnya aturan-aturan liberalisasi keuangan dan devisa bebas menyebabkan pengusaha asing dapat sewaktu-waktu mentransfer dana dan keuntungan mereka ke luar negeri atau ditukarkan dengan mata uang bukan rupiah. Tidak hanya itu, aktivitas transaksi investor asing di dalam negeri dapat menggunakan mata uang non-rupiah, khususnya dolar Amerika Serikat, yang menyebabkan mata uang rupiah tidak akan pernah menjadi mata uang yang kuat dan kita kehilangan devisa ratusan triliun setiap tahun hanya untuk mengintervensi pasar uang.

Bidang Perdagangan Rezim SBY telah melakukan perjanjian perdagangan bebas Free Trade Agreement (FTA) dengan hampir semua negara maju: Jepang, China, Korea dan Australia serta AS, Uni Eropa (potensial). Langkah ini diambil oleh Indonesia pasca-kebuntuan perundingan WTO. Perjanjian perdagangan bebas tersebut meliputi hampir seluruh bidang yang berkaitan dengan investasi dan perdagangan. Hal yang disepakati dalam FTA jauh lebih menyeluruh dibandingkan dengan WTO karena menyangkut seluruh aspek liberalisasi perdagangan barang dan jasa. FTA akan semakin meningkatkan impor berbagai produk industri dan pertanian pada tingkat tarif bea masuk yang sangat rendah bahkan dapat mencapai nol persen. Saat ini saja Indonesia telah mengimpor hampir seluruh produk pertanian, beras, kedelai, produk peternakan seperti 30 persen kebutuhan daging nasional, sebanyak 70 persen dari total konsumsi susu, bahkan jeroan. Kecenderungan pada impor yang terus membesar semakin menyebabkan sektor pertanian dan industri dalam negeri terpuruk. Adapun subsidi telah dicabut atas desakan kesepakatan-kesepakatan utang yang dibangun dengan lembaga pemberi utang dalam hal ini IMF, World Bank, dan Asian Development Bank. Bahan bakar minyak (BBM), listrik, air minum, transportasi, telekomunikasi telah masuk ke dalam pasar bebas dan harganya dijual pada tingkat harga pasar. Perusahaan-persuahaan publik seperti Pertamina, Perusahaan Air Minum, perusahaan transportasi dan telekomunikasi telah menjadi perusahaan swasta dan dioperasikan dalam rangka mencari keuntungan.

selengkapnya