RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Jumat, 26 September 2008

G 30 S dan Peran Aidit (Laporan Utama Oktober 2007)

Untuk link ke 20 artikel di edisi ini silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/bukan-pasar-malam_07.html


Dua Wajah Dipa Nusantara

EMPAT puluh dua tahun berlalu dan kini kita mengenang lelaki itu dengan kebencian dan rasa kagum. Dipa Nusantara Aidit memimpin Partai Komunis Indonesia pada usia belia, 31 tahun. Ia hanya perlu setahun untuk melambungkan PKI ke dalam kategori empat partai besar di Indonesia. PKI mengklaim memiliki 3,5 juta pendukung dan menjadi partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina. Aidit memimpikan revolusi, ia berkhayal tentang Indonesia tanpa kelas. Tapi ia terempas dalam prahara 1965. Setelah itu, ia jadi mitos. Seperti juga peristiwa G-30-S, kisah tentangnya dipenuhi mitos dan pelbagai takhayul. Siapa Aidit ini sebenarnya?

Sumber http://majalah.tempointeraktif.com/

BERTAHUN-TAHUN orang mengenalnya sebagai ”si jahat”. Lelaki gugup berwajah dingin dengan bibir yang selalu berlumur asap rokok. Bertahun-tahun terdengar kalimat-kalimat ini meluncur dari mulutnya: ”Djawa adalah kunci...”; ”Djam D kita adalah pukul empat pagi...”; ”Kita tak boleh terlambat...!”


Dipa Nusantara Aidit pada 1980-an adalah Syu’bah Asa. Seniman dan wartawan ini memerankan Ketua Umum Comite Central Partai Komunis Indonesia itu dalam film Pengkhianatan G-30-S/PKI. Setiap 30 September film itu diputar di TVRI. Lalu di depan layar kaca kita ngeri membayangkan sosoknya: lelaki penuh muslihat, dengan bibir bergetar memerintahkan pembunuhan itu.

Di tempat lain, terutama setelah Orde Baru runtuh dan orang lebih bebas berbicara, PKI didiskusikan kembali. Juga Aidit. Pikiran-pikirannya dipelajari seperti juga doktrin-doktrin Marxisme-Leninisme. Dalam sebuah diskusi di Yogyakarta, seorang penulis muda pernah di luar kepala mengutip doktrin 151—ajaran dasar bagi kaum kiri dalam berkesenian. Diam-diam komunisme dipelajari kembali dan Aidit menjadi mitos lain: sang idola.

Dia memulai ”hidup” sejak belia. Putra Belitung yang lahir dengan nama Achmad Aidit itu menapaki karier politik di asrama mahasiswa Menteng 31—sarang aktivis pemuda ”radikal” kala itu. Bersama Wikana dan Sukarni, ia terlibat peristiwa Rengasdengklok—penculikan Soekarno oleh pemuda setelah pemimpin revolusi itu dianggap lamban memproklamasikan kemerdekaan. Ia terlibat pemberontakan PKI di Madiun, 1948. Usianya baru 25 tahun. Setelah itu, ia raib tak tentu rimba. Sebagian orang mengatakan ia kabur ke Vietnam Utara, sedangkan yang lain mengatakan ia bolak-balik Jakarta-Medan. Dua tahun kemudian, dia ”muncul” kembali.

Aidit hanya butuh waktu setahun untuk membesarkan kembali PKI. Ia mengambil alih partai itu dari komunis tua—Alimin dan Tan Ling Djie—pada 1954, dalam Pemilu 1955 partai itu sudah masuk empat pengumpul suara terbesar di Indonesia. PKI mengklaim beranggota 3,5 juta orang. Inilah partai komunis terbesar di dunia setelah Uni Soviet dan Republik Rakyat Cina.

Dalam kongres partai setahun sebelum pemilu, Aidit berpidato tentang ”jalan baru yang harus ditempuh untuk memenangkan revolusi”. Dipa Nusantara bercita-cita menjadikan Indonesia negara komunis. Ketika partai-partai lain tertatih-tatih dalam regenerasi kader, PKI memunculkan anak-anak belia di tampuk pimpinan partai: D.N. Aidit, 31 tahun, M.H. Lukman (34), Sudisman (34), dan Njoto (27).

Tapi semuanya berakhir pada Oktober 1965, ketika Gerakan 30 September gagal dan pemimpin PKI harus mengakhiri hidup di ujung bedil. Aidit sendiri tutup buku dengan cara tragis: tentara menangkapnya di Boyolali, Jawa Tengah, dan ia tewas dalam siraman satu magazin peluru senapan Kalashnikov serdadu.

l l

LAHIR dari keluarga terpandang di Belitung, Sumatera Selatan, 30 Juli 1923, D.N. Aidit adalah anak sulung dari enam bersaudara—dua di antaranya adik tiri.
Ayahnya, Abdullah Aidit, adalah mantri kehutanan, jabatan yang cukup terpandang di Belitung ketika itu. Ibunya, Mailan, lahir dari keluarga ningrat. Ayah Mailan seorang tuan tanah. Orang-orang Belitung menyebut luas tanah keluarga ini dengan ujung jari: sejauh jari menunjuk itulah tanah mereka. Adapun Abdullah Aidit adalah anak Haji Ismail, pengusaha ikan yang cukup berhasil.

Tak banyak fakta yang menguraikan kehidupannya pada periode Belitung ini kecuali keterangan dari Murad Aidit, anak bungsu Abdullah-Mailan. Meski disebut-sebut bahwa Achmad adalah kakak yang melindungi adik-adiknya, ada pula cerita yang menyebutkan ia sebetulnya tak peduli benar dengan keluarga. Kepada Murad, suatu ketika saat mereka sudah di Jakarta, Aidit pernah mengatakan satu-satunya hal yang mengaitkan mereka berdua adalah mereka berasal dari ibu dan bapak yang sama. Tidak lebih. Dengan kata lain, Achmad tak peduli benar soal ”akar”.

Di Belitung, ia bergaul dengan banyak orang. Ia menjadi bagian dari anak pribumi, tapi juga bergaul dengan pemuda Tionghoa. Simpatinya kepada kaum buruh dimulai dari persahabatannya dengan seorang pekerja Gemeenschapelijke Mijnbouw Billiton, tambang timah di kampung halamannya.

Tapi seorang bekas wartawan Harian Rakjat, koran yang berafiliasi dengan PKI, menangkap kesan lain tentang Aidit. Katanya, Dipa Nusantara bukan orang yang mudah didekati. Ia tegang, ia tak ramah. ”Saya tak pernah merasa nyaman bila bersamanya,” kata bekas wartawan itu. Dalam hal ini, potret Arifin C. Noer, sutradara Pengkhianatan G-30-S/PKI, tentang Aidit mungkin tak kelewat salah: Aidit adalah pegiat partai yang dingin—mungkin cenderung kering.

Tak seperti Njoto, ia tak flamboyan. Ia tak main musik. Kisah cintanya jarang terdengar, kecuali dengan Soetanti, dokter yang belakangan menjadi istrinya. Pernah terdengar kabar ia menyukai seorang gadis yang juga dicintai sastrawan kiri, Utuy Tatang Sontani. Tapi tak ada perselisihan yang berarti. Ketika gadis itu menikah dengan lelaki lain, keduanya cuma tersenyum simpul.

Aidit memang menulis puisi, tapi sajak-sajaknya miskin imajinasi. Puisi-puisinya pernah ditolak dimuat di Harian Rakjat, koran yang sebetulnya berada di bawah kendalinya. Untuk itu ia murka, ia membanting telepon. Ada dugaan ia menulis sajak karena Mao Tse-Tung menulis sajak. Dikabarkan pernah pula ia berenang di sepotong sungai di Jakarta karena tahu Ketua Mao pernah menyeberangi Sungai Yang-Tse di Cina.
Tapi, apa pun, ia memimpin partai yang berhasil—setidaknya sampai G-30-S membuatnya porak-poranda. Kini peristiwa itu dikenal dengan pelbagai tafsir dengan Aidit sebagai tokoh yang selalu disebut.

Buku putih pemerintah Orde Baru menyebutkan PKI adalah dalang prahara itu. Tujuannya jelas: menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Hasil studi sejumlah Indonesianis asal Cornell University, Amerika Serikat, menyimpulkan kejadian itu adalah buah konflik internal Angkatan Darat. Studi ini disokong penelitian lain yang dilakukan Coen Holtzappel.

Ada pula yang yakin Amerika Serikat dan CIA yang menjadi dalang. Bekerja sama dengan klik tertentu dalam Angkatan Darat, AS memprovokasi PKI untuk menjatuhkan Soekarno. Peneliti Geoffrey Robinson termasuk yang mempercayai skenario ini.
Yang lain percaya ada skenario Inggris dan CIA yang bertemu untuk menjatuhkan Soekarno yang prokomunis. Ada pula yang berpendapat G-30-S adalah skenario Soekarno untuk melenyapkan oposisi tertentu dalam Angkatan Darat.

l l l
D.N. AIDIT sebetulnya punya sejumlah modal untuk melancarkan revolusi—sesuatu yang dipercaya kaum komunis bisa menjadikan masyarakat lebih baik: masyarakat tanpa kelas. Ia dekat dengan Soekarno, ia punya massa. Tapi PKI punya kelemahan: mereka tak punya tentara. Pengalaman partai komunis di banyak negara menunjukkan kekuatan bersenjata di bawah kendali partai adalah esensial karena, seperti kata Mao, kekuasaan lahir dari laras bedil. PKI pernah mengusulkan dibentuknya angkatan kelima—dengan mempersenjatai buruh dan tani—tapi gagasan itu segera ditentang tentara.

Mengatasi keadaan, Aidit datang dengan teorinya sendiri. Sebuah revolusi bisa dimulai dengan kudeta asalkan kup itu disokong 30 persen tentara. Kabarnya, gagasan ini sempat dipersoalkan aktivis partai komunis negara lain karena ide itu tak ada dalam ajaran Marxisme.

Di sinilah muncul spekulasi bahwa Aidit ”berjalan sendiri”. Indikasi yang paling sering disebut adalah ketika ia mendirikan Biro Chusus bersama Sjam Kamaruzzaman—tokoh misterius yang bahkan tak banyak dikenal oleh petinggi PKI sendiri. Pendirian Biro Chusus menjadi bahan gunjingan karena dilakukan tanpa konsultasi dengan anggota Comite Central yang lain. Sudisman menyebut ada dua faksi dalam partainya: PKI legal dan PKI ilegal. Yang terakhir ini adalah sindiran Sudisman terhadap Biro Chusus.
Itulah sebabnya, di hadapan seorang wartawan Harian Rakjat, 6 Oktober 1965, Njoto pernah bertanya kepada Lukman tentang apa yang terjadi dengan G-30-S. Lukman menggeleng.

Njoto, dalam wawancaranya dengan Asahi Shimbun, 2 Desember 1965—dua pekan sebelum ia dinyatakan ”hilang”—menyerang keyakinan Aidit tentang kudeta yang bisa bermutasi menjadi revolusi itu. ”Revolusi siapa melawan siapa? Apakah dengan demikian premis Untung (Letnan Kolonel Untung, pemimpin aksi G-30-S—Red.) mengenai adanya Dewan Jenderal itu membenarkan coup d’etat?” tanya Njoto.
Aiditkah dalang tunggal prahara G-30-S? Dalam diskusi internal redaksi Tempo, Ibarruri Putri Alam, anak sulung D.N. Aidit, menyangkalnya. Iba, kini bermukim di Paris, Prancis, meyakini bapaknya pun tak tahu-menahu soal pembunuhan para jenderal. Dari sejumlah studi yang dibacanya, ditemukan bahwa saat dibawa ke Halim, Jakarta Timur, oleh aktivis PKI tak lama setelah pembunuhan terjadi, Aidit bertanya-tanya, ”Saya mau dibawa ke mana?”

Di sinilah muncul spekulasi lain: Aidit ditelikung Sjam Kamaruzzaman. Skenario ini bukan tak punya argumentasi. Sebuah studi misalnya mengutip keterangan Mayor Angkatan Udara Soejono yang berbincang dengan Aidit pada 30 September malam. Kepada Soejono, Aidit membenarkan kabar bahwa informasi-informasi penting yang ditujukan kepadanya harus melalui Sjam.

Persoalannya, menurut Soejono, rapat-rapat Politbiro menjelang G-30-S hanya memerintahkan penangkapan para jenderal—untuk diserahkan kepada Bung Karno—bukan pembunuhan. Ketidaksetujuan terhadap analisis militer Sjam juga telah disampaikan seorang komandan batalion gerakan yang kemudian ditahan di Rumah Tahanan Militer Salemba.

Begitukah? Tak pernah ada jawaban tunggal atas prahara yang menewaskan ratusan ribu orang tersebut. Tidak buku putih Orde Baru, tidak juga keyakinan Ibarruri. Sejarah adalah sebuah proses menafsirkan.

Apa yang disajikan dalam Liputan Khusus Tempo kali ini adalah upaya mengetengahkan versi-versi itu. Juga ikhtiar membongkar mitos tentang D.N. Aidit. Bahwa ia bukan sepenuhnya ”si brengsek”, sebagaimana ia bukan sepenuhnya tokoh yang patut jadi panutan.

Tim Liputan Khusus Penanggung Jawab Proyek: Arif Zulkifli Koordinator: Wenseslaus Manggut, Philipus Parera, Bagja Hidayat Penyunting: Arif Zulkifli, Hermien Y. Kleden, Toriq Hadad, Idrus F. Shahab, Seno Joko Suyono, Wahyu Muryadi, M. Taufiqurohman, L.R. Baskoro, Leila S. Chudori, Yos Rizal, Yudono, Bina Bektiati Penulis: Wenseslaus Manggut, Arif Zulkifli, Philipus Parera, Bagja Hidayat, Wahyu Dhyatmika, Arif A. Kuswardono, Abdul Manan, Akmal Nasery Basral, Sunariah, Widiarsi Agustina, Yandhrie Arvian, Adek Media Roza, Sunudyantoro, Budi Riza Penyumbang Bahan: Arti Ekawati (Jakarta), Purwani Diah Prabandari (Bandung), Sohirin (Semarang), Rofiuddin (Semarang), Imron Rosyid (Solo), Asmayani Kusrini (Belanda) Periset Foto: Arif Fadillah, Rully Kesuma, Mazmur Sembiring, Bismo Agung, Nur Haryanto Desain: Gilang Rahadian, Fitra Moerat R., Anita Lawudjaja, Danendro Adi.

untuk mendapatkan link 20 artikel laput Tempo silah klik
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/bukan-pasar-malam_07.html

Kamis, 25 September 2008

Artikel Tempo : Chairil Anwar dan Semangat Kebangsaan

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Denyut Demostran Dalam Puisi

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Menhadirkan Indonesia

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Hilang Tapi Terus Berjuang

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Potret Pembangkangan Rendra

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Mati Ketawa keliling Indonesia

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Kisah Atlas dari Amsterdam

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : W. J. S. Poerwadarminta Bapak Kamus Indonesia

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Tanda Bangsa Berbudaya

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Nasionalisme dalam Belenggu Waktu

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Perlawanan Abadi Siti Nurbaya

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Tetralogi Buru dan Indonesia “Modern”

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Terbakar Pesona Revolusi

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Jalan Pejal Menuju yang Modern

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Mereka Ulang di Pengucilan

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Logika Si Misterius

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Lagu Khayal Merdeka

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Membongkar Mitos Konstituante

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Kontroversi Buku Yamin

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Gugatan Dari Kaleng Rombeng

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Imaji Indonesia : Hindania dan Antara Politik Dua Karang

ilahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Artikel Tempo : Padi Yang Tumbuh Tak Terdengar

Silahkan dapatkan link artikel ini dan link artikel22 99 Teks Imajinasi Indonesia Pilihan Tempo di : http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/imaji-indonesia-pada-100-teks.html


Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.

Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.

Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya

Kamis, 18 September 2008

PERSPEKTIF HAM DALAM ADVOKASI LINGKUNGAN HIDUP

Andreas Iswinarto (2004)

Sebuah eksplorasi awal

Pada bulan April 2001 Komisi Hak Asasi Manusia PBB menyimpulkan bahwa setiap orang memiliki hak hidup di dunia yang bebas dari polusi bahan-bahan beracun dan degradasi lingkungan hidup. Keputusan itu adalah kali pertama Komisi tersebut mengkaitkan antara lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Menanggapi momen bersejarah tersebut Klaus Toepfer, Direktur Eksekutif UNEP (United Nation Environment Program) menyatakan "Keadaan lingkungan hidup secara nyata membantu untuk menentukan sejauh mana orang dapat menikmati hak-hak dasarnya untuk hidup, kesehatan, makanan dan perumahan yang layak serta atas penghidupan dan budaya tradisionalnya. ... Hak dasar untuk hidup terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun, limbah berbahaya dan pencemaran air minum. Untuk alasan inilah, kami percaya keberhasilan implementasi traktak lingkungan hidup internasional tentang keanekaragaman hayati, perubahan iklim, penggurunan dan bahan kimia dapat memberikan sumbangan utama bagi perlindungan hak asasi manusia' Sesungguhnya konsern PBB terhadap masalah lingkungan hidup ini telah dimulai, pada tahun 1972 di Swedia melalui penyelenggarakan KTT lingkungan yang pertama di Stockholm. Negara-negara Dunia Pertama dan Dunia Ketiga hadir dalam KTT yang difasilitasi PBB itu. Isu dominan yang dibahas pada saat itu adalah sustainability (kesinambungan) sumber daya alam dalam menyokong kehidupan manusia dan juga masalah perkembangan populasi dunia.

Sepuluh tahun kemudian, saat diselenggarakan Konferensi Lingkungan Hidup kedua (UNCHE II) di Nairobi, Kenya, 1982, gambaran situasinya telah berubah. The United Nations Environtment Programme (UNEP - Program Lingkungan Hidup PBB) dibentuk sesegera setelah Konferensi Stockholm sebagai badan PBB yang baru; di samping tindakan-tindakan lain, konferensi kedua itu berhasil dengan bantuan para pakar internasional dalam memprakarsai teori dan strategi ecodevelopment sebagai alternatif politik pembangunan.

Pembahasan ini pun tetap berlanjut sampai pada KTT Bumi di Rio De Janeiro tahun 1992. Itu pertanda bahwa isu ini bukan masalah enteng dalam percaturan politik internasional. Tapi harapan akan perbaikan kondisi lingkungan yang membuncah dengan terselenggaranya KTT-KTT ini pun tak tumbuh jadi tunas. Justru dari KTT satu ke KTT berikutnya, kemerosotan lingkungan makin parah terjadi; terutama di Dunia Ketiga di Asia, Afrika, dan Amerika Selatan.

Hingga terselengganya KTT Bumi 1992, belum ada pengakuan eksplisit keterkaitan lingkungan hidup dan hak asasi manusia. Baru setelah keputusan sidang Komisi Hak Asasi PBB tahun 2001 secara eksplisit diurai kaitan lingkungan dan hak asasi manusia.

Hak Asasi Manusia dalam Sistim PBB
Menurut Burns H. Weston ada tiga generasi HAM. Tiga generasi HAM menunjukkan suasana dialektika antara berbagai aliran ideologi terutama liberal dan sosial juga aspirasi dari negara-negara dunia ketiga yang baru merdeka dari kolonialisme. Tetapi inspirasinya diilhami oleh tiga norma Revolusi Perancis, hak-hak itu adalah generasi pertama dari hak-hak sipil politik (liberte-kebebesan), generasi kedua dari hak-hak ekonomi, sosial, budaya (egalite-persamaan sosial) dan gernerasi ketiga hak-hak solidaritas (fraternite-persaudaraan).

Weston menyebutkan bahwa "Generasi pertama berupa hak-hak sipil-politik berasal terutama dari teori-teori reformis abad ketujuh belas dan kedelapan belas yang berkaitan dengan revolusi Inggris, Amerika dan Perancis. Diinfus dengan filosofi politik dari individualisme liberal dan doktrin ekonomi laissez-faire. Generasi ini mengartikan HAM dengan istilah yang lebih bersifat negatif atau lebih suka abstensi daripada intervensi pemerintah dalam pencarian martabat manusia (pasal 2-22 DUHAM PBB). Walaupun dalam beberapa segi juga mensyarajat tindakan positif pemerintah seperti hak atas keamanan pribadi, paradilan yang adil dan terbuka dll. Tetapi nilai sentralnya tetap bahwa kebebasan merupakan suatu perisai yang melindungi individu sendirian dan dalam asosiasi-asosiasi dengan yang lain-lain, dari penyelewengan dan penyalanggunaan otoritas politik."

"Sedangkan Generasi kedua pada umumnya, muncul dari tradisi sosialis dan dicanangkan dengan berbagai cara oleh perjuangan-perjuangan revolusioner dan gerakan kesejahteraan sejak itu. HAM generasi kedua merupakan tanggapan terhadap penyelewengan dan penyalahgunaan pembangunan kapitalis dan konsepsi kebebasan individual yang mendasarinya, yang pada pokoknya tidak menentukan, yang mentolerir, bahkan mengesahkan, eksploitasi kelas pekerja dan rakyat-rakayat daerah jajahan. Generasi kedua mengartikan istilah HAM secara positif yang mensyaratkan intervensi negara dengan tujuan untuk memastikan partisipasi yang merata dalam produksi dan distribusi nilai-nilai yang dikandung (pasal 22-27 DUHAM PBB). Walau demikian hak memilih pekerjaan dengan bebas, hak untuk membentuk dan bergabung dengan serikat buruh, dan hak partisipasi secara bebas dalam kehidupan budaya dari komunitas, tidak secara inheren mensyaratkan tindakan pemerintah yang positif untuk menikmatinya. Tetapi sebagian karena relatif terlambatnya datangnya pengaruh sosialisme-komunis dalam bidang normatif masalah-masalah internasional, maka internasionalisasi HAM generasi kedua ini agak terlambat; tetapi dengan meningkatnya kekuatan Dunia Ketiga di tingkat glonal, sungguh merupakan 'revolusi harapan yang meningkat,' hak-hak asasi itu telah mulai dewasa."

"Sedangkan generasi ketiga ditunjukkan dalam pasal 28 DUHAM PBB bahwa "setiap orang berhak atas tatanan sosial dan internasional karena hak-hak asasi yang dinyatakan dalam Deklarasi ini dapat diwujudkan sepenuhnya'. Deklarasi sejauh ini mencakup 6 hak asasi yang dituntut. Tiga diantaranya mencerminkan bangkitnya nasionalisme di Dunia Ketiga dan tuntutannya terhadap pemerataan kekuasaan, kekayaan dan nilai-nilai lain yang penting secara global: hak atas penentuan nasib sendiri di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya: hak atas pembangunan ekonomi dan sosial; hak untuk berpartisipasi dan memanfaatkan 'warisan bersama umat manusia' (sumberdaya bumi-ruang angkasa bersama; informasi dan kemajuan ilmiah, teknis dan lainnya; serta tradisi, lokasi dan monumen-monumen kebudayaan). 3 hak lainnya adalah hak atas perdamaian. Hak atas lingkungan hidup yang sehat dan seimbang dan hak-hak atas bantuan bencana alam yang bersifat kemanusian - mengingat ketidakberdayaan atau ketidakefisienan negara-bangsa pada hal-hal kritis tertentu."

Walaupun HAM generasi ketiga belum manifes atau secara eksplisit diakui sebagai hak asasi manusia (kecuali hak atas pembangunan yang telah dideklarasikan dan disetujui Majelis Umum tanggal 4 Desember 1986), paling tidak ditingkat wacana telah ada pengakuan.

Hak Atas Sumber-sumber Kehidupan dan Lingkungan Hidup yang Bersih dan Sehat

Bila Klaus Toepfer (Direktur Eksekutif UNEP) menyatakan hak dasar untuk hidup terancam oleh degradasi dan deforestasi, paparan bahan kimia beracun, limbah berbahaya dan pencemaran air minum. Sesungguhnya ia luput untuk menyoal perampasan sumber-sumber kehidupan rakyat (agraria dan sumberdaya alam) sebagai ancaman terbesar yang dihadapi rakyat menyangkut hak dasar untuk hidup.

Walaupun belum ada deklarasi traktak atau konvenan khusus tentang Hak Lingkungan Hidup sebagai Hak Asasi sesungguhnya berbagai dimensi yang menyangkut hak-hak dasar atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup telah tercakup dalam berbagai Hak-Hak Ekonomi-Sosial-Budaya (EKOSOB).

Hak Atas sumber-sumber Kehidupan
a. Hak atas Penentuan Nasib Sendiri
(Pasal 1 ayat 1 : Semua rakyat mempunyai hak menentukan nasib sendiri. Atas kekuatan hak itu, mereka dengan bebas mengejar perkembangan ekonomi, sosial dan budaya mereka sendiri)
Keterangan : Kedaulatan Rakyat dan Otonomi Komunitas
b. Hak atas Pekerjaan
(Setiap negara Peserta Kovenan ini mengakui hak atas pekerjaan, termasuk hak setiap orang atas kesempatan untuk mencari nafkah dengan pekerjaan yang dipilihnya atau diterimanya sendiri secara bebas, dan akan mengambil langkah-lankgah yang diperlukan guna menjamin hak ini) Keterangan : Perampasan atas sumber-sumber agraria dan sumber daya alam
hakekatnya adalah merampas hak atas pekerjaan
c. Hak atas Taraf Kehidupan yang layak
(Pasal 11 ayat 1 Negara-negara peserta Konvenan ini mengakui hak setiap orang atas taraf kehidupan yang layak baginya dan keluarganya, termasuk sandang, pangan dan tempat tinggal, dan perbaikan yang terus menerus dari lingkungannya
d. Hak atas Kekayaan Alam
(Pasal 1 ayat 2 : Semua rakyat dapat secara bebas mengatur segala kekayaan dan sumberdaya mereka sendiri... Tidak dapat dibenarkan suatu bangsa merampas penghidupan rakyatnya sendiri.)

Hak Atas Lingkungan Hidup yang Sehat dan Bersih
a. Hak atas Kehidupan
Pasal 6 ayat 1 Setiap umat manusia mempunyai hak hidup yang melekat pada dirinya.
b. Hak Atas Kesehatan.
Pasal 12 ayat 1 .. Mengakui hak setiap orang untuk menikmati kegiatan fisik dan mental pada taraf yang tertinggi yang dapat dicapai
Pasal 12 ayat 2 b .memperbaiki semua aspek kesehatan lingkungan dan industri.

Melawan Akar Ketidakadilan Sosial Untuk Dunia Damai

Andreas Iswinarto (2003)

Saya akan memulai tulisan ini dengan menyajikan beberapa fenomena sosial reaksi-reaksi berlebihan pasca aksi terorisme Bali, dimana disatu sisi menggambarkan reaksi ketakutan, kepanikan, kewaspadaan yang sangat manusiawi, disisi lain menggambarkan oportunisme politik yakni berbagai motif kepentingan kekuasaan dan modal yang bermain dan memanfaatkan situasi ini. Dari sana saya akan menarik benang merah kait mengkaitnya kepentingan militeristik dan modal di tingkat nasional dan internasional disatu sisi berhadapan dengan kepentingan rakyat pada umumnya.

Fenomena Sosial Pasca Bali

Seorang akademisi dari sebuah perguruan tinggi di Sumatera menyebutkan aksi penolakan warga atas rencana pembukaan kembali PT Indorayon (kini PT Toba Pulp Lestari) sebagai tindakan 'terorisme lingkungan' (pertama). Sedangkan aparat keamanan menyebarkan isu bahwa ke 18 orang warga yang ditangkap akibat konflik ini akan dijerat dengan Perpu Antiterorisme (seperti disampaikan Johnson Panjaitan; Equator 24.11.2003) (kedua)

Dari fenomena pertama ini kita bisa menangkap ada kelatahan untuk melabelkan teroris (dahulu label komunis yang digunakan) kepada sekelompok orang yang dipandang 'mengganggu stabilitas dan ketertiban' (menurut gaya orde baru). Sedangkan pada fenomena kedua kita melihat isu terorisme dijadikan alat untuk melakukan perang dan kekerasan psikologis untuk menakuti-nakuti rakyat.

Selepas peristiwa bom Bali KSAD Ryamirzard Ryaccudu mencoba memanfaatkan perisitiwa biadab ini sebagai dalih untuk meyakinkan masyarakat bahwa Komando Dearah Militer harus diperluas. Adapun mantan Laksamana Sudomo meminta pemerintah untuk memberlakukan kembali Undang-undang Subversi. Pararel dengan itu pemerintah Australia secara khusus mempromosikan Kopassus sebagai mitranya di Indonesia dalam kepentingan memerangi terorisme (lihat Komunike Pertama Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) (ketiga)

Fenomena ketiga hampir mirip dengan yang kedua, hanya ini dalam bentuknya yang lebih permanen, sistemik, menggambarkan akan kembalinya mimpi buruk penistaan hak asai manusia masa Orde Baru. Komando Daerah Militer, UU Subversif, Kopassus adalah salah satu sisi terkelam dari sejarah represi Orde Baru.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengusulkan agar sejumlah perusahaan tambang masuk menjadi obyek vital nasional (Suara Pembaruan 21.10.2002). Menteri Polkam memutuskan agar memperketat perlindungan terhadap obyek-obyek vital di wilayah Indonesia (Metro TV; 29.10.2002). Sementara itu Pangdam VI Tanjung Pura menyatakan bahwa Kalimantan Timur paling rawan dari ancaman bom dibandingkan daerah lain di Kalimantan karena Kaltim banyak memiliki aset vital (Metro TV, 30.10.2003) (keempat).

Sementara Kepala Bappenas Koensatwanto Inpasihardjo mengatakan kepada pers bahwa setelah perisitiwa bom Bali jumlah pinjaman Consultative Group on Indonesia (CGI yang diplesetkan oleh sekelompok anak-anak muda sebagai Coalition of Global Imperialism) akan ditambah menjadi Rp. 27 triliun dibanding RAPBN 2003 yang hanya mentargetkan utang sebesar RP. 18 milyar (Media Indonesia, 3.1.2003). Sementara itu Amerika Serikat (yang kebetulan anggota CGI) menjadikan tragedy kemanusiaan di Bali sebagai alasan untuk memulihkan bantuan militer kepada TNI (lihat Komunike Pertama Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) (kelima).

Sedangkan fenomena keempat menggambarkan disatu sisi kepanikan akan hilangnya 'kepercayaan pasar' karena obyek vital yang dirujuk adalah obyek-obyek ekonomi disisi lain menggambarkan hilangnya kepekaan terhadap realitas peran negara untuk melindungi seluruh wilayah dan bangsa Indonesia. Bahwa semestinya menjadi kewajiban negara untuk melindungi wilayah dan bangsa Indonesia tanpa harus mendahulukan kepentingan obyek-obyek vital tertentu karena obyek-obyek vital tersebut telah mempunyai mekanisme dan kemampuan sendiri untuk melindungi diri dan membiayainya (lihat pernyataan bersama Walhi-Kontras-TATR-YAPPIKA-JATAM-ELSAM; 1.11.2002). Jangan lagi terjadi koloni PT Freeport di Papua yang menikmati previlese perlindungan militer yang berlebihan yang memakan korban rakyat. Ingat kekejian yang dilakukan oleh militer terhadap Mama Yosepha yang mengalami penyiksaan hingga disekap dalam kontainer.

Perkawinan Militerisme dan Imperialisme Modal

Soal fenomena keempat dan juga kelima saya ingat kembali tulisan pada kaos yang digunakan anak-anak muda begini bunyinya 'Guns Made Free Market Possible' atau 'Free Market Used Guns'. Perbedaannya adalah soal pertama levelnya adalah nasional dan soal kedua levelnya adalah internasional. Semoga anda paham bahwa CGI-IMF dan rezim utang luar negeri adalah pembawa kepentingan 'pasar bebas' yang buntut-buntutnya adalah kepentingan minoritas pemilik modal dan perusahaan untuk menguasasi semua sumber-sumber kehidupan (sumber daya alam) dengan menyingkirkan mayoritas rakyat dari bumi, air, tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sebuah kemunafikan kalau menganggap utang luar negeri
tidak memiliki motif-motif yang keserakahan.

Tanpa mengaitkan dulu dengan isu utama diskusi kita hari ini ada kesimpulan sementara yang dapat kita tarik bahwa ada kait-mengkait antara kepentingan modal dan penggunaan kekuasaan militer atau tegasnya imperialisme modal dan militerisme. Dalam kasus Indorayon hal ini berimplikasi pada perampasan hak-hak rakyat atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup. Dan untuk merebut kembali hak-hak itu mereka sekaligus mengalami pelanggaran berat terhadap hak sipil dan politik mereka . Seperti dinyatakan dalam pernyataan sikap bersama oleh organisasi-organisasi masyarakat, keagamaan, ornop serta individu-individu yang peduli untuk solidaritas korban Porsea yang di lakukan di kantor pusat Muhammadiyah (3.1.2003) disebutkan bahwa

"Hak masyarakat untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya secara terbuka juga telah diinjak-injak oleh aparat negara dan perusahaan demi melancarkan rencana pengoperasian kembali PT.IIU/PT.TPL. Hal ini lebih jauh telah melanggar Deklarasi Umum HAM (DUHAM) terutama pasal 19 tentang Hak Mengungkapkan Pendapat (Right to Expression). Penangkapan, penahanan, pemukulan dan penyiksaan secara semena-mena terhadap masyarakat yang menyampaikan aspirasinya pada tanggal 21 November 2002 dilakukan oleh aparat keamanan tanpa melalui prosedur yang benar. Masyarakat yang ditahan tidak diizinkan untuk didampingi oleh penasihat hukum dimana hal ini telah nyata melanggar DUHAM pasal 9 tentang Hak atas Keadilan (Rights to Justice). Penjagaan tempat-tempat ibadah serta teror psikologis yang dilakukan oleh aparat keamanan yang berkeliaran di Porsea telah menghilangkan hak manusia yang paling mendasar yaitu perasaan bebas dari ketakutan (Freedom from Fear). Hal ini juga telah menyebabkan masyarakat tidak dapat merayakan Hari Besar Idul Fitri dan Natal secara bebas'.

Dari kasus Indorayon ini saja kita bisa melihat bahwa pemerintah tidak ragu-ragu melakukan tindakan tindakan represif untuk membela investasi dan kebijakan yang 'pro pasar'. Sepertinya upaya membuka kembali Indorayon menjadi taruhan besar bagi pemerintah untuk menujukkan kebijakan yang 'ramah terhadap pasar' tapi 'brutal terhadap rakyat' sebagai respon selepas histeria kecemasan hengkangnya para investor. Hal ini tidak hanya sebuah kebetulan, tetapi sesuatu yang permanen, sistemik dan struktural terjadi di tingkat global.

Karena itu marilah berupaya sekuat mungkin untuk melawan terorisme, tidak dengan membuka peluang dan melegalkan lahirnya terorisme baru atau ancaman terhadap hak asasi manusia. Seperti halnya sebuah perpu anti-teroris atau bahkan perang yang dilakukan Amerika terhadap Afganistan. Deklarasi Porto Allegre menyebutkan :

Setelah serangan teroris (peristiwa 11 september), yang secara mutlak kami kutuk, seperti juga kutukan kami atas serangan terhadap waga sipil di seluruh dunia, pemerintah Amerika dan sekutunya melakukan operasi militer masif. Serangan terhadap hak-hak sipil dan politik atas nama 'perang melawan terorisme' berlangsung di seluruh dunia. Perang melawan Afganistan, menggunakan metode yang sama dengan para teroris, yang dilakukan dalam front yang lebih
luas. Ini adalah awal perang global permanen untuk meneguhkan dominasi pemerintah Amerika dan sekutunya. Perang ini adalah wajah lain dari neo-liberalisme (imperialisme modal, pemakalah) , dengan wajah yang lebih brutal dan dan tidak bisa diterima.

Forum Sosial Dunia Porto Allegre II tahun 2002, sebuah forum masyarakat sipil se dunia yang diselenggarakan setiap tahun sebagai tandingan Forum Ekonomi Dunia milik kaum pemodal. Dalam deklarasinya yang kedua Forum ini menyerukan kepada gerakan sosial sedunia untuk melakukan perlawanan terhadap neoliberalisme (imperialisme modal), kekerasan, militerisme untuk perdamaian dan keadilan sosial.

Judul yang dipilih dalam forum sosial ini juga menggambarkan bahwa untuk mencapai perdamaian dan keadilan, kita harus melakukan perlawanan terhadap neo-liberalisme (imperialisme modal) dan militerisme.

Selain itu segala upaya untuk melawan terorisme haruslah menyentuh akar masalah munculnya terorisme. Vandana Shiva seorang feminis, aktivis perdamaian dan aktivis lingkungan menyebutkan bahwa -ketidakamanan ekonomi, subordinasi budaya dan kehancuran ekologi - dapat menjadi ladang subur bagi munculnya terorisme. Pernyataan itu agaknya senafas dengan seruan F. Budi Hardiman dalam catatan budaya akhir tahun di harian Kompas, 'Kutuklah kekerasan, tetapi juga bongkarlah ketidakadilan stuktural yang melatarbelakanginya.'

Menurut deklarasi Porto Allegre ketidakadilan ini lahir dari sistim dominan yang dilandasi nilai-nilai seksis, rasis dan kekerasan, yang mengutamakan kepentingan modal dan patriarki diatas kepentingan dan aspirasi rakyat. Sistem mana setiap hari menciptakan drama kematian perempuan, anak-anak, manula karena kelaparan, minimnya kesehatan dan penyakit yang sesungguhnya dapat dicegah. Keluarga-keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka karena peperangan, dampak mega proyek pembangunan, tuna lahan dan bencana lingkungan, pengangguran, perampasan jasa-jasa publik, dan penghancuran solidaritas sosial.

Akhir kata dengan memohon maaf, tanpa perlu melakukan kajian atas pasal-pasal Perpu Anti-Terorisme iklim atau angin rezim kekuasaan politik dan ekonomi di tingkat nasional dan global adalah angin yang memusuhi rakyat. Karena itu saya mendukung penolakan atas Perpu atau RUU Anti Terorisme oleh Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil. Amandemen KUHP dan KUHAP yang sudah aratan dan bulukan dan ratifikasi 12 konvensi dan protocol internasional yang dikeluarkan PBB mengenai terorisme seperti diusulkan oleh koalisi saya pikir lebih sejalan dengan akal sehat saya

Globalisasi Perlawanan, Globalisasi Harapan

Andreas Iswinarto (2004)

Globalisasi Perlawanan, Globalisasi Harapan


Setiap hari 11.000 anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori (satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan kronis di seluruh dunia dan/ada kira-kira 70% dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Selain itu terjadi kecenderungan meningkatnya kemiskinan sepanjang 10 tahun terakhir. Data UNDP 1999 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197
milyar pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk dunia. Dua puluh lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan hidup dengan 1-2 dollar AS setiap hari.

Disatu sisi kemiskinan semakin kronis, disisi lainnya terjadi pemusatan kekayaan ditangan segelintir orang (laporan UNDP 1999). Tiga orang terkaya di dunia menguasai aset yang nilainya setara dengan milik 600 juta orang di 48 negara miskin. Saat ini pula seperlima penduduk di negeri-negeri paling kaya menguasai 86 persen produk domestik bruto dunia, 82 persen pasar ekspor
dunia dan 68 persen penanaman modal langsung.

Korporasi-korporasi global yang didukung oleh negara-negara maju dan kaya, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) kartel utang terutama IMF, Bank Dunia, adalah mesin utama akumulasi kekayaan yang dihisap dari tempat-tempat termiskin di dunia ini. Kini kekuasaan Korporasi Global telah menyaingi kekuasan ekonomi-ekonomi negara-negara. Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 diantaranya adalah Korporasi Global. Sedangkan gabungan pendapatan Mitsubishi, General Motor dan Ford Motor lebih besar dibandingkan gabungan Denmark, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili dan Selandia Baru.

Proses akumulasi kekayaan disatu sisi dan penghisapan serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini kita kenal sebagai Neoliberalisme dan Globalisasi Kapitalis.

Wajah Dunia Saat Ini

Dunia yang kita lalui hari ini adalah dunia yang tak jauh beda dengan dunia saat kolonialisme dan imperialisme berada pada puncak kejayaannya, menundukkan sebagian besar bangsa-bangsa di selatan sejak abad 18. Dunia hari ini adalah dunia dimana makna kemerdekaan dan kedaulatan terutama bagi bangsa-bangsa selatan semakin memudar dan terpuruk ke titik nadir.

Dunia yang kita lalui hari ini adalah juga dunia dimana sekelompok elit kuasa dan modal atau kapital berada pada puncak kejayaannya, melalui sebuah sistim dan struktur sosial yang memberikan legitimasi dan pelanggengan perbudakan baru atas bagian terbesar umat manusia.

Neraca ketidakadilan ini pertama-tama disebabkan semakin kukuhnya rezim kapitalisme global melalui dominasi agenda-agenda globalisasi dan pasar bebas atau neo-liberalisme. Globalisasi dan pasar bebas bukan lagi sebuah wacana atau sebuah proses alamiah, tetapi merupakan sebuah ideologi baru yang dirancang untuk mempertahankan dominasi modal dan korporasi. Tidak lain ini adalah perkembangan lebih lanjut dari formasi penghisapan masa kolonialisme dan imperialisme sepanjang tiga abad lalu.

Agenda-agenda globalisasi dan pasar bebas ini kemudian menemukan lading subur dalam wilayah politik negara-bangsa dengan semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri seperti rezim penguasa, partai-partai, militer, birokrasi, intelektual terhadap kepentingan negara-negara industri atau rejim ekonomi global.

Era kekuasaan korporasi transnasional ini sesungguhnya meruntuhkan dominasi dan batas-batas negara. Negara telah disandera oleh kepentingan modal dan korporasi serta hutang luar negeri. Segala kebijakan politik-ekonomi-sosial negara selama ini dalam ranah tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi ditujukan untuk melayani kepentingan liberalisasi ekonomi dan
perluasan modal. Untuk itu segala bentuk hambatan terhadap ekspansi modal baik itu berupa proteksi (tarif dan non-tarif) serta subsidi bagi kepentingan publik (seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, BBM, Listrik), konsep pengelolaan aset negara (BUMN) dan sumber-sumber kehidupan vital rakyat (air,tanah, hutan) sektor perekonomian dalam negeri dan sektor
ekonomi rakyat (tani, nelayan, masyarakat adat, industri rakyat, sector informal), perlindungan buruh (termasuk kebebasan korporasi untuk memindahkan modal ketempat yang lebih menguntungkan) dan lingkungan hidup harus dihilangkan. Akibatnya negara tidak memiliki peran lagi untuk melindungi kepentingan dan keselamatan rakyat.

Sementara itu negara-negara industri yang membawa kepentingan-kepentingan korporasi global di negeranya semakin mendominasi agenda global baik dalam perdagangan dunia dan upaya menata kehidupan ekonomi dan politik., baik melalui lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF dan ADB, kartel utang CGI serta pakta perdagangan seperti WTO, APEC, AFTA bahkan
PBB. Selain melalui pintu masuk ekonomi, proses ini juga secara sistematis berlangsung dengan menggunakan berbagai instrumen kebudayaan, hukum, ilmu pengetahuan, teknologi maupun komunikasi.

Kebijakan negara pada akhirnya membuka jalan bagi perampasan secara sistematis atas alat-alat produksi, sumber-sumber kehidupan, keanekaragaman hayati dan pengetahuan-kearifan rakyat, atau hak-hak sipil-politik serta hak-hak ekonomi, politik, budaya rakyat. Disisi lain makin membuka ruang bagi negara-negara industri untuk mendiktekan sistem kehidupan yang seragam, eksploitatif, menindas, seksis dan patriakhis, disamping menimbulkan beban utang yang luar biasa; kehancuran sistem kehidupan; penindasan dan pelanggaran hak-hak azasi; diskriminasi dan ketidak-adilan gender; terbatasnya akses pada pendidikan, kemiskinan serta makin terbatasnya akses
pada kebijakan dan sumber-sumber kehidupan sosial ekonomi.

Bersamaan dengan itu demokrasi, hak-hak asasi manusia dan kedaulatan bangsa-bangsa berada dibawah ancaman langsung kekerasan agresi militer yang giat dipropagandakan negara adidaya dan sekutunya, dengan alasan untuk melawan 'terorisme' (dahulu dengan alasan untuk melawan komunisme). Tetapi sesungguhnya dibalik ancaman agresi militer dan sekutunya bersembunyi kepentingan modal dan upaya untuk meneguhkan dominasi pemerintah negara adidaya dan sekutunya. Sungguh tragis dan bodoh bahwa dana yang semestinya bisa ditujukan untuk menanggulangi kelaparan yang masif di seluruh dunia, kemiskinan, kematian bayi, anak-anak dan perempuan digunakan untuk mengukuhkan dominasi modal.

Sungguh ironis dunia mengeluarkan anggaran militer sebesar US$ 810 milyar pertahun (kontributor terbesarnya adalah Amerika Serikat dengan US$ 310,6 milyar), sementara sesungguhnya hanya dibutuhkan $19 milyar untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi yang dialami jutaan penduduk dunia dan hanya dibutuhkan US$ 5 milyar untuk memulihkan kehidupan para pengungsi., hanya $21 milyar untuk membangun sarana perawatan kesehatan dan kontrol HIV, hanya $ 8 milyar untuk pencegahan pemanasan global dan hanya $ 8 milyar untuk pencegahan hujan asam

Globalisasi Perlawanan

Walaupun globalisasi penjarahan dan penghancuran seperti melaju tanpa hambatan, sesungguhnya rakyat di berbagai tempat melakukan perlawanan dengan gigih. Bahkan bagi berbagai kelompok masyarakat di akar rumput hal ini telah menjadi perlawanan sehari-hari, seperti apa yang nampak pada perjuangan berbagai kelompok masyarakat adat mempertahankan wilayah hidupnya dari penetrasi perusahaan-perusahaan tambang, buruh tani yang berjuang untuk untuk mendapatkan tanah garapan, petani yang berjuang untuk membebaskan diri dari ketergantungan terhadap asupan pertanian yang diproduksi perusahaan asing, buruh yang berjuang untuk meningkatkan upah dan jaminan kesehatan.

Namun seiring meningkatkan kesadaran dan wawasan mereka berbagai bentuk perlawanan semakin jelas mengarah kepada aktor-aktor utama atau mesin-mesin penjarahan, baru kemudian kepada rezim penguasa negara yang memihak kepada kepentingan modal, dan akhirnya kepada sistem Neo-liberal dan Kapitalisme Global.

Sepanjang tahun 2000 terjadi berbagai aksi masa besar-besaran. Di Bolivia, ribuan penduduk memaksa perusahaan Bechtel yang akan mengambil alih (swastanisasi) pelayanan air minum untuk keluar dari negeri itu. Di India lebih dari 50.000 petani berkumpul di Bangalore untuk melakukan protes menentang WTO dan penguasaan korporasi atas pertanian. Di Argentina sebanyak 80.000 orang turun ke jalan sebagai puncak protes dan mogok selama beberapa bulan melawan rencana program penghematan IMF. Di Kosta Rica 10.000 demonstran melakukan pawai menuju tempat kediaman presiden menuntut pencabutan RUU Privatisasi. Di Brazil gerakan kiri mengadakan plebisit tentang program IMF, dimana enam juta orang memberikan suara dan mayoritas menolak. Sedang di Indonesia sendiri dapat dicatat aksi 5000 massa Koalisi Anti Utang menentang sidang CGI.

Setelah munculnya perlawanan yang sporadis di berbagai belahan dunia selatan, kemudian diikuti pula oleh perlawanan di negara-negara Utara. Bermula dari demonstrasi anti WTO di Seattle, ketika 30.000 aktivis menggoncang kota ini. Sebuah goncangan yang memaksa walikota setempat untuk menetapkan kota dalam keadaan darurat. Seperti bola salju kemudian aksi anti-globalisasi semakin membesar dan meluas.

