RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Sabtu, 07 Juni 2008

Perjalanan Peneguhan : Catatan Perjalanan SHI dari Global Greens Conference II di Sao Paolo

(oleh : andreas iswinarto – sekjen pp shi)

Salah satu hal yang paling mengesankan dari Global Greens Conference di Sao Paolo adalah atmosfir dan interaksi yang penuh persahabatan serta harapan yang terus terjaga diantara para peserta. Ini mengingatkan saya pada artikel 10.11 di dalam Charter of Global Greens (Canberra 2001) “(The Greens) Will support each other personally and politically with friendship, optimism and good humour, and not forget to enjoy ourselves in the process!.

Sebenarnya antusiasme kawan-kawan delegasi Global Greens yang sempat bertemu di Bali pada bulan Desember tahun lalu, yang kemudian berlanjut kepada undangan dan dukungan Heinrich Boll Foundation serta kesempatan emas untuk berpidato di forum panel tentang Climate Change di Sao Paolo yang ditawarkan oleh Margaret Blaker, sudah merupakan indikasi kuat tentang atmosfir yang penuh persahabatan sekaligus sebagai dukungan politik untuk memajukan Sarekat Hijau Indonesia sebagai embrio Partai Hijau di Indonesia. Dan tentunya juga nantinya sebagai bagian dari jaringan atau anggota keluarga Global Greens.

Oleh karena itu kami secara serius dan mendalam mendiskusikan dan menyiapkan naskah pidato SHI. Bahkan revisi dilakukan hingga detik-detik terakhir naskah pidato itu dibacakan. Kami mempelajari kembali dengan cermat hasil pembicaraan dengan kawan-kawan Global Greens di Bali, pandangan politik Global Greens dan juga Sarekat Hijau Indonesia terkait pertemuan UNFCCC di Bali. Demikian pula kami mencermati pula dokumen-dokumen Global Greens lainnya dan yang terpenting adalah Charter of The Global Greens. Termasuk kami merekam dengan cermat proses dan perbincangan yang berlangsung di Konferensi (termasuk workshop tematik yang berlangsung).

Dengan demikian kesempatan menyampaikan naskah pidato di konferensi mempercepat proses kami belajar, beradaptasi dengan lingkungan yang baru ini termasuk memperkaya cara pandang kami. Kami mempelajari bahwa keragaman latar belakang politik, sosial, ekonomi dan budaya dari para peserta (partai dan organisasi politik lain) adalah salah satu kekuatan dari Global Greens. Tapi tentunya juga keragaman ini, serta potensi pertentangan yang mungkin muncul, harus terus didialogkan untuk mencapai solusi bersama. Di dalam proses konferensi memang muncul ketegangan karena perbedaaan konteks politik, sosial, ekonomi dan budaya misalnya soal isu utara-selatan, negara kaya-miskin bahkan adanya peringatan untuk mencegah ‘neo-kolonialisme’ partai hijau dari negara industri maju dll. Namun sejauh ini Konferensi berhasil dengan baik mengelola soal itu dan nyatanya telah menghasilkan resolusi-resolusi yang secara mulus diterima secara aklamasi.

Dalam Konferensi ini kami lebih terfokus untuk mengikuti pembahasan di seputar tema Climate Change, walaupun soal biodiversity dan sustainable city juga merupakan tema yang sangat menarik dan sangat relevan untuk kami. Terutama saya mencermati pesatnya pertumbuhan kota di Indonesia dan kegawatan yang menyertainya, temasuk proses migrasi yang pesat dari desa dan ke kota. Dimana bisa kami simpulkan bahwa sebagian kaum migran ini sesungguhnya bisa dikategorikan sebagai pengungsi pembangunan/ekologi dari pedesaan. Sayangnya persoalan aglomerasi kota dan keberlanjutan kota belum menjadi agenda penting dan pokok dari gerakan lingkungan hidup di Indonesia.

