Tiga Tahun Lumpur Lapindo
Ratih Titi Sari (kelas lima SD)
Sudah tiga tahun Lapindo melanda desaku Renokenongo. Aku masih ingat, pada 2006, PT Minarak Lapindo Brantas mengalami kebocoran pada pengeboran gas pertama kali yang keluar dari perut bumi itu lumpur keruh berwarna hitam dan bau lumpur yang menyengat dan yang tidak tahan dengan bau itu pasti pusing bahkan bisa muntah-muntah.
Tidak hanya bau yang mengganggu bagi warga tapi lumpur juga memakan lahan dan tempat tinggal mereka. Bahkan jalur transportasi Malang–Surabaya jadi macet. Tidak cukup di situ, warga yang rumahnya kena lumpur Lapindo harus terpaksa mengungsi.
Warga Jatirejo ialah yang pertama kali mengungsi di Pasar Baru Porong, karena jatirejo berdekatan dengan lokasi semburan. Untuk warga Renokenongo diungsikan di balai desa Renokenongo. Sedangkan warga yang rumahnya tidak kena lumpur mereka mengungsikan sebagian barang-barangnya supaya tidak tergesa-gesa saat tanggul jebol.
Tanggul itu terbuat dari pasir untuk menahan lumpur supaya tidak menggenangi dan mengalir ketempat warga. Tapi tanggul hanya dari pasir jadi, tetap saja sewaktu-waktu jebol dan menenggelamkan rumah-rumah warga.
Tidak hanya tanggul jebol tapi ada kejadian yang lebih mengejutkan yaitu terjadinya ledakan aku tidak tahu dimana tempat ledakan itu terjadi yang pasti di tanggul utama kejadiannya itu memakan 12 korban.
Sejak saat itu semua warga Reno yang belum mengungsi ketakutan dan memilih tinggal di Pasar Baru, Porong karena warga Jatirejo sudah keluar dari pengungsian Pasar Baru Porong karena mereka sudah memperoleh uang kontrak. Begitu juga warga yang mengungsi di balai desa juga sudah keluar. Dan mengontrak di tempat lain yang lebih aman.
Tapi perlakuan yang diberikan pada warga yang mengungsi sekarang dengan yang dulu sangat berbeda, yang mengungsi sekarang makannya dengan ikan tanpa sayur. Bahkan warga pengungsian pernah mengadakan demo mogok makan, agar hak mereka dipenuhi dan diperlakukan layak.
Suasana pasar yang ramai kadang membuat kami lupa dengan apa yang kami alami. Karena keramaian itulah yang bisa menghibur kesedihan kami. Tapi sebenarnya kami merindukan kampung kami dulu. Punya rumah sendiri, jalan tidak macet, dan bisa melakukan aktifitas seperti dulu. Tapi kini semua berubah kami yang sekarang ngontrak harus sosialisasi dengan tetangga baru, teman baru.
Sampai saat ini warga masih menungu sisa pembayaran yang dijanjikan PT Minarak Lpindo Brantas. Dan sebagai warga sudah banyak yang keluar dari Pasar Baru, Porong karena pasar akan dipakai untuk berdagang.
Sudah tiga tahun Lapindo melanda desaku Renokenongo. Aku masih ingat, pada 2006, PT Minarak Lapindo Brantas mengalami kebocoran pada pengeboran gas pertama kali yang keluar dari perut bumi itu lumpur keruh berwarna hitam dan bau lumpur yang menyengat dan yang tidak tahan dengan bau itu pasti pusing bahkan bisa muntah-muntah.
Tidak hanya bau yang mengganggu bagi warga tapi lumpur juga memakan lahan dan tempat tinggal mereka. Bahkan jalur transportasi Malang–Surabaya jadi macet. Tidak cukup di situ, warga yang rumahnya kena lumpur Lapindo harus terpaksa mengungsi.
Warga Jatirejo ialah yang pertama kali mengungsi di Pasar Baru Porong, karena jatirejo berdekatan dengan lokasi semburan. Untuk warga Renokenongo diungsikan di balai desa Renokenongo. Sedangkan warga yang rumahnya tidak kena lumpur mereka mengungsikan sebagian barang-barangnya supaya tidak tergesa-gesa saat tanggul jebol.
Tanggul itu terbuat dari pasir untuk menahan lumpur supaya tidak menggenangi dan mengalir ketempat warga. Tapi tanggul hanya dari pasir jadi, tetap saja sewaktu-waktu jebol dan menenggelamkan rumah-rumah warga.
Tidak hanya tanggul jebol tapi ada kejadian yang lebih mengejutkan yaitu terjadinya ledakan aku tidak tahu dimana tempat ledakan itu terjadi yang pasti di tanggul utama kejadiannya itu memakan 12 korban.
Sejak saat itu semua warga Reno yang belum mengungsi ketakutan dan memilih tinggal di Pasar Baru, Porong karena warga Jatirejo sudah keluar dari pengungsian Pasar Baru Porong karena mereka sudah memperoleh uang kontrak. Begitu juga warga yang mengungsi di balai desa juga sudah keluar. Dan mengontrak di tempat lain yang lebih aman.
Tapi perlakuan yang diberikan pada warga yang mengungsi sekarang dengan yang dulu sangat berbeda, yang mengungsi sekarang makannya dengan ikan tanpa sayur. Bahkan warga pengungsian pernah mengadakan demo mogok makan, agar hak mereka dipenuhi dan diperlakukan layak.
Suasana pasar yang ramai kadang membuat kami lupa dengan apa yang kami alami. Karena keramaian itulah yang bisa menghibur kesedihan kami. Tapi sebenarnya kami merindukan kampung kami dulu. Punya rumah sendiri, jalan tidak macet, dan bisa melakukan aktifitas seperti dulu. Tapi kini semua berubah kami yang sekarang ngontrak harus sosialisasi dengan tetangga baru, teman baru.
Sampai saat ini warga masih menungu sisa pembayaran yang dijanjikan PT Minarak Lapindo Brantas. Dan sebagai warga sudah banyak yang keluar dari Pasar Baru, Porong karena pasar akan dipakai untuk berdagang.
Kamis, 07 Mei 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar