RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Selasa, 10 Juni 2008

Krisis Kedaulatan dalam Perspektif Politik Hijau

Oleh Khalisah Khalid, Biro Politik dan Ekonomi Pimpinan Pusat Sarekat Hijau Indonesia

10 Juni 2008/KORAN TEMPO

Hari Lingkungan pada 5 Juni 2008 menjadi sebuah momen penting untuk melihat lebih jauh arah gerakan lingkungan di Indonesia, sebagai sebuah gerakan perlawanan yang lahir dari kesadaran akan kondisi pembangunan yang tidak adil, khususnya bagi negara yang berada di belahan selatan, belahan bumi yang selalu menjadi sumber eksploitasi sumber daya alamnya.

Jika dicermati, ada tiga isu utama yang selalu disampaikan oleh pengurus negara tentang krisis yang dialami oleh rakyat. Dalam membaca sebuah krisis, pengurus negara mampu melihat peta persoalan yang dialami oleh rakyatnya, antara lain krisis air, krisis pangan, dan krisis energi. Sayangnya, road map yang dibuat sebagai sebuah solusi atas krisis yang dihadapi tidak ada relevansinya dengan krisis yang dialami oleh rakyat. Semua krisis dijawab dengan peta jalan memberikan alternatifnya dan mekanismenya kepada pasar, entah itu melalui regulasi, privatisasi, maupun liberalisasi yang semuanya dimainkan dalam sebuah alunan orkestra penjajahan yang melemahkan negara di dalam menjalankan fungsi dan perannya untuk menjamin pemenuhan hak-hak dasar rakyatnya.

Bagi Cecil Rhodes (1852-1902), kolonialisme adalah penemuan tanah baru yang dari tanah tersebut dapat dengan mudah didapatkan bahan-bahan mentah (sumber daya alam) yang dapat dieksploitasi dengan menggunakan buruh murah dari penduduk pribumi. Sumber daya alam sesungguhnya selalu menjadi alasan utama bagi kolonial di mana pun untuk mendominasi dan menanamkan kekuasaannya. Dari sini saja jelas digambarkan bahwa penguasaan negara (kolonialisasi) terkait erat dengan sumber daya alam sebuah negara.
Sumber daya alam berupa bahan mentah yang dikeruk menjadi sebuah komoditas di dalam kerangka pemenuhan konsumsi bagi negara-negara maju. Kebutuhan tersebut bukan ditentukan oleh konsumennya, melainkan oleh sebuah sistem ekonomi kapitalis yang menjual jargon globalisasi dan pasar bebas. Sementara negara yang ditempatkan sebagai penghasil sumber daya alamnya justru kehilangan akses atas sumber dayanya.

Inilah yang kemudian dinamakan dengan krisis kedaulatan yang disebabkan oleh adanya dominasi ekonomi global yang dibangun oleh sebuah sistem kapitalis, yang penguasa modalnya dalam hal ini TNC's/MNC's, lembaga keuangan internasional maupun elite oligarki di Indonesia, melumpuhkan kedaulatan negara untuk mampu menjalankan mandat konstitusinya untuk menjamin pemenuhan terhadap hak-hak dasar rakyatnya. Dominasi atas kekuatan ekonomi terhadap pengelolaan sumber daya alam menempatkan modal sebagai lokomotif dari seluruh cerita eksploitasi sumber daya alam.

Keadaan ini lebih lanjut telah menghancurkan nilai-nilai kedaulatan dan keadilan intra dan antargenerasi yang selanjutnya telah menciptakan pemiskinan rakyat. Kemerosotan kedaulatan ini ditandai dengan semakin hilangnya hak menentukan nasib sendiri, di tataran negara hingga di tataran satuan-satuan politik yang terkecil. Kemudian kemerosotan nilai keadilan tampak dari adanya ketimpangan distribusi manfaat, bahkan hilangnya hak-hak rakyat atas tanah, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.

Sementara itu, kekuatan elite politik dan ekonomi yang mewarisi watak penguasa sebelumnya telah berhasil mengkonsolidasikan kekuasaannya kembali dalam ruang- ruang politik.

Ketimpangan yang dialami bangsa ini juga merupakan potret global bahwa terjadi ketimpangan dalam kesejahteraan dan penguasaan asset antara segelintir orang dengan mayoritas rakyat di dunia. Tingkat kesejahteraan yang tinggi yang dinikmati oleh segelintir orang ini dapat berlangsung, karena pengisapan terhadap kekayaan alam dan modal sosial di negara-negara dunia ketiga atau negara yang lebih miskin, serta terhadap kelompok yang lebih rentan pada umumnya.