Konsentrasi kepada isu Climate Change bagi kami (seperti tercantum di dalam pandangan politik SHI tentang UNFCCC) didasari pandangan SHI bahwa isu Global Warming dan Krisis Energi sebagai sebuah signal atau alarm maha penting akan mendesaknya perombakan tatanan sosial dan ekonomi dunia. Demikian pula roadmap untuk mengatasi persoalan ini memiliki tiga dimensi penting dan pokok, pedang kembar demokratisasi global governance, keadilan sosial dan keadilan ekologi.

Disamping soal isu kami sangat antusias dengan tema yang dibahas dalam Heinrich Boll Foundation Forum II “Beetween Government Responsibilities and fundamental Opposition”, yang kemudian juga dibahas di dalam konferensi. Ada dua pertanyaan besar di dalam workshop ini, pertama terkait dengan ideology dan kedua menyangkut soal apa yang berubah ketika gerakan hijau memilih strategi parlementarian bahkan masuk di dalam pemerintahan, apakah ini akan mempengaruhi hubungan antara partai hijau dan gerakan sosial.

Terkait soal ideology, bahkan sejak proses persiapan yang berlangsung sepanjang 2 tahun sampai berdirinya Sarekat Hijau Indonesia menjadi perdebatan yang hangat. Termasuk dalam proses ketika menyiapkan manifesto SHI hingga ketika merumuskan materi pendidikan anggota dan kader politik SHI.

Kedua terkait tentang go politic, go parlemen masih jadi diskusi hangat dan belum sampai pada kesepakatan bersama tentang detil pilihan-pilihan dan strategi taktiknya. Dalam konteks Indonesia perjalanan go parlemen adalah perjalanan yang berat, salah satu syaratnya partai yang akan dibangun haruslah partai nasional dengan syarat kepengurusan dan kantor di 2/3 propinsi dari 33 propinsi yang ada di Indonesia. Selain itu kami menghadapi kuatnya dominasi oligarki politik-ekonomi di dalam partai-partai dominan dan sistim politik Indonesia. Apakah antisipasi kita bila kita go parlemen dalam situasi dan kondisi tersebut agar tidak tersapu atau tenggelam oleh mayoritas? Juga menjadi penting untuk terus menjaga hubungan yang mutualis simbiosis dengan gerakan lingkungan hidup dan gerakan sosial lainya.

Berkaitan dengan langkah untuk ’go politic’ kami banyak belajar dari pengalaman kawan-kawan global greens untuk membangun partai hijau di negaranya. Menjadi catatan penting kami adalah tentang dua kecenderungan ideologis di lingkungan partai hijau, yakni kecendrungan ’fundis’ dan ’realos’. Di dalam tafsir saya fundis adalah kecendrungan untuk secara ketat memegang prinsip (’garis ideologi”) yang artinya secara radikal berkomitmen merubah tatanan masyarakat (’bagi saya menjadi hijau adalah menjadi radikal”), dan realos yang bersifat lebih fleksibel, realistis sekaligus kompromistik. Barangkali bisa juga dianalogikan (walau bisa juga berarti penyederhanaan) dengan jaman revolusi dulu bersikap ko vs non-ko. Dimana ketika partai hijau cenderung ’realos’ maka bisa dipastikan akan terjadi kerenggangan dan keretakan dengan gerakan sosial hijau dengan visi yang lebih radikal.

Demikian catatan saya tentang perjalanan mengikuti proses Konferensi Global Greens ini, sebuah perjalanan peneguhan tekad untuk membangun kekuatan politik alternatif ; partai alternatif yang dibangun secara bottom up, dengan tulang punggung kader yang militan, berbasis massa rakyat, dan radikal di dalam visinya. Serta menempatkan perjuangan dalam negeri sebagai bagian yang tak terpisahkan dari perjuangan di tingkat global.

artikel terkait :

Dokumen Global Green Charter dapat didownload di: http://sarekathijauindonesia.org/files/Global%20Greens%20Charter%202001.pdf

artikel terkait

Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (1)


Catatan Perjalanan SHI ke Global Greens Conference 2008 Sao Paolo (2)



Global Green Berkomitmen Bantu Indonesia


Website Global Green

Tidak ada komentar: