RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Minggu, 24 Januari 2010

Komunitas Adab di Kereta Prameks Jogja-Solo

Saat semua anggota masyarakat dari berbagai latar belakang kehidupan bertemu di suatu ruang, maka—seperti pernah ditengarai oleh wartawan dan pengajar filsafat Budiarto Danujaya—ruang tersebut menjadi tempat untuk saling berbagi nilai-nilai kehidupan universal di tengah kota yang makin memicu sikap individual. Itulah yang terjadi di dalam Prameks dengan paguyuban penumpangnya.....

Pengamat kebudayaan urban dari Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Bambang Kusumo Prihandono, melihat keberadaan KA Prameks makin melebur jarak antara Yogyakarta dan Solo.

Dalam konteks hubungan Yogyakarta dan Solo, hal ini menjadi menarik karena kemudian meleburkan semacam ”perang dingin” dan kontestasi identitas yang terjadi sejak dulu antara dua kota itu. ”Yogya dan Solo sudah tidak lagi menjadi persoalan wilayah. Orang tidak lagi memandang Solo dan Yogya sebagai identitas kota yang berbeda. Kontestasi (identitas) itu menjadi tidak relevan lagi,” kata Bambang.

Sebagai gantinya, lanjut Bambang, identitas-identitas lokal itu berubah menjadi identitas tunggal, yakni identitas urban. Dan semua itu dipercepat dengan adanya perkembangan teknologi, termasuk teknologi transportasi, seperti dibuktikan oleh Prameks.


Dipetik dari artikel Dahono Fitrianto “Pertemuan Itu Mengasah Peradaban” di Kompas Minggu

Selengkapnya

Hendro Sangkoyo, Sang Kepala Sekolah “Terbuka’ Ekonomika Demokratik

“.....semua atribut keilmuwanan itu ia lepaskan karena gelar akademis tak punya relevansi dengan pembelajaran tanpa akhir sebagai proses hidup. Hati dan pikirannya senantiasa terbuka untuk mendengar penuturan para tetua dan pemangku di sudut-sudut kepulauan di Nusantara ini.....

....Itulah living knowledge, yang tak ada tempatnya di dalam seluruh praksis dan diskursus modernisme”

Demikian petikan kisah Maria Hartiningsih dan Brigitta isworo Laksmi dalam artikelnya “Jalan Sunyi si Pejalan Kaki” di rubrik Persona Kompas Minggu. Si Pejalan Kaki ini adalah Hendro Sangkoyo, Sang Kepala Sekolah “Terbuka” Ekonomika Demokratik.

Saya simpulkan ia akan lebih suka di panggil Hendro Sangkoyo saja, atau bahkan Yoyok saja (panggilan akrabnya). Gelar Arsitek dari ITB dan Phd di bidang Comparative Politics, International Planning and Planning Theory dari Cornell University, Ithaca, Amerika Serikat boleh jadi tanggal dalam sekolah terbuka pembelajaran tanpa akhir. Saya yakin ia pun lebih senang dan merasa tercerahkan belajar bersama di kampung dan pelosok-pelosok negeri dibandingkan pengalaman akademiknya mengajar di Institut Teknologi Indonesia, Royal Melbourne Institute of Technology bahkan Cornell University.

Sependapat dengan Noam Chomsky, Yoyok menyimpulkan semua bahasa merepresentasikan pengetahuan sehingga baginya pula ilmu dasar adalah bahasa, bukan matematika, kimia dan fisika. Dan living knowledge dalam ruang bertutur ini menolak semua kaidah positivistik, yang membedakan mana sains, mana bukan sains. Menolak hanya satu otoritas, atau satu rezim kebenaran. Otoritas mana yang membawa peradaban bumi ini dalam krisis berkelanjutan

selengkapnya