RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 28 Agustus 2008

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (13)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (12)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (11)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (10)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (9))

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Kamis, 21 Agustus 2008

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (8)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (7)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (6)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (5)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (4)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (3)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (2)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

Ekonomi dan Ekologi Politik Jawa : Dari Daendels ke Susilo Bambang Yudhoyono (1)

mohon maaf saya telah hijrah ke lenteradiatas bukit untuk posting ini bisa di tengok di

http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/09/belajar-dari-sejarah-sebuah-jalan-200.html

MERDEKA SERATUS PERSEN

Kita bergerak karena kesengsaraan kita, kita bergerak karena ingin hidup lebih layak dan sempurna.
Kita bergerak tidak karena ’ideal’saja, kita bergerak karena ingin cukup makanan, ingin cukup pakaian, ingin cukup tanah, ingin cukup perumahan, ingin cukup pendidikan, ingin cukup meminum seni...-pendek kata kitabergerak karena ingin perbaikan nasib didalam seluruh bagian-bagiannya dan cabang-cabangnya.
Perbaikan nasib ini hanyalah bisa datang seratus persen, bilamana masyarakat sudah tidak ada kapitalisme dan imperialisme. Sebab sistem inilah yang sebagai kanker tumbuh diatas tubuh kita, hidup dan subur dari tenaga kita, rezeki kita, zat-zatnya masyarakat kita.
Oleh karena itu, maka pergerakan kita janganlah pergerakan kecil-kecilan. Pergerakan kita itu haruslah suatu pergerakan yang inginmerubah samasekali sifatnya masyarakat.
---------------------------------
Rakyat dimana-mana dibawah kolong langit ini, tidak mau ditindasoleh bangsa lain, tidak mau dieksploitir oleh golongan-golonganapapun, meskipun golongan itu adalah bangsanya sendiri.
Dari Pidato Soekarno

Bersatu, Bergerak, Berlawan

dimana ada hidup,
disitulah ada pergerakan
tiap-tiap pergerakan mesti membawa korban
tiap-tiap korban mesti membawa kebaikan
(Marco Kartodikromo)

jika kami bunga
engkau adalah tembok itu
telah kami sebar biji-biji
suatu saat kami akan tumbuh bersama
dengan keyakinan : engkau akan hancur
(Wiji Thukul)

Kesadaran Massa : Bukalah Gembok Ketakutan Itu

sungguh mati,
selama kamu, rakyat Hindia,
tidak punya keberanian
kau pasti akan selalu diinjak
dan disebut seperempat manusia
(Marco Kartodikromo)

Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum,
ehingga mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri
(QS Ar-Ra’d [I3] : II)

Kader Rakyat : Jadilah Lentera

kutundukkan kepalaku
kepada semua kalian para korban
sebab hanya kepadamu kepalaku tunduk
kepada penindas tak pernah aku membungkuk
aku selalu tegak
(wiji thukul)

Ibadah tidak lain kecuali melayani manusia
bukan dengan tasbih, sajadah dan jubah
(Sa’adi)

Karakter Pemimpin Bangsa : Lentera, Sapu Lidi, Air Laut dan Benih

LENTERA
(inspirasi-imajinasi-harapan-peta jalan)

SAPU LIDI
(melayani-menyatukan-membersihkan)

BENIH
(perduli dan bertumpu pada kepentingan generasi mendatang)

AIR LAUT
(kepemimpinan yang bertumpu pada daya kreasi rakyat)



Boneka Garam

Sebuah boneka garam
berjalan beribu-ribu kilometer
menjelajahi daratan sampai akhirnya
ia tiba di tepi laut
Ia amat terpesona oleh pemandangan baru,
massa yang bergerak-gerak,
berbeda dengan segala sesuatu
yang pernah ia lihat sebelumnya
Siapakah kau?” tanya boneka garam kepada laut
Sambil tersenyum laut menjawab:
“Masuk dan lihatlah!”
Maka boneka garam itu menceburkan diri ke laut.
Semakin jauh masuk ke dalam laut,
ia semakin larut,
Sampai hanya tinggal segumpal kecil saja.
Sebelum gumpalan terakhir larut,
boneka itu berteriak bahagia:
“Sekarang aku tahu, siapakah aku!.
(de Mello)

..................
Belajar dari mereka
Cintailah mereka
Mulailah dengan apa yang mereka ketahui
Membangunlah dari apa yang mereka miliki
Hanya dengan pemimpin-pemimpin yang terbaik
Ketika pekerjaan sudah selesai dan tujuan tercapai
Rakyat akan berkata
Kita telah melakukannya sendiri
(Lao Tzu)

Rabu, 20 Agustus 2008

Bumiku Gosong (karya Sonia Devina Andaningtyas)













Ranting Bengkirai

andreas iswinarto

secarik kertas, tempayan dan jendela,
nyangkut di delapan ranting bengkirai* gosong
sisa bakaran tempo hari

ada wajah bertemu kertas
ada wajah bertemu tempayan
ada jendela pada wajah hutan yang sepi

ada hutan sepi pada parut-parutan luka
wajah-wajah orang-orangan adat
ada hutan menyanyi pedih
diujung suling-sulingan bocah-bocahan adat


juru kunci hutan-hutanan tertawa getir
kamu bocah-bocahan yang meniup perutnya
sendiri-sendiri

KARENA KEJI ORANG-ORANG KUASA

lalu waktu.....

eja detik satu-satu
yang TIBA
dari delapan penjuru mata angin

berpeluh......
berpeluh sangat

sibuk mendamaikan
titik hujan dan air mata
yang berisik berebut ranting bengkirai gosong

sementara dibawah tanah kepal-kepal akaran
semakin mengeras
menunggu prosesi bakaran yang laen
gosong yang laen

gertak ledak amarah bumi
gertak ledak amarah rakyat
secarik kertas, tempayan dan jendela,
nyangkut di delapan ranting bengkirai* gosong
sisa bakaran tempo hari

ada wajah bertemu kertas
ada wajah bertemu tempayan
ada jendela pada wajah hutan yang sepi

ada hutan sepi pada parut-parutan luka
wajah-wajah orang-orangan adat
ada hutan menyanyi pedih
diujung suling-sulingan bocah-bocahan adat


juru kunci hutan-hutanan tertawa getir
kamu bocah-bocahan yang meniup perutnya
sendiri-sendiri

KARENA KEJI ORANG-ORANG KUASA

lalu waktu.....

eja detik satu-satu
yang TIBA
dari delapan penjuru mata angin

berpeluh......
berpeluh sangat

sibuk mendamaikan
titik hujan dan air mata
yang berisik berebut ranting bengkirai gosong

sementara dibawah tanah kepal-kepal akaran
semakin mengeras
menunggu prosesi bakaran yang laen
gosong yang laen

gertak ledak amarah bumi
gertak ledak amarah rakyat

Rabu, 13 Agustus 2008

Front Perjuangan Rakyat : Mari Rebut Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-sumber Agraria

FRONT PERJUANGAN RAKYAT (FPR)
http ://fprsatumei.wordpress.com. email : fpr1mei@yahoo.com


Peringati Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 63 :
Mari Rebut Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria!

Laksanakan Land Reform Sejati!
Stop Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Kaum Tani Indonesia!

Indonesia Belumlah Demokratis dan Merdeka Sepenuhnya!
Negeri ini telah memasuki usia kemerdekaannya ke 63, sejak diproklamasikan 17 Agustus 1945. Tetapi kemerdekaan itu terasa hambar dan usang, tatkala mayoritas rakyat negeri ini hidup dalam kemiskinan dan keterbelakangan akibat penindasan dan penghisapan imperialisme dan sisa-sisa feodalisme yang masih bercokol luas di Indonesia.

Sistem kerja kontrak dan outsourcing, upah murah serta PHK menjadi ancaman yang paling serius dihadapi klas buruh Indonesia saat ini. Kaum tani semakin kehilangan hak atas tanah, ditambah lagi pemberlakuan sewa tanah yang masih tinggi, bagi hasil yang tidak adil, tengkulakisme, dan hancurnya produktivitas pertanian dalam negeri. Buruh migran Indonesia (BMI) di luar negeri, bekerja di bawah ancaman kekerasan (penyiksaan, pemerkosaan hingga pembunuhan) tanpa adanya perlindungan dari pemerintah dan dijadikan objek pemerasan agen luar dan dalam negeri (PJTKI dan BNP2TKI). Pemuda dan mahasiswa kehilangan masa depannya karena hak atas pendidikan dan lapangan pekerjaan semakin terbatas. Pedagang kecil di perkotaan terus digusur dengan dalih mengganggu ketertiban umum dan keindahan kota. Kaum perempuan Indonesia dibelenggu oleh sisa-sisa feodalisme (patriarkhi) sehingga tidak ada kesetaraan secara ekonomi, politik dan budaya. Ini diikuti dengan ancaman terhadap kebebasan berpendapat dan berserikat bagi seluruh rakyat, baik buruh, petani, pemuda dan mahasiswa, dan lapisan masyarakat lainnya.

Semua itu terjadi sejak tahun 1949 (tepatnya setelah perjanjian Konfrensi Meja Bundar/KMB) atau fase dimana Indonesia menjadi negeri bergantung/negeri setengah jajahan dan setengah feodal (SK-SF) di bawah ketiak kaum kapitalis monopoli asing (baca imperialisme) pimpinan Amerika Serikat (AS) yang bergandeng tangan erat dengan para borjuasi besar komprador, tuan tanah dan kapitalis birokrat di dalam negeri yang menguasai dan memerintah negeri ini dengan menjadikan Indonesia sebagai tempat mendapatkan sumber bahan mentah, pasar dan tenaga kerja murah bagi kaum imperialis. Kediktatoran (kekuasaan) bersama 3 musuh besar rakyat inilah yang telah membuat kemelaratan bagi rakyat di Indonesia, dimana pondasi kekuasaannya dipancang dan dikukuhkan oleh Rezim Soeharto dan kini semakin diperkokoh dalam genggaman rezim SBY-JK.

Krisis Umum Imperialisme dan Pengaruhnya Bagi Indonesia

Situasi internasional saat ini ditandai menajamnya krisis ekonomi di negeri-negeri imperialisme yang sangat berpengaruh terhadap situasi ekonomi seluruh kawasan di dunia. Ini dipicu over produksi barang-barang teknologi tinggi dan persenjataan (utamanya di AS) yang telah berlangsung satu dekade ini, bersamaan dengan krisis keuangan yang ditandai jatuhnya pasar saham sejumlah perusahaan raksasa keuangan milik kaum imperialis sebagaimana kasus kredit macet perumahan (subprime mortgage). Akibatnya, perkembangan ekonomi AS anjlok. Pada kuartal pertama tahun 2008, pertumbuhan ekonomi AS hanya mencapai 0,6%. Penurunan ini sangat jauh dibandingkan periode-periode sebelumnya. Kemerosotan ekonomi AS terjadi secara drastis semenjak dilancarkan perang agresi ke Irak atas dalih demokrasi dan perang terhadap terorisme (war on terror).

Imbas itu semua, terjadi peningkatan jumlah pengangguran karena PHK, merosotnya pendapatan dan daya beli rakyat miskin di AS. Anggaran pendapatan dan belanja AS juga defisit, dimana Bush mewariskan lebih dari 400 miliar dollar AS utang pemerintah AS. Negeri paman Sam itu tengah menghadapi sebuah resesi ekonomi yang diperkirakan berlangsung lebih lama.

Keadaan in sangat berpengaruh terhadap keterpurukan ekonomi sejumlah besar negeri-negeri di berbagai kawasan, baik Eropa, Asia, Amerika Latin maupun Afrika. Dalam perkembangan terakhir, ekonomi negeri-negeri imperialis mengalami stagflasi dan tingkat inflasi yang tinggi. Negeri-negeri di Uni Eropa, bahkan pertumbuhan ekonominya tidak melebihi 1 persen. Sekali lagi situasi ini menunjukkan bahwa perkembangan ekonomi dunia sedang menuju resesi dan dalam kemandegan.

Situasi yang tidak menentu ini, telah meningkatkan perlawanan rakyat dan klas buruh di negeri imperialis terhadap kapitalis/borjuasi monopoli di negerinya. Pertentangan juga semakin meninggi di antara negeri dan kekuatan imperialisme itu sendiri, terutama antara AS dengan Rusia, Cina dan Uni Eropa. Pertentangan itu sendiri berkenaan dengan kompetisi dalam memperebutkan sumber-sumber energi (bahan bakar minyak) untuk kepentingan industri, perluasan pasar dan sumber tenaga kerja murah.
Akibat keserakahan imperialisme pimpinan AS, telah menimbulkan sejumlah krisis seperti krisis lingkungan dan krisis pangan skala dunia, selain krisis energi yang ditandai melambungnya harga minyak dunia mencapai 140 dolar AS per barel, meskipun sempat mengalami penurunan tapi tetap fluktuatif. Banyak negeri bergantung/negeri jajahan dan setengah jajahan yang harus mencabut subsidi dan menyesuaikan harga minyak di dalam negerinya, sehingga berakibat pada naiknya harga BBM.
Bisa disimpulkan untuk mengatasi krisis di dalam tubuhnya, imperialisme pimpinan AS menempuh upaya-upaya ekonomi dan politik dengan cara meningkatkan penindasan dan penghisapan terhadap seluruh rakyat dan bangsa-bangsa di seluruh negeri, tak terkecuali terhadap Indonesia.

Bagi Indonesia, dominasi imperialisme pimpinan AS yang dipadukan dengan sisa-sisa feodalisme yang masih meluas di pedesaan, semakin menambah penderitaan rakyat dari waktu ke waktu. Semua klas, sektor dan golongan rakyat mayoritas berada dalam himpitan beban ekonomi dan represi politik yang semakin tinggi. Beban ekonomi dengan melambungnya sejumlah harga bahan-bahan pokok rakyat, seperti beras, terigu, minyak goreng, minyak tanah dan kedelai. Secara politik, seluruh rakyat tertindas di Indonesia mengalami hambatan dan tekanan dalam menyampaikan pendapat di muka umum dan kebebasan berserikat. Ini menunjukkan rezim SBY-JK memiliki tendensi fasisme yang kuat.

Singkatnya, Rezim SBY-JK semakin menunjukkan watak anti rakyat dan anti demokrasinya terhadap rakyat sekaligus kadar kebonekaannya terhadap kapitalisme monopoli asing atau imperialisme pimpinan AS dari berbagai kebijakannya yang menambah kemalaratan rakyat di Indonesia.

Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Kaum Tani
Kaum tani adalah klas yang terbesar dalam susunan masyarakat Indonesia dan hingga detik ini belum pernah mendapatkan haknya atas tanah. Sebagian besar tanah saat ini dimonopoli tuan tanah dan para pengusaha besar komprador (baca : antek imperialisme) berdasarkan Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pengelolaan Hutan (HPH) ataupun Hak Kepemilikan Negara (Domein vanklering). Monopoli tanah ini dijalankan oleh Perhutani, PTPN, lembaga-lembaga militer, pemerintah daerah dan perusahaan-perusahaan swasta di sektor agribisnis dan pariwisata.

Tapi apakah pengusaan tanah tersebut digunakan untuk kepentingan petani ataupun rakyat Indonesia? Tidak! Itu semua ditujukan untuk melayani kepentingan kaum imperialis dalam memenuhi pasokan bahan mentah ataupun bahan baku bagi industri negeri-negeri imperialis. Tanah-tanah tersebut dialih fungsikan dengan ditanami jenis-jenis tanaman komoditi yang dibutuhkan pasar imperialis melalui perluasan perkebunan-perkebunan besar dan penguasaan atas hutan, serta pembangunan infrastruktur (waduk, bendungan, dll), proyek-proyek militer dan kepentingan objek pariwisata.

Akibatnya, terjadi praktek perampasan tanah (land grabbing) milik kaum tani yang telah dikelola. Kaum tani yang mencoba mempertahankan tanahnya, harus berhadapan dengan tindakan kekerasan aparat kepolisian, polisi kebun, tentara ataupun milisi sipil yang disewa para tuan tanah dan pengusaha besar komprador. Tindakan lain seperti pemanggilan, penahan, ancaman pengusiran, pemidanaan serta beragam bentuk tindakan kekerasan lainnya terhadap kaum tani dan masyarakat pedesaan yang meningkat pesat belakangan ini.

Berdasarkan catatan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), telah terjadi sekurang-kurangnya 12 kasus konflik agraria dalam skala besar di sejumlah wilayah di Indonesia, seperti di Marules-Banyuwangi, Pagak-Malang, Bojonegoro, Wonosobo, Banyumas, Karangsewu-Kulon Progo Jogjakarta, Karangsari-Garut, Tajur Halang-Bogor, Rumpin-Bogor, Deli Serdang-Sumut, hingga Sambas-Kalimantan Barat, selama Januari-Juli 2008. Konflik secara umum menyangkut sengketa agraria antara kaum tani dengan pihak perkebunan (baik milik pemerintah maupun swasta), perhutani, pertambangan serta dengan pihak Militer yang sedang getol berusaha mengembangkan fasilitas militer serta proyek-proyek pembangunan infrastruktur (pembangunan waduk/bendungan, bandara, Pembangkit Listrik Tenaga Air/PLTA, dll).

Proyek-proyek tersebut merupakan penyebab utama tergusur dan terkucilnya masyarakat dari lahannya. Selain itu, kerugian materiil, non materiil sekaligus korban di kalangan kaum tani juga dialami. Dari sejumlah wilayah tersebut, setidaknya telah terjadi berbagai tindak kekerasan terhadap sekitar 62 kaum tani dalam bentuk pemanggilan, pemidanaan, pemenjaraan serta berbagai bentuk teror lainnya. Jumlah tersebut akan semakin besar, jika ditambahkan dengan kasus-kasus lain di seluruh wilayah Indonesia.

Rezim SBY-JK : Sang Pembela Tuan Tanah dan Pengusaha Besar Komprador

Pemerintah Indonesia saat ini (rezim SBY-JK) sama sekali tidak melindungi dan membela kepentingan kaum tani Indonesia. Rezim SBY-JK tidak mau memberlakukan beberapa perundang-undangan yang membela kaum tani seperti UU Pokok Agraria No. 5 dan UU Perjanjian Bagi Hasil No. 2 Tahun 1960 serta PP 224 1961. Rezim ini justru mengeluarkan UU Penanaman Modal No.25/2007 yang memberikan kesempatan lebih leluasa kepada pihak investor asing untuk memonopoli tanah hingga ratusan tahun. Ini belum termasuk beberapa aturan seperti UU No. 18/2004 Tentang Perkebunan dan UU No. 41/1999 Tentang Kehutanan dan Perpres No.36 Th 2006 Jo. Perpres No 65 Th. 2006 tentang Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum.