Seperti dikatakan seorang jurnalis gerakan perlawanan anti-globalisasi ini, membawa pula strategi lapangan hijau 'man to man marking' kearena demonstrasi. Kemanapun forum ekonomi global di selenggarakan, mulai dari pertemuan para menteri keuangan, kepala negara hingga pertemuan kelembagaan seperti IMF dan Bank Dunia, pertemuan itu selalu dihadang oleh protes dari berbagai kelompok anti-globalisasi dari seluruh dunia. Seattle, Davos, Merlborne, Prague, Genoa, Doha..

Statistik di tingkat global yang menunjukkan 'trend' meningkatnya akumulasi kekayaan ditangan segelintir orang dan penghisapan serta pemiskinan, kini mulai digoyahkan dengan statistik perlawanan dengan 'trend' yang semakin intensif dan terkonsolidasi.

Bila mereka mengibarkan globalisasi ekonomi, maka gerakan sosial mengibarkan globalisasi solidaritas, globalisasi perlawanan dan globalisasi harapan. Dengan semakin mengkristalnya identifikasi musuh bersama gerakan anti-globalisasi semakin cepat memobilisasi kekuatan, namun ternyata tidak cukup untuk membuat perubahan berarti.

Keprihatinan ini akhirnya mendorong sekelompok ornop dan organisasi rakyat terutama di Brazil menginisiasi forum pertemuan global untuk lebih jauh mengkonsolidasi gerakan dan memperdebatkan berbagai alternatif dunia baru yang dikenal sebagai World Social Forum (Forum Sosial Dunia). Forum Sosial Dunia di Mumbay baru bulan Januari lalu adalah kali keempat forum itu diselenggarakan.

Piagam Prinsip-prinsip Forum Sosial Dunia (FSD) menyebutkan bahwa FSD adalah
sebuah tempat pertemuan terbuka untuk pemikiran reflektif, perdebatan demokratik atas berbagai ide, rumusan proposal dan pertukaran bebas atas pengalaman dan pembangunan jaringan untuk aksi-aksi yang efektif, oleh kelompok dan gerakan masyarakat sipil yang berlawan terhadap neo-liberal dan dominasi dunia oleh modal dan segala jenis imperialisme dan berklomitmen untuk membangun sebuah masyarakat dunia yang ditujukan pada hubungan yang penuh manfaat antar umat manusia dan anatara manusia dengan bumi.

Forum Sosial Dunia hanya memiliki mandat menyatukan dan membangun jaringan dari organisasi dan gerakan masyarakat sipil dari semua negeri di seluruh dunia, namun tidak berniat menjadi sebuah badan yang mewakili masyarakat sipil dunia. FSI menyatakan bahwa demokrasi adalah jalan untuk memecahkan masalah masyarakat secara politik. Sebagai sebuah tempat pertemuan, ia terbuka untuk pluralisme dn keragaman aktivitas dan cara keterlibatan organisasi dan gerakan memutuskan terlibat di dalamnya, disamping keragaman gender, ras, etnik dan budaya.

Pada akhirnya sebagai sebuah konteks bagi pembangunan jaringan, FSD berusaha menguatkan dan menciptakan rantai nasional dan internasional baru antar organisasi dan gerakan masyarakat sipil yang akan meningkatkan kemampuan untuk perlawanan sosial terhadap proses dehumanisasi yang sedang menimpa dunia dan memperkuat langkah-langkah perbaikan martabat manusia yang sedang diambil oleh aksi-aksi dari gerakan dan organisasi ini. FSD adalah sebuah proses yang mendorong organisasi dan gerakan yang tergabung di dalamnya untuk menempatkan aksi-aksi meraka sebagai bagian dari masyarakat dunia, dan untuk memasukkan ke dalam agenda global praktek-praktek perubahan yang kini sedang mereka coba dalam rangka membangun sebuah dunia baru.

Lantas apakah gerakan sosial di Indonesia, yang terfragmentasi baik berdasar geografis, sektoral, proyekisme hingga ego aktivis, yang punya nafas pendek dimana persoalan-persoalan rakyat disikapi secara pragmatis dan jangka pendek, dan lemah dalam membangun kesadaran rakyat tentang isu-isu globalisasi/imperialisme dan musuh bersama, tidak tergerak untuk melakukan konsolidasi secara intens dan massif?

Brosur Forum Sosial Indonesia

Sudahkah Kita Merdeka?

andreas iswinarto (2004)

Sudahkah Kita Merdeka?

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkah rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk sebuah Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa....

(Omong Kosong- Pembukaan UUD 1945)



Sudakah kita merdeka? Memang di 17 Agustus 1945 anak negeri ini, para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, berhasil menegakkan kemerdekaan negeri ini dari penjajahan asing. Tetapi sungguhkah kita telah merdeka? Sudahkah janji kemerdekaan seperti termuat didalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai pondasi negara dan pemerintahan negara ini telah terpenuhi.
Sungguhkah Pemerintah negara ini telah menjalankan kewajibannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi mengapa rakyat masih meneriakkan pekik yang serupa seperti masa-masa revolusi, Merdeka atau Mati! Langkah juang yang menuntut keberanian, keteguhan dan
pengorbanan.

Pekik Merdeka atau Mati, Menggema Kembali
Hingga hari ini masih berguguran dan makan penjara para pejuang rakyat ini. Di Bulukumba, Sulawesi Selatan perjuangan rakyat menuntut hak mereka atas tanah yang dirampas oleh PT Perkebunan London Sumatera Indonesia dengan perlindungan 'negara', menelan 5 orang gugur di ujung bedil aparat dan 76 orang makan penjara.

Di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 6 orang gugur di ujung bedil dan hamper 250 orang makan penjara. Karena tekad mereka untuk mempertahankan tanah adapt dan kebun mereka dari kekejian operasi 'Penertiban dan Pengamanan Hutan Mangarai' yang langsung dipimpin oleh Bupati Antoni Bagul Dagur yang melibatkan unsur TNI, Polri, Kejaksaan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam,
Polisi Kehutanan, Polisi Pamong Praja serta preman bayaran.

Tapi mereka pantang surut langkah. Karena ketika rakyat bertekad bersatu, membangun organisasi perjuangan, maka yakin suatu saat rakyat akan kuasa. Maka dari dalam selnya di penjara Bulukumba, Badariah, perempuan tinggi besar pemimpin perjuangan masyarakat adat dan petani Kajang meneguhkan sikap, tegas berujar. "Sekali lagi, kami takkan lelah berjuang. Takkan pernah berhenti sebelum dapat tanah Kajang .Alle Gattanu, Nakuallei Tanaku".

Demikian juga para petani Manggarai mencoba lagi menatap masa depan negerinya dengan ungkapan sederhana : .. mencoba (lagi) menjadi orang Manggarai. Pepatah tua Mangarai teguh bersikap, tegas berujar "Eme mangga ata kudut rampas tanah purak mukang wajo kampong, roeng manggarai pulung kudut taaang lawa mata agu mose" (jikalau ada orang yang ingin merampas tanah air dan kampung halaman, orang manggarai melawannya sampai titik darah
penghabisan mati atau hidup).

Bulukumba dan Manggarai hanyalah dua contoh, dari ribuan fakta perlawanan rakyat tertindas di negeri ini. Bahkan 'kejahatan' PT Lonsum berlangsung pula dimanapun perusahaan ini beroperasi dinegeri ini. Di Pergulaan, Sumatera Utara petani juga berjuang untuk mempertahankan lahannya yang seluas 165,6 hektar dari 4.069,84 hektar luas tanah yang masih dikuasai oleh Lonsum. Sementara di Jempang Kalimantan Timur, rakyat menuntut ganti rugi atas rusaknya 88 simpukng, 60 pohon madu dan 13 tanah kuburan leluhur, kebun
rotan, tanaman obat tradisional dan ulap doyo (bahan tenun tradisional khas Dayak Benuaq) yang telah di'bersih'kan oleh Lonsum yang saat itu belum memiliki hak guna usaha di lahan tersebut. Di Sumatera Selatan, di desa Sungai Pinang Kabupaten Musi Rawas, Lonsum memaksa rakyat menjadi petani plasma setelah sebelumnya mereka merampas lahan garapan masyarakat. Sedang petani di Bonto Biraeng dan Bonto Mangiring Bulukumba sendiri mempertahankan tanah mereka yang tidak menjadi bagian hak guna usaha.

Begitu banyak kasus atau konflik agraria yang menempatkan rakyat sebagai pihak yang kalah dan tidak berdaulat. Ini terbukti dari salah satu pernyataan sikap dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang dihadiri oleh masyarakat adat hampir dari seluruh Indonesia. Hingga hari ini sikap tersebut masih terus bergaung dengan gugatannya yang sangat tajam. "Bila negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak akan mengakui negara"

Bila mereka masih meneriakkan 'Merdeka atau Mati', dengan sendirinya janji untuk memajukan kesejahteraan umum kemudian menjadi omong kosong di siang bolong. Bukan saja pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk memajukan kesejahteraan rakyat, lebih-lebih pemerintah telah khianat dan merampas kesejahteraan rakyat. Operasi penggusuran di Manggarai bahkan dalam sekejab
telah melemparkan Petani Manggarai ke lantai kemiskinan yang paling dalam. Di Manggarai pembabatan tanaman kopi selama tahun 2003 saja diperkirakan telah menimbulkan kerugian materi atau kehilangan pendapatan sebesar 10 miliar rupiah. Belum lagi kalau dihitung dari nilai tanaman lainnya yang turut dibabat.