Di sisi lain gaya hidup, pola konsumsi, dan tingkat kesejahteraan segelintir orang ini bertanggung jawab atas kerusakan lingkungan hidup di negara-negara yang menjadi sumber pengisapan karena eksploitasi yang membabi buta. Pola konsumsi segelintir kelompok secara berlebih telah menyebabkan munculnya ancaman kerusakan lingkungan hidup yang berdimensi global. Ini sekaligus kritik terhadap pandangan yang menyebutkan bahwa kelebihan populasi penduduk berbanding lurus dengan kerusakan lingkungan akibat eksploitasi sumber daya alam di negara miskin yang jumlah penduduknya besar seperti Indonesia.

Krisis lingkungan
Paradigma pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai yang dibangun oleh sistem ekonomi global selalu memiliki watak yang eksploitatif, pertumbuhan ekonomi hanya mengandalkan sektor tertentu yang ekstraktif, seperti pertambangan dan kehutanan yang berkonsekuensi pada perubahan fungsi bentang alam. Atau, seperti perkebunan dan pembangunan infrastruktur yang menyingkirkan kebutuhan lain seperti lahan untuk penyediaan lahan pangan, dan akibat lebih lanjut adalah menghasilkan pengungsi ekologis dan pengungsi pembangunan.
Jon Schubart menyatakan bahwa ekologi politik mencoba untuk menelusuri empat hal, yakni (a) bagaimana struktur sosial dan alam saling menentukan, dan bagaimana keduanya membentuk akses terhadap sumber daya alam, (b) bagaimana konsep alam dan masyarakat yang telah dikonstruksi menentukan interaksi manusia dengan lingkungan, (c) koneksi antara akses terhadap dan kontrol atas sumber daya dan perubahan lingkungan, (d) hasil sosial dari perubahan lingkungan.

Gerakan politik lingkungan di Indonesia harus mampu menjelaskan bahwa persoalan lingkungan tidak sesederhana yang dibayangkan, tidak hanya bicara soal sains dan teknologi. Bicara soal lingkungan artinya kita bicara tentang persoalan yang lebih mendasar tentang sosial-politik, dan ekonomi-politik, bahwa saat ini ada kondisi yang tidak adil atas nama pembangunan ekonomi global, yang menghasilkan perubahan lingkungan yang tidak adil, khususnya bagi negara dunia ketiga. Konstruksi yang ingin kita bangun ulang tentu saja dengan fondasi yang melihat kelas siapa yang hari ini paling dimiskinkan, disingkirkan, dihilangkan hak-hak dasarnya.
Gerakan politik lingkungan di Indonesia saat ini harus memiliki kemampuan untuk memperbesar dan memperluas gerakannya, dan itu hanya bisa dilakukan jika subyek dari gerakan politik lingkungan itu adalah basis massa yang memiliki garis ideologi yang berpikir bahwa perjuangan penegakan keadilan ekologi bukan sekadar membicarakan soal degradasi lingkungan, tetapi juga membicarakan soal keberlanjutan generasi yang akan datang. Bicara soal gerakan lingkungan juga tidak terlepas dari bicara soal bagaimana mengembalikan kedaulatan rakyat terhadap hakhak dasarnya yang dibangun dengan semangat kolektivitas.

Jika Indonesia ingin keluar dari krisis lingkungan dan krisis kedaulatan, maka pada seluruh cerita model pengelolaan sumber daya alam di Indonesia harusnya menggunakan tiga hal mendasar dan semuanya harus didefinisikan menurut korban terbesar dan siapa yang paling tersubordinasi dalam pembangunan. Tiga hal mendasar tersebut adalah bagaimana jaminan keselamatan rakyatnya, bagaimana jaminan atas kesejahteraan dan produktivitasnya, dan bagaimana jaminan atas keberlanjutan dari fungsi pelayanan alamnya. Semuanya harus menjadi pilar utama dalam proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

artikel anda bagus dan menarik, artikel anda:
politik infogue.com
"Artikel anda di infogue"

anda bisa promosikan artikel anda di infogue.com yang akan berguna untuk semua pembaca. Telah tersedia plugin/ widget vote & kirim berita yang ter-integrasi dengan sekali instalasi mudah bagi pengguna. Salam!