Amerikanisasi BBM
oleh Revrisond Baswir
Indonesia tampaknya benar-benar sedang menjadi sasaran empuk campur tangan Amerika. Ibarat adonan roti, melalui beberapa lembaga keuangan dan pendanaan internasional yang secara langsung dan tidak langsung berada di bawah kekuasaannya, Indonesia kini seperti sedang diremas-remas oleh Amerika untuk dibentuk menjadi donat atau roti keju.
Simak misalnya keributan di seputar kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan. Jika ditelusuri ke belakang, boleh dikatakan hampir pada semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM ini, sarat dengan campur tangan Amerika.
Memang benar, kenaikan harga BBM bukan hal baru bagi Indonesia. Tetapi bila disimak motivasinya, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan, motivasinya jelas sangat berbeda dari motivasi kenaikan harga BBM yang terjadi pada masa sebelumnya.
Sebab itu, para pejabat pemerintah boleh saja mengemukakan 1001 alasan mengenai penyebab ‘terpaksa’ dinaikkannya harga BBM. Tetapi sesuai dengan UU Migas No. 22/2001, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan mustahil dapat dipisahkan dari tengah berlangsungnya apa yang disebut sebagai liberalisasi industri migas di negeri ini.
Artinya, berbeda dengan kenaikan harga BBM sebelum 2001, kenaikkan harga BBM yang terjadi belakang secara tegas digerakkan oleh motivasi untuk menghapuskan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional.
Pertanyaannya, mengapa industri migas harus diliberalisasikan, dan mengapa pula harga BBM harus disesuaikan dengan harga pasar internasional?
Jawabannya sangat sederhana. Sebagaimana dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, tujuannya antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi asing ke sektor hilir industri migas di sini.
Sebagaimana dikatakannya, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas..... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk,” (Kompas, 14 Mei 2003).
Karena diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, tidak aneh bila hampir semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM, sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika.
Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development), mengenai kegiatannya dalam reformasi sektor energi di Indonesia, “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…” Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000,” (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html).
selanjutnya
(Artikel Revrisond diatas disampaikan pada diskusi di Walhi termasuk seri artikel terkait sampai dengan seri 7, sedangkan seri 8 adalah tambahan pengelola blog ruang asa. Revrisond memberikan penekanan pada kalimat yang di tandai dengan penebalan-bold)
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Sabtu, 14 Juni 2008
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (8)
Pinjaman Bank Dunia No 4712-IND untuk program penghapusan subsidi BBM secara bertahap, mengembangkan mekanisme subsidi rakyat miskin (BLT) dan meningkatkan kemampuan propagandan pemerintah untuk mendapatkan penerimaan publik dll.
Java Bali Power Sector Restructuring and Strengthening Project
No. Pinjaman 4712-IND
Pagu Awal Pinjaman: $141 juta
Tanggal Persetujuan: Jun-03; Tanggal Akhir: Des-08
Contact di Bank Dunia, Jakarta:
David M. Hawes
Instansi Pelaksana:
Departemen Pertambangan dan Energi, PT. PLN dan PT. Gas Negara
Wilayah Proyek:
Jawa dan Bali
Tujuan dari proyek ini adalah untuk mengurangi beban fiskal, dan selanjutnya resiko ekonomi makro, dari sektor energi pada ekonomi Indonesia, sambil mengurangi efek dari sektor ini pada lingkungan.
Tujuan ini akan dicapai lewat proyek melalui dukungan kepada pemerintah dalam usahanya untuk menghilangkan subsidi secara bertahap untuk bahan bakar, dengan menggunakan mekanisme penyesuaian harga bahan bakar otomatis secara berkala dengan mengembangkan mekanisme yang efektif dalam menyampaikan subsidi pada masyarakat miskin, dan dengan meningkatkan kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kesediaan publik menerima perlunya kenaikan harga bahan bakar dan perubahan yang membangun pondasi untuk sektor energi yang layak secara komersil, independen dari segi keuangan, operasional yang aman, dan efisien di Jawa dan Bali, dan juga untuk memungkinkan pengenalan pasar listrik yang kompetitif di Jawa-Bali, dengan restrukturisasi PLN, dan memperbaiki sistem distribusi listrik Jawa-Bali; mengelola subsidi untuk pengembangan energi diluar Jawa, dengan mengusulkan pembentukan Dana Pengembangan Listrik Sosial (SEDF); merasionalisasi struktur harga produk energi (pada masa dimana harga sudah terderegulasi total), dengan mengembangkan, dan mengusulkan implementasi kebijakan harga gas yang rasional, mendorong pengembangan industri gas domestik, untuk membebaskan surplus minyak untuk ekspor, dengan menilai bagaimana sektor gas dapat direstrukturisasi dan menarik partisipasi swasta, dan melalui peningkatan infrastruktur distribusi gas di Jawa Barat, meningkatkan penggunaan domestik bahan bakar yang lebih bersih, dengan pilihan prioritas untuk menghilangkan bensin bertimbal (juga dengan mencapai langkah-langkah diatas dalam mengimplementasi kebijakan harga gas rasional dan meningkatkan infrastruktur distribusi gas); mengembangkan kapabilitas untuk mengimplementasi reformasi sektor dan perencanaan untuk pengembangan sektor, dengan memperkuat kapasitas institusi di Departemen Energi.
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Java Bali Power Sector Restructuring and Strengthening Project
No. Pinjaman 4712-IND
Pagu Awal Pinjaman: $141 juta
Tanggal Persetujuan: Jun-03; Tanggal Akhir: Des-08
Contact di Bank Dunia, Jakarta:
David M. Hawes
Instansi Pelaksana:
Departemen Pertambangan dan Energi, PT. PLN dan PT. Gas Negara
Wilayah Proyek:
Jawa dan Bali
Tujuan dari proyek ini adalah untuk mengurangi beban fiskal, dan selanjutnya resiko ekonomi makro, dari sektor energi pada ekonomi Indonesia, sambil mengurangi efek dari sektor ini pada lingkungan.
Tujuan ini akan dicapai lewat proyek melalui dukungan kepada pemerintah dalam usahanya untuk menghilangkan subsidi secara bertahap untuk bahan bakar, dengan menggunakan mekanisme penyesuaian harga bahan bakar otomatis secara berkala dengan mengembangkan mekanisme yang efektif dalam menyampaikan subsidi pada masyarakat miskin, dan dengan meningkatkan kemampuan pemerintah untuk meningkatkan kesediaan publik menerima perlunya kenaikan harga bahan bakar dan perubahan yang membangun pondasi untuk sektor energi yang layak secara komersil, independen dari segi keuangan, operasional yang aman, dan efisien di Jawa dan Bali, dan juga untuk memungkinkan pengenalan pasar listrik yang kompetitif di Jawa-Bali, dengan restrukturisasi PLN, dan memperbaiki sistem distribusi listrik Jawa-Bali; mengelola subsidi untuk pengembangan energi diluar Jawa, dengan mengusulkan pembentukan Dana Pengembangan Listrik Sosial (SEDF); merasionalisasi struktur harga produk energi (pada masa dimana harga sudah terderegulasi total), dengan mengembangkan, dan mengusulkan implementasi kebijakan harga gas yang rasional, mendorong pengembangan industri gas domestik, untuk membebaskan surplus minyak untuk ekspor, dengan menilai bagaimana sektor gas dapat direstrukturisasi dan menarik partisipasi swasta, dan melalui peningkatan infrastruktur distribusi gas di Jawa Barat, meningkatkan penggunaan domestik bahan bakar yang lebih bersih, dengan pilihan prioritas untuk menghilangkan bensin bertimbal (juga dengan mencapai langkah-langkah diatas dalam mengimplementasi kebijakan harga gas rasional dan meningkatkan infrastruktur distribusi gas); mengembangkan kapabilitas untuk mengimplementasi reformasi sektor dan perencanaan untuk pengembangan sektor, dengan memperkuat kapasitas institusi di Departemen Energi.
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (7)
Amerikanisasi BBM
http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html
Indonesia
ACTIVITY DATA SHEET
PROGRAM: Indonesia
TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013
STATUS: Continuing
PLANNED FY 2001 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
PROPOSED FY 2002 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
INITIAL OBLIGATION: FY 2000 ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 2004
Summary: The energy sector is critical to the Indonesian economy, generating nearly 30% of total Government of Indonesia revenues and serving as a major source of foreign exchange. However, massive national energy subsidies ($4.5 billion annually, or half of all energy revenues) bleed the national budget and reduce funding for critical education, health and other social programs. Poorly conceived energy policies have resulted in inefficient production and distribution by state-owned monopolies and wasteful energy consumption. Reform efforts have accelerated since 1999, however, and the Government of Indonesia energy sector reform agenda has focused on improving efficiency and attracting private sector investment. The few vested interests benefiting from the current structure and the lack of transparency remain as obstacles to reform.
This strategic objective will strengthen energy sector governance to help create a more efficient and transparent energy sector. By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, and promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. A more efficient energy sector will also have positive environmental impact, rationalize pricing, increase access to energy services, and help sustain Indonesia's natural resource base. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.
Key Results: At the strategic objective level, impact is demonstrated by increases in energy sector contributions to Government of Indonesia revenues and increases in emission units avoided (greenhouse gases, lead and other local pollutants). Achievement of this objective also relies on three key intermediate results: 1) energy sector reform implemented; 2) broader and more knowledgeable participation in energy sector reform; 3) environmentally friendly investments in the energy sector increased.
Performance and Prospects: USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance and help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalytic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal and regulatory reforms. In 2000, the Government of Indonesia reduced energy subsidies by increasing electricity prices by 20% and fuel prices by 12%. Wary of public reaction to the price hikes because similar increases in 1998 led to street demonstrations, the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal. Additional increases are necessary and will require greater public understanding of the impact on the economy and on vulnerable groups. USAID will continue to provide technical analysis on the macroeconomic and microeconomic impact on industries and households, including a study on the impact of pricing policy on women and vulnerable populations.
USAID is helping restructure the electricity sector to open it to private competition, increase efficiency, and reduce the demand for scarce public funds in the sector. USAID advisors work directly with Government of Indonesia officials responsible for implementing power sector reform, revising draft electricity legislation and redesigning regulatory structures. USAID has provided much-needed assistance to the state electricity monopoly in improving power plant efficiency. The program has been replicated quickly within the monopoly as it prepares for sector restructuring.
In FY 2001, USAID plans to provide $2.85 million in DA to incrementally fund contractors under the Global Bureau Energy indefinite quantity contracts for energy analysis and policy assistance, and for assistance in restructuring the electricity, and oil and gas sectors.
USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.
USAID, in partnership with an Indonesian NGO, has been instrumental in gaining the commitment of the state-owned oil company to phase out leaded gasoline in Jakarta by July 2001. USAID is assisting the Ministry of Energy's Oil and Gas Directorate to develop and implement a long-range fuel standards plan that will provide the foundation for refinery upgrade decisions and the production of cleaner fuels.
In FY 2001, USAID plans to provide $850,000 DA to support NGOs and universities in developing programs for raising awareness and supporting involvement of local government and the public of energy sector issues, including removal of energy subsidies and phase out of leaded gasoline.
New decentralization laws have devolved the licensing of electricity businesses and management of non-oil and gas resources to local governments. USAID has helped establish a university network that can serve as a resource for local governments to address revenue sharing and regional pricing issues. The program will provide education on national policy issues and a forum for local governments to analyze and understand their own energy issues, provide input into national policy and develop their own local policy.
In FY 2001, USAID plans to provide $300,000 in DA to support U.S. Department of Energy/Albany Research Center to partly fund the expansion of the performance and efficiency improvement program and possibly to support Indonesian and international NGOs in developing renewable energy and energy efficiency investment activities.
Possible Adjustments to Plans: An increase or decrease in political will for energy sector reform may warrant adjustments to this objective. The appointment in 2000 of a private sector-oriented reformist as the new head of the State oil and gas company bodes well for reform agenda progress.
Other Donor Programs: USAID works closely with the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank on energy-sector reform. USAID assistance is leveraging a $20 million ADB power sector-restructuring loan, with USAID advisors playing project management and planning roles. The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring. Along with USAID, Canada and the ADB are helping Indonesia develop an action plan for leaded gas phase-out and reducing overall transportation emissions.
Principal Contractors, Grantees, or Agencies: The Energy Policy Analysis Office and Oil and Gas Policy programs are implemented by Advanced Engineering Associates International. The Institutional Strengthening for Electricity Sector Reform program is implemented by the Institute of International Education. The Power Plant Improvement program is implemented by Albany Research Labs, U.S. Department of Energy.
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html
Indonesia
ACTIVITY DATA SHEET
PROGRAM: Indonesia
TITLE AND NUMBER: Energy Sector Governance Strengthened, 497-013
STATUS: Continuing
PLANNED FY 2001 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
PROPOSED FY 2002 OBLIGATIONS AND FUNDING SOURCE: $4,000,000 DA
INITIAL OBLIGATION: FY 2000 ESTIMATED COMPLETION DATE: FY 2004
Summary: The energy sector is critical to the Indonesian economy, generating nearly 30% of total Government of Indonesia revenues and serving as a major source of foreign exchange. However, massive national energy subsidies ($4.5 billion annually, or half of all energy revenues) bleed the national budget and reduce funding for critical education, health and other social programs. Poorly conceived energy policies have resulted in inefficient production and distribution by state-owned monopolies and wasteful energy consumption. Reform efforts have accelerated since 1999, however, and the Government of Indonesia energy sector reform agenda has focused on improving efficiency and attracting private sector investment. The few vested interests benefiting from the current structure and the lack of transparency remain as obstacles to reform.
This strategic objective will strengthen energy sector governance to help create a more efficient and transparent energy sector. By minimizing the role of government as a regulator, reducing subsidies, and promoting private sector involvement, a reformed energy sector can contribute billions of dollars in tax revenue. A more efficient energy sector will also have positive environmental impact, rationalize pricing, increase access to energy services, and help sustain Indonesia's natural resource base. USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform, which helps leverage larger multilateral loans.
Key Results: At the strategic objective level, impact is demonstrated by increases in energy sector contributions to Government of Indonesia revenues and increases in emission units avoided (greenhouse gases, lead and other local pollutants). Achievement of this objective also relies on three key intermediate results: 1) energy sector reform implemented; 2) broader and more knowledgeable participation in energy sector reform; 3) environmentally friendly investments in the energy sector increased.
Performance and Prospects: USAID intends to obligate a total of $4 million in DA in FY 2001 to strengthen energy sector governance and help create a more efficient and transparent energy sector. USAID advisors play a catalytic role in helping the Government of Indonesia develop and implement key policy, legal and regulatory reforms. In 2000, the Government of Indonesia reduced energy subsidies by increasing electricity prices by 20% and fuel prices by 12%. Wary of public reaction to the price hikes because similar increases in 1998 led to street demonstrations, the Government of Indonesia, with USAID assistance, ensured that national and local parliaments, civil society organizations, media, and universities were involved in the decision. As a result, there was minimal public outcry. USAID also supported this process by providing policy analysis for energy pricing and subsidy removal. Additional increases are necessary and will require greater public understanding of the impact on the economy and on vulnerable groups. USAID will continue to provide technical analysis on the macroeconomic and microeconomic impact on industries and households, including a study on the impact of pricing policy on women and vulnerable populations.
USAID is helping restructure the electricity sector to open it to private competition, increase efficiency, and reduce the demand for scarce public funds in the sector. USAID advisors work directly with Government of Indonesia officials responsible for implementing power sector reform, revising draft electricity legislation and redesigning regulatory structures. USAID has provided much-needed assistance to the state electricity monopoly in improving power plant efficiency. The program has been replicated quickly within the monopoly as it prepares for sector restructuring.
In FY 2001, USAID plans to provide $2.85 million in DA to incrementally fund contractors under the Global Bureau Energy indefinite quantity contracts for energy analysis and policy assistance, and for assistance in restructuring the electricity, and oil and gas sectors.
USAID helped draft new oil and gas policy legislation submitted to Parliament in October 2000. The legislation will increase competition and efficiency by reducing the role of the state-owned oil company in exploration and production. A more efficient oil and gas sector will lower prices, increase product quality for consumers, increase government revenues, and improve air quality. USAID will continue to work on developing implementing regulations for the oil and gas legislation.
USAID, in partnership with an Indonesian NGO, has been instrumental in gaining the commitment of the state-owned oil company to phase out leaded gasoline in Jakarta by July 2001. USAID is assisting the Ministry of Energy's Oil and Gas Directorate to develop and implement a long-range fuel standards plan that will provide the foundation for refinery upgrade decisions and the production of cleaner fuels.
In FY 2001, USAID plans to provide $850,000 DA to support NGOs and universities in developing programs for raising awareness and supporting involvement of local government and the public of energy sector issues, including removal of energy subsidies and phase out of leaded gasoline.
New decentralization laws have devolved the licensing of electricity businesses and management of non-oil and gas resources to local governments. USAID has helped establish a university network that can serve as a resource for local governments to address revenue sharing and regional pricing issues. The program will provide education on national policy issues and a forum for local governments to analyze and understand their own energy issues, provide input into national policy and develop their own local policy.
In FY 2001, USAID plans to provide $300,000 in DA to support U.S. Department of Energy/Albany Research Center to partly fund the expansion of the performance and efficiency improvement program and possibly to support Indonesian and international NGOs in developing renewable energy and energy efficiency investment activities.
Possible Adjustments to Plans: An increase or decrease in political will for energy sector reform may warrant adjustments to this objective. The appointment in 2000 of a private sector-oriented reformist as the new head of the State oil and gas company bodes well for reform agenda progress.
Other Donor Programs: USAID works closely with the Asian Development Bank (ADB) and the World Bank on energy-sector reform. USAID assistance is leveraging a $20 million ADB power sector-restructuring loan, with USAID advisors playing project management and planning roles. The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000. Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring. Along with USAID, Canada and the ADB are helping Indonesia develop an action plan for leaded gas phase-out and reducing overall transportation emissions.
Principal Contractors, Grantees, or Agencies: The Energy Policy Analysis Office and Oil and Gas Policy programs are implemented by Advanced Engineering Associates International. The Institutional Strengthening for Electricity Sector Reform program is implemented by the Institute of International Education. The Power Plant Improvement program is implemented by Albany Research Labs, U.S. Department of Energy.
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (6)
Amerikanisasi BBM
Majalah Trust/Sektor Riil/11/2004
Ramai-Ramai Jualan Bensin
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
Delapan investor baru siap mendirikan SPBU sendiri. Namun, Pertamina tak mau kalah. Sebanyak 300 SPBU pun akan segera dibangun perusahaan pelat merah ini.
Hardy R. Hermawan, Dedi Setiawan, Dikky Setiawan, Kelik Prakosa,dan Subhan Surya Atmaja
Ketika dunia sudah melirik sumber energi alternatif, Indonesia masih saja berkutat dengan bahan bakar minyak (BBM). Bahkan, seiring dengan akan dilaksanakannya liberalisasi migas, seperti disampaikan Kepala Badan Pelaksana (BP) Hilir Migas Tubagus Haryono pekan lalu, kini sudah ada delapan investor baru yang siap bertarung di pasar hilir perdagangan migas di Tanah Air. Jika tak ada aral melintang, delapan investor itu akan beroperasi, dengan membangun sejumlah stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU), mulai tahun 2005.
Nilai investasi yang hendak digelontorkan delapan investor itu mencapai US$ 350 juta. PT Sigma Rancang Perdana merupakan investor dengan modal terbesar, senilai US$ 250 juta. Setelah itu, ada PT Kridapetra Graha yang siap dengan dana US$ 35 juta. Lantas, ada juga PT Petronas Niaga Indonesia. Perusahaan patungan Malaysia-Indonesia itu juga siap dengan duit US$ 30 juta.
Di luar tiga perusahaan tadi, tercatat pula PT Elnusa Harapan dengan investasi sebesar US$ 4 juta. Lalu, ada PT Raven Sejahtera (US$ 1,3 juta), PT Pandu Selaras alias Petros (US$ 4 juta), PT Petroleum Limas (US$ 9,8), dan PT Elnusa Petrofin (1,3 juta).
Tubagus menegaskan, sejatinya, masih ada investor lain yang juga sudah siap membangun bisnis SPBU ini. Bahkan, bisa jadi, investor ini akan menjadi pesaing paling serius buat Pertamina dalam bisnis SPBU. Maklum, pemodal yang satu ini adalah Beyond Petroleum, satu dari ”the five sisters” (lima raksasa terbesar dalam industri migas dunia).