Begitu juga yang menindaklanjuti proyek pesanan Bank Dunia (Land Administration Project/LAP), proyek pengembangan biodiesel serta pembangunan infrastruktur dalam negeri dari negeri-negeri imperialis (Pemerintahan SBY-JK melalui Infrastructure Summit 2005 telah melakukan pelelangan tanah untuk sejumlah proyek infrastruktur dalam negeri). Sementara program pembaruan agaria nasional (PPAN) sesungguhnya berkedok upaya pelepasan tanah (land market) milik kaum tani ke tangan tuan tanah dan pengusaha besar komprador. Itu sama sekali bukan program reforma agraria sejati apalagi land reform sejati. Di tambah lagi kebijakan impor pangan, penggunaan bibit transgenik dan pestisida hingga harga jual produk pertanian dalam negeri yang begitu rendah.

Jelas sudah, Rezim SBY-JK sejatinya adalah pembela kaum tuan tanah besar dan pengusaha besar komprador di Indonesia yang menjadi antek utama kaum imperialis asing pimpinan Amerika Serikat (AS).

Ayo Bersatu Kaum Tani, Mari Berjuang Bersama!
Sudah saatnya kaum tani Indonesia bersatu dalam organisasi massa tani sejati untuk memperjuangkan hak-haknya atas tanah serta menarik kerjasama dan dukungan dari klas/sektor/golongan lainnya, terutama dari buruh, pemuda-mahasiswa, kaum miskin perkotaan dan sebagainya yang anti imperialisme dan anti feodalisme. Bertepatan dengan peringatan Hari Kemerdekaan RI ke 63, Front Perjuangan Rakyat (FPR) menyerukan Ayo Rebut Kedaulatan Rakyat Atas Sumber-Sumber Agraria dan menyatakan sikap :

1. Hentikan perampasan tanah untuk perkebunan, perhutani, hutan lindung, infrastruktur serta bagi usaha/kegiatan militer.
2. Serahkan atau distribusikan semua tanah terlantar, absente/tanah guntai yang tidak efisien di tangan BUMN, Swasta, maupun institusi militer kepada kaum tani. Serta legalisasi tanah-tanah yang telah diolah dan dimanfaatkan oleh kaum tani, kembalikan tanah-tanah yang dirampas kepada rakyat dan kaum tani, berikan perlindungan dan subsidi atas hasil-hasil pertanian kaum tani dalam negeri serta terhadap sarana-prasarana produksi pertanian, mulai dari pupuk, obat dan benih.
3. Hentikan penangkapan dan pemidanaan, pemenjaraan terhadap kaum tani yang menuntut hak atas tanah serta tindak tegas dan tetapkan hukuman setimpal terhadap para pelaku kekerasan terhadap kaum tani yang menuntut hak atas tanah.
4. Laksanakan/Jalankan UUPA, UUPBH, PP No.224 Th 1961 serta batalkan semua aturan yang menentang UUPA-UUPBH seperti; UUPM No. 25 Th 2007, PP 77 th 2007 dan semua UU sektoral pertanian, seperti UU perkebunan (UU No.18 Tahun 2004), UU kehutanan (UU No.41 Th 1999), pertambangan, energi, perindustrian (zone ekonomi bebas). Laksanakan Reforma Agraria Sejati dan Land Reform Sejati.

Secara nasional berbagai organisasi massa dari klas/sektor/golongan pada 14 Agustus 2008 melakukan Kampanye massa nasional “Hentikan Perampasan Tanah dan Kekerasan Terhadap Kaum Tani” di berbagai wilayah lainnya (di desa dan perkotaan) seperti Medan, Jambi, Palembang, Wonosobo, Jogja, Jawa Timur, Denpasar, Mataram, Palu, Makassar, Kendari dan Kalimatan Barat.

Kobarkan Lagi Perjuangan Anti Imperialisme dan Anti Feodalisme untuk Indonesia yang Demokratis dan Merdeka Sepenuhnya!

Jakarta, 14 Agustus 2008
Front Perjuangan Rakyat (FPR)


Koordinator
Rudi HB Damman

Gabungan Serikat Buruh Independen (GSBI), Serikat Buruh Aspirasi Pekerja Indonesia (SB-API), Organisasi Pekerjas Seluruh Indonesia (OPSI), Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI), Jaringan Rakyat Miskin Kota (JRMK), Serikat Becak Jakarta (SEBAJA), Gerakan Rakyat Indonesia (GRI) Front Mahasiswa Nasional (FMN), Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Hikmahbuddhi, Perhimpunan Mahasiswa Katholik Indonesia (PMKRI), Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Jakarta, Central Gerakan Mahasiswa (CGM) UBK, Liga Pemuda Bekasi (LPB), Forum Pemuda Bekasi (FORDASI), Serikat Perempuan Indonesia (SERUNI), Arus Pelangi, Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Migrant Care, Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI), Institute for National and Democratic Studies (INDIES), Urban Poor Consorsium (UPC), INFID.