Paling tidak aparat pemerintah telah melakukan pembakaran, pembongkaran dan pemusnahkan 180 pondok dan rumah. Selain di Mbohang desa Bangka Lelak tercatat petani menderita kerugian tanaman sejumlah 142.500 pohon kopi yang ditebang, 2.210 tanaman vanili, 1146 tanaman pisang, 14.850 kg kacang, 14.350 kg jahe, 21.600 kg kentang, 1520 kg cabe, 24600 kg jagung. Di Wela
desa Golo Worok kerugian tanaman sejumlah 289150 pohon kopi, 81.235 tanaman vanili, 9.811 tanaman pisang, 9.728 pohon cengkeh, 23.658 kg sayur-sayuran dan 23.330 kacang-kacangan. Di Suka kelurahan Nantal terdapat kerugian sejumlah 2.950 pohon kopi, 279 tanaman pisang serta 8.500 tanaman vanili. Di Gulang, Perong dan Pahar desa Gelong serta Sampar Nggawang dan Laja desa Meler mengalami kerugian sejumlah 112.000 pohon kopi, 2.545 tanaman vanili, 10.170 kg kentang, 518 kg cabe, 9.245 kg jahe, 1.794 rumpun pisang, 12.660 kg jagung dan 11.690 kg kacang-kacangan.

Negeri Sejuta Bencana : Bencana Bukan Takdir

Sama seperti yang dialami oleh petani Manggarai, berbagai kasus bencana alam yang semakin sering terjadi di negeri ini telah melemparkan rakyat kedalam kemiskinan yang semakin dalam. Diantaranya banjir badang yang terjadi di Bohorok, Sumatera Utara, dimana hanya dalam sekejab meluluhlantakan kehidupan rakyat. Hanya dalam waktu 20 menit, sim salabim seperti sulap, musnahlah harta milik ribuan orang di sepanjang sungai Bohorok.

"Kejadiannya berlangsung sekejap, tak lebih sekitar 20 menit. Bergulung-gulung persis seperti ikan paus yang sedang beraksi di tengah lautan, lumpur, bebatuan, dan kayu gelondongan menghantam apa saja yang ada di depannya. Sangat dahsyat dan menakutkan. Begitu bunyi gemuruh menyurut, samar-samar saya lihat semuanya sudah rata dilindas air bah yang kecepatan
sangat sukar dihitung. Suasana sekitar berubah gelap gulita, listrik
mendadak padam karena tiang betonnya roboh dihantam kayu log," tutur Salman Rangkuti kepada wartawan Kompas (Sabtu, 08 November 2003)

Sampai proses pencarian korban di hentikan pada tanggal 16 Nopember 2003, tim penyelamat telah menemukan 150 mayat, sedangkan korban yang masih hilang berjumlah 91 orang.

Daya rusak bencana Bohorok sangat dahsyat. Ia tidak saja menyebabkan korban nyawa dan kehancuran bagi rumah, penginapan, dan toko suvenir serta rumah makan di lokasi wisata Bukit Lawang yang memiliki jumlah penduduk 600 jiwa
ini. Banjir ini juga merendam lebih dari 1.900 rumah dengan perkiraan total kerugian mencapai Rp 700 miliar.

Menurut catatan Bakornas sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan kobran sekitar 2000 orang. Di mana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Hal ini menunjukkan bahwa bencana terbesar yang terjadi justru bencana yang bisa diatasi, diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih banyak karena campur tangan manusia
terhadap penghancuran lingkungan hidup.

Melihat fakta-fakta di atas, tampak jelas bahwa peristiwa bencana seperti Bohorok dan bencana-bencana serupa yang telah terjadi di hampir seluruh negeri ini bukanlah sekadar "bencana alam" seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Bencana Bohorok adalah "bencana buatan" yang terencana secara sistematis akibat lemahnya tanggung jawab otoritas negara, buruknya kebijakan, dan tidak konsistennya penegakan hukum. Sumber daya alam kita yang terkuras habis secara serakah hanya dinikmati oleh segelintir orang
tetapi harus dibayar mahal oleh sebagian besar manusia yang lain. Baik kemerosotan penghidupan dan bahkan dengan nyawa mereka. Tragedi BOHOROK misalnya adalah risiko yang pasti dialami dari konsep pengelolaan hutan yang buruk.

Indonesia Tidak Untuk Dijual

Manggarai, Bulukumba, Bohorok nyata-nyata jadi bukti bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan kewajibannya. Bahkan lebih dari itu mereka telah melakukan pengkhianatan terhadap misi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka bertanggungjawab langsung atau tidak langsung atas perampasan sumber-sumber
kehidupan rakyat, pemiskinan rakyat, dan penghancuran lingkungan hidup.

Belum lagi bila kita bicara tentang pemerintah baik eksekutif, dewan
perwakilan rakyat dan lembaga peradilan yang terlibat dalam perampokan uang rakyat melalui korupsi yang semakin meluas dan merata. Baik dari pemerintahan di tingkat pusat hingga pemerintahan di tingkat daerah. Indonesia bersama dengan Azerbaijan menjadi negara ketiga paling korup setelah Nigeria dan Kamerun, demikian hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga antikorupsi internasional, The Transparency International (TI) terhadap 99 negara pada tahun 2000.

Di negeri ini uang rakyat dan kekayaan alam, tidak saja dirampok oleh para pejabat, politisi dan pengusaha negeri ini tetapi juga dijarah oleh kuasa modal asing. Dengan memperalat pemerintah dan militer kuasa modal telah mengkapling-kapling negeri ini seenak perutnya sendiri.

Dari 192 juta luas daratan Indonesia, 110 juta hektar dikuasai pemerintah dan pengusaha kehutanan, 54 juta hektar dikuasai oleh pengusaha pertambangan, 5 juta hektar dikuasai pengusaha perkebunan.

Proses penjarahan ini berlangsung semakin sistimatis melalui instrumen hukum dan perundangan-undangan. Berbagai perundangan-undangan dan rancangan UU disiapkan untuk memberikan jalan yang mulus bagi penguasaan kekayaan alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemilik modal.

UU Sumberdaya Air misalnya memberikan ruang yang besar kepada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya air. Air yang dahulu merupakan barang publik kini dijadikan barang dagangan. Dengan demikian disatu sisi peran modal diperbesar tetapi peran negara dan rakyat dalam pengelolaan air semakin dikurangi. Demikian berbagai rancangan perundang-undangan dibidang agrarian dan sumber daya alam seperti revisi UU Pokok Agraria 1950, RUU Sumber daya
Genetika, RUU Perkebunan memberi ruang yang sangat besar bagi peran mereka. Dibelakang berbagai rekayasa perundangan-undangan berperan cukong Bank Dunia, IMF dan lembaga-lembaga internasional yang membela kepentingan modal asing. Bahkan dana yang digelntorkan ini adalah dana hutang yang harus ditanggung rakyat Indonesia.

Bahkan demi memuluskan investasi asing di bidang pertambangan pemerintah telah mengeluarkan Perpu No. 1/2004 untuk memberi kelonggaran bagi perusahaan tambang untuk melakukan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung yang nyata-nyata dilarang oleh UU Kehutanan No. 41/1999. Dengan dikeluarkan Perpu ini maka sekitar 10 juta penduduk yang mengandalkan penghidupannya dari hutan-hutan tersebut akan terancam sumbe-sumber kehidupannya.

Pertanyaan kemudian apakah memang rezim penguasa saat ini khianat terhadap kewajiban dan janji-janji kemerdekaan, ataukah memang kita belum lepas dari penjajahan dalam bentuknya yang baru. Atau kedua-dunaya. Penjajahan oleh pemodal asing dan penjajahan oleh sekelompok penguasa dan penguasa negeri
ini.

Untuk itulah kini saatnya rakyat diberbagai tempat di negeri ini mulai
memperkuat organisasi-organisasi rakyat di kampung masing-masing. Dan kemudian membangun front-front perlawanan rakyat untuk menggerakan perjuangan semesta rakyat Indonesia. Tentang badut-badut penguasa di pemerintahan dan badut-badut politik yang bersangkar di DPR atau DPRD kita? Akhirnya debu saja dalam geliat dan arus massa.(AIS)

Wajah Pertambangan Besar Indonesia

Andreas Iswinarto (2004)

Konspirasi Imperialisme dan Sistim Politik-Ekonomi Indonesia Yang Korup
Agaknya soal yang menimbulkan kepedihan Soekarno diatas masih terus berlangsung hingga hari ini.. Perusahaan-perusahaan pertambangan global mendominasi sektor 'ekstraktif' di negeri ini, dimana mereka tidak saja menghisap kekayaan alam dengan menyisakan remah-remah keuntungan bagi negara (setelah di korupsi oleh elit-elit penguasa), tetapi yang terutama mereka meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah, serta luka dan kemiskinan bagi penduduk di sekitar kawasan tambang. Kajian yang dilakukan Dianto Bachriadi tentang pelanggaran-pelanggaran HAM pada industri pertambangan di Indonesia dengan studi kasus PT Freeport Indonesia dan PT Kelian Equatorial (Elsam, 1998) menunjukkan paling tidak ada delapan bentuk pelanggaran HAM yang ditemukan. Pertama, pelanggaran atas hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk didalamnya adalah tidak diakuinya tanah-tanah adat yang menjadi milik seseorang, keluarga atau satu suku tertentu, tidak diakuinya struktur sosial masyarakat adat serta pemaksaan untuk alih fungsi lahan menjadi areal pertambangan. Kedua, pelanggaran atas hak untuk hidup. Ketiga, penghilangan orang dan penangkapan secara sewenang-wenang Keempat, hilangnya hak untuk bebas dari rasa takut. Kelima, hilangnya hak seseorang untuk tidak mendapatkan penyiksaan atau tindak kekerasan, khususnya yang dilakukan oleh pejabat publik. Keenam, dicabutnya hak seseorang atas sumber penghidupan subsistensinya Ketujuh, hilangnya hak anak-anak untuk mendapatkan perlindungan Kedelapan, lenyapnya standar kehidupan yang layak dan pencapaian tingkat kesehatan yang optimal (hak atas lingkungan hidup yang sehat).

Dengan demikian disatu sisi mereka menyedot bagian keuntungan terbesar, disisi lain mereka menimbulkan kerugian bagi penduduk disekitar pertambangan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Lantas sesungguhnya adakah perbedaan kondisi negara yang secara formal telah meraih kemerdekaan dengan kondisi pada masa kolonial dan imperialisme tempo hari?

Imperialisme Pertambangan
Hakekatnya pola hubungan antara korporasi pertambangan global dan negara-negara dunia ketiga adalah sama dan sebangun dengan hubungan antara penjajah dan negeri jajahan. Walaupun teori tentang imperialisme V.I. Lenin telah mengalami kelemahan, setelah berbagai negara jajahan di dunia secara formal berhasil merebut atau dihadiahi kemerdekaan (G. Aditjondro, 2002), beberapa karakteristik masih tetap relevan. Bila pada sebelumnya kekuatan-kekuatan kapitalis direpresentasi oleh negara-negara penjajah maka kini peran itu telah digantikan oleh korporasi-korporasi global atau TNC/MNC.Ada kecenderungan pula bahwa korporasi-korporasi global mengalami konsentrasi kekayaan dan proses monopolisasi ketangan segelintir korporasi global.

Aditjondro sendiri menawarkan pendekatan lain yang lebih cocok untuk menggambarkan hegemoni korporasi-korporasi tambang mancanegera di dunia dengan menggunakan definisi yang ditawarkan James Connor. Menurut Connor imperialisme merupakan "penguasaan secara formal atau tidak formal atas sumber-sumber daya ekonomi setempat yang lebih banyak menguntungkan kekuatan metropolitan, dengan merugikan ekonomi setempat'. Dalam prakteknya "...pola hubungan ekonomi yang biasa dilakukan antara negara-negara sedang berkembang dan negara industri, menunjukkan kenyataan hanya ada sedikit pengolahan dilakukan didalam negeri penghasil bahan mineral, sehingga barang yang dikirim mempunyai nilai tambah yang tidak terlampau banyak. Negara-negara majulah yang akan mendapat keuntungan lebih besar dari industri pertambangan ini, karena merekalah (seperti negara-negara industri di Eropa, Amerika Utara, Jepang, NICs) yang menjadi penyerap lebih banyak ekspor produk mineral dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi bahan setengah jadi dan dilempar kembali ke kantong-kantong industri barang jadi yang mereka miliki di negara-negara berkembang (lewat program relokasi indsutri) dalam skema ekspor impor pula. Kalaupun industri pengolah kemudian dibangun di negara penghasil barang mentah, sehingga hasil produksi bisa lebih terserap ke dalam negeri, hal itu tidak berarti bahwa nilai tambah yang dihasilkan oleh industri pengolah tadi tertinggal untuk rakyat atau negara setempat. Karena pada umumnya negara-negara atau kelompok-kelompok perusahaan yang berkepentingan dengan hasil produk bahanmentah dan olahannya dari negara asing akan berusaha menjadi pemegang saham" (Elsam, 1998). Apropriasi (pengambilalihan) nilai lebih tidak hanya terjadi melalui lika-liku praktek ekonomi diatas, tetapijuga melalui nilai lebih yang hilang akibat tergusurnya dan terganggunya berbagai mata pencaharian rakyat seperti usaha pertanian, perkebunan dan perikanan rakyat. Lebih jauh lagi apropriasi terjadi bila lebih jauh dihitung nilai modal ekologis yang hilang akibat rusaknya fungsi-fungsi ekologis alam akibat proses destruktif industri pertambangan ini.

Sebuah penelitian Walhi dengan menggunakan data satelit indraja Landsat dengan lebar rekaman 185 km persegi, diperoleh temuan total wilayah darat yang tercemar tailing tahun 200 adalah 35.820 hektar. Adapun wilayah laut yang tercemar tailing mencapai luasan 84.158 ha. Dimana radius penyebaran tailing di laut dari muara Komoro adalahsejauh 6 km dari garis pantai menuju laut lepas, sementara dari muara Sungai Ajkwa Barat sejauh lebih kurang 10 km dari garis pantai menuju laut lepas. Sebaran tailing diperkirakanlebih luas lagi karena kenampakan citra yang terpotong. Hanya dari sisi pencemaran saja bisa diperkirakan begitu besarnya nilai kerugian ekologis akibat beroperasi PT Freeport Indonesia.

Kedigjayaan Koporasi Global
Pola imperialisme pertambangan ini hakekatnya berlaku juga dalam berbagai lapangan ekonomi dan bisnis. Bahkan berbagai data statistik menunjukkan semakin digjayanya korporasi global disatu sisi, sementara disisi lain secara relatif semakin melemahnya posisi ekonomi negara-negara. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan samkin menguatnya hegemoni dan dominasi ideologi neo-liberal dan 'pasar bebas'. Ideologi ini intinya menyatakan berikan kebebasan sebesar-besarnya bagi korporasi untuk melakukan akumulasi keuntungan, dandari sana kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat akan tercapai. Untuk itu peran regulasi pemerintah atau negara-negara harus dikikis habis, bahkan termasuk regulasi demi alasan melindungi kepentingan umum atau kemaslahatan umum termasuk dalam soal perburuhan, hingga lingkungan hidup.

Fenomena makin menguatnya kekuasaan korporasi-korporasi global nampak dari statistik berikut. Sebanyak 200 korporasi besar papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas perekonomian global. Sementara itu 500 korporasi besar papan atas memegang 70 persen perdagangan dunia, dan 1000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80persen hasil industri dunia (Robert Kaplan, The Atlantic Monthly 1997). Dimana kini kekuasaan korporasi global telah menyaingi kekuasaan ekonomi-ekonomi negara-negara. Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 diantaranya adalah korporasi global (dimana 8 diantaranya adalah korporasi pertambangan). Sedangkan gabungan pendapatan Mitsubishi, General Motor dan Ford Motor lebih besar dibangdingkan gabungan GDP Denmark, Thailand, Turki, Afrika selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili dan Selandia Baru. Selain itu dapat dicatat bahwa pada tahun 1999, hasil penjualan dari lima korporasi papan atas (General Motors, Wal Mart, Exxon Mobil, Ford Motor dan Daimler Chrysler) lebih besar ketimbang GDP 182 perusahaan.

Menurut I Wibowo kehebatan dari MNC kiranya bukan hanya karena statistik ekonomi diatas. Yang menyebabkan MNC disegani oleh banyak pemerintah di dunia adalah bahwa MNC mampu mengadu negara satu dengan negara lain, politisi satu dengan politisi lain, memilih mana yang memberikan syarat-syarat yang lebih ringan. Jadi MNC itu bisa datang kepada kepala-kepala negara, lalu menawarkan lapangan pekerjaan, investasi dibidang infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Jika sebuah negara menerapkan syarat-syarat ketat dan pajak yang tinggi, maka mereka akan mengancam negara tersebut akan keluar dari wilayahnya.

Ironi Demokrasi Kita
Seperti dikatakan Wibowo ironi demokrasi Indonesia terbesar kini adalah bahwa orang-orang yang tidak dipilih oleh rakyat (aktor kapitalisme global), malah mampu mendiktekan jenis kebijakan yang harus diambil oleh penguasa negara yang mendapat mandat dari rakyat. Kontroversi yang kini sedang hangat menyangkut lahirnya Perpu No.1/2004 yang mengijinkan pembukaan kawasan hutan lindung untuk penambangan terbuka oleh 13 perusahaan, hanyalah salah satu contoh kecil dari penetrasi kepentingan aktor kapitalisme global dan korporasi. Walaupun hanya salah satu contoh kecil namun mempunyai nilai material yang sangat besar. Menurut pengkajian Greennomics Indonesia berdasarkan metode perhitungan Benefit Transfer Perpu No. 1/2004 akan menyebabkan tidak kurang Rp. 70 triliun pertahun, Indonesia akan kehilangan nilai modal ekologi. Nilai ini setara hampir 70 kali lipat dari nilai penerimaan sektor tambang terhadap Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (APBN) 2003, yang hanya bernilai Rp. 1,07 tiliun. Atau, lebih besar Rp 25 triliun dari nilai total secara nasional sumbangan sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2002 sekitar Rp. 45 triliun. Ironis memang sektor pertambangan besar diluar minyak dan gas hanya menumbang RP. 1,48 trilyun atau kurang dari dua persen nilai penerimaan negara di di luar pajak pada APBN 2003. Bandingkan dengan kemudaratan Perpu No. 1/2004 yang mengijinkan penambangan terbuka di hutan lindung kepada 13 perusahaan dengan potensi kerugian Rp. 70 trilyun pertahun.

Dalam skala yang lebih besar dalam makna dampaknya terhadap perjalanan negara ini penjarahan atas kekayaan alam, kedaulatan dan demokrasi kita terjadi melalui intervensi dalam penyusunan UU Sumber Daya Air, RUU Sumber Daya Genetika, Perubahan UU Agraria bahkan dalam amandemen UUD 1945. Dengan demikian sebenarnya narasi besar dari persoalan ini adalah imperialisme dan sistim politik-ekonomi yang korup termasuk militerisme di dalamnya yang melanggengkan penjajahan baru tersebut. Tidak bisa tidak yang kini yang dibutuhkan adalah persatuan rakyat, kuasa rakyat untuk bergerak melawan penjajahan gaya baru ini. Mari kita berjuang untuk proklamasi kedua!