RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Senin, 25 Februari 2008

Warisan Otoritarianisme: "Demokrasi di Bawah Tirani Modal"

KONFERENSI WARISAN OTORITARIANISME II - CALL FOR PAPERS AND WORK


KERANGKA ACUAN

Latar Belakang

Walaupun belum dapat diprediksidengan cukup lapang dan pasti kehidupan ekonomi politik masyarakat Indonesiadalam dua tiga tahun ke depan berpotensi mengalami kemerosotan. Bukan berartiyang sekarang lebih baik dari perkembangan yang sebelumnya, tetapi korelasi diantara proses demokrasi dan pengembangan ekonomi yang berjalan selama 10 tahunreformasi selalu berpadu ke arah yang gagal. Kalaupun memang demikiankenyataanny a, di dalam berbagai
diskusi tentang problem-problem ekonomi politikIndonesia sudah muncul ide-ide untuk melihat pengaruh globalisasi sebagai pendukung kehancuran ekonomi Indonesia.Dan globalisasi juga memberikan kontribusi terhadap pengembangan strukturpolitik di masa paska Orde Baru melalui Pemilu 1999. Menariknya kemudianseluruh perangkat politik dan pemerintahan mengalami kelumpuhan di dalammenghadapi akibat akibat globalisasi. Kemiskinan, kelaparan dan pengangguran dari hari ke hari berkembang kian menguat di tengah masyarakat seiring dengan merosotnya nilai riil pendapatan mereka di bawah aura deprivasi nilai-nilai kehidupan.

Dihadapkan pada persepsi dan kenyataan seperti itu, tentu pertanyaan terbesar yang harus dijawab kini adalah apa sesunguhnya yang menganjal dalam demokrasi Indonesia? Masalah ini coba dijawab oleh ELSAM, PusDep-Universitas Sanata Dharma dan Institut Sejarah Sosial Indonesia (ISSI) di tahun 2005 melalui sebuah Konferensi dengan tema menelaah akar-akar otoritarian yang diwariskan oleh sistem otoriter Orde Baru. Pengandaiannya, otoritarianismelah sumber dari segala kemandegan proses demokrasi yang ada di masa reformasi.

Lewat dua tahun kemudian, sepertinya warisan otoriterian tak lagi memadai untuk menjelaskan loyonya perangkat politik dan pemerintah dalam menjalankan demokrasi. Cara pandang yang menilai tersendatnya demokrasi disebabkan oleh warisan otoritarian semata gagal menjawab masalah-masalah kekinian yang tidak bisa langsung dilihat hubungannya dengan masa lalu. Artinya, perlu penggeledahan dan konfrontasi analisis yang jauh lebih dalam mengenai cara melihat dan memahami kenyataan-kenyataan dan persepsi yang berkembang saat ini, melalui pemahaman yang lebih komprehensif terhadap relasi-relasi modal dan kekuatan-kekuatan politik. Persoalan-persoalan relasi sosial semacam inilah yang membentuk struktur kekuatan dan kekuasaanmodal di berbagai bidang kehidupan. Pertanyaan intinya: Aspek-aspek penting apayang membuat tirani menjadi seperti 'way of life' dalam demokrasi Indonesiadewasa ini?

Permasalahan

Konsep tirani adalah yang palingtepat untuk bisa melihat adanya keterkaitan antara warisan otoritarian danselubung demokrasi. Karenanya, tema besar yang hendak diusung dalam konferensikali ini adalah "Demokrasi di Bawah Tirani Modal". Persoalan Tirani Modal inilah yang absen dari perbincangan selama reformasi berjalan sedari 1998, apalagi membicarakan perihal kekuasaan modal. Ini belum termasuk penggeledahan terinci atas hubungan antara otoritarianisme dengan modal serta demokrasi dengan modal secara lebih rinci. Demi 10 tahun reformasi, aspek modal ini harus menjadi perhatian utama dalam menilai kualitas kehidupan demokrasi dan mutu dari perangkat politik dan negara di Indonesia.

Kekuasaan Modal di sini tak sebatas soal modal ekonomis, atau kekuasaan bisnis yang terlalu besar. Ini pun menyangkut masalah reproduksi kekerasan, kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan hal lain yang berkaitan dengan hajathidup orang banyak. Artinya, modal dalam pengertian relasi-relasi sosial yangmembentuk struktur kekuatan dan kekuasaannya.

Sejalan dengan itu, tema Demokrasi di Bawah Tirani Modal akan diperbincangkan dalam beberapa sub-tema, yaitu:

Tirani Modal dan Peluruhan Kedaulatan Rakyat
Apa sekolah dan pengobatan alternatif bentuk kekayaan kedaulatan rakyat atau karena
pemerintah tidak mampu menjamin kesehatan dan pendidikan? Apaan sih kerjanya
partai partai politik, parlemen dan pemerintah?

Tirani Modal dan Pelumpuhan Ketahanan Ekonomi
Kemarin beras naik, sekarang tempe, besok apalagi?
Kok bisa ya punya ladang minyak tapi musti beli minyak?
Kok bisa ya punya banyak penduduk tapi sedikit lapangan kerja?

Tirani Modal dan Pelumpuhan Daya Kreatif
Kesenian, kapanmenjadi hak dasar masyarakat? Media massa memang tidak lagi dibredel tapi diserang. Apa jadinya kalau penikmat dang dut tidak lagi boleh goyang?

Tirani Modal dan Pelumpuhan Modal Sosial
SeberapaIndon esiakah kita? Sebetulnya apa sih bangsa Indonesiaitu? Ataukah kita sudah diasingkan dari Indonesiasejak dalam kandungan?

Tirani Modal dan Pelumpuhan Keamanan Manusia
Apakah esok harikita lebih yakin bahwa hidup di Indonesiabebas dari segala macam rasa takut? Kata pemeo rakyat "Kesehatan emang gratis,Penyakitan yang nggak gratis"

Pendekatan

Konferensi ini menggunakan beberapa pendekatan untuk menelaahpersoalan
persoalan di muka. Metode genealogis, dialektika basis dansuprastruktur,
maupun retrospektif semuanya bertujuan , melihat masa lalu secara strategis
untuk menjelaskan masa sekarang. Artinya bagaimana warisan otoritarian
diproduksi dan direproduksi di dalam kesadaran masyarakat. Sehinggadari sana
pun ingatan maupunkenangan masyarakat akan kejadian di masa lalu dapat
dihidupkan kembali untukdapat membangun pengetahuan baru
tentang Indonesia.

Harapannya, ada jawaban atas pertanyaan-pertanya an besar dengan menggunakan
ketiga metode itu. Mengapa setelah Orde Baru luruh demokrasi yang
berkeadilan tetap tidak bisa berjalan? Apa ide yang dikandung oleh demokrasi
itu sendiri diIndonesia saat ini? Bagaimana proses kerja demokrasi pada saat
ini? Apakahdemokrasi bisa terlaksana di tengah budaya politik yang tidak
berubah dari masalalu? Apakah Indonesia dapat berkembang sebagai sebuah
negeri yang demokratisdan berkeadilan sosial di dalam alam fundamentalisme
pasar?

Tujuan Konferensi

Adapun yang menjadi tujuan konferensi ini adalah:
membicarakan, merumuskan, menyimpulkan langkah perlawanan terhadap tirani modal, sebagai bagian dari usaha membangun gerakan di kalangan akademik dengan prasyarat pembangunan
organisasi-organisasi komunitas.memberi gambaran politik tentang kerja modal dalam berbagai bidang kehidupan dan atau mekanisme kerja modal sebagai kekuatan politik memberikan ancangan pemikiran bagi perumusan kebijakan publik yang berpihak pada masyarakat.

Penyelenggaraan
Konferensi Demokrasi di BawahTirani Modal ini akan diselenggarakan pada tanggal 5-7 Agustus 2008, di Jakarta dan Yogyakarta.

Konferensi ini akan dibuka dengansebuah seminar umum "Demokrasi di Bawah Tirani Modal" dengan mengikuti perspektiflima sub-tema di muka, sebagai pengantar peserta konferensi untuk memahami dan menganalisa permasalahan lebih lanjut. Laluakan digelar panel-panel lokakarya berbasis pada sejumlah pertanyaan di dalam sub-subtema itu. Di akhir konferensi akan diadakan sesi pleno (plennary session) untuk menghasilkan simpulan dan rekomendasi dari konferensi.

Format penyelenggaraan tiap-tiap
panel lokakarya ditentukan oleh masing-masing penanggung jawab panel, tidak
terbatas pada format diskusi ataupun lokakarya konvensional. Adapun 12 panel
lokakarya yang akan diselenggarakan, yaitu:

1. Islam dan Fundamentalisme Pasar (penanggung jawab panel: PSIK Paramadina)
Tentang gejolak sosial keagamaan di tengah perkembangan globalisasi dan gerakan-gerakan
berbasis identitas primordial dan komunalisme.

2. Hak
Asasi Manusia dan Perburuhan (PJ: TURC)
Potret baru perburuhan Indonesiadi tengah tekanan neoliberalisme, tidak
terbatas pada masalah yang ditimbulkanoleh kebijakan penanaman modal saja.

3. Inisiatif
Perlawanan Lokal (PJ: ISSI dan Praxis)
Kekayaaninisiatif masyarakat di dalam menghadapi problem-problem perkembangan reform
sosial, ekonomi, politik dan budaya

4. Etika
Politik: Kekerasan dan Rekonsiliasi (PJ: PuSDEP Universitas SanataDharma)
Perkembangan wawasan dan orientasi politik masyarakat maupun tokoh tokoh publik di dalam menyikapi persoalan persoalan politik praktis.

5. Demokrasi dan Peluruhan Kedaulatan Rakyat (PJ: Puskapol UI)
Tentang hilangnya esensi demokrasi yang sebenarnya karena tertutup oleh pendekatan demokrasi prosedural formal

6. Kebudayaan dan Pengekangan Daya Kreasi (PJ: Dimas Jayaprana)
Tentang kebebasan berekspresi budaya masyarakat di tengah dominasi kekuatan modal atas proses berkesenian.

7. Hukum dan Ekonomi (PJ: ELSAM dan INFID)
Tentang penyingkiran kepentingan publik di dalam proses proses perumusan kebijakan negara yang lebih mengabdi pada kepentingan pemilik modal.

8. Gerakan Perlawanan Perempuan Lokal (PJ: Ruth Indiah Rahayu)
Tentang kesadaran perempuan dalam politik reproduksi sosial, khususnya di level komunitas atau di tingkat lokal.

9. Media Massa dan Reproduksi Ideologi ( PJ: . )
Peran media massadi dalam menentukan arah perkembangan kesadaran publik
dalam menyikapi kondisiekonomi sosial dan politik di Indonesia.

10. Privatisasi
Pendidikan (PJ: . )
Tentang penetrasi gagasan-gagasan neoliberalisme melalui institusi pendidikan. Tidak terbatas pada kebijakan privatisasi lembaga-lembaga pendidikan semata.

11. Reforma Agraria (PJ: . )
Perumusan kembali persoalan-persoalan monopoli atas tanah untuk kepentingan bisnis dalam konteks neoliberalisme.

12. Reformasi Sektor Pertahanan/Keamanan (PJ: ISPDS dan ResPublika)
Tentang