Minggu, 10 Agustus 2008

Resolusi Konperensi Warisan Otoritarianisme II: Demokrasi dan Tirani Modal

Kampus Universitas Indonesia, Depok, 5-7 Agustus 2008

http://konferensi-otoritarianisme2008.blogspot.com/


Selama tiga hari ini 500 akademisi, intelektual, tokoh dan penggerak masyarakat, pemimpin dan aktivis organisasi sosial dan politik dari kampung dan kampus berkumpul di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Diskusi yang meluas dan mendalam dilakukan secara serempak dalam sebelas panel dan dua seminar, pemutaran film dan pertunjukan. Dalam tiga hari ini para peserta membicarakan betapa Indonesia kini berada di ambang kebangkrutan dan bencana ekologis yang mengancam keberadaan negeri ini. Dibicarakan pula betapa strategi ekonomi yang terus mengeruk kekayaan alam di negeri kepulauan terbesar di dunia ini sudah jauh melampaui batas. Di hulu negeri, hutan yang menjadi pemasok air terus digunduli dengan kecepatan empat kali lapangan bola setiap menit, sementara di hilir ekosistem mangrove hanya menutup kurang dari sepersepuluh garis pantai negeri ini. Lebih dari sepertiga daratan negeri ini dikuasai sekitar seribu pemegang kuasa pertambangan dan kontrak karya. Sembilan dari sepuluh ladang minyak dan gas bumi dikuasai perusahaan lintas negara sehingga hasilnya tidak pernah bisa dinikmati secara maksimal oleh rakyat Indonesia sendiri. Daya dukung lingkungan terus merosot dan dalam beberapa dekade mendatang jika tidak ada langkah drastis yang diambil kita harus menghadapi kenyataan bahwa yang tersisa di negeri ini hanyalah ampas.

Bergema suara Soekarno – yang tadi malam dibawakan dengan indah oleh Wawan Sofwan – ketika di hadapan pengadilan kolonial pada 16 Juni 1930 mengatakan:

Musnah buat selama-lamanya!
Musnah, musnahlah kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi kami.
Musnahlah buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk dalam kantong beberapa pemegang andil belaka.

Di dalam tata dan kelola ekonomi ini masyarakat hidup dalam keadaan carut-marut. Para pemegang kuasa justru mengutamakan pengerukan sumber daya alam, memberi kemudahan pada sektor manufaktur ringan dan pasar uang yang hanya mengembalikan sedikit hasil kepada orang banyak dalam bentuk upah dan pajak. Lebih dari 37 juta orang masih hidup dalam kategori miskin, yang masih harus ditambah lebih dari tiga juga korban bermacam bencana. Satu dari sepuluh orang Indonesia hidup tanpa pekerjaan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kini harus menghadapi ancaman dari pasar tenaga kerja yang fleksibel. Sistem kontrak dan outsourcing mengancam keamanan kerja dan membuat jutaan orang hidup tanpa kepastian sementara pengusaha menikmati keuntungan berlipat. Di pedesaan, petani yang merupakan separuh penduduk Indonesia memberikan sumbangan besar terhadap perekonomian tapi tidak mendapat perhatian dan dukungan serius.

Dan Indonesia tidak sendirian. Ini adalah pola global. Ketimpangan makin menjadi di era yang oleh pemikir penguasa dengan pongah disebut “akhir dari sejarah.” Pendapatan dari 500 orang terkaya di dunia jauh lebih besar dari total pendapatan 500 juta penduduk termiskin. Sementara 2,5 milyar penduduk miskin dunia hanya memiliki 5% dari pendapatan global, 10% orang terkaya menguasai lebih dari 50% dari pendapatan itu. Kesenjangan kelas tidak lagi bisa ditutupi. Di Indonesia jumlah orang yang bertahan hidup dengan pendapatan kurang dari Rp 20.000 per hari sudah melebihi separuh, dan masuk ke dalam jajaran penduduk miskin dunia. Sementara 20.000 orang terkaya menguasai lebih dari separuh pendapatan nasional. Akibat dari ketimpangan ini kita saksikan setiap hari. Di Koja, Jakarta Utara, seorang ibu membakar diri bersama dua anaknya, sementara di Jawa Timur, seorang anak gantung diri karena tidak kuat menahan lapar. Dari seminar pemiskinan dan kekerasan terhadap perempuan yang berlangsung kemarin kita mendapat gambaran nyata bagaimana perempuan dan anak menjadi korban utama ketika negara tidak lagi menjalankan tugasnya, yakni menjamin kesejahteraan rakyat.

Panel-panel yang membahas masalah ekonomi dalam konperensi ini melihat bahwa akar persoalan yang kita hadapi sekarang dapat ditelusuri dari kegagalan melakukan pembalikan historis (historical reversal) terhadap struktur ekonomi kolonial. Kelahiran Orde Baru justru menjadi basis bagi dibukanya Indonesia sebagai “surga bagi para investor.” Undang-undang baru di bidang penanaman modal asing, kehutanan, pertambangan dan juga ketenagakerjaan membuat tata dan kelola ekonomi menjadi sandera dari perusahaan raksasa multinasional, lembaga keuangan internasional dan segelintir komprador yang turut menikmati ketimpangan ini. Negara sepertinya tidak punya kedaulatan untuk menentukan kebijakan. Modal internasional tidak hanya mengeruk keuntungan dari kebijakan yang dibuat tapi juga menganjurkan agar pemerintah mengurangi tanggung jawabnya untuk melindungi dan mensejahterakan rakyat. Kekuasaan korporasi yang tidak terbatas membuat semua bidang kehidupan digerus oleh kepentingan mencari untung. Di titik inilah modal menjadi tirani.

Perekonomian yang sangat bergantung pada pembiayaan luar negeri ini menghasilkan warisan utang yang luar biasa. Hingga Januari 2008 outstanding Surat Utang Negara hampir menyentuh angka Rp 900 trilyun sementara utang luar negeri tercatat US$ 79 milyar. Pembangunan diarahkan untuk menutup defisit anggaran yang sudah nyata tidak berhasil mengatasi krisis tapi justru membuat krisis semakin mendalam. Subsidi dan pengeluaran sosial dibuntungi agar pemerintah punya cukup uang untuk membayar utang. Korupsi yang sudah sampai taraf memuakkan membuat sedikit dana yang tersisa tidak pernah bisa digunakan secara efektif untuk melakukan perbaikan. Stolen asset yang mencapai ratusan trilyun tidak pernah bisa disentuh, sementara kasus pencurian baru pun seperti sukar dielakkan. Desentralisasi kekuasaan membuat munculnya predator baru di tingkat lokal yang justru membuat perubahan semakin sulit dilakukan.

Para pemegang kuasa sepertinya tidak menyadari bahwa krisis yang menyeluruh ini tidak hanya mengancam perekonomian Indonesia tapi juga keberadaan Indonesia sebagai sebuah political project. Tirani modal membuat ruang hidup semakin sesak. Ruang publik pun semakin berkurang sehingga kreativitas dan daya kritis tidak dapat berkembang. Lembaga negara dikuasai oleh penganjur neoliberalisme yang justru mendekatkan pasar dengan negara. DPR setiap minggu menghasilkan satu undang-undang baru yang memudahkan jalan modal untuk menguasai negeri ini. Birokrasi diatur sedemikian rupa di bawah panji-panji reformasi dan good governance sehingga tanggap terhadap kebutuhan dan kepentingan modal. Ketika Bank Dunia memberi jutaan dolar kepada DPR untuk menyusun undang-undang sumber daya air, kita tahu bahwa undang-undang itu tidak akan mewakili kepentingan rakyat banyak. Dan yang lebih menyedihkan: uang jutaan dolar itu adalah pinjaman yang harus dibayar kembali oleh rakyat melalui pajak dan pungutan lainnya. Artinya rakyat harus membayar mahal untuk kebijakan yang merugikan dirinya.

Demokrasi yang terpusat pada pemilihan umum atau electoral democracy hanya memberi kesempatan pada kekuatan neoliberal dan predatoris untuk bergantian menguasai lembaga-lembaga negara di pusat maupun daerah. Hasil dari pertarungan ini adalah kombinasi yang amat buruk: liberalisasi di bidang ekonomi dan konservatif di bidang politik. Kemunculan pejabat dan anggota DPR di pusat dan daerah dari kalangan akademik maupun gerakan sosial belum mampu mengimbangi kecenderungan ini, apalagi membawa perubahan yang berarti.

Konperensi ini tentu tidak hanya membicarakan masalah, tapi juga berbagai ide dan praktek alternatif yang bermunculan di seluruh negeri. Dan di tengah pemiskinan yang makin menjadi, ancaman sektarianisme dan perpecahan yang bisa berakibat runtuhnya social fabric, dan dominasi modal di segala bidang, kita berkeyakinan bahwa alternatif itu ada.

Indonesia adalah masyarakat majemuk. Karena itu kiranya tidak ada rumus atau resep tunggal yang secara menyeluruh dapat mengatasi tumpukan masalah yang demikian bervariasi, baik dari segi geografis maupun sektoral. Konperensi ini berhasil mengidentifikasi sejumlah prinsip dan ruang di mana alternatif yang majemuk ini dapat berkembang. Prinsip dasar yang penting adalah mengakhiri atau memutus ketergantungan terhadap modal dan pasar. Kepercayaan buta pada mekanisme pasar dan neoliberalisme yang merajalela dalam tata dan kelola perekonomian Indonesia harus ditinggalkan, dan diganti dengan pemikiran dan kebijakan yang berpihak pada rakyat dan mengutamakan kesejahteraan. Ada tiga kata kunci di sini: keadilan, keberlanjutan dan kemakmuran, yang berporos pada kedaulatan, artinya kuasa dan kendali yang efektif untuk menentukan nasib sendiri.

Negara juga harus mengambil keputusan politik untuk mengakhiri ketergantungan pada pembiayaan luar negeri, mengupayakan pengurangan utang luar negeri, dan memegang kendali penuh dalam kebijakan fiskal dan moneter. Dominasi lembaga keuangan internasional dan perusahaan multinasional dalam menentukan kebijakan ekonomi Indonesia harus diakhiri. Penjualan aset negara untuk menutupi defisit anggaran harus dihentikan segera dan rencana pengembalian aset yang sudah dijual harus segera disusun. Perencanaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur di sektor energi mutlak diperlukan untuk mengurangi ketergantungan pada minyak dan gas, yang menjadi blok pengeluaran sangat besar dalam anggaran belanja negara.

Negara harus mengupayakan kedaulatan pangan dengan meningkatkan produksi pertanian untuk keperluan konsumsi di dalam negeri. Impor bahan makanan pokok, terutama beras, kedelai, jagung dan gula harus dikurangi. Distribusi kebutuhan pokok harus ditangani badan khusus yang melibatkan masyarakat luas dan tidak dapat diserahkan kepada mekanisme pasar. Upah di segala sektor harus dinaikkan untuk meningkatkan daya beli, dan sistem pajak yang adil diberlakukan secara efektif untuk mengurangi kesenjangan yang makin menjadi. Tidak ada alasan bagi negara untuk membiarkan sebagian penduduk menikmati kemewahan yang sukar dibayangkan di negara maju sekalipun sementara mayoritas penduduk hidup dalam penderitaan. Kepastian kerja harus ditegakkan dengan menghapus informalisasi kerja yang hanya merupakan strategi pengusaha untuk mendapat keuntungan berlipat.

Prinsip dasar dari perubahan arah pembangunan ini adalah “untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.” Karena itu keterlibatan rakyat secara langsung dalam pembuatan dan pelaksanaan perekonomian menjadi mutlak diperlukan. Prinsip ini pada gilirannya menuntut perubahan dalam sistem politik Indonesia. Demokrasi perlu diperdalam dengan bermacam bentuk demokrasi langsung yang lebih partisipatoris dan menjamin keterwakilan semua unsur masyarakat, yang tidak terlihat (invisible) dalam demokrasi elektoral. Kontrol terhadap pelaksanaan demokrasi elektoral harus ditegakkan, mulai dari sistem pemilihan umum, pembiayaan partai politik sampai demokrasi internal partai politik itu sendiri. Dengan langkah-langkah ini kita bisa berharap terjadinya peningkatan kualitas demokrasi yang menjamin keterwakilan, lebih menampung yang pada gilirannya menghasilkan kebijakan yang berkualitas. Lembaga-lembaga negara harus dibebaskan dari kepentingan predatoris dan neoliberal dengan menempatkan penyelenggara negara yang bisa berpikir di luar paradigma dominan dan bersedia menantang tirani modal.

Perubahan ini tidak mungkin berjalan jika hanya berlangsung di tingkat kebijakan. Pemberhalaan hukum – seolah kebijakan yang baik akan menghasilkan praktek yang baik pula – juga harus ditinggalkan. Perubahan kebijakan harus disertai dukungan masif dari berbagai unsur masyarakat untuk memastikan bahwa perubahan yang diharapkan muncul sebagai akibat dari keluarnya kebijakan tertentu, memang terjadi. Dan lebih jauh, politik pengetahuan dan perumusan kebijakan semestinya bertolak dari praktek-praktek alternatif terhadap tirani modal yang berlangsung di berbagai tingkat dan sektor. Aliansi antara kekuatan-kekuatan yang mengupayakan alternatif yang bersifat lintas-sektor perlu dibangun dan diperkuat. Kenyataan bahwa Universitas Indonesia menjadi tuan rumah bagi konperensi ini yang diselenggarakan bersama kalangan ornop, gerakan sosial dan intelektual, menjadi bukti bahwa aliansi seperti itu bukan hanya mungkin, tapi sudah terjadi.

Kombinasi dari berbagai bentuk perjuangan di berbagai tingkat dan kalangan harus dipikirkan secara sungguh-sungguh, dan konperensi ini baru membuka jalan dengan mempertemukan berbagai kalangan dalam satu forum yang menghasilkan kesepakatan bersama. Kunci keberhasilan dari strategi untuk membangun alternatif ini adalah kehadiran critical mass, yang merumuskan, melaksanakan dan mengawal agenda perubahan ini. Tingkat partisipasi yang sangat tinggi dalam konperensi ini kiranya menjadi tanda yang baik bahwa kita sedang bergerak ke arah itu.