Sesungguhnya pula, menurut Iin Arifin Takhyan, Direktur Jenderal Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, ada 97 perusahaan lain yang juga sudah mendapat izin bermain di sektor hilir migas ini. Betul, tak semua perusahaan itu hendak berbisnis SPBU. Sebagian ada juga yang hanya mengajukan izin bisnis pengolahan BBM. Lalu, ada pula yang hanya akan menjadi pengelola depo minyak yang akan disalurkan lagi ke SPBU milik pihak lain.
Yang pasti, bisnis hilir BBM di Tanah Air akan sangat semarak. Apalagi, para investor itu tampak optimistis menghadapi persaingan yang akan mereka jalani. Bagaimana tidak pede, Agus Budi Hartono, Vice President Business Development PT Elnusa Harapan, mengatakan bahwa pasar SPBU itu sungguh sangat besar. Sebab, sekarang ini, jumlah SPBU secara nasional baru sekitar 2.500. Padahal, jumlah penduduk kita sudah 200 juta orang. Bandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk 20-an juta orang tapi memiliki 2.000 unit SPBU.
Sudah begitu, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia juga terus bertambah secara pesat. Tahun 2004 ini saja, jumlah mobil baru yang terjual sudah melewati level 400 ribu unit. Tahun depan, angkanya mungkin akan bertambah 10%. Belum kalau menghitung jumlah sepeda motor yang beredar. Itu semua jelas merupakan pasar yang menggiurkan. Apalagi, hampir seluruh kendaraan bermotor itu menggunakan BBM.
Tak mengherankan, kendati modal untuk membangun setiap SPBU cukup besar, berkisar antara Rp 1 miliar dan Rp 5 miliar, itu dianggap bukan masalah. Toh, uang yang nantinya masuk juga diyakini akan sangat deras. Ingat, bisnis SPBU ini seperti supermarket. Setiap harinya, uang tunai akan beredar sangat banyak. Para pelaku bisnis ini pun hakulyakin, dalam tempo kurang dari lima tahun SPBU sudah bisa menghasilkan untung.
Akan lebih besar lagi uang yang beredar itu jika SPBU tersebut juga dikawinkan dengan kafe atau supermarket di lokasi yang sama. Itu pula yang dipikirkan oleh Petronas Niaga Indonesia sekarang ini. Pantas jika Faris Mustaffa, Presiden Direktur Petronas Niaga Indonesia, menyatakan biaya pembuatan SPBU-nya akan lebih mahal ketimbang SPBU biasa. Maklum, ia juga membutuhkan lahan yang lebih luas untuk tempat didirikannya kafe dan supermarket itu tadi.
Sekarang ini, Faris mengatakan, Petronas Niaga Indonesia akan membangun sekitar lima atau 10 SPBU di Jabotabek. Kelak, pihaknya akan memperluas jaringan ke seluruh Jawa. Setelah itu, baru mereka akan menjaring Indonesia. Selama ini, Jawa memang merupakan pasar SPBU paling besar. Sekitar 70% kebutuhan BBM berada di wilayah ini. Strategi yang sama juga akan dilakukan para investor lainnya. Namun, jangan lupa, nantinya setiap investor diwajibkan melakukan investasi di daerah terpencil. Tujuannya, untuk menjamin ketersediaan BBM yang merata di Tanah Air.
PERTAMINA SIAP BERSANDING DENGAN PLN
Lantas, bagaimana dengan nasib Pertamina, yang selama ini menjadi pemegang monopoli SPBU di Tanah Air? Rupanya, BUMN ini tak mau tersingkirkan begitu saja oleh pemain-pemain baru tadi. Perusahaan cap kuda laut kembar itu telah berancang-ancang membangun 300 SPBU lagi, di seluruh pelosok negeri.
Pembangunan stasiun pompa bahan bakar minyak yang akan berlangsung hingga tiga tahun ke depan itu diperkirakan akan menyedot dana investasi sebesar Rp 1,3 triliun. Dengan persiapan ini, diharapkan, Pertamina tetap menjadi market leader dengan menguasai 30% pangsa pasar BBM.
Pertamina juga berniat menggandeng para dealer yang tergabung ke dalam Hiswana Migas untuk mengoperasikan SPBU tersebut. Ada sejumlah opsi yang ditawarkan perusahaan pelat merah ini, yakni profit sharing, cost sharing, dan revenue sharing. Tiap-tiap opsi itu tentu memiliki pembagian hak dan tanggung jawab yang berbeda. Untuk profit sharing, misalnya, SPBU tersebut dibangun secara bersama dan besar keuntungan yang didapat tinggal dibagi dua.
Bagi dealer yang memiliki modal, mereka bisa saja membangun SPBU sendiri dan Pertamina hanya menjadi pemasok BBM seperti yang selama ini sudah berlangsung. Untuk opsi ini, pengusaha hanya mendapat profit dari margin keuntungan yang telah ditentukan Pertamina.
Ada juga opsi yang menempatkan Pertamina sebagai pengembang SPBU. Pengusaha hanya melaksanakan kegiatan operasionalnya. Nah, di sini, biaya operasional akan ditanggung berdua. Pertamina lalu akan memberikan fee kepada pengusaha.
Lalu, selain dengan memperkuat jaringan SPBU, Pertamina juga menjajaki kerja sama dengan PLN. Jadi, Pertamina berniat memanfaatkan tangki-tangki timbun yang dimiliki PLN. Diperkirakan, tangki timbun PLN memiliki kapasitas 20% dari kebutuhan BBM nasional. Kerja sama BUMN minyak dan BUMN setrum bukan sekadar untuk mengefisienkan langkah Pertamina dalam menjelajah pasar. Ini dilakukan juga agar tangki-tangki tersebut tidak ”dimanfaatkan” perusahaan-perusahaan minyak asing yang akan masuk ke sektor hilir migas.
Bahkan, untuk memperlancar dan mempercepat pasokan BBM dari kilang di Tuban ke sejumlah kabupaten di Jawa Timur, perusahaan itu juga akan menggunakan sebuah terminal raksasa yang dihubungkan dengan sistem pipanisasi. Jelas ini merupakan proyek raksasa. Investasinya saja diperkirakan mencapai US$ 80 juta. Agar proyek ini bisa berjalan lancar, Pertamina akan menggandeng sejumlah BUMD milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk turut mendanainya.
Lantas, seperti juga SPBU-SPBU milik Petronas Niaga Indonesia, Pertamina pun sudah siap untuk menjadikan SPBU-nya tidak hanya sebagai tempat berjualan minyak. Nantinya, SPBU Pertamina juga akan dibangun untuk memenuhi kebutuhan pokok pemilik mobil. Jadi, akan ada toko swalayan, bengkel, atau tempat cuci mobil. Menarik? Tentu saja. Di sinilah asyiknya persaingan.
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Majalah Trust/Sektor Riil/11/2004
Ramai-Ramai Jualan Bensin
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
Delapan investor baru siap mendirikan SPBU sendiri. Namun, Pertamina tak mau kalah. Sebanyak 300 SPBU pun akan segera dibangun perusahaan pelat merah ini.
Hardy R. Hermawan, Dedi Setiawan, Dikky Setiawan, Kelik Prakosa,dan Subhan Surya Atmaja
Ketika dunia sudah melirik sumber energi alternatif, Indonesia masih saja berkutat dengan bahan bakar minyak (BBM). Bahkan, seiring dengan akan dilaksanakannya liberalisasi migas, seperti disampaikan Kepala Badan Pelaksana (BP) Hilir Migas Tubagus Haryono pekan lalu, kini sudah ada delapan investor baru yang siap bertarung di pasar hilir perdagangan migas di Tanah Air. Jika tak ada aral melintang, delapan investor itu akan beroperasi, dengan membangun sejumlah stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU), mulai tahun 2005.
Nilai investasi yang hendak digelontorkan delapan investor itu mencapai US$ 350 juta. PT Sigma Rancang Perdana merupakan investor dengan modal terbesar, senilai US$ 250 juta. Setelah itu, ada PT Kridapetra Graha yang siap dengan dana US$ 35 juta. Lantas, ada juga PT Petronas Niaga Indonesia. Perusahaan patungan Malaysia-Indonesia itu juga siap dengan duit US$ 30 juta.
Di luar tiga perusahaan tadi, tercatat pula PT Elnusa Harapan dengan investasi sebesar US$ 4 juta. Lalu, ada PT Raven Sejahtera (US$ 1,3 juta), PT Pandu Selaras alias Petros (US$ 4 juta), PT Petroleum Limas (US$ 9,8), dan PT Elnusa Petrofin (1,3 juta).
Tubagus menegaskan, sejatinya, masih ada investor lain yang juga sudah siap membangun bisnis SPBU ini. Bahkan, bisa jadi, investor ini akan menjadi pesaing paling serius buat Pertamina dalam bisnis SPBU. Maklum, pemodal yang satu ini adalah Beyond Petroleum, satu dari ”the five sisters” (lima raksasa terbesar dalam industri migas dunia).
Sesungguhnya pula, menurut Iin Arifin Takhyan, Direktur Jenderal Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, ada 97 perusahaan lain yang juga sudah mendapat izin bermain di sektor hilir migas ini. Betul, tak semua perusahaan itu hendak berbisnis SPBU. Sebagian ada juga yang hanya mengajukan izin bisnis pengolahan BBM. Lalu, ada pula yang hanya akan menjadi pengelola depo minyak yang akan disalurkan lagi ke SPBU milik pihak lain.
Yang pasti, bisnis hilir BBM di Tanah Air akan sangat semarak. Apalagi, para investor itu tampak optimistis menghadapi persaingan yang akan mereka jalani. Bagaimana tidak pede, Agus Budi Hartono, Vice President Business Development PT Elnusa Harapan, mengatakan bahwa pasar SPBU itu sungguh sangat besar. Sebab, sekarang ini, jumlah SPBU secara nasional baru sekitar 2.500. Padahal, jumlah penduduk kita sudah 200 juta orang. Bandingkan dengan Malaysia yang berpenduduk 20-an juta orang tapi memiliki 2.000 unit SPBU.
Sudah begitu, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia juga terus bertambah secara pesat. Tahun 2004 ini saja, jumlah mobil baru yang terjual sudah melewati level 400 ribu unit. Tahun depan, angkanya mungkin akan bertambah 10%. Belum kalau menghitung jumlah sepeda motor yang beredar. Itu semua jelas merupakan pasar yang menggiurkan. Apalagi, hampir seluruh kendaraan bermotor itu menggunakan BBM.
Tak mengherankan, kendati modal untuk membangun setiap SPBU cukup besar, berkisar antara Rp 1 miliar dan Rp 5 miliar, itu dianggap bukan masalah. Toh, uang yang nantinya masuk juga diyakini akan sangat deras. Ingat, bisnis SPBU ini seperti supermarket. Setiap harinya, uang tunai akan beredar sangat banyak. Para pelaku bisnis ini pun hakulyakin, dalam tempo kurang dari lima tahun SPBU sudah bisa menghasilkan untung.
Akan lebih besar lagi uang yang beredar itu jika SPBU tersebut juga dikawinkan dengan kafe atau supermarket di lokasi yang sama. Itu pula yang dipikirkan oleh Petronas Niaga Indonesia sekarang ini. Pantas jika Faris Mustaffa, Presiden Direktur Petronas Niaga Indonesia, menyatakan biaya pembuatan SPBU-nya akan lebih mahal ketimbang SPBU biasa. Maklum, ia juga membutuhkan lahan yang lebih luas untuk tempat didirikannya kafe dan supermarket itu tadi.
Sekarang ini, Faris mengatakan, Petronas Niaga Indonesia akan membangun sekitar lima atau 10 SPBU di Jabotabek. Kelak, pihaknya akan memperluas jaringan ke seluruh Jawa. Setelah itu, baru mereka akan menjaring Indonesia. Selama ini, Jawa memang merupakan pasar SPBU paling besar. Sekitar 70% kebutuhan BBM berada di wilayah ini. Strategi yang sama juga akan dilakukan para investor lainnya. Namun, jangan lupa, nantinya setiap investor diwajibkan melakukan investasi di daerah terpencil. Tujuannya, untuk menjamin ketersediaan BBM yang merata di Tanah Air.
PERTAMINA SIAP BERSANDING DENGAN PLN
Lantas, bagaimana dengan nasib Pertamina, yang selama ini menjadi pemegang monopoli SPBU di Tanah Air? Rupanya, BUMN ini tak mau tersingkirkan begitu saja oleh pemain-pemain baru tadi. Perusahaan cap kuda laut kembar itu telah berancang-ancang membangun 300 SPBU lagi, di seluruh pelosok negeri.
Pembangunan stasiun pompa bahan bakar minyak yang akan berlangsung hingga tiga tahun ke depan itu diperkirakan akan menyedot dana investasi sebesar Rp 1,3 triliun. Dengan persiapan ini, diharapkan, Pertamina tetap menjadi market leader dengan menguasai 30% pangsa pasar BBM.
Pertamina juga berniat menggandeng para dealer yang tergabung ke dalam Hiswana Migas untuk mengoperasikan SPBU tersebut. Ada sejumlah opsi yang ditawarkan perusahaan pelat merah ini, yakni profit sharing, cost sharing, dan revenue sharing. Tiap-tiap opsi itu tentu memiliki pembagian hak dan tanggung jawab yang berbeda. Untuk profit sharing, misalnya, SPBU tersebut dibangun secara bersama dan besar keuntungan yang didapat tinggal dibagi dua.
Bagi dealer yang memiliki modal, mereka bisa saja membangun SPBU sendiri dan Pertamina hanya menjadi pemasok BBM seperti yang selama ini sudah berlangsung. Untuk opsi ini, pengusaha hanya mendapat profit dari margin keuntungan yang telah ditentukan Pertamina.
Ada juga opsi yang menempatkan Pertamina sebagai pengembang SPBU. Pengusaha hanya melaksanakan kegiatan operasionalnya. Nah, di sini, biaya operasional akan ditanggung berdua. Pertamina lalu akan memberikan fee kepada pengusaha.
Lalu, selain dengan memperkuat jaringan SPBU, Pertamina juga menjajaki kerja sama dengan PLN. Jadi, Pertamina berniat memanfaatkan tangki-tangki timbun yang dimiliki PLN. Diperkirakan, tangki timbun PLN memiliki kapasitas 20% dari kebutuhan BBM nasional. Kerja sama BUMN minyak dan BUMN setrum bukan sekadar untuk mengefisienkan langkah Pertamina dalam menjelajah pasar. Ini dilakukan juga agar tangki-tangki tersebut tidak ”dimanfaatkan” perusahaan-perusahaan minyak asing yang akan masuk ke sektor hilir migas.
Bahkan, untuk memperlancar dan mempercepat pasokan BBM dari kilang di Tuban ke sejumlah kabupaten di Jawa Timur, perusahaan itu juga akan menggunakan sebuah terminal raksasa yang dihubungkan dengan sistem pipanisasi. Jelas ini merupakan proyek raksasa. Investasinya saja diperkirakan mencapai US$ 80 juta. Agar proyek ini bisa berjalan lancar, Pertamina akan menggandeng sejumlah BUMD milik Pemerintah Provinsi Jawa Timur untuk turut mendanainya.
Lantas, seperti juga SPBU-SPBU milik Petronas Niaga Indonesia, Pertamina pun sudah siap untuk menjadikan SPBU-nya tidak hanya sebagai tempat berjualan minyak. Nantinya, SPBU Pertamina juga akan dibangun untuk memenuhi kebutuhan pokok pemilik mobil. Jadi, akan ada toko swalayan, bengkel, atau tempat cuci mobil. Menarik? Tentu saja. Di sinilah asyiknya persaingan.
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Label:
Amerikanisasi,
BBM,
ekonomi,
Kedaulatan,
Nekolim
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (5)
Amerikanisasi BBM
Republika, Jumat, 18 Februari 2005
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
JAKARTA--Perusahaan swasta tak boleh hanya memilih wilayah Jawa yang konsumsi BBM-nya tinggi. Aturan main distribusi BBM yang baru kemungkinan sudah akan selesai April 2005. Aturan yang nama resminya adalah Pedoman Wilayah Distribusi Niaga ini akan mengatur tentang distribusi migas yang dilakukan swasta di masa mendatang. Ketua Badan Badan Pelaksana Hilir (BPH) Migas, Tubagus Haryono, menyebut peraturan ini sebagai antisipasi setelah Pertamina tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang mendistribusikan BBM. Tugas Pertamina sesuai dengan UU itu sudah akan berakhir pada 23 November 2005.
''Sudah banyak perusahaan swasta lain yang akan masuk, termasuk dari asing. Misalnya saja Petronas, Shell, Petro China, dan Elnusa. Kami akan mengatur sedemikian rupa sehingga seluruh badan usaha itu dapat beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Kami akan menyusun konfigurasi wilayahnya,'' kata Tugabus dalam rapat kerja dengan PAH II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kamis (17/2).
Dengan aturan distribusi wilayah itu, pihak swasta yang mengoperasikan SPBU tidak bisa hanya ingin bermain di wilayah yang mempunyai konsumsi kebutuhan BBM tinggi, seperti Jawa. Aturan itu juga mewajibkan swasta untuk masuk di wilayah lain, yang mungkin juga agak terpencil sehingga pasokan BBM di wilayah lain juga terjamin.
Tubagus juga menyebut, siapa saja swasta yang berniat dipersilahkan masuk. Mereka bisa beroperasi di Indonesia dengan memiliki sekaligus mengoperasikan, Namun, akan ada aturan lain yang mewajibkan Company on Company Operate-nya maksimum 20 persen. Sisanya wajib kerja sama dengan mitra lokal. Seluruh usaha hilir minyak dan gas bumi juga wajib berbadan hukum Indonesia. Menurut Kepala BPH Migas itu menyebut, aturan ini untuk mempermudah pengawasan, terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
''Bahkan, cadangan operasional mereka juga wajib berada di wilayah Indonesia. Untuk menyimpannya, bisa menggunakan fasilitas yang dimiliki Pertamina jika mereka belum mempunyai sendiri,'' lanjut Tubagus. Memungkinkan swasta di luar Pertamina masuk dalam distribusi BBM, menurut Tubagus, juga sesuai dengan UU No.5/1999 tentang Anti Praktek Monopoli. Undang-undang ini menyatakan suatu perusahaan tidak boleh lebih dari 50 persen menguasi pasar.
Soal jaminan bagi masyarakat dapat menjangkau BBM di masa datang, Tugabus mengatakan kemungkinan swasta baru dapat masuk secara penuh sekitar 2010. Pada saat itu, dia memperkirakan daya beli masyarakat sudah membaik. BPH Migas, lanjutnya, juga sudah menyiapkan suatu konsep yang akan mengatur agar pemerintah tetap dapat menetapkan harga dasar. Lalu, akan dipilih swasta yang berani memberikan harga paling dekat dengan yang ditetapkan pemerintah. ''Jadi, kalaupun masih ada subsidi, tidak akan terlalu besar,'' tambah Tubagus.
Berdasarkan catatan BPH Migas, konsumen BBM di Indonesia tidak merata. Sebanyak 62 persen berada di Jawa, 20 persen di Sumatra, sisanya 18 persen di berbagai daerah lain. Sementara itu, saat ini, jatah yang diberikan pemerintah dan DPR adalah 3,75 liter per jiwa per bulan. (fin )
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Republika, Jumat, 18 Februari 2005
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
JAKARTA--Perusahaan swasta tak boleh hanya memilih wilayah Jawa yang konsumsi BBM-nya tinggi. Aturan main distribusi BBM yang baru kemungkinan sudah akan selesai April 2005. Aturan yang nama resminya adalah Pedoman Wilayah Distribusi Niaga ini akan mengatur tentang distribusi migas yang dilakukan swasta di masa mendatang. Ketua Badan Badan Pelaksana Hilir (BPH) Migas, Tubagus Haryono, menyebut peraturan ini sebagai antisipasi setelah Pertamina tidak lagi menjadi satu-satunya pihak yang mendistribusikan BBM. Tugas Pertamina sesuai dengan UU itu sudah akan berakhir pada 23 November 2005.
''Sudah banyak perusahaan swasta lain yang akan masuk, termasuk dari asing. Misalnya saja Petronas, Shell, Petro China, dan Elnusa. Kami akan mengatur sedemikian rupa sehingga seluruh badan usaha itu dapat beroperasi di seluruh wilayah Indonesia. Kami akan menyusun konfigurasi wilayahnya,'' kata Tugabus dalam rapat kerja dengan PAH II Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Kamis (17/2).
Dengan aturan distribusi wilayah itu, pihak swasta yang mengoperasikan SPBU tidak bisa hanya ingin bermain di wilayah yang mempunyai konsumsi kebutuhan BBM tinggi, seperti Jawa. Aturan itu juga mewajibkan swasta untuk masuk di wilayah lain, yang mungkin juga agak terpencil sehingga pasokan BBM di wilayah lain juga terjamin.
Tubagus juga menyebut, siapa saja swasta yang berniat dipersilahkan masuk. Mereka bisa beroperasi di Indonesia dengan memiliki sekaligus mengoperasikan, Namun, akan ada aturan lain yang mewajibkan Company on Company Operate-nya maksimum 20 persen. Sisanya wajib kerja sama dengan mitra lokal. Seluruh usaha hilir minyak dan gas bumi juga wajib berbadan hukum Indonesia. Menurut Kepala BPH Migas itu menyebut, aturan ini untuk mempermudah pengawasan, terutama berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan dalam negeri.
''Bahkan, cadangan operasional mereka juga wajib berada di wilayah Indonesia. Untuk menyimpannya, bisa menggunakan fasilitas yang dimiliki Pertamina jika mereka belum mempunyai sendiri,'' lanjut Tubagus. Memungkinkan swasta di luar Pertamina masuk dalam distribusi BBM, menurut Tubagus, juga sesuai dengan UU No.5/1999 tentang Anti Praktek Monopoli. Undang-undang ini menyatakan suatu perusahaan tidak boleh lebih dari 50 persen menguasi pasar.
Soal jaminan bagi masyarakat dapat menjangkau BBM di masa datang, Tugabus mengatakan kemungkinan swasta baru dapat masuk secara penuh sekitar 2010. Pada saat itu, dia memperkirakan daya beli masyarakat sudah membaik. BPH Migas, lanjutnya, juga sudah menyiapkan suatu konsep yang akan mengatur agar pemerintah tetap dapat menetapkan harga dasar. Lalu, akan dipilih swasta yang berani memberikan harga paling dekat dengan yang ditetapkan pemerintah. ''Jadi, kalaupun masih ada subsidi, tidak akan terlalu besar,'' tambah Tubagus.
Berdasarkan catatan BPH Migas, konsumen BBM di Indonesia tidak merata. Sebanyak 62 persen berada di Jawa, 20 persen di Sumatra, sisanya 18 persen di berbagai daerah lain. Sementara itu, saat ini, jatah yang diberikan pemerintah dan DPR adalah 3,75 liter per jiwa per bulan. (fin )
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Label:
Amerikanisasi,
BBM,
ekonomi,
Kedaulatan,
Nekolim
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (4)
Amerikanisasi BBM
Media Indonesia, Kamis, 27 Mei 2004
EKONOMI & BISNIS
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
JAKARTA (Media): Mulai 2005 harga beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) sudah bisa dinaikkan secara bertahap sesuai mekanisme pasar. Ini dilakukan untuk menarik investor, selain menekan biaya subsidi BBM yang selama ini sedemikian besar ditanggung pemerintah.
"Jenis BBM yang akan diserahkan ke pasar adalah bensin dan solar. Kenaikan harga BBM secara bertahap ini juga akan menekan besaran subsidi BBM karena saat ini 30% dari kebutuhan BBM kita masih diimpor," kata Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono usai rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR, di Jakarta, kemarin.
Tubagus mengungkapkan, hal itu juga dipengaruhi permintaan pasar, baik industri maupun transportasi yang terus meningkat.
Sedangkan, pada akhir 2005 PT Pertamina telah melepas kewajibannya mengemban tugas pemerintah dalam pengadaan BBM domestik, sehingga pemain mana saja bisa masuk untuk mengadakan dan memasarkan BBM ke pasar dalam negeri.
Dari catatan Media, sejak 2001 kebutuhan BBM dalam negeri selalu meningkat. Pada 2001 volumenya 55,89 juta kiloliter (kl), 2002 (57,79 juta kl), 2003 (61,03 juta kl) dan 2004 diperkirakan 60,14 juta kl.
Khusus minyak tanah, masih tetap disubsidi pemerintah. Soalnya, kata Tubagus, daya beli masyarakat masih rendah. Tetapi, ke depan kata mantan anggota DPR ini, harga minyak tanah pun harus diserahkan ke pasar, tetapi untuk melaksanakannya diperlukan waktu lama.
"Untuk itu, BPH Migas mengusulkan kepada pemerintah, mekanisme penyaluran subsidi BBM diubah dari subsidi produk ke subsidi orang yang membutuhkan," katanya.
Menurut Tubagus, pemberian subsidi harga BBM oleh pemerintah tidak bisa merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir. Pasalnya, harga tak diserahkan ke pasar, melainkan telah ditetapkan pemerintah.
Padahal, investor mempertimbangkan betul nilai keekonomian dari bisnis tersebut. Bila subsidi tetap diberikan, harga tidak ekonomis. Investor tak mendapatkan margin layak dari harga jual BBM.
Harga BBM yang masih disubsidi adalah solar, premium, minyak tanah, sedangkan harga BBM industri seperti avtur, minyak bunker, solar dan minyak tanah untuk industri disesuaikan harga internasional
Dana subsidi
Pemerintah belum dapat mencairkan Rp3,2 triliun yang merupakan sisa pembayaran dana subsidi BBM 2003 kepada Pertamina . Alasannya, dana itu baru bisa dicairkan bila hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selesai. Dari hasil audit itulah, akan ditentukan jumlah yang pasti untuk dibayarkan ke Pertamina sebagai subsidi BBM.
"Dana itu memang tidak bisa cair karena hasil auditnya belum selesai. Itu perintah undang-undang," kata Dirjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Darmin Nasution usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, karena melihat kesulitan Pertamina, Departemen Keuangan telah menyurati BPK agar bisa mencairkan sebagian dulu sebelum auditnya selesai. Secara lisan, kata Darmin, BPK sudah mengizinkan. "Tapi kami masih menunggu surat resminya."
Bila disetujui BPK, sekitar Rp2,7 triliun akan segera dibayarkan kepada Pertamina. Dana itu diasumsikan sebagai dana subsidi yang tepat sasaran dalam penyalurannya. Sebab sesuai kesepakatan pemerintah tidak akan membayar subsidi BBM yang diselewengkan. (Wis/JA/E-1)
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Media Indonesia, Kamis, 27 Mei 2004
EKONOMI & BISNIS
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
JAKARTA (Media): Mulai 2005 harga beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM) sudah bisa dinaikkan secara bertahap sesuai mekanisme pasar. Ini dilakukan untuk menarik investor, selain menekan biaya subsidi BBM yang selama ini sedemikian besar ditanggung pemerintah.
"Jenis BBM yang akan diserahkan ke pasar adalah bensin dan solar. Kenaikan harga BBM secara bertahap ini juga akan menekan besaran subsidi BBM karena saat ini 30% dari kebutuhan BBM kita masih diimpor," kata Kepala Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) Tubagus Haryono usai rapat dengar pendapat dengan Komisi VIII DPR, di Jakarta, kemarin.
Tubagus mengungkapkan, hal itu juga dipengaruhi permintaan pasar, baik industri maupun transportasi yang terus meningkat.
Sedangkan, pada akhir 2005 PT Pertamina telah melepas kewajibannya mengemban tugas pemerintah dalam pengadaan BBM domestik, sehingga pemain mana saja bisa masuk untuk mengadakan dan memasarkan BBM ke pasar dalam negeri.
Dari catatan Media, sejak 2001 kebutuhan BBM dalam negeri selalu meningkat. Pada 2001 volumenya 55,89 juta kiloliter (kl), 2002 (57,79 juta kl), 2003 (61,03 juta kl) dan 2004 diperkirakan 60,14 juta kl.
Khusus minyak tanah, masih tetap disubsidi pemerintah. Soalnya, kata Tubagus, daya beli masyarakat masih rendah. Tetapi, ke depan kata mantan anggota DPR ini, harga minyak tanah pun harus diserahkan ke pasar, tetapi untuk melaksanakannya diperlukan waktu lama.
"Untuk itu, BPH Migas mengusulkan kepada pemerintah, mekanisme penyaluran subsidi BBM diubah dari subsidi produk ke subsidi orang yang membutuhkan," katanya.
Menurut Tubagus, pemberian subsidi harga BBM oleh pemerintah tidak bisa merangsang investor untuk berbisnis di sektor hilir. Pasalnya, harga tak diserahkan ke pasar, melainkan telah ditetapkan pemerintah.
Padahal, investor mempertimbangkan betul nilai keekonomian dari bisnis tersebut. Bila subsidi tetap diberikan, harga tidak ekonomis. Investor tak mendapatkan margin layak dari harga jual BBM.
Harga BBM yang masih disubsidi adalah solar, premium, minyak tanah, sedangkan harga BBM industri seperti avtur, minyak bunker, solar dan minyak tanah untuk industri disesuaikan harga internasional
Dana subsidi
Pemerintah belum dapat mencairkan Rp3,2 triliun yang merupakan sisa pembayaran dana subsidi BBM 2003 kepada Pertamina . Alasannya, dana itu baru bisa dicairkan bila hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) selesai. Dari hasil audit itulah, akan ditentukan jumlah yang pasti untuk dibayarkan ke Pertamina sebagai subsidi BBM.
"Dana itu memang tidak bisa cair karena hasil auditnya belum selesai. Itu perintah undang-undang," kata Dirjen Lembaga Keuangan Departemen Keuangan Darmin Nasution usai rapat kerja dengan Komisi IX DPR di Jakarta, kemarin.
Namun demikian, karena melihat kesulitan Pertamina, Departemen Keuangan telah menyurati BPK agar bisa mencairkan sebagian dulu sebelum auditnya selesai. Secara lisan, kata Darmin, BPK sudah mengizinkan. "Tapi kami masih menunggu surat resminya."
Bila disetujui BPK, sekitar Rp2,7 triliun akan segera dibayarkan kepada Pertamina. Dana itu diasumsikan sebagai dana subsidi yang tepat sasaran dalam penyalurannya. Sebab sesuai kesepakatan pemerintah tidak akan membayar subsidi BBM yang diselewengkan. (Wis/JA/E-1)
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Label:
Amerikanisasi,
BBM,
ekonomi,
Kedaulatan,
Nekolim
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (3)
Amerikanisasi BBM
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
SUARA PEMBARUAN DAILY, 21 Oktober 2003
Sudah Empat Calon Investor yang Mendaftar
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
JAKARTA - Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, masyarakat Indonesia bisa mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM) kualitas prima produksi non-Pertamina. Hal ini terjadi karena pemerintah telah membuka kesempatan bagi pemain baru yang ingin berinvestasi di bidang ini.
Namun untuk BBM yang saat ini masih disubsidi, liberalisasi tetap akan dilaksanakan tahun 2005, setelah masa transisi Pertamina berakhir.
Sementara itu, pemerintah tampaknya bakal menerima pendapat Pertamina yang keberatan jika pemain baru diberi akses terbuka menggunakan fasilitas produksi dan distribusi BUMN Migas tersebut. Namun menurut Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Iin Arifin Takhyan, hal tersebut tidak menutup kemungkinan Pertamina menerima tekanan berat dari pemain baru.
Iin ketika berbicara dalam sarasehan sehari dengan para wartawan migas di Jakarta, Senin (20/10), mengatakan, pemerintah saat ini telah membuka kesempatan bagi para investor yang ingin memasarkan produk BBM euro I dan euro II. BBM jenis ini adalah BBM prima seperti halnya Pertamax dan Pertamax Plus produk Pertamina.
"Jadi kalau sekarang ada pemain yang mau memproduksi dan memasarkan produk itu, boleh-boleh saja, karena bisnis ini sudah dibuka," katanya. Harga komoditas ini juga tidak akan diatur oleh pemerintah, sehingga benar-benar murni pasar.
Pada kesempatan sama, Iin juga mengutarakan bahwa pihaknya kemungkinan akan menerima usulan Pertamina untuk tidak memberi kesempatan bagi investor baru yang akan bergerak di bidang hilir untuk fasilitas produksi dan distribusi milik BUMN migas tersebut. "Keputusan ini belum final. Tapi tampaknya kami akan mengikuti usulan ini, karena sejak awal Pertamina sudah merasa keberatan," jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bank Dunia pernah menulis surat kepada Menteri ESDM agar para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitas-fasilitas produksi dan distribusi milik Pertamina. Jika tidak, para pemain baru yang akan datang tidak akan kuat bersaing dengan Pertamina yang terlanjur memiliki fasilitas yang cukup lengkap.
Surat Bank Dunia ini mendapat reaksi keras dari kalangan pemerintah dan Pertamina serta beberapa lembaga swadaya masyarakat. Wakil Ketua Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas, Kardaya Warnika yang cukup berperan dalam menyusun UU migas baru mengatakan pihaknya tidak setuju dengan usulan Bank Dunia.
"Liberalisasi yang kami terapkan di sektor hilir tidak bertujuan untuk mengkerdilkan Pertamina, tapi untuk mengundang investor agar mau berinvestasi di sini. Jadi usulan mereka sulit kami terima," katanya.
Calon Investor
Menurut Iin, keputusan sementara pemerintah ini juga sudah disampaikan kepada calon investor yang datang menanyakan sikap pemerintah. Dan nyatanya, mereka bisa menerima.
"Saat ini sudah ada empat calon investor yang datang dan membuka kantor di Jakarta. Mereka mengatakan, kalau akses ke fasilitas-fasilitas itu tidak dibuka, mereka akan membangunnya sendiri, mulai dari kilang sampai depo," katanya.
Iin menolak menyebut ke empat calon investor tersebut. Namun Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir, Tubagus Haryono beberapa waktu lalu mengatakan, beberapa calon investor yang masuk di bidang hilir adalah Petronas, Shell, Total dan BP.
Konsekwensi logisnya mereka minta diberi kesempatan membuka stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) secara besar-besaran, minimal 2.000 buah. "Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengizinkan mereka, di era liberal. Jadi Pertamina juga harus berhati-hati melihat perkembangan ini, sebab berarti mereka juga akan mendapat saingan yang cukup keras," katanya.
Sementara itu, pada Minggu (19/10) Petronas mengumumkan telah membentuk anak perusahaan di Indonesia, yakni PT Petronas Niaga Indonesia. Perusahaan baru itu bergerak di bidang minyak pelumas.
Presiden dan CEO Petronas Tan Sri Dato Mohammad Hassan mengatakan, tahun 2005 nanti PT Petronas Niaga Indonesia berkeinginan masuk ke bisnis SPBU, tetapi dengan menggandeng Pertamina. (K-10)
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/21/Ekonomi/eko02.htm
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
SUARA PEMBARUAN DAILY, 21 Oktober 2003
Sudah Empat Calon Investor yang Mendaftar
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
JAKARTA - Dalam waktu yang tidak terlalu lama lagi, masyarakat Indonesia bisa mengonsumsi bahan bakar minyak (BBM) kualitas prima produksi non-Pertamina. Hal ini terjadi karena pemerintah telah membuka kesempatan bagi pemain baru yang ingin berinvestasi di bidang ini.
Namun untuk BBM yang saat ini masih disubsidi, liberalisasi tetap akan dilaksanakan tahun 2005, setelah masa transisi Pertamina berakhir.
Sementara itu, pemerintah tampaknya bakal menerima pendapat Pertamina yang keberatan jika pemain baru diberi akses terbuka menggunakan fasilitas produksi dan distribusi BUMN Migas tersebut. Namun menurut Dirjen Migas Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, Iin Arifin Takhyan, hal tersebut tidak menutup kemungkinan Pertamina menerima tekanan berat dari pemain baru.
Iin ketika berbicara dalam sarasehan sehari dengan para wartawan migas di Jakarta, Senin (20/10), mengatakan, pemerintah saat ini telah membuka kesempatan bagi para investor yang ingin memasarkan produk BBM euro I dan euro II. BBM jenis ini adalah BBM prima seperti halnya Pertamax dan Pertamax Plus produk Pertamina.
"Jadi kalau sekarang ada pemain yang mau memproduksi dan memasarkan produk itu, boleh-boleh saja, karena bisnis ini sudah dibuka," katanya. Harga komoditas ini juga tidak akan diatur oleh pemerintah, sehingga benar-benar murni pasar.
Pada kesempatan sama, Iin juga mengutarakan bahwa pihaknya kemungkinan akan menerima usulan Pertamina untuk tidak memberi kesempatan bagi investor baru yang akan bergerak di bidang hilir untuk fasilitas produksi dan distribusi milik BUMN migas tersebut. "Keputusan ini belum final. Tapi tampaknya kami akan mengikuti usulan ini, karena sejak awal Pertamina sudah merasa keberatan," jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Bank Dunia pernah menulis surat kepada Menteri ESDM agar para pemain baru diberi akses menggunakan fasilitas-fasilitas produksi dan distribusi milik Pertamina. Jika tidak, para pemain baru yang akan datang tidak akan kuat bersaing dengan Pertamina yang terlanjur memiliki fasilitas yang cukup lengkap.
Surat Bank Dunia ini mendapat reaksi keras dari kalangan pemerintah dan Pertamina serta beberapa lembaga swadaya masyarakat. Wakil Ketua Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Migas, Kardaya Warnika yang cukup berperan dalam menyusun UU migas baru mengatakan pihaknya tidak setuju dengan usulan Bank Dunia.
"Liberalisasi yang kami terapkan di sektor hilir tidak bertujuan untuk mengkerdilkan Pertamina, tapi untuk mengundang investor agar mau berinvestasi di sini. Jadi usulan mereka sulit kami terima," katanya.
Calon Investor
Menurut Iin, keputusan sementara pemerintah ini juga sudah disampaikan kepada calon investor yang datang menanyakan sikap pemerintah. Dan nyatanya, mereka bisa menerima.
"Saat ini sudah ada empat calon investor yang datang dan membuka kantor di Jakarta. Mereka mengatakan, kalau akses ke fasilitas-fasilitas itu tidak dibuka, mereka akan membangunnya sendiri, mulai dari kilang sampai depo," katanya.
Iin menolak menyebut ke empat calon investor tersebut. Namun Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hilir, Tubagus Haryono beberapa waktu lalu mengatakan, beberapa calon investor yang masuk di bidang hilir adalah Petronas, Shell, Total dan BP.
Konsekwensi logisnya mereka minta diberi kesempatan membuka stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) secara besar-besaran, minimal 2.000 buah. "Tidak ada alasan bagi pemerintah untuk tidak mengizinkan mereka, di era liberal. Jadi Pertamina juga harus berhati-hati melihat perkembangan ini, sebab berarti mereka juga akan mendapat saingan yang cukup keras," katanya.
Sementara itu, pada Minggu (19/10) Petronas mengumumkan telah membentuk anak perusahaan di Indonesia, yakni PT Petronas Niaga Indonesia. Perusahaan baru itu bergerak di bidang minyak pelumas.
Presiden dan CEO Petronas Tan Sri Dato Mohammad Hassan mengatakan, tahun 2005 nanti PT Petronas Niaga Indonesia berkeinginan masuk ke bisnis SPBU, tetapi dengan menggandeng Pertamina. (K-10)
http://www.suarapembaruan.com/News/2003/10/21/Ekonomi/eko02.htm
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Label:
Amerikanisasi,
BBM,
ekonomi,
Kedaulatan,
Nekolim
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (2)
Amerikanisasi BBM
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Kompas, Rabu, 14 Mei 2003
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
Jakarta, Kompas - Pemerintah resmi melantik Badan Pengatur (Batur) sektor hilir minyak dan gas (migas), Selasa (13/5). Pelantikan ini merupakan tonggak awal dari liberalisasi industri hilir migas di Indonesia.
Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Bisnis itu selama ini dikuasai oleh Pertamina.
Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.
Anggota Batur yang dilantik Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, antara lain Tubagus Haryono sebagai Kepala, dengan anggota meliputi Lubna Amir, Amal Ramlan Ginting, TA Nurwinakun, Iwan Faidi, Hanggono W Nugroho, Shahabudin, Hairiyati, dan Eri Purnomohadi.
Menteri ESDM mengatakan, dengan pelantikan Batur, maka peran Pertamina yang selama ini bertindak sebagai distributor BBM akan mulai berkurang. Masa transisi diperkirakan akan memakan waktu sampai tahun 2005.
Kompetisi sejajar
Direktur Hilir Pertamina Muchsin Bahar meminta pemerintah untuk menerapkan kompetisi yang sejajar pada era kompetisi. Artinya, kondisi yang membedakan Pertamina dengan pemain baru harus diperbaiki terlebih dulu.
Menurut Muchsin, sebaiknya Batur duduk bersama terlebih dahulu dengan Pertamina. Alasannya, masih banyak hal yang perlu dibicarakan dengan Pertamina sebelum Batur membuat aturan. "Pertamina sejak awal sudah cacat, bayangkan bagaimana melawan pendatang," ujar Muchsin.
Contoh kebijakan yang memberatkan Pertamina, menurut dia, adalah konsep kilang Pertamina. Khususnya dalam memproduksi minyak tanah dan solar. (BOY)
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0305/14/ekonomi/312498.htm
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Kompas, Rabu, 14 Mei 2003
(kalimat dengan bold adalah penekanan khusus dari Revrisond)
Jakarta, Kompas - Pemerintah resmi melantik Badan Pengatur (Batur) sektor hilir minyak dan gas (migas), Selasa (13/5). Pelantikan ini merupakan tonggak awal dari liberalisasi industri hilir migas di Indonesia.
Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas. Bisnis itu selama ini dikuasai oleh Pertamina.
Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga bahan bakar minyak (BBM) yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk.
Anggota Batur yang dilantik Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, antara lain Tubagus Haryono sebagai Kepala, dengan anggota meliputi Lubna Amir, Amal Ramlan Ginting, TA Nurwinakun, Iwan Faidi, Hanggono W Nugroho, Shahabudin, Hairiyati, dan Eri Purnomohadi.
Menteri ESDM mengatakan, dengan pelantikan Batur, maka peran Pertamina yang selama ini bertindak sebagai distributor BBM akan mulai berkurang. Masa transisi diperkirakan akan memakan waktu sampai tahun 2005.
Kompetisi sejajar
Direktur Hilir Pertamina Muchsin Bahar meminta pemerintah untuk menerapkan kompetisi yang sejajar pada era kompetisi. Artinya, kondisi yang membedakan Pertamina dengan pemain baru harus diperbaiki terlebih dulu.
Menurut Muchsin, sebaiknya Batur duduk bersama terlebih dahulu dengan Pertamina. Alasannya, masih banyak hal yang perlu dibicarakan dengan Pertamina sebelum Batur membuat aturan. "Pertamina sejak awal sudah cacat, bayangkan bagaimana melawan pendatang," ujar Muchsin.
Contoh kebijakan yang memberatkan Pertamina, menurut dia, adalah konsep kilang Pertamina. Khususnya dalam memproduksi minyak tanah dan solar. (BOY)
http://64.203.71.11/kompas-cetak/0305/14/ekonomi/312498.htm
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Label:
Amerikanisasi,
BBM,
ekonomi,
Kedaulatan,
Nekolim
Imperialisme Amerika di Sektor Migas Indonesia (1)
Amerikanisasi BBM (artikel Revrisond Baswir)
Indonesia tampaknya benar-benar sedang menjadi sasaran empuk campur tangan Amerika. Ibarat adonan roti, melalui beberapa lembaga keuangan dan pendanaan internasional yang secara langsung dan tidak langsung berada di bawah kekuasaannya, Indonesia kini seperti sedang diremas-remas oleh Amerika untuk dibentuk menjadi donat atau roti keju.
Simak misalnya keributan di seputar kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan. Jika ditelusuri ke belakang, boleh dikatakan hampir pada semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM ini, sarat dengan campur tangan Amerika.
Memang benar, kenaikan harga BBM bukan hal baru bagi Indonesia. Tetapi bila disimak motivasinya, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan, motivasinya jelas sangat berbeda dari motivasi kenaikan harga BBM yang terjadi pada masa sebelumnya.
Sebab itu, para pejabat pemerintah boleh saja mengemukakan 1001 alasan mengenai penyebab ‘terpaksa’ dinaikkannya harga BBM. Tetapi sesuai dengan UU Migas No. 22/2001, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan mustahil dapat dipisahkan dari tengah berlangsungnya apa yang disebut sebagai liberalisasi industri migas di negeri ini.
Artinya, berbeda dengan kenaikan harga BBM sebelum 2001, kenaikkan harga BBM yang terjadi belakang secara tegas digerakkan oleh motivasi untuk menghapuskan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional.
Pertanyaannya, mengapa industri migas harus diliberalisasikan, dan mengapa pula harga BBM harus disesuaikan dengan harga pasar internasional?
Jawabannya sangat sederhana. Sebagaimana dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, tujuannya antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi asing ke sektor hilir industri migas di sini.
Sebagaimana dikatakannya, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas..... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk,” (Kompas, 14 Mei 2003).
Karena diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, tidak aneh bila hampir semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM, sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika.
Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development), mengenai kegiatannya dalam reformasi sektor energi di Indonesia, “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…” Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000,” (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html).
Berdasarkan kedua kutipan tersebut, dapat disaksikan betapa telah sangat jauhnya pihak asing, khsusunya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia. Selain itu, dapat disaksikan pula betapa telah sangat berkembangnya tradisi untuk menyerahkan penyusunan rancangan undang-undang (RUU) kepada pihak asing di negeri ini.
Sebagaimana diketahui, keterlibatan asing dalam penyusunan RUU tidak hanya dialami oleh UU Migas. Tetapi dialami pula oleh UU Kelistrikan, UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan beberapa produk perundang-undangan lainnya. RUU Kelistrikan disusunkan oleh Bank Dunia, sedangkan RUU BUMN disusunkan oleh Price Waterhouse Coopers.
Selanjutnya, khusus mengenai kenaikan harga BBM, simaklah pernyataan USAID mengenai keterlibatan Bank Dunia berikut, “Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring.”
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila dalam iklan layanan masyarakat yang diterbitkan pemerintah dalam rangka sosialisasi penghapusan subsidi BBM, ditemukan sebuah grafik yang berjudul “Kelompok terkaya menikmati subsidi BBM terbesar,” yang datanya ternyata berasal dari hasil studi Bank Dunia.
Bagaimana halnya dengan kajian dampak ekonomi kenaikan harga BBM? Sebagaimana terungkap dalam sebuah laporan yang berjudul “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM,” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen ESDM pada Desember 2001, kajian tersebut ternyata dibiayai oleh AUSAID (Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia.
Sesuai dengan informasi yang tersaji dalam kajian tersebut, kecuali harga premium yang pada 2001 dipandang sudah sesuai dengan harga pasar, pemerintah ternyata telah mengembangkan tiga skenario mengenai pelepasan harga BBM ke pasar.
Skenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.
Jika ditanyakan mengenai siapa yang tengah harap-harap cemas menanti tuntasnya pelepasan harga BBM ke pasar itu, selain beberapa perusahaan migas domestik, sekali lagi di sini kita akan bertemu dengan beberapa perusahaan migas asing, termasuk dari Amerika.
Sebagaimana dikemukakan Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Pertanyaannya, apakah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ada sekarang ini akan membiarkan saja berlangsungnya proses Amerikanisasi BBM tersebut? Jawabannya, wallahu a’lam.
(Artikel Revrisond diatas disampaikan pada diskusi di Walhi termasuk seri artikel terkait sampai dengan seri 7, sdangkan seri 8 adalah tambahan pengelola blog ruang asa. Revrisond memberikan penekanan pada kalimat yang di tandai dengan penebalan-bold)
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Indonesia tampaknya benar-benar sedang menjadi sasaran empuk campur tangan Amerika. Ibarat adonan roti, melalui beberapa lembaga keuangan dan pendanaan internasional yang secara langsung dan tidak langsung berada di bawah kekuasaannya, Indonesia kini seperti sedang diremas-remas oleh Amerika untuk dibentuk menjadi donat atau roti keju.
Simak misalnya keributan di seputar kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan. Jika ditelusuri ke belakang, boleh dikatakan hampir pada semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam menaikkan harga BBM ini, sarat dengan campur tangan Amerika.
Memang benar, kenaikan harga BBM bukan hal baru bagi Indonesia. Tetapi bila disimak motivasinya, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan, motivasinya jelas sangat berbeda dari motivasi kenaikan harga BBM yang terjadi pada masa sebelumnya.
Sebab itu, para pejabat pemerintah boleh saja mengemukakan 1001 alasan mengenai penyebab ‘terpaksa’ dinaikkannya harga BBM. Tetapi sesuai dengan UU Migas No. 22/2001, kenaikan harga BBM yang terjadi belakangan mustahil dapat dipisahkan dari tengah berlangsungnya apa yang disebut sebagai liberalisasi industri migas di negeri ini.
Artinya, berbeda dengan kenaikan harga BBM sebelum 2001, kenaikkan harga BBM yang terjadi belakang secara tegas digerakkan oleh motivasi untuk menghapuskan subsidi BBM dan melepaskan harga BBM sesuai dengan harga pasar internasional.
Pertanyaannya, mengapa industri migas harus diliberalisasikan, dan mengapa pula harga BBM harus disesuaikan dengan harga pasar internasional?
Jawabannya sangat sederhana. Sebagaimana dikemukakan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Purnomo Yusgiantoro, tujuannya antara lain adalah untuk merangsang masuknya investasi asing ke sektor hilir industri migas di sini.
Sebagaimana dikatakannya, “Liberalisasi sektor hilir migas membuka kesempatan bagi pemain asing untuk berpartisipasi dalam bisnis eceran migas..... Namun, liberalisasi ini berdampak mendongkrak harga BBM yang disubsidi pemerintah. Sebab kalau harga BBM masih rendah karena disubsidi, pemain asing enggan masuk,” (Kompas, 14 Mei 2003).
Karena diniatkan untuk mengundang masuknya investor asing, tidak aneh bila hampir semua aspek perumusan kebijakan pemerintah dalam melakukan liberalisasi industri migas dan menaikkan harga BBM, sarat dengan campur tangan asing, khususnya Amerika.
Simak, misalnya, pernyataan USAID (United States Agency for International Development), mengenai kegiatannya dalam reformasi sektor energi di Indonesia, “USAID has been the primary bilateral donor working on energy sector reform.…” Khusus mengenai penyusunan UU Migas, USAID secara terbuka menyatakan, “The ADB and USAID worked together on drafting a new oil and gas law in 2000,” (http://www.usaid.gov/pubs/cbj2002/ane/id/497-013.html).
Berdasarkan kedua kutipan tersebut, dapat disaksikan betapa telah sangat jauhnya pihak asing, khsusunya Amerika, terlibat dalam penyusunan kebijakan industri migas di Indonesia. Selain itu, dapat disaksikan pula betapa telah sangat berkembangnya tradisi untuk menyerahkan penyusunan rancangan undang-undang (RUU) kepada pihak asing di negeri ini.
Sebagaimana diketahui, keterlibatan asing dalam penyusunan RUU tidak hanya dialami oleh UU Migas. Tetapi dialami pula oleh UU Kelistrikan, UU Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan beberapa produk perundang-undangan lainnya. RUU Kelistrikan disusunkan oleh Bank Dunia, sedangkan RUU BUMN disusunkan oleh Price Waterhouse Coopers.
Selanjutnya, khusus mengenai kenaikan harga BBM, simaklah pernyataan USAID mengenai keterlibatan Bank Dunia berikut, “Complementing USAID efforts, the World Bank has conducted comprehensive studies of the oil and gas sector, pricing policy, and provided assistance to the State electric company on financial and corporate restructuring.”
Dengan latar belakang seperti itu, mudah dimengerti bila dalam iklan layanan masyarakat yang diterbitkan pemerintah dalam rangka sosialisasi penghapusan subsidi BBM, ditemukan sebuah grafik yang berjudul “Kelompok terkaya menikmati subsidi BBM terbesar,” yang datanya ternyata berasal dari hasil studi Bank Dunia.
Bagaimana halnya dengan kajian dampak ekonomi kenaikan harga BBM? Sebagaimana terungkap dalam sebuah laporan yang berjudul “Kajian Dampak Ekonomi Kenaikan Harga BBM,” yang diterbitkan oleh Pusat Studi Energi, Departemen ESDM pada Desember 2001, kajian tersebut ternyata dibiayai oleh AUSAID (Australia Agency for International Development), melalui International Trade Strategies (ITS) Pte. Ltd., Australia.
Sesuai dengan informasi yang tersaji dalam kajian tersebut, kecuali harga premium yang pada 2001 dipandang sudah sesuai dengan harga pasar, pemerintah ternyata telah mengembangkan tiga skenario mengenai pelepasan harga BBM ke pasar.
Skenario pertama, semua harga BBM dilepaskan ke pasar pada 2004. Skenario kedua, harga diesel dan minyak bakar dilepas ke pasar pada 2004, sedangkan harga minyak tanah dan solar pada 2007. Skenario ketiga, harga diesel dan minyak bakar dilepaskan ke pasar pada 2004, solar pada 2007, dan minyak tanah pada 2010.
Jika ditanyakan mengenai siapa yang tengah harap-harap cemas menanti tuntasnya pelepasan harga BBM ke pasar itu, selain beberapa perusahaan migas domestik, sekali lagi di sini kita akan bertemu dengan beberapa perusahaan migas asing, termasuk dari Amerika.
Sebagaimana dikemukakan Direktur Jenderal Migas Departemen ESDM, Iin Arifin Takhyan, saat ini terdapat 105 perusahaan yang sudah mendapat izin untuk bermain di sektor hilir migas, termasuk membuka stasiun pengisian BBM untuk umum (SPBU) (Trust, edisi 11/2004). Di antaranya adalah perusahaan migas raksasa seperti British Petrolium (Amerika-Inggris), Shell (Belanda), Petro China (RRC), Petronas (Malaysia), dan Chevron-Texaco (Amerika).
Pertanyaannya, apakah para anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang ada sekarang ini akan membiarkan saja berlangsungnya proses Amerikanisasi BBM tersebut? Jawabannya, wallahu a’lam.
(Artikel Revrisond diatas disampaikan pada diskusi di Walhi termasuk seri artikel terkait sampai dengan seri 7, sdangkan seri 8 adalah tambahan pengelola blog ruang asa. Revrisond memberikan penekanan pada kalimat yang di tandai dengan penebalan-bold)
Dokuman Terkait :
Nekolim : Amerikanisasi BBM (1)
Amerikanisasi BBM : Revrisond Baswir
Nekolim : Amerikanisasi BBM (2)
Badan Pengatur Hilir Terbentuk Menjelang Liberalisasi Migas
Nekolim : Amerikanisasi BBM (3)
Diizinkan, Produsen BBM Non-Pertamina
Nekolim : Amerikanisasi BBM (4)
Mulai 2005 Harga BBM Diserahkan ke Pasar
Nekolim : Amerikanisasi BBM (5)
Aturan Main Distribusi BBM Swasta Selesai April
Nekolim : Amerikanisasi BBM (6)
Ramai-Ramai Jualan Bensin
Nekolim : Amerikanisasi BBM (7)
Dokumen Proyek Bantuan USAID Untuk Energy Sector Reform
Nekolim : Amerikanisasi BBM (8)
Pinjaman Bank Dunia Untuk Penghapusan Subsidi BBM
Label:
Amerikanisasi,
BBM,
ekonomi,
Kedaulatan,
Nekolim
Rabu, 11 Juni 2008
Ekofeminis di Indonesia, Apakah Ada?
Oleh Khalisah Khalid
SWARA
Kompas Senin, 12 Mei 2008 | 01:08 WIB
Werima Mananta adalah sosok perempuan biasa yang setiap hari berkebun dan melakukan pekerjaan domestik dalam kehidupan sehari-harinya jauh di Sorowako Sulawesi Selatan. Namun, ada yang tidak biasa dalam sosok dirinya. Dengan kebersahajaannya, tersimpan kecerdasan luar biasa dan nilai hidup yang jauh begitu mulia dalam memaknai ruang hidupnya.
Itulah kesan mendalam yang saya dapatkan selama satu minggu tinggal bersama dia di rumah mungilnya yang tidak mendapatkan fasilitas listrik, di tanah Karonsi’e yang artinya lumbung utama. Sebelum ada industri pertambangan di sana, wilayah Dongi Karonsi’e begitu subur dan selalu menghasilkan panen padi melimpah.
Bagi Werima, tanah kelahiran adalah entitas ruang hidup, bukan komoditas yang bisa dijual-beli, apalagi dipertukarkan. Itulah yang mendasari mengapa tubuhnya yang mulai renta dimakan usia melakukan reclaiming dan dia berkebun di atas tanah nenek moyangnya yang telah diokupasi perusahaan tambang nikel skala internasional milik Kanada. Perusahaan itu menguras sumber daya alamnya tidak kurang dari 30 tahun lamanya dan mengubah tanah pertanian milik masyarakat Dongi Koronsi’e menjadi lapangan golf dan permukiman elite sebagai sarana fasilitas perusahaan kepada karyawan.
Warima Mananta mungkin tidak sekaliber Vandana Shiva dengan segala pemikirannya tentang ekofiminisme. Vandana Shiva melihat kenyataan yang dialami Dunia Ketiga: pembangunan melahirkan mitos yang semakin menempatkan warganya pada kondisi tidak adil, terutama dalam potret pembangunan yang dipraktikkan negara-negara Utara yang melanggengkan kekerasan psikis, ekonomi, dan fisik.
Ekofeminis lahir didasari kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai ibu telah dieksploitasi, dijarah, dan dirusak sistem kapitalisme yang berkuasa dengan melanggengkan budaya patriarkhi dan feodalisme. Ekofeminis lahir untuk menjawab kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan.
Bumi adalah ibu
Bagi perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan korporasi yang didukung lembaga keuangan internasional dan pengurus negara. Perempuan adalah tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam karena itulah perempuan kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap risiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.
Akses dan kontrol perempuan hilang akibat sumber daya alam yang ada sudah tidak dapat dikelola lagi. Misalnya, membuat anyaman dari rotan dan daun pandan seperti tikar, bakul, dan tas. Aktivitas khas lain seperti penyadap damar, upacara adat, dan kerja gotong royong di ladang atau sawah tidak lagi bisa dilakukan perempuan.
Ekofeminisme sesungguhnya adalah cara pandang menganalisis persoalan lingkungan hidup dengan menggunakan pisau analisis feminis. Di sini feminis menilai akar persoalan, dampak yang ditimbulkan, khususnya spesifik pada kelompok rentan antara lain perempuan, dan apa yang mendasari gerakan ini untuk terus besar dan meluas.
Walaupun dengan bahasa sederhana dan mungkin tidak terdengar heroik, yang dipraktikkan Werima dan perempuan-perempuan lain dalam melawan praktik merugikan ibu bumi industri tambang di Indonesia telah mengajarkan bahwa ada proses ketidakadilan yang dipertontonkan industri pertambangan yang meraup keuntungan 513,35 juta dollar AS pada tahun 2006.
Praktik ekofeminisme
Werima Mananta, mewakili perempuan di Indonesia, melihat ketidakadilan yang dialaminya sebagai relasi yang utuh atas ketidakadilan yang dibangun oleh sistem kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Werima memperlihatkan, perempuan sebagai korban yang lebih rentan sesungguhnya memiliki kekuatan dan bisa memperjuangkan hak-haknya dengan cara yang diyakininya dan pengalamannya yang khas sebagai perempuan. Merebut tanah dengan membangun kampung halaman serta melakukan revitalisasi terhadap aset-aset adat dan pengetahuan adat secara turun-temurun menjadi pilihan sadar yang ditempuh Werima bersama dengan perempuan-perempuan Dongi Karonsi’e lain.
Bagi saya, meskipun tidak menuliskan pandangan hidupnya dalam buku sebagaimana Vandana Shiva, apa yang dipraktikkan Werima adalah penghayatan seorang ekofeminis. Cara pandang dan nilai hidup yang banyak diyakini perempuan di pelosok-pelosok Tanah Air yang sedang berjuang merebut ruang keadilan ekologi, keadilan keberlanjutan kehidupan yang secara sederhana mempratikkan nilai-nilai ekofeminisme dalam hidupnya.
Bukankah yang terpenting bagaimana kita memaknai ekofeminisme bukan hanya dalam kata melainkan juga dalam cara bertindak kita dalam melihat keberlanjutan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya.
SWARA
Kompas Senin, 12 Mei 2008 | 01:08 WIB
Werima Mananta adalah sosok perempuan biasa yang setiap hari berkebun dan melakukan pekerjaan domestik dalam kehidupan sehari-harinya jauh di Sorowako Sulawesi Selatan. Namun, ada yang tidak biasa dalam sosok dirinya. Dengan kebersahajaannya, tersimpan kecerdasan luar biasa dan nilai hidup yang jauh begitu mulia dalam memaknai ruang hidupnya.
Itulah kesan mendalam yang saya dapatkan selama satu minggu tinggal bersama dia di rumah mungilnya yang tidak mendapatkan fasilitas listrik, di tanah Karonsi’e yang artinya lumbung utama. Sebelum ada industri pertambangan di sana, wilayah Dongi Karonsi’e begitu subur dan selalu menghasilkan panen padi melimpah.
Bagi Werima, tanah kelahiran adalah entitas ruang hidup, bukan komoditas yang bisa dijual-beli, apalagi dipertukarkan. Itulah yang mendasari mengapa tubuhnya yang mulai renta dimakan usia melakukan reclaiming dan dia berkebun di atas tanah nenek moyangnya yang telah diokupasi perusahaan tambang nikel skala internasional milik Kanada. Perusahaan itu menguras sumber daya alamnya tidak kurang dari 30 tahun lamanya dan mengubah tanah pertanian milik masyarakat Dongi Koronsi’e menjadi lapangan golf dan permukiman elite sebagai sarana fasilitas perusahaan kepada karyawan.
Warima Mananta mungkin tidak sekaliber Vandana Shiva dengan segala pemikirannya tentang ekofiminisme. Vandana Shiva melihat kenyataan yang dialami Dunia Ketiga: pembangunan melahirkan mitos yang semakin menempatkan warganya pada kondisi tidak adil, terutama dalam potret pembangunan yang dipraktikkan negara-negara Utara yang melanggengkan kekerasan psikis, ekonomi, dan fisik.
Ekofeminis lahir didasari kondisi di mana bumi yang digambarkan sebagai ibu telah dieksploitasi, dijarah, dan dirusak sistem kapitalisme yang berkuasa dengan melanggengkan budaya patriarkhi dan feodalisme. Ekofeminis lahir untuk menjawab kebutuhan penyelamatan bumi dengan berbasiskan pada kekhasan perempuan yang selama ini memiliki pengetahuan dalam mengelola lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupan.
Bumi adalah ibu
Bagi perempuan, bumi adalah ibu yang harus diselamatkan dari ancaman kerusakan yang dilakukan korporasi yang didukung lembaga keuangan internasional dan pengurus negara. Perempuan adalah tangan pertama yang bersentuhan dengan sumber daya alam karena itulah perempuan kemudian menjadi kelompok yang lebih rentan terhadap risiko dan dampak kerusakan lingkungan hidup.
Akses dan kontrol perempuan hilang akibat sumber daya alam yang ada sudah tidak dapat dikelola lagi. Misalnya, membuat anyaman dari rotan dan daun pandan seperti tikar, bakul, dan tas. Aktivitas khas lain seperti penyadap damar, upacara adat, dan kerja gotong royong di ladang atau sawah tidak lagi bisa dilakukan perempuan.
Ekofeminisme sesungguhnya adalah cara pandang menganalisis persoalan lingkungan hidup dengan menggunakan pisau analisis feminis. Di sini feminis menilai akar persoalan, dampak yang ditimbulkan, khususnya spesifik pada kelompok rentan antara lain perempuan, dan apa yang mendasari gerakan ini untuk terus besar dan meluas.
Walaupun dengan bahasa sederhana dan mungkin tidak terdengar heroik, yang dipraktikkan Werima dan perempuan-perempuan lain dalam melawan praktik merugikan ibu bumi industri tambang di Indonesia telah mengajarkan bahwa ada proses ketidakadilan yang dipertontonkan industri pertambangan yang meraup keuntungan 513,35 juta dollar AS pada tahun 2006.
Praktik ekofeminisme
Werima Mananta, mewakili perempuan di Indonesia, melihat ketidakadilan yang dialaminya sebagai relasi yang utuh atas ketidakadilan yang dibangun oleh sistem kapitalistik dengan jargon pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Werima memperlihatkan, perempuan sebagai korban yang lebih rentan sesungguhnya memiliki kekuatan dan bisa memperjuangkan hak-haknya dengan cara yang diyakininya dan pengalamannya yang khas sebagai perempuan. Merebut tanah dengan membangun kampung halaman serta melakukan revitalisasi terhadap aset-aset adat dan pengetahuan adat secara turun-temurun menjadi pilihan sadar yang ditempuh Werima bersama dengan perempuan-perempuan Dongi Karonsi’e lain.
Bagi saya, meskipun tidak menuliskan pandangan hidupnya dalam buku sebagaimana Vandana Shiva, apa yang dipraktikkan Werima adalah penghayatan seorang ekofeminis. Cara pandang dan nilai hidup yang banyak diyakini perempuan di pelosok-pelosok Tanah Air yang sedang berjuang merebut ruang keadilan ekologi, keadilan keberlanjutan kehidupan yang secara sederhana mempratikkan nilai-nilai ekofeminisme dalam hidupnya.
Bukankah yang terpenting bagaimana kita memaknai ekofeminisme bukan hanya dalam kata melainkan juga dalam cara bertindak kita dalam melihat keberlanjutan lingkungan hidup dan sumber-sumber kehidupannya.
Label:
ekofeminisme,
lingkungan,
perempuan,
werima mananta
Selasa, 10 Juni 2008
Krisis Kapitalisme Sektor Industri Kehutanan (Pulp)
oleh: Deddy Ratih - Ketua Biro Organisasi DPP SHI, anggota Sarekat Hijau Indonesia, wilayah Kalsel
Dalam beberapa waktu terakhir sektor industri kehutanan Indonesia, khususnya pada industri pulp di Riau mengalami krisis yang akar penyebabnya disebutkan karena terjadi praktek illegal logging dalam pemenuhan bahan baku sektor industri tersebut.
Sebagaimana lazimnya industri dan praktek kapitalisme selama ini yang menggunakan sumberdaya alam sebagai bahan baku utama proses produksinya, produksi sektor industri kehutanan memandang alam sebagai sumber bahan baku yang tidak pernah habis, hutan dipahami sebagai sumber bahan baku produksi yang secara alamiah melakukan regenerasi dan hal ini menyebabkan proses produksi di sektor kehutanan juga merupakan proses destruksi. Atau tepatnya destruksi menjadi syarat bagi terselenggaranya produksi, ini bisa dilihat dari percepatan luas kerusakan hutan, luas konversi hutan serta luasan pemberian ijin HTI di Indonesia. Sejak awal pencanangan sumber daya hutan sebagai obyek pembalakan komersial di tahun 1967 sampai saat sekarang, sistem pembalakan hutan dalam aras legal-formal negara adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). [1] Sekitar 62 juta hektar kawasan hutan dialokasikan bagi 585 izin HPH. Menurut dokumen resmi pemerintah dan perusahaan, HPH-HPH tersebut menghasilkan 612 juta meter kubik kayu bulat sepanjang periode 1970-1999, atau rata-rata 20,4 juta meter kubik per tahun. [2] Tetapi, hasil analisis pengamat dan investigasi-olah data aktivis lingkungan diyakini sesungguhnya angka riil pembalakan oleh HPH dua kali lipat dari angka di dalam dokumen resmi tersebut. Dengan laju kerusakan yang sangat cepat 3,8 juta hektar per tahun, total kerusakan hutan mencapai 101,73 juta hektar sampai tahun 2003. Untuk kawasan Hutan Produksi, termasuk HPH dan HTI, mengalami kerusakan seluas 44,42 juta hektar (lebih dari 70% total kawasan Hutan Produksi). Sementara kerusakan di kawasan hutan lindung sebesar 10,52 juta hektar dan kawasan hutan konservasi sebesar 4,69 juta hektar.
Salah satu industri yang sangat besar mengkonsumsi kayu saat ini adalah industri pulp dan kertas. Sebagian besar industri pulp-paper dan HTI, beroperasi di Pulau Sumatera. Dari 7 pabrik pulp-paper yang operasional, 6 buah berada di Pulau Sumatera (PT Kertas Kraft/Aceh, PT Toba Pulp Lestari/Sumatera Utara, PT Indah Kiat dan PT Riau Andalan Pulp-Paper/Riau, PT Lontar Papyrus/Jambi dan PT Musi Hutan Persada/Sumatera Selatan) dan juga terdapat sekitar 47 buah HTI. Dari sisi kuantitas produksi dan luas kawasan HTI yang mereka kuasai sangatlah besar.[3] Melihat dari kebutuhan bahan baku yang demikian besar (sekitar 20 juta meter kubik per tahun, sementara kemampuan pasok hutan baik yang berasal dari hutan alam maupun HTI hanya 15,4 juta meter kubik pertahun), maka sudah pasti yang terjadi adalah krisis bahan baku. Hal ini terlihat dalam kasus krisis bahan baku industri pulp di Riau.
Dengan merujuk pada pendapat Andre Gorz, tingkatan-tingkatan yang terjadi dalam krisis sektor industri pulp ini dapat uraikan sebagaimana berikut :
A. Krisis Overakumulasi.
Dimana ketika mencapai tahap lanjut, perkembangan kapitalisme bertumpu pada proses penggantian para pekerja oleh mesin-mesin. Persoalannya mesin-mesin tersebut ternyata membutuhkan biaya yang tinggi untuk dapat berproduksi. Investasi modal yang direpresentasikan harus menghasilkan keuntungan, yang berarti para investor mengharapkan pemasukan yang lebih besar dari pada biaya yang mereka keluarkan untuk memasang mesin-mesin tersebut. Karena fungsinya untuk memproduksi surplus, mesin-mesin itu juga merupakan modal dan logika dari kapital tentu saja untuk mengejar pertumbuhan. Bertumbuh atau Binasa, efisiensi mesin-mesin yang dapat menghasilkan volume produksi yang sama tetapi membutuhkan lebih sedikit pekerja untuk mengoperasikannya (Peningkatan Produktivitas).
Dalam perhitungan biaya produksi, ongkos untuk membayar upah pekerja akan semakin kecil sementara biaya kapitalisasi akan semakin meningkat. Atau dengan kata lain, industri akan semakin bersifat modal-intensif (memakai jumlah kapital yang lebih besar untuk memproduksi jumlah volume yang sama). Industri harus menghasilkan jumlah keuntungan yang besar untuk menggantikan atau memperbaharui mesin-mesin produksi dan pada saat yang bersamaan memberikan kompensasi atas investasi modal pada tingkat bunga yang memuaskan para kreditor. Cepat atau lambat tingkat rata-rata keuntungan akan menurun. Modal dalam jumlah besar akan digunakan untuk menghasilkan komuditas dalam volume yang sama, semakin banyak keuntungan yang berkurungan dihubungkan dengan kapital yang digunakan. Produksi tidak dapat terus menerus meningkat, tanpa suatu ketika mencapai suatu batas. Ketika tingkat keuntungan mulai menurun, keseluruhan sistem akan lumpuh dan penurunan produksi secara progresif akan menyebar. Overakumulasi berdasarkan terminologi yang berbeda dengan terminologi ekonomi umum menunjukan bagian dari modal dalam proses produksi telah menjadi sedemikian besar, komposisi organiknya demikian tinggi sehingga ia tidak dapat mereproduksi dirinya lagi pada tingkat pertumbuhan normal. Produktivitas modal mengalami penyusutan. Nilai dari modal tetap, yang tidak dapat dibuat untuk menghasilkan profit secukupnya turun ketitik nol. Modal tersebut akan musnah, implikasinya buruh-buruh akan di PHK. Sistem mengalami krisis.!
Untuk menghindari krisis tersebut perusahaan berusaha secara konsisten melawan tendensi keruntuhan tingkat keuntungan dengan melalui, meningkatkan jumlah barang-barang yang terjual atau meningkatkan kapasitas produksi, dan atau menaikkan harga barang. Ini bisa dilihat dari Volume produksi pulp Indonesia selama 1998—2002 meningkat signifikan. Jika pada 1998 volume produksinya 3,4 juta ton, pada 2002 sudah 5 juta ton. Hingga 2005, volume produksi pulp mencapai 5,4 juta ton. Bahkan selama 1998—2005 volume ekspornya cenderung meningkat dengan laju 9,72%. Di sisi lain, jika pada 2000 ekspor pulp meningkat menjadi 1,3 juta ton dan disisi harga terjadi kenaikan harga kertas dunia. Saat ini harga pulp mencapai US$600 per ton (sebelumnya US$300 per ton), sementara harga kertas US$800 per ton dan bisa naik lagi.
Perkembangan Kapitalisme tentu saja berusaha menghindari jatuhnya tingkat keuntungan dan kejenuhan pasar dengan mempercepat perputaran modal, pada saat yang bersamaan ia malah menciptakan bentuk-bentuk kelangkaan baru, ketidak puasan baru dan bentuk kemiskinan yang baru lagi.
Krisis bahan baku (Kayu) dalam industri sektor pulp di Riau mengungkapkan fakta bahwa perkembangan kapitalisme menciptakan kelangkaan yang bersifat absolut; ketika mencoba untuk mengatasi hambatan ekonomi untuk mengejar pertumbuhan, Kapitalisme sumberdaya alam telah memunculkan hambatan-hambatan fisik bagi dirinya sendiri.
B. Krisis Re-produksi
Dalam sistem kapitalisme, kelangkaan absolut biasanya terefleksikan dalam situasi harga yang membumbung tinggi sebelum munculnya kelangkaan secara fisik. Bila mengikut pada dogma liberal/neo-klasik, pada saat harga naik maka produksipun akan dinaikkan. Tapi untuk Kayu (hutan), barang tersebut tidak dapat dibuat, ia menjadi langka karena hanya tersedia dalam jumlah terbatas di alam. Meningkatnya harga kayu hanya akan mempercepat krisis ekonomi atau justru akan membuatnya semakin buruk, karena kayu akan memberi kontribusi pada jatuhnya tingkat profit dalam 2 cara, pertama dalam kasus kayu, ketika ia menjadi barang langka maka harus dilakukan dengan segera pendaur ulangan persediaan yang ada dalam hal ini harus dibangun atau dibuat hutan baru (misal HTI). Kedua kebutuhan untuk mendaur ulang kayu mempunyai efek signifikan secara ekonomi. Ini karena beban ekonomi yang harus ditanggung yang disebabkan oleh kebutuhan untuk memproduksi barang atau bahan baku yang dulu bisa didapat atau diperoleh dengan gratis di alam. Kebutuhan ini harus dijawab dengan membangun “kebun kayu” yang membutuhkan biaya dan dimasukkan dalam ongkos produksi yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga industri harus mengalokasikan investasi baru untuk hal tersebut. Industri Pulp memang padat modal. Untuk membangun pabrik berkapasitas 1 juta ton butuh investasi US$1 miliar dan waktu 7—8 tahun guna menyiapkan tanamannya hingga panen.
Penyebab dan karakteristik paradoksal dari krisis kayu yang sedang terjadi saat ini, mengesampingkan situasi overkapasitas, turunnya tingkat keuntungan, juga resesi yang terjadi. Investasi sektor pulp tetap berada pada level yang paling tinggi dan harga produk industri tersebut terus meningkat. Krisis ini tidak bisa terjawab dengan teori ekonomi tradisional, pardoks-paradok yg terjadi diluar penalaran ekonomi tradisional karena semua ini hanya bisa dimengerti dengan meninjau konteks realitas fisik yang mendasari terjadinya krisis kayu tersebut.
Ada dua hal yang melatar belakangi krisis industri kehutanan khususnya sektor pulp saat ini, yaitu :
1. Dalam menghindari krisis over-akumulasi, industri yang sangat bergantung pada sumberdaya alam kayu ini malah mempercepat kerusakan sumberdaya alam tersebut karena ia mengkonsumsi sumberdaya alam tersebut secara berlebihan dalam kecepatan yang berakibat pada kelangkaan bahan baku kayu tersebut.
2. Saat berhadapan dengan kekurangan sumber bahan baku kayu, industri dalam upaya menciptakan solusi bagi kelangkaan bahan baku malah meningkatkan produksi dengan cara mempertinggi kapasitas produksi, dalam kasus Riau, industri pulp meningkatkan kapasitas produksinya dari 1 juta ton/thn menjadi 2 juta ton/thn. Walau Industri berusaha untuk mendaur ulang bahan baku, namun dalam upaya mendaur ulang bahan baku, industri menciptakan produk (kayu/HTI) yang bukan merupakan proses akhir dari industri tersebut, atau dengan kata lain tidak dimasukan dalam konsumsi final, produk itu dikonsumsi oleh industri itu sendiri.
Upaya untuk mempertahankan keseimbangan antara produksi dan konsumsi dilakukan upaya pengalihan kepada pengeluaran untuk produk akhir. Ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan industri tersebut dari hutan alam dan upaya itu bisa dilihat dari semakin besarnya konversi hutan untuk HTI. Luasan konsesi Pembangunan HTI dalam kurun waktu 15 tahun mencatat angka fantastis, dari 5 juta hektar pada tahun 1998, menjadi 7,4 juta hektar pada tahun 1999, kemudian pada tahun 2004 luasnya telah mencapai lebih dari 8 juta hektar. Bersamaan dengan itu, kapasitas industri pulp-paper, sebagai industri hilir HTI, juga terus menanjak naik, dari 3,9 juta ton di tahun 1997, melompat ke angka 8,3 juta ton di tahun 2001, namun sangat disayangkan efektivitas dari perluasan konsesi tersebut dengan pembangunan HTI tidak berjalan sebagaimana mestinya, dimana penanaman yang dilakukan tidak mencapai 50% dari total luasan konsesi tersebut.
Dalam kondisi menurunnya seluruh efisiensi sistem, upaya perubahan relasi-relasi kepemilikanpun misal melalui nasionalisasi tidak mampu untuk memperbaiki penurunan efisiensi tersebut. Hal yang paling mungkin terjadi dari peralihan relasi kepemilikan itu adalah memfasilitasi peralihan sumberdaya dari konsumsi ke investasi. Nasionalisasi pada situasi ini tidak akan mampu menimbulkan fase baru akan suatu pertumbuhan yang berkelanjutan dalam konsumsi material karena rintangan yang muncul saat ini telah menjadi sesuatu yang sifatnya substantif. Namun Nasionalisasi bisa didorong atau dilakukan untuk memposisikan industri ekstraktif yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak (rakyat) dari kepemilikan para investor (pemodal) menjadi berada dibawah tanggung jawab negara.
Dengan kata lain, krisis yang terjadi pada sektor industri pulp di Riau, atau krisi industri kehutanan di Indonesia saat ini merupakan suatu bentuk Krisis Kapitalisme, dimana kita saat ini sedang menghadapi suatu bentuk krisis over-akumulasi yang diperparah lagi oleh krisis reproduksi sehingga sebagaimana mestinya krisis tersebut mengarah pada semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya alam kayu. Solusinya tidak pada pemulihan ekonomi tetapi pada pembalikan logika kapitalisme. Sebagaimana kita ketahui Logika Kapitalisme adalah pergerakan menuju pada maksimalisasi profit. Jawabannya adalah menuju pada produksi yang subsistem, menciptakan kebutuhan-kebutuhan sesedikit mungkin, memuaskannya dengan pembelajaan terkecil atas material, energi dan kerja dan memberikan beban yang paling kecil terhadap lingkungan. Alternatif yang paling mungkin ditawarkan adalah, pemisahan antara pemilik industri dengan pemilik “kebun kayu”, industri yang saat ini ada sebaiknya hanya untuk pemenuhan kebutuhan dlm negeri (subsistem), menghentikan pembangunan industri sejenis atau tidak memberikan ijin baru lagi untuk pembangunan industri pulp agar tidak terjadi persaingan dalam pemenuhan bahan baku, selain itu juga tidak lagi mengkonversi Hutan Alam menjadi Hutan Tanaman Industri.
---
[1] Untuk menjamin legalitas konversi hutan alam bagi dua sistem pembalakan hutan ini, pemerintah Indonesia membagi kawasan hutan dalam berbagi jenis. Untuk HPH/HPHTI diizinkan melakukan konversi diatas jenis hutan produksi dan hutan produksi terbatas.
[2] Christopher Barr, Reformasi Konsesi HPH : Mempertanyakan Paradigma “Pembalakan Lestari” (Sustainable Logging), 2003.
[3] Total kapasitas terpasang 6 pabrik pulp-paper di Sumatera sekitar 5 juta ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku sekitar 20 juta meter kubik per tahun.
Dalam beberapa waktu terakhir sektor industri kehutanan Indonesia, khususnya pada industri pulp di Riau mengalami krisis yang akar penyebabnya disebutkan karena terjadi praktek illegal logging dalam pemenuhan bahan baku sektor industri tersebut.
Sebagaimana lazimnya industri dan praktek kapitalisme selama ini yang menggunakan sumberdaya alam sebagai bahan baku utama proses produksinya, produksi sektor industri kehutanan memandang alam sebagai sumber bahan baku yang tidak pernah habis, hutan dipahami sebagai sumber bahan baku produksi yang secara alamiah melakukan regenerasi dan hal ini menyebabkan proses produksi di sektor kehutanan juga merupakan proses destruksi. Atau tepatnya destruksi menjadi syarat bagi terselenggaranya produksi, ini bisa dilihat dari percepatan luas kerusakan hutan, luas konversi hutan serta luasan pemberian ijin HTI di Indonesia. Sejak awal pencanangan sumber daya hutan sebagai obyek pembalakan komersial di tahun 1967 sampai saat sekarang, sistem pembalakan hutan dalam aras legal-formal negara adalah Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). [1] Sekitar 62 juta hektar kawasan hutan dialokasikan bagi 585 izin HPH. Menurut dokumen resmi pemerintah dan perusahaan, HPH-HPH tersebut menghasilkan 612 juta meter kubik kayu bulat sepanjang periode 1970-1999, atau rata-rata 20,4 juta meter kubik per tahun. [2] Tetapi, hasil analisis pengamat dan investigasi-olah data aktivis lingkungan diyakini sesungguhnya angka riil pembalakan oleh HPH dua kali lipat dari angka di dalam dokumen resmi tersebut. Dengan laju kerusakan yang sangat cepat 3,8 juta hektar per tahun, total kerusakan hutan mencapai 101,73 juta hektar sampai tahun 2003. Untuk kawasan Hutan Produksi, termasuk HPH dan HTI, mengalami kerusakan seluas 44,42 juta hektar (lebih dari 70% total kawasan Hutan Produksi). Sementara kerusakan di kawasan hutan lindung sebesar 10,52 juta hektar dan kawasan hutan konservasi sebesar 4,69 juta hektar.
Salah satu industri yang sangat besar mengkonsumsi kayu saat ini adalah industri pulp dan kertas. Sebagian besar industri pulp-paper dan HTI, beroperasi di Pulau Sumatera. Dari 7 pabrik pulp-paper yang operasional, 6 buah berada di Pulau Sumatera (PT Kertas Kraft/Aceh, PT Toba Pulp Lestari/Sumatera Utara, PT Indah Kiat dan PT Riau Andalan Pulp-Paper/Riau, PT Lontar Papyrus/Jambi dan PT Musi Hutan Persada/Sumatera Selatan) dan juga terdapat sekitar 47 buah HTI. Dari sisi kuantitas produksi dan luas kawasan HTI yang mereka kuasai sangatlah besar.[3] Melihat dari kebutuhan bahan baku yang demikian besar (sekitar 20 juta meter kubik per tahun, sementara kemampuan pasok hutan baik yang berasal dari hutan alam maupun HTI hanya 15,4 juta meter kubik pertahun), maka sudah pasti yang terjadi adalah krisis bahan baku. Hal ini terlihat dalam kasus krisis bahan baku industri pulp di Riau.
Dengan merujuk pada pendapat Andre Gorz, tingkatan-tingkatan yang terjadi dalam krisis sektor industri pulp ini dapat uraikan sebagaimana berikut :
A. Krisis Overakumulasi.
Dimana ketika mencapai tahap lanjut, perkembangan kapitalisme bertumpu pada proses penggantian para pekerja oleh mesin-mesin. Persoalannya mesin-mesin tersebut ternyata membutuhkan biaya yang tinggi untuk dapat berproduksi. Investasi modal yang direpresentasikan harus menghasilkan keuntungan, yang berarti para investor mengharapkan pemasukan yang lebih besar dari pada biaya yang mereka keluarkan untuk memasang mesin-mesin tersebut. Karena fungsinya untuk memproduksi surplus, mesin-mesin itu juga merupakan modal dan logika dari kapital tentu saja untuk mengejar pertumbuhan. Bertumbuh atau Binasa, efisiensi mesin-mesin yang dapat menghasilkan volume produksi yang sama tetapi membutuhkan lebih sedikit pekerja untuk mengoperasikannya (Peningkatan Produktivitas).
Dalam perhitungan biaya produksi, ongkos untuk membayar upah pekerja akan semakin kecil sementara biaya kapitalisasi akan semakin meningkat. Atau dengan kata lain, industri akan semakin bersifat modal-intensif (memakai jumlah kapital yang lebih besar untuk memproduksi jumlah volume yang sama). Industri harus menghasilkan jumlah keuntungan yang besar untuk menggantikan atau memperbaharui mesin-mesin produksi dan pada saat yang bersamaan memberikan kompensasi atas investasi modal pada tingkat bunga yang memuaskan para kreditor. Cepat atau lambat tingkat rata-rata keuntungan akan menurun. Modal dalam jumlah besar akan digunakan untuk menghasilkan komuditas dalam volume yang sama, semakin banyak keuntungan yang berkurungan dihubungkan dengan kapital yang digunakan. Produksi tidak dapat terus menerus meningkat, tanpa suatu ketika mencapai suatu batas. Ketika tingkat keuntungan mulai menurun, keseluruhan sistem akan lumpuh dan penurunan produksi secara progresif akan menyebar. Overakumulasi berdasarkan terminologi yang berbeda dengan terminologi ekonomi umum menunjukan bagian dari modal dalam proses produksi telah menjadi sedemikian besar, komposisi organiknya demikian tinggi sehingga ia tidak dapat mereproduksi dirinya lagi pada tingkat pertumbuhan normal. Produktivitas modal mengalami penyusutan. Nilai dari modal tetap, yang tidak dapat dibuat untuk menghasilkan profit secukupnya turun ketitik nol. Modal tersebut akan musnah, implikasinya buruh-buruh akan di PHK. Sistem mengalami krisis.!
Untuk menghindari krisis tersebut perusahaan berusaha secara konsisten melawan tendensi keruntuhan tingkat keuntungan dengan melalui, meningkatkan jumlah barang-barang yang terjual atau meningkatkan kapasitas produksi, dan atau menaikkan harga barang. Ini bisa dilihat dari Volume produksi pulp Indonesia selama 1998—2002 meningkat signifikan. Jika pada 1998 volume produksinya 3,4 juta ton, pada 2002 sudah 5 juta ton. Hingga 2005, volume produksi pulp mencapai 5,4 juta ton. Bahkan selama 1998—2005 volume ekspornya cenderung meningkat dengan laju 9,72%. Di sisi lain, jika pada 2000 ekspor pulp meningkat menjadi 1,3 juta ton dan disisi harga terjadi kenaikan harga kertas dunia. Saat ini harga pulp mencapai US$600 per ton (sebelumnya US$300 per ton), sementara harga kertas US$800 per ton dan bisa naik lagi.
Perkembangan Kapitalisme tentu saja berusaha menghindari jatuhnya tingkat keuntungan dan kejenuhan pasar dengan mempercepat perputaran modal, pada saat yang bersamaan ia malah menciptakan bentuk-bentuk kelangkaan baru, ketidak puasan baru dan bentuk kemiskinan yang baru lagi.
Krisis bahan baku (Kayu) dalam industri sektor pulp di Riau mengungkapkan fakta bahwa perkembangan kapitalisme menciptakan kelangkaan yang bersifat absolut; ketika mencoba untuk mengatasi hambatan ekonomi untuk mengejar pertumbuhan, Kapitalisme sumberdaya alam telah memunculkan hambatan-hambatan fisik bagi dirinya sendiri.
B. Krisis Re-produksi
Dalam sistem kapitalisme, kelangkaan absolut biasanya terefleksikan dalam situasi harga yang membumbung tinggi sebelum munculnya kelangkaan secara fisik. Bila mengikut pada dogma liberal/neo-klasik, pada saat harga naik maka produksipun akan dinaikkan. Tapi untuk Kayu (hutan), barang tersebut tidak dapat dibuat, ia menjadi langka karena hanya tersedia dalam jumlah terbatas di alam. Meningkatnya harga kayu hanya akan mempercepat krisis ekonomi atau justru akan membuatnya semakin buruk, karena kayu akan memberi kontribusi pada jatuhnya tingkat profit dalam 2 cara, pertama dalam kasus kayu, ketika ia menjadi barang langka maka harus dilakukan dengan segera pendaur ulangan persediaan yang ada dalam hal ini harus dibangun atau dibuat hutan baru (misal HTI). Kedua kebutuhan untuk mendaur ulang kayu mempunyai efek signifikan secara ekonomi. Ini karena beban ekonomi yang harus ditanggung yang disebabkan oleh kebutuhan untuk memproduksi barang atau bahan baku yang dulu bisa didapat atau diperoleh dengan gratis di alam. Kebutuhan ini harus dijawab dengan membangun “kebun kayu” yang membutuhkan biaya dan dimasukkan dalam ongkos produksi yang harus ditanggung perusahaan. Sehingga industri harus mengalokasikan investasi baru untuk hal tersebut. Industri Pulp memang padat modal. Untuk membangun pabrik berkapasitas 1 juta ton butuh investasi US$1 miliar dan waktu 7—8 tahun guna menyiapkan tanamannya hingga panen.
Penyebab dan karakteristik paradoksal dari krisis kayu yang sedang terjadi saat ini, mengesampingkan situasi overkapasitas, turunnya tingkat keuntungan, juga resesi yang terjadi. Investasi sektor pulp tetap berada pada level yang paling tinggi dan harga produk industri tersebut terus meningkat. Krisis ini tidak bisa terjawab dengan teori ekonomi tradisional, pardoks-paradok yg terjadi diluar penalaran ekonomi tradisional karena semua ini hanya bisa dimengerti dengan meninjau konteks realitas fisik yang mendasari terjadinya krisis kayu tersebut.
Ada dua hal yang melatar belakangi krisis industri kehutanan khususnya sektor pulp saat ini, yaitu :
1. Dalam menghindari krisis over-akumulasi, industri yang sangat bergantung pada sumberdaya alam kayu ini malah mempercepat kerusakan sumberdaya alam tersebut karena ia mengkonsumsi sumberdaya alam tersebut secara berlebihan dalam kecepatan yang berakibat pada kelangkaan bahan baku kayu tersebut.
2. Saat berhadapan dengan kekurangan sumber bahan baku kayu, industri dalam upaya menciptakan solusi bagi kelangkaan bahan baku malah meningkatkan produksi dengan cara mempertinggi kapasitas produksi, dalam kasus Riau, industri pulp meningkatkan kapasitas produksinya dari 1 juta ton/thn menjadi 2 juta ton/thn. Walau Industri berusaha untuk mendaur ulang bahan baku, namun dalam upaya mendaur ulang bahan baku, industri menciptakan produk (kayu/HTI) yang bukan merupakan proses akhir dari industri tersebut, atau dengan kata lain tidak dimasukan dalam konsumsi final, produk itu dikonsumsi oleh industri itu sendiri.
Upaya untuk mempertahankan keseimbangan antara produksi dan konsumsi dilakukan upaya pengalihan kepada pengeluaran untuk produk akhir. Ini dilakukan untuk mengurangi ketergantungan industri tersebut dari hutan alam dan upaya itu bisa dilihat dari semakin besarnya konversi hutan untuk HTI. Luasan konsesi Pembangunan HTI dalam kurun waktu 15 tahun mencatat angka fantastis, dari 5 juta hektar pada tahun 1998, menjadi 7,4 juta hektar pada tahun 1999, kemudian pada tahun 2004 luasnya telah mencapai lebih dari 8 juta hektar. Bersamaan dengan itu, kapasitas industri pulp-paper, sebagai industri hilir HTI, juga terus menanjak naik, dari 3,9 juta ton di tahun 1997, melompat ke angka 8,3 juta ton di tahun 2001, namun sangat disayangkan efektivitas dari perluasan konsesi tersebut dengan pembangunan HTI tidak berjalan sebagaimana mestinya, dimana penanaman yang dilakukan tidak mencapai 50% dari total luasan konsesi tersebut.
Dalam kondisi menurunnya seluruh efisiensi sistem, upaya perubahan relasi-relasi kepemilikanpun misal melalui nasionalisasi tidak mampu untuk memperbaiki penurunan efisiensi tersebut. Hal yang paling mungkin terjadi dari peralihan relasi kepemilikan itu adalah memfasilitasi peralihan sumberdaya dari konsumsi ke investasi. Nasionalisasi pada situasi ini tidak akan mampu menimbulkan fase baru akan suatu pertumbuhan yang berkelanjutan dalam konsumsi material karena rintangan yang muncul saat ini telah menjadi sesuatu yang sifatnya substantif. Namun Nasionalisasi bisa didorong atau dilakukan untuk memposisikan industri ekstraktif yang berpengaruh terhadap hajat hidup orang banyak (rakyat) dari kepemilikan para investor (pemodal) menjadi berada dibawah tanggung jawab negara.
Dengan kata lain, krisis yang terjadi pada sektor industri pulp di Riau, atau krisi industri kehutanan di Indonesia saat ini merupakan suatu bentuk Krisis Kapitalisme, dimana kita saat ini sedang menghadapi suatu bentuk krisis over-akumulasi yang diperparah lagi oleh krisis reproduksi sehingga sebagaimana mestinya krisis tersebut mengarah pada semakin meningkatnya kelangkaan sumberdaya alam kayu. Solusinya tidak pada pemulihan ekonomi tetapi pada pembalikan logika kapitalisme. Sebagaimana kita ketahui Logika Kapitalisme adalah pergerakan menuju pada maksimalisasi profit. Jawabannya adalah menuju pada produksi yang subsistem, menciptakan kebutuhan-kebutuhan sesedikit mungkin, memuaskannya dengan pembelajaan terkecil atas material, energi dan kerja dan memberikan beban yang paling kecil terhadap lingkungan. Alternatif yang paling mungkin ditawarkan adalah, pemisahan antara pemilik industri dengan pemilik “kebun kayu”, industri yang saat ini ada sebaiknya hanya untuk pemenuhan kebutuhan dlm negeri (subsistem), menghentikan pembangunan industri sejenis atau tidak memberikan ijin baru lagi untuk pembangunan industri pulp agar tidak terjadi persaingan dalam pemenuhan bahan baku, selain itu juga tidak lagi mengkonversi Hutan Alam menjadi Hutan Tanaman Industri.
---
[1] Untuk menjamin legalitas konversi hutan alam bagi dua sistem pembalakan hutan ini, pemerintah Indonesia membagi kawasan hutan dalam berbagi jenis. Untuk HPH/HPHTI diizinkan melakukan konversi diatas jenis hutan produksi dan hutan produksi terbatas.
[2] Christopher Barr, Reformasi Konsesi HPH : Mempertanyakan Paradigma “Pembalakan Lestari” (Sustainable Logging), 2003.
[3] Total kapasitas terpasang 6 pabrik pulp-paper di Sumatera sekitar 5 juta ton/tahun, dengan kebutuhan bahan baku sekitar 20 juta meter kubik per tahun.
Krisis Kedaulatan dalam Perspektif Politik Hijau
Oleh Khalisah Khalid, Biro Politik dan Ekonomi Pimpinan Pusat Sarekat Hijau Indonesia
10 Juni 2008/KORAN TEMPO
Hari Lingkungan pada 5 Juni 2008 menjadi sebuah momen penting untuk melihat lebih jauh arah gerakan lingkungan di Indonesia, sebagai sebuah gerakan perlawanan yang lahir dari kesadaran akan kondisi pembangunan yang tidak adil, khususnya bagi negara yang berada di belahan selatan, belahan bumi yang selalu menjadi sumber eksploitasi sumber daya alamnya.
Jika dicermati, ada tiga isu utama yang selalu disampaikan oleh pengurus negara tentang krisis yang dialami oleh rakyat. Dalam membaca sebuah krisis, pengurus negara mampu melihat peta persoalan yang dialami oleh rakyatnya, antara lain krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. Sayangnya, road map yang dibuat sebagai sebuah solusi atas krisis yang dihadapi tidak ada relevansinya dengan krisis yang dialami oleh rakyat. Semua krisis dijawab dengan peta jalan memberikan alternatifnya dan mekanismenya kepada pasar, entah itu melalui regulasi, privatisasi, maupun liberalisasi yang semuanya dimainkan dalam sebuah alunan orkestra penjajahan yang melemahkan negara di dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya.
Bagi Cecil Rhodes (1852-1902), kolonialisme adalah penemuan tanah baru yang dari tanah tersebut dapat dengan mudah didapatkan bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah dari penduduk pribumi. Sumber daya alam sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial di mana pun untuk mendominasi dan menanamkan kekuasaannya. Dari sini saja jelas digambarkan bahwa penguasaan negara (kolonialisasi) terkait erat dengan sumber daya alam sebuah negara.
Sumber daya alam berupa bahan mentah yang dikeruk menjadi sebuah komoditas di dalam kerangka pemenuhan konsumsi bagi negara-negara maju. Kebutuhan tersebut bukan ditentukan oleh konsumennya, melainkan oleh sebuah sistem ekonomi kapitalis yang menjual jargon globalisasi dan pasar bebas. Sementara negara yang ditempatkan sebagai penghasil sumber daya alamnya justru kehilangan akses atas sumber dayanya.
Inilah yang kemudian dinamakan dengan krisis kedaulatan yang disebabkan oleh adanya dominasi ekonomi global yang dibangun oleh sebuah sistem kapitalis, yang penguasa modalnya dalam hal ini TNC's/MNC's, lembaga keuangan internasional maupun elite oligarki di Indonesia, melumpuhkan kedaulatan negara untuk mampu menjalankan mandat konstitusinya untuk menjamin pemenuhan terhadap hak-hak dasar rakyatnya. Dominasi atas kekuatan ekonomi terhadap pengelolaan sumber daya alam menempatkan modal sebagai lokomotif dari seluruh cerita eksploitasi sumber daya alam.
Keadaan ini lebih lanjut telah menghancurkan nilai-nilai kedaulatan dan keadilan intra dan antargenerasi yang selanjutnya telah menciptakan pemiskinan rakyat. Kemerosotan kedaulatan ini ditandai dengan semakin hilangnya hak menentukan nasib sendiri, di tataran negara hingga di tataran satuan-satuan politik yang terkecil. Kemudian kemerosotan nilai keadilan tampak dari adanya ketimpangan distribusi manfaat, bahkan hilangnya hak-hak rakyat atas tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Sementara itu, kekuatan elite politik dan ekonomi yang mewarisi watak penguasa sebelumnya telah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya kembali dalam ruang- ruang politik.
Ketimpangan yang dialami bangsa ini juga merupakan potret global bahwa terjadi ketimpangan dalam kesejahteraan dan penguasaan asset antara segelintir orang dengan mayoritas rakyat di dunia. Tingkat kesejahteraan yang tinggi yang dinikmati oleh segelintir orang ini dapat berlangsung, karena pengisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara dunia ketiga atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya.
Di sisi lain gaya hidup, pola konsumsi, dan tingkat kesejahteraan segelintir orang ini bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup di negara-negara yang menjadi sumber pengisapan karena eksploitasi yang membabi buta. Pola konsumsi segelintir kelompok secara berlebih telah menyebabkan munculnya ancaman kerusakan lingkungan hidup yang berdimensi global. Ini sekaligus kritik terhadap pandangan yang menyebutkan bahwa kelebihan populasi penduduk berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam di negara miskin yang jumlah penduduknya besar seperti Indonesia.
Krisis lingkungan
Paradigma pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai yang dibangun oleh sistem ekonomi global selalu memiliki watak yang eksploitatif, pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor tertentu yang ekstraktif, seperti pertambangan dan kehutanan yang berkonsekuensi pada perubahan fungsi bentang alam. Atau, seperti perkebunan dan pembangunan infrastruktur yang menyingkirkan kebutuhan lain seperti lahan untuk penyediaan lahan pangan, dan akibat lebih lanjut adalah menghasilkan pengungsi ekologis dan pengungsi pembangunan.
Jon Schubart menyatakan bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam, (b) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia dengan lingkungan, (c) koneksi antara akses terhadap dan kontrol atas sumber daya dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan.
Gerakan politik lingkungan di Indonesia harus mampu menjelaskan bahwa persoalan lingkungan tidak sesederhana yang dibayangkan, tidak hanya bicara soal sains dan teknologi. Bicara soal lingkungan artinya kita bicara tentang persoalan yang lebih mendasar tentang sosial-politik, dan ekonomi-politik, bahwa saat ini ada kondisi yang tidak adil atas nama pembangunan ekonomi global, yang menghasilkan perubahan lingkungan yang tidak adil, khususnya bagi negara dunia ketiga. Konstruksi yang ingin kita bangun ulang tentu saja dengan fondasi yang melihat kelas siapa yang hari ini paling dimiskinkan, disingkirkan, dihilangkan hak-hak dasarnya.
Gerakan politik lingkungan di Indonesia saat ini harus memiliki kemampuan untuk memperbesar dan memperluas gerakannya, dan itu hanya bisa dilakukan jika subyek dari gerakan politik lingkungan itu adalah basis massa yang memiliki garis ideologi yang berpikir bahwa perjuangan penegakan keadilan ekologi bukan sekadar membicarakan soal degradasi lingkungan, tetapi juga membicarakan soal keberlanjutan generasi yang akan datang. Bicara soal gerakan lingkungan juga tidak terlepas dari bicara soal bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat terhadap hakhak dasarnya yang dibangun dengan semangat kolektivitas.
Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus didefinisikan menurut korban terbesar dan siapa yang paling tersubordinasi dalam pembangunan. Tiga hal mendasar tersebut adalah bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya, bagaimana jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya, dan bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan alamnya. Semuanya harus menjadi pilar utama dalam proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.
10 Juni 2008/KORAN TEMPO
Hari Lingkungan pada 5 Juni 2008 menjadi sebuah momen penting untuk melihat lebih jauh arah gerakan lingkungan di Indonesia, sebagai sebuah gerakan perlawanan yang lahir dari kesadaran akan kondisi pembangunan yang tidak adil, khususnya bagi negara yang berada di belahan selatan, belahan bumi yang selalu menjadi sumber eksploitasi sumber daya alamnya.
Jika dicermati, ada tiga isu utama yang selalu disampaikan oleh pengurus negara tentang krisis yang dialami oleh rakyat. Dalam membaca sebuah krisis, pengurus negara mampu melihat peta persoalan yang dialami oleh rakyatnya, antara lain krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. Sayangnya, road map yang dibuat sebagai sebuah solusi atas krisis yang dihadapi tidak ada relevansinya dengan krisis yang dialami oleh rakyat. Semua krisis dijawab dengan peta jalan memberikan alternatifnya dan mekanismenya kepada pasar, entah itu melalui regulasi, privatisasi, maupun liberalisasi yang semuanya dimainkan dalam sebuah alunan orkestra penjajahan yang melemahkan negara di dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya.
Bagi Cecil Rhodes (1852-1902), kolonialisme adalah penemuan tanah baru yang dari tanah tersebut dapat dengan mudah didapatkan bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah dari penduduk pribumi. Sumber daya alam sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial di mana pun untuk mendominasi dan menanamkan kekuasaannya. Dari sini saja jelas digambarkan bahwa penguasaan negara (kolonialisasi) terkait erat dengan sumber daya alam sebuah negara.
Sumber daya alam berupa bahan mentah yang dikeruk menjadi sebuah komoditas di dalam kerangka pemenuhan konsumsi bagi negara-negara maju. Kebutuhan tersebut bukan ditentukan oleh konsumennya, melainkan oleh sebuah sistem ekonomi kapitalis yang menjual jargon globalisasi dan pasar bebas. Sementara negara yang ditempatkan sebagai penghasil sumber daya alamnya justru kehilangan akses atas sumber dayanya.
Inilah yang kemudian dinamakan dengan krisis kedaulatan yang disebabkan oleh adanya dominasi ekonomi global yang dibangun oleh sebuah sistem kapitalis, yang penguasa modalnya dalam hal ini TNC's/MNC's, lembaga keuangan internasional maupun elite oligarki di Indonesia, melumpuhkan kedaulatan negara untuk mampu menjalankan mandat konstitusinya untuk menjamin pemenuhan terhadap hak-hak dasar rakyatnya. Dominasi atas kekuatan ekonomi terhadap pengelolaan sumber daya alam menempatkan modal sebagai lokomotif dari seluruh cerita eksploitasi sumber daya alam.
Keadaan ini lebih lanjut telah menghancurkan nilai-nilai kedaulatan dan keadilan intra dan antargenerasi yang selanjutnya telah menciptakan pemiskinan rakyat. Kemerosotan kedaulatan ini ditandai dengan semakin hilangnya hak menentukan nasib sendiri, di tataran negara hingga di tataran satuan-satuan politik yang terkecil. Kemudian kemerosotan nilai keadilan tampak dari adanya ketimpangan distribusi manfaat, bahkan hilangnya hak-hak rakyat atas tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
Sementara itu, kekuatan elite politik dan ekonomi yang mewarisi watak penguasa sebelumnya telah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya kembali dalam ruang- ruang politik.
Ketimpangan yang dialami bangsa ini juga merupakan potret global bahwa terjadi ketimpangan dalam kesejahteraan dan penguasaan asset antara segelintir orang dengan mayoritas rakyat di dunia. Tingkat kesejahteraan yang tinggi yang dinikmati oleh segelintir orang ini dapat berlangsung, karena pengisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara dunia ketiga atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya.
Di sisi lain gaya hidup, pola konsumsi, dan tingkat kesejahteraan segelintir orang ini bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup di negara-negara yang menjadi sumber pengisapan karena eksploitasi yang membabi buta. Pola konsumsi segelintir kelompok secara berlebih telah menyebabkan munculnya ancaman kerusakan lingkungan hidup yang berdimensi global. Ini sekaligus kritik terhadap pandangan yang menyebutkan bahwa kelebihan populasi penduduk berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam di negara miskin yang jumlah penduduknya besar seperti Indonesia.
Krisis lingkungan
Paradigma pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai yang dibangun oleh sistem ekonomi global selalu memiliki watak yang eksploitatif, pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor tertentu yang ekstraktif, seperti pertambangan dan kehutanan yang berkonsekuensi pada perubahan fungsi bentang alam. Atau, seperti perkebunan dan pembangunan infrastruktur yang menyingkirkan kebutuhan lain seperti lahan untuk penyediaan lahan pangan, dan akibat lebih lanjut adalah menghasilkan pengungsi ekologis dan pengungsi pembangunan.
Jon Schubart menyatakan bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam, (b) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia dengan lingkungan, (c) koneksi antara akses terhadap dan kontrol atas sumber daya dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan.
Gerakan politik lingkungan di Indonesia harus mampu menjelaskan bahwa persoalan lingkungan tidak sesederhana yang dibayangkan, tidak hanya bicara soal sains dan teknologi. Bicara soal lingkungan artinya kita bicara tentang persoalan yang lebih mendasar tentang sosial-politik, dan ekonomi-politik, bahwa saat ini ada kondisi yang tidak adil atas nama pembangunan ekonomi global, yang menghasilkan perubahan lingkungan yang tidak adil, khususnya bagi negara dunia ketiga. Konstruksi yang ingin kita bangun ulang tentu saja dengan fondasi yang melihat kelas siapa yang hari ini paling dimiskinkan, disingkirkan, dihilangkan hak-hak dasarnya.
Gerakan politik lingkungan di Indonesia saat ini harus memiliki kemampuan untuk memperbesar dan memperluas gerakannya, dan itu hanya bisa dilakukan jika subyek dari gerakan politik lingkungan itu adalah basis massa yang memiliki garis ideologi yang berpikir bahwa perjuangan penegakan keadilan ekologi bukan sekadar membicarakan soal degradasi lingkungan, tetapi juga membicarakan soal keberlanjutan generasi yang akan datang. Bicara soal gerakan lingkungan juga tidak terlepas dari bicara soal bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat terhadap hakhak dasarnya yang dibangun dengan semangat kolektivitas.
Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus didefinisikan menurut korban terbesar dan siapa yang paling tersubordinasi dalam pembangunan. Tiga hal mendasar tersebut adalah bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya, bagaimana jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya, dan bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan alamnya. Semuanya harus menjadi pilar utama dalam proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.
Lagu Lama, Aransemen Ulang (Kenaikan Harga BBM)
Oleh Khalisah Khalid, Biro Politik dan Ekonomi Pimpinan Pusat Sarekat Hijau Indonesia
Koran Tempo: Rabu, 14 Mei 2008
Siapa rakyat Indonesia yang tidak tahu bahwa presidennya jago mencipta dan menyanyikan lagu. Di awal Juni 2008, Susilo Bambang Yudhoyono kembali akan melansir sebuah lagu dan kali ini lagu itu diberi judul Naiknya Harga BBM. Yudhoyono memastikan bahwa harga BBM akan naik hingga 30 persen, dan tentu saja rakyat diminta menerima "dengan lapang dada", sembari menjanjikan kompensasi bagi rakyat miskin.
Tulisan ini hendak mengingatkan kita semua bahwa kenaikan harga BBM adalah sebuah lagu lama yang coba diaransemen ulang. Presiden Yudhoyono menyatakan menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir dari berbagai skenario untuk mengamankan anggaran pendapatan dan belanja negara. Alasan kenaikan harga BBM tahun ini juga sesungguhnya alasan lama yang sama, sewaktu Yudhoyono-Jusuf Kalla menaikkan harga BBM pada 2005, yang hampir mencapai 120 persen. Dengan nada yang sangat menyesal dan intonasi yang sedih, Yudhoyono menyampaikan kondisi naiknya harga minyak dunia yang dinilai akan mempengaruhi APBN jika pemerintah tetap memberikan subsidi kepada rakyat, yang sama artinya menciptakan defisit anggaran dan pada akhirnya akan membebani APBN.
Kenaikan harga BBM sebagaimana yang direncanakan pemerintah sesungguhnya bukan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia, melainkan mengamankan anggaran belanja negara, sedangkan kita mengetahui bahwa APBN kita tidak pernah berpihak kepada rakyat. Ini dapat dilihat dari komposisi anggaran yang sebagian besar diperuntukkan bagi kepentingan pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri yang mencapai Rp 94 triliun per tahun, peruntukan obligasi perbankan Indonesia antara lain melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang mencapai Rp 60 triliun per tahun, belum lagi untuk membiayai kebutuhan birokrasi aparatus negara. Bahkan dalam catatan Koalisi Anti-Utang disebutkan bahwa tidak kurang dari 46 persen pos dalam APBN kita setiap tahunnya tidak terserap. Ini sama artinya dengan pemerintah sesungguhnya tidak becus membuat perencanaan strategis, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Agenda liberalisasi
Agenda kenaikan harga BBM sesungguhnya menjadi agenda liberalisasi atas sumber daya alam, khususnya liberalisasi di sektor minyak dan gas. Kenaikan harga minyak dunia sesungguhnya tidak cukup mendasari pencabutan subsidi BBM kepada rakyat dan menaikkan harga BBM. Sebab, konstitusi, yang mewajibkan negara memberi jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya, tidak bisa dibatasi oleh mekanisme pasar dunia yang liberal.
Krisis energi selalu dipakai pemerintah untuk memuluskan kebijakannya, seperti memaksakan proyek pembangkit listrik tenaga nuklir dan kali ini dipakai untuk menaikkan harga BBM. Krisis energi yang dialami Indonesia saat ini tidak lebih disebabkan oleh kebijakan negara terhadap kegiatan pembangunan yang mengarah pada industrialisasi yang menyebabkan tingkat konsumsi energi begitu tinggi dan telah mengakibatkan krisis lingkungan hidup yang semakin tidak terpulihkan. Kasus Lapindo menjadi contoh kerusakan lingkungan hidup dan tragedi kemanusiaan yang paling kontekstual, dengan atas nama pemenuhan produksi energi.
Agenda kenaikan harga BBM memang tidak bisa hanya melihat Yudhoyono-Kalla sebagai aktor tunggal, Yudhoyono-Kalla tidak lebih hanya boneka yang dipakai oleh aktor liberalisasi, antara lain lembaga keuangan internasional dan pemodal. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyebutkan kenaikan harga BBM disinyalir hanya membuka pintu bagi 107 pengusaha swasta asing dan domestik yang sudah memiliki izin prinsip usaha hilir BBM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, yang 90 persen usaha hulu (eksploitasi) migas telah dikuasai sepenuhnya oleh modal asing. Secara keseluruhan, sektor minyak telah didedikasikan untuk pasar bebas dan bukan demi kepentingan rakyat.
Liberalisasi migas adalah salah satu paket yang tercantum dalam nota kesepahaman antara Indonesia dan IMF pada 1998. Dari sini kita dapat menyatakan pemerintah saat ini lebih patuh kepada industri dan bisnis multinasional serta pemerintah negara-negara Utara ketimbang mengurus rakyatnya. Yudhoyono tidak segan-segan menurunkan popularitasnya di mata rakyat daripada popularitasnya turun di mata para aktor liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Permen politik
Pemerintah berjanji akan memikirkan rakyat miskin sebagai prioritas ketika harga BBM dinaikkan. Ada beberapa opsi yang ditawarkan pemerintah Yudhoyono-Kalla sebagai kompensasi untuk rakyat miskin atas naiknya harga BBM, antara lain, melalui bantuan langsung tunai plus (BLT plus) dan Program Nasional Pembangunan Mandiri, di mana sejumlah dana akan digelontorkan oleh World Bank: Rp 19,7 triliun pada tahun ini dan Rp 58 triliun pada 2009.
Perlu diketahui, BLT plus yang akan diberikan pemerintah kepada rakyat miskin sesungguhnya tidak lebih hanya menjadi alat untuk menyuap rakyat miskin. Apa yang disampaikan Yudhoyono bahwa dia tidak peduli dengan popularitasnya menjelang Pemilu 2009 sesungguhnya bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dana BLT plus yang akan diberikan Yudhoyono akan didorong sebagai "kemurahan hati" Yudhoyono kepada rakyat miskin. Ini bisa dikategorikan sebagai biaya suap politik Yudhoyono kepada rakyat miskin. Tampaknya Yudhoyono akan menggunakan model kampanye karitatif selama kurun waktu satu tahun ini untuk menaikkan lagi popularitasnya dengan segera melalui dana kompensasi atas kenaikan harga BBM ini.
Kompensasi atas kenaikan harga BBM untuk rakyat miskin melalui uang tunai sarat berbagai dampak, terutama dampak sosial dengan meningkatnya konflik horizontal di tengah masyarakat. Dana kompensasi kenaikan harga BBM akan menjadi permen pemanis untuk kepentingan melanggengnya kekuasaan politik dominan menjelang Pemilu 2009, dan naiknya tingkat inflasi karena akan meningkatkan sektor riil di tingkat rakyat tidak lebih hanya pembohongan publik dan akal-akalan pemerintah hari ini. Kenaikan harga BBM justru akan semakin meningkatkan angka kemiskinan dan semakin menjerumuskan rakyat ke dalam krisis turunannya, seperti krisis pangan, yang dari tahun ke tahun angkanya terus meningkat. Tercatat, tidak kurang dari 4.456 kali peristiwa rawan pangan terjadi di Indonesia.
Rakyat menyubsidi negara
Yudhoyono-Kalla mengklaim bahwa negara telah memberikan subsidi kepada rakyat dengan memberikan harga BBM yang murah, dan hari ini negara akan mencabut subsidi tersebut dengan alasan akan terjadi defisit anggaran APBN. Pertanyaan penting yang mesti dijawab adalah apakah selama ini negara benar-benar telah memberikan subsidi kepada rakyat?
Ketika negara absen memberikan jaminan atas keselamatan, keamanan, serta keberlanjutan kehidupan bagi warga Sidoarjo dalam kasus Lapindo, dan rakyat harus membangun kekuatannya sendiri, seharusnya itu dihitung sebagai sebuah subsidi rakyat kepada negara. Selama ini keselamatan rakyat dihitung negara dalam angka-angka yang sungguh tidak masuk akal, sambil rakyat diminta bersabar dan bertawakal demi keamanan APBN. Ketika pengurus negara bermain-main dalam hitungan angka-angka asumtif, bahwa angka-angka tersebut sesungguhnya tidak berdiri sendiri, dia akan membangun relasi sebab-akibat dengan derajat kehidupan manusia. Bukankah menurunkan derajat kemanusiaan manusia yang merdeka sama artinya dengan menghilangkan nilai kemanusiaan itu sendiri, dan itu bagian dari sebuah proses pelanggaran terhadap hak asasi manusia?
Pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan yang jauh sekali dari krisis yang dihadapi rakyatnya. Kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, dan bencana ekologis justru dijawab dengan mengeluarkan kebijakan yang bahkan tidak ada relevansinya sama sekali dengan krisis yang dihadapi rakyat dan bahkan justru menjerumuskan rakyat ke dalam jurang krisis yang lebih dalam.
Koran Tempo: Rabu, 14 Mei 2008
Siapa rakyat Indonesia yang tidak tahu bahwa presidennya jago mencipta dan menyanyikan lagu. Di awal Juni 2008, Susilo Bambang Yudhoyono kembali akan melansir sebuah lagu dan kali ini lagu itu diberi judul Naiknya Harga BBM. Yudhoyono memastikan bahwa harga BBM akan naik hingga 30 persen, dan tentu saja rakyat diminta menerima "dengan lapang dada", sembari menjanjikan kompensasi bagi rakyat miskin.
Tulisan ini hendak mengingatkan kita semua bahwa kenaikan harga BBM adalah sebuah lagu lama yang coba diaransemen ulang. Presiden Yudhoyono menyatakan menaikkan harga BBM adalah pilihan terakhir dari berbagai skenario untuk mengamankan anggaran pendapatan dan belanja negara. Alasan kenaikan harga BBM tahun ini juga sesungguhnya alasan lama yang sama, sewaktu Yudhoyono-Jusuf Kalla menaikkan harga BBM pada 2005, yang hampir mencapai 120 persen. Dengan nada yang sangat menyesal dan intonasi yang sedih, Yudhoyono menyampaikan kondisi naiknya harga minyak dunia yang dinilai akan mempengaruhi APBN jika pemerintah tetap memberikan subsidi kepada rakyat, yang sama artinya menciptakan defisit anggaran dan pada akhirnya akan membebani APBN.
Kenaikan harga BBM sebagaimana yang direncanakan pemerintah sesungguhnya bukan untuk menyelamatkan rakyat Indonesia, melainkan mengamankan anggaran belanja negara, sedangkan kita mengetahui bahwa APBN kita tidak pernah berpihak kepada rakyat. Ini dapat dilihat dari komposisi anggaran yang sebagian besar diperuntukkan bagi kepentingan pembayaran bunga dan cicilan utang luar negeri yang mencapai Rp 94 triliun per tahun, peruntukan obligasi perbankan Indonesia antara lain melalui Bantuan Likuiditas Bank Indonesia yang mencapai Rp 60 triliun per tahun, belum lagi untuk membiayai kebutuhan birokrasi aparatus negara. Bahkan dalam catatan Koalisi Anti-Utang disebutkan bahwa tidak kurang dari 46 persen pos dalam APBN kita setiap tahunnya tidak terserap. Ini sama artinya dengan pemerintah sesungguhnya tidak becus membuat perencanaan strategis, khususnya yang terkait dengan pemenuhan kebutuhan dasar rakyat.
Agenda liberalisasi
Agenda kenaikan harga BBM sesungguhnya menjadi agenda liberalisasi atas sumber daya alam, khususnya liberalisasi di sektor minyak dan gas. Kenaikan harga minyak dunia sesungguhnya tidak cukup mendasari pencabutan subsidi BBM kepada rakyat dan menaikkan harga BBM. Sebab, konstitusi, yang mewajibkan negara memberi jaminan kesejahteraan kepada rakyatnya, tidak bisa dibatasi oleh mekanisme pasar dunia yang liberal.
Krisis energi selalu dipakai pemerintah untuk memuluskan kebijakannya, seperti memaksakan proyek pembangkit listrik tenaga nuklir dan kali ini dipakai untuk menaikkan harga BBM. Krisis energi yang dialami Indonesia saat ini tidak lebih disebabkan oleh kebijakan negara terhadap kegiatan pembangunan yang mengarah pada industrialisasi yang menyebabkan tingkat konsumsi energi begitu tinggi dan telah mengakibatkan krisis lingkungan hidup yang semakin tidak terpulihkan. Kasus Lapindo menjadi contoh kerusakan lingkungan hidup dan tragedi kemanusiaan yang paling kontekstual, dengan atas nama pemenuhan produksi energi.
Agenda kenaikan harga BBM memang tidak bisa hanya melihat Yudhoyono-Kalla sebagai aktor tunggal, Yudhoyono-Kalla tidak lebih hanya boneka yang dipakai oleh aktor liberalisasi, antara lain lembaga keuangan internasional dan pemodal. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Indonesia menyebutkan kenaikan harga BBM disinyalir hanya membuka pintu bagi 107 pengusaha swasta asing dan domestik yang sudah memiliki izin prinsip usaha hilir BBM sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001, yang 90 persen usaha hulu (eksploitasi) migas telah dikuasai sepenuhnya oleh modal asing. Secara keseluruhan, sektor minyak telah didedikasikan untuk pasar bebas dan bukan demi kepentingan rakyat.
Liberalisasi migas adalah salah satu paket yang tercantum dalam nota kesepahaman antara Indonesia dan IMF pada 1998. Dari sini kita dapat menyatakan pemerintah saat ini lebih patuh kepada industri dan bisnis multinasional serta pemerintah negara-negara Utara ketimbang mengurus rakyatnya. Yudhoyono tidak segan-segan menurunkan popularitasnya di mata rakyat daripada popularitasnya turun di mata para aktor liberalisasi dalam pengelolaan sumber daya alam di Indonesia.
Permen politik
Pemerintah berjanji akan memikirkan rakyat miskin sebagai prioritas ketika harga BBM dinaikkan. Ada beberapa opsi yang ditawarkan pemerintah Yudhoyono-Kalla sebagai kompensasi untuk rakyat miskin atas naiknya harga BBM, antara lain, melalui bantuan langsung tunai plus (BLT plus) dan Program Nasional Pembangunan Mandiri, di mana sejumlah dana akan digelontorkan oleh World Bank: Rp 19,7 triliun pada tahun ini dan Rp 58 triliun pada 2009.
Perlu diketahui, BLT plus yang akan diberikan pemerintah kepada rakyat miskin sesungguhnya tidak lebih hanya menjadi alat untuk menyuap rakyat miskin. Apa yang disampaikan Yudhoyono bahwa dia tidak peduli dengan popularitasnya menjelang Pemilu 2009 sesungguhnya bisa dilihat dari sudut pandang yang berbeda. Dana BLT plus yang akan diberikan Yudhoyono akan didorong sebagai "kemurahan hati" Yudhoyono kepada rakyat miskin. Ini bisa dikategorikan sebagai biaya suap politik Yudhoyono kepada rakyat miskin. Tampaknya Yudhoyono akan menggunakan model kampanye karitatif selama kurun waktu satu tahun ini untuk menaikkan lagi popularitasnya dengan segera melalui dana kompensasi atas kenaikan harga BBM ini.
Kompensasi atas kenaikan harga BBM untuk rakyat miskin melalui uang tunai sarat berbagai dampak, terutama dampak sosial dengan meningkatnya konflik horizontal di tengah masyarakat. Dana kompensasi kenaikan harga BBM akan menjadi permen pemanis untuk kepentingan melanggengnya kekuasaan politik dominan menjelang Pemilu 2009, dan naiknya tingkat inflasi karena akan meningkatkan sektor riil di tingkat rakyat tidak lebih hanya pembohongan publik dan akal-akalan pemerintah hari ini. Kenaikan harga BBM justru akan semakin meningkatkan angka kemiskinan dan semakin menjerumuskan rakyat ke dalam krisis turunannya, seperti krisis pangan, yang dari tahun ke tahun angkanya terus meningkat. Tercatat, tidak kurang dari 4.456 kali peristiwa rawan pangan terjadi di Indonesia.
Rakyat menyubsidi negara
Yudhoyono-Kalla mengklaim bahwa negara telah memberikan subsidi kepada rakyat dengan memberikan harga BBM yang murah, dan hari ini negara akan mencabut subsidi tersebut dengan alasan akan terjadi defisit anggaran APBN. Pertanyaan penting yang mesti dijawab adalah apakah selama ini negara benar-benar telah memberikan subsidi kepada rakyat?
Ketika negara absen memberikan jaminan atas keselamatan, keamanan, serta keberlanjutan kehidupan bagi warga Sidoarjo dalam kasus Lapindo, dan rakyat harus membangun kekuatannya sendiri, seharusnya itu dihitung sebagai sebuah subsidi rakyat kepada negara. Selama ini keselamatan rakyat dihitung negara dalam angka-angka yang sungguh tidak masuk akal, sambil rakyat diminta bersabar dan bertawakal demi keamanan APBN. Ketika pengurus negara bermain-main dalam hitungan angka-angka asumtif, bahwa angka-angka tersebut sesungguhnya tidak berdiri sendiri, dia akan membangun relasi sebab-akibat dengan derajat kehidupan manusia. Bukankah menurunkan derajat kemanusiaan manusia yang merdeka sama artinya dengan menghilangkan nilai kemanusiaan itu sendiri, dan itu bagian dari sebuah proses pelanggaran terhadap hak asasi manusia?
Pemerintah selalu mengeluarkan kebijakan yang jauh sekali dari krisis yang dihadapi rakyatnya. Kemiskinan, pengangguran, gizi buruk, dan bencana ekologis justru dijawab dengan mengeluarkan kebijakan yang bahkan tidak ada relevansinya sama sekali dengan krisis yang dihadapi rakyat dan bahkan justru menjerumuskan rakyat ke dalam jurang krisis yang lebih dalam.
Sabtu, 07 Juni 2008
Global Greens Charter - Piagam Kaum Hijau Sedunia 2001
Global Greens Charter - 2001
Pada bulan April 2001, 800 Greens (partai hijau dan gerakan politik hijau) dari 72 negara berkumpul di Canbera, Australia untuk pertemuan Konferensi Global Greens. Salah satu tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk menyetujui Global Greens Charter. Pada tanggal 16 April 2001, delegasi Greens dari berbagai belahan dunia telah menyetujui konsensus bersama Global Greens Charter.
Untuk kepentingan publikasi kepada publik Indonesia Sarekat Hijau Indonesia menerbitkan edisi Indonesia dari piagam ini (penerjemahan dilakukan oleh Dian Abraham staf Biro hubungan luar negeri PP SHI)
Dokumen Global Green Charter dapat didownload di: http://sarekathijauindonesia.org/files/Global%20Greens%20Charter%202001.pdf
artikel terkait
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (1)
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (2)
Global Green Berkomitmen Bantu Indonesia
Website Global Green
Pada bulan April 2001, 800 Greens (partai hijau dan gerakan politik hijau) dari 72 negara berkumpul di Canbera, Australia untuk pertemuan Konferensi Global Greens. Salah satu tujuan dari pertemuan tersebut adalah untuk menyetujui Global Greens Charter. Pada tanggal 16 April 2001, delegasi Greens dari berbagai belahan dunia telah menyetujui konsensus bersama Global Greens Charter.
Untuk kepentingan publikasi kepada publik Indonesia Sarekat Hijau Indonesia menerbitkan edisi Indonesia dari piagam ini (penerjemahan dilakukan oleh Dian Abraham staf Biro hubungan luar negeri PP SHI)
Dokumen Global Green Charter dapat didownload di: http://sarekathijauindonesia.org/files/Global%20Greens%20Charter%202001.pdf
artikel terkait
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (1)
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (2)
Global Green Berkomitmen Bantu Indonesia
Website Global Green
Perjalanan Peneguhan : Catatan Perjalanan SHI dari Global Greens Conference II di Sao Paolo
(oleh : andreas iswinarto – sekjen pp shi)
Salah satu hal yang paling mengesankan dari Global Greens Conference di Sao Paolo adalah atmosfir dan interaksi yang penuh persahabatan serta harapan yang terus terjaga diantara para peserta. Ini mengingatkan saya pada artikel 10.11 di dalam Charter of Global Greens (Canberra 2001) “(The Greens) Will support each other personally and politically with friendship, optimism and good humour, and not forget to enjoy ourselves in the process!.
Sebenarnya antusiasme kawan-kawan delegasi Global Greens yang sempat bertemu di Bali pada bulan Desember tahun lalu, yang kemudian berlanjut kepada undangan dan dukungan Heinrich Boll Foundation serta kesempatan emas untuk berpidato di forum panel tentang Climate Change di Sao Paolo yang ditawarkan oleh Margaret Blaker, sudah merupakan indikasi kuat tentang atmosfir yang penuh persahabatan sekaligus sebagai dukungan politik untuk memajukan Sarekat Hijau Indonesia sebagai embrio Partai Hijau di Indonesia. Dan tentunya juga nantinya sebagai bagian dari jaringan atau anggota keluarga Global Greens.
Oleh karena itu kami secara serius dan mendalam mendiskusikan dan menyiapkan naskah pidato SHI. Bahkan revisi dilakukan hingga detik-detik terakhir naskah pidato itu dibacakan. Kami mempelajari kembali dengan cermat hasil pembicaraan dengan kawan-kawan Global Greens di Bali, pandangan politik Global Greens dan juga Sarekat Hijau Indonesia terkait pertemuan UNFCCC di Bali. Demikian pula kami mencermati pula dokumen-dokumen Global Greens lainnya dan yang terpenting adalah Charter of The Global Greens. Termasuk kami merekam dengan cermat proses dan perbincangan yang berlangsung di Konferensi (termasuk workshop tematik yang berlangsung).
Dengan demikian kesempatan menyampaikan naskah pidato di konferensi mempercepat proses kami belajar, beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini termasuk memperkaya cara pandang kami. Kami mempelajari bahwa keragaman latar belakang politik, sosial, ekonomi dan budaya dari para peserta (partai dan organisasi politik lain) adalah salah satu kekuatan dari Global Greens. Tapi tentunya juga keragaman ini, serta potensi pertentangan yang mungkin muncul, harus terus didialogkan untuk mencapai solusi bersama. Di dalam proses konferensi memang muncul ketegangan karena perbedaaan konteks politik, sosial, ekonomi dan budaya misalnya soal isu utara-selatan, negara kaya-miskin bahkan adanya peringatan untuk mencegah ‘neo-kolonialisme’ partai hijau dari negara industri maju dll. Namun sejauh ini Konferensi berhasil dengan baik mengelola soal itu dan nyatanya telah menghasilkan resolusi-resolusi yang secara mulus diterima secara aklamasi.
Dalam Konferensi ini kami lebih terfokus untuk mengikuti pembahasan di seputar tema Climate Change, walaupun soal biodiversity dan sustainable city juga merupakan tema yang sangat menarik dan sangat relevan untuk kami. Terutama saya mencermati pesatnya pertumbuhan kota di Indonesia dan kegawatan yang menyertainya, temasuk proses migrasi yang pesat dari desa dan ke kota. Dimana bisa kami simpulkan bahwa sebagian kaum migran ini sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai pengungsi pembangunan/ekologi dari pedesaan. Sayangnya persoalan aglomerasi kota dan keberlanjutan kota belum menjadi agenda penting dan pokok dari gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
Konsentrasi kepada isu Climate Change bagi kami (seperti tercantum di dalam pandangan politik SHI tentang UNFCCC) didasari pandangan SHI bahwa isu Global Warming dan Krisis Energi sebagai sebuah signal atau alarm maha penting akan mendesaknya perombakan tatanan sosial dan ekonomi dunia. Demikian pula roadmap untuk mengatasi persoalan ini memiliki tiga dimensi penting dan pokok, pedang kembar demokratisasi global governance, keadilan sosial dan keadilan ekologi.
Disamping soal isu kami sangat antusias dengan tema yang dibahas dalam Heinrich Boll Foundation Forum II “Beetween Government Responsibilities and fundamental Opposition”, yang kemudian juga dibahas di dalam konferensi. Ada dua pertanyaan besar di dalam workshop ini, pertama terkait dengan ideology dan kedua menyangkut soal apa yang berubah ketika gerakan hijau memilih strategi parlementarian bahkan masuk di dalam pemerintahan, apakah ini akan mempengaruhi hubungan antara partai hijau dan gerakan sosial.
Terkait soal ideology, bahkan sejak proses persiapan yang berlangsung sepanjang 2 tahun sampai berdirinya Sarekat Hijau Indonesia menjadi perdebatan yang hangat. Termasuk dalam proses ketika menyiapkan manifesto SHI hingga ketika merumuskan materi pendidikan anggota dan kader politik SHI.
Kedua terkait tentang go politic, go parlemen masih jadi diskusi hangat dan belum sampai pada kesepakatan bersama tentang detil pilihan-pilihan dan strategi taktiknya. Dalam konteks Indonesia perjalanan go parlemen adalah perjalanan yang berat, salah satu syaratnya partai yang akan dibangun haruslah partai nasional dengan syarat kepengurusan dan kantor di 2/3 propinsi dari 33 propinsi yang ada di Indonesia. Selain itu kami menghadapi kuatnya dominasi oligarki politik-ekonomi di dalam partai-partai dominan dan sistim politik Indonesia. Apakah antisipasi kita bila kita go parlemen dalam situasi dan kondisi tersebut agar tidak tersapu atau tenggelam oleh mayoritas? Juga menjadi penting untuk terus menjaga hubungan yang mutualis simbiosis dengan gerakan lingkungan hidup dan gerakan sosial lainya.
Berkaitan dengan langkah untuk ’go politic’ kami banyak belajar dari pengalaman kawan-kawan global greens untuk membangun partai hijau di negaranya. Menjadi catatan penting kami adalah tentang dua kecenderungan ideologis di lingkungan partai hijau, yakni kecendrungan ’fundis’ dan ’realos’. Di dalam tafsir saya fundis adalah kecendrungan untuk secara ketat memegang prinsip (’garis ideologi”) yang artinya secara radikal berkomitmen merubah tatanan masyarakat (’bagi saya menjadi hijau adalah menjadi radikal”), dan realos yang bersifat lebih fleksibel, realistis sekaligus kompromistik. Barangkali bisa juga dianalogikan (walau bisa juga berarti penyederhanaan) dengan jaman revolusi dulu bersikap ko vs non-ko. Dimana ketika partai hijau cenderung ’realos’ maka bisa dipastikan akan terjadi kerenggangan dan keretakan dengan gerakan sosial hijau dengan visi yang lebih radikal.
Demikian catatan saya tentang perjalanan mengikuti proses Konferensi Global Greens ini, sebuah perjalanan peneguhan tekad untuk membangun kekuatan politik alternatif ; partai alternatif yang dibangun secara bottom up, dengan tulang punggung kader yang militan, berbasis massa rakyat, dan radikal di dalam visinya. Serta menempatkan perjuangan dalam negeri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan di tingkat global.
artikel terkait :
Dokumen Global Green Charter dapat didownload di: http://sarekathijauindonesia.org/files/Global%20Greens%20Charter%202001.pdf
artikel terkait
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (1)
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (2)
Global Green Berkomitmen Bantu Indonesia
Website Global Green
Salah satu hal yang paling mengesankan dari Global Greens Conference di Sao Paolo adalah atmosfir dan interaksi yang penuh persahabatan serta harapan yang terus terjaga diantara para peserta. Ini mengingatkan saya pada artikel 10.11 di dalam Charter of Global Greens (Canberra 2001) “(The Greens) Will support each other personally and politically with friendship, optimism and good humour, and not forget to enjoy ourselves in the process!.
Sebenarnya antusiasme kawan-kawan delegasi Global Greens yang sempat bertemu di Bali pada bulan Desember tahun lalu, yang kemudian berlanjut kepada undangan dan dukungan Heinrich Boll Foundation serta kesempatan emas untuk berpidato di forum panel tentang Climate Change di Sao Paolo yang ditawarkan oleh Margaret Blaker, sudah merupakan indikasi kuat tentang atmosfir yang penuh persahabatan sekaligus sebagai dukungan politik untuk memajukan Sarekat Hijau Indonesia sebagai embrio Partai Hijau di Indonesia. Dan tentunya juga nantinya sebagai bagian dari jaringan atau anggota keluarga Global Greens.
Oleh karena itu kami secara serius dan mendalam mendiskusikan dan menyiapkan naskah pidato SHI. Bahkan revisi dilakukan hingga detik-detik terakhir naskah pidato itu dibacakan. Kami mempelajari kembali dengan cermat hasil pembicaraan dengan kawan-kawan Global Greens di Bali, pandangan politik Global Greens dan juga Sarekat Hijau Indonesia terkait pertemuan UNFCCC di Bali. Demikian pula kami mencermati pula dokumen-dokumen Global Greens lainnya dan yang terpenting adalah Charter of The Global Greens. Termasuk kami merekam dengan cermat proses dan perbincangan yang berlangsung di Konferensi (termasuk workshop tematik yang berlangsung).
Dengan demikian kesempatan menyampaikan naskah pidato di konferensi mempercepat proses kami belajar, beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini termasuk memperkaya cara pandang kami. Kami mempelajari bahwa keragaman latar belakang politik, sosial, ekonomi dan budaya dari para peserta (partai dan organisasi politik lain) adalah salah satu kekuatan dari Global Greens. Tapi tentunya juga keragaman ini, serta potensi pertentangan yang mungkin muncul, harus terus didialogkan untuk mencapai solusi bersama. Di dalam proses konferensi memang muncul ketegangan karena perbedaaan konteks politik, sosial, ekonomi dan budaya misalnya soal isu utara-selatan, negara kaya-miskin bahkan adanya peringatan untuk mencegah ‘neo-kolonialisme’ partai hijau dari negara industri maju dll. Namun sejauh ini Konferensi berhasil dengan baik mengelola soal itu dan nyatanya telah menghasilkan resolusi-resolusi yang secara mulus diterima secara aklamasi.
Dalam Konferensi ini kami lebih terfokus untuk mengikuti pembahasan di seputar tema Climate Change, walaupun soal biodiversity dan sustainable city juga merupakan tema yang sangat menarik dan sangat relevan untuk kami. Terutama saya mencermati pesatnya pertumbuhan kota di Indonesia dan kegawatan yang menyertainya, temasuk proses migrasi yang pesat dari desa dan ke kota. Dimana bisa kami simpulkan bahwa sebagian kaum migran ini sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai pengungsi pembangunan/ekologi dari pedesaan. Sayangnya persoalan aglomerasi kota dan keberlanjutan kota belum menjadi agenda penting dan pokok dari gerakan lingkungan hidup di Indonesia.
Konsentrasi kepada isu Climate Change bagi kami (seperti tercantum di dalam pandangan politik SHI tentang UNFCCC) didasari pandangan SHI bahwa isu Global Warming dan Krisis Energi sebagai sebuah signal atau alarm maha penting akan mendesaknya perombakan tatanan sosial dan ekonomi dunia. Demikian pula roadmap untuk mengatasi persoalan ini memiliki tiga dimensi penting dan pokok, pedang kembar demokratisasi global governance, keadilan sosial dan keadilan ekologi.
Disamping soal isu kami sangat antusias dengan tema yang dibahas dalam Heinrich Boll Foundation Forum II “Beetween Government Responsibilities and fundamental Opposition”, yang kemudian juga dibahas di dalam konferensi. Ada dua pertanyaan besar di dalam workshop ini, pertama terkait dengan ideology dan kedua menyangkut soal apa yang berubah ketika gerakan hijau memilih strategi parlementarian bahkan masuk di dalam pemerintahan, apakah ini akan mempengaruhi hubungan antara partai hijau dan gerakan sosial.
Terkait soal ideology, bahkan sejak proses persiapan yang berlangsung sepanjang 2 tahun sampai berdirinya Sarekat Hijau Indonesia menjadi perdebatan yang hangat. Termasuk dalam proses ketika menyiapkan manifesto SHI hingga ketika merumuskan materi pendidikan anggota dan kader politik SHI.
Kedua terkait tentang go politic, go parlemen masih jadi diskusi hangat dan belum sampai pada kesepakatan bersama tentang detil pilihan-pilihan dan strategi taktiknya. Dalam konteks Indonesia perjalanan go parlemen adalah perjalanan yang berat, salah satu syaratnya partai yang akan dibangun haruslah partai nasional dengan syarat kepengurusan dan kantor di 2/3 propinsi dari 33 propinsi yang ada di Indonesia. Selain itu kami menghadapi kuatnya dominasi oligarki politik-ekonomi di dalam partai-partai dominan dan sistim politik Indonesia. Apakah antisipasi kita bila kita go parlemen dalam situasi dan kondisi tersebut agar tidak tersapu atau tenggelam oleh mayoritas? Juga menjadi penting untuk terus menjaga hubungan yang mutualis simbiosis dengan gerakan lingkungan hidup dan gerakan sosial lainya.
Berkaitan dengan langkah untuk ’go politic’ kami banyak belajar dari pengalaman kawan-kawan global greens untuk membangun partai hijau di negaranya. Menjadi catatan penting kami adalah tentang dua kecenderungan ideologis di lingkungan partai hijau, yakni kecendrungan ’fundis’ dan ’realos’. Di dalam tafsir saya fundis adalah kecendrungan untuk secara ketat memegang prinsip (’garis ideologi”) yang artinya secara radikal berkomitmen merubah tatanan masyarakat (’bagi saya menjadi hijau adalah menjadi radikal”), dan realos yang bersifat lebih fleksibel, realistis sekaligus kompromistik. Barangkali bisa juga dianalogikan (walau bisa juga berarti penyederhanaan) dengan jaman revolusi dulu bersikap ko vs non-ko. Dimana ketika partai hijau cenderung ’realos’ maka bisa dipastikan akan terjadi kerenggangan dan keretakan dengan gerakan sosial hijau dengan visi yang lebih radikal.
Demikian catatan saya tentang perjalanan mengikuti proses Konferensi Global Greens ini, sebuah perjalanan peneguhan tekad untuk membangun kekuatan politik alternatif ; partai alternatif yang dibangun secara bottom up, dengan tulang punggung kader yang militan, berbasis massa rakyat, dan radikal di dalam visinya. Serta menempatkan perjuangan dalam negeri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan di tingkat global.
artikel terkait :
Dokumen Global Green Charter dapat didownload di: http://sarekathijauindonesia.org/files/Global%20Greens%20Charter%202001.pdf
artikel terkait
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (1)
Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (2)
Global Green Berkomitmen Bantu Indonesia
Website Global Green
Langganan:
Postingan (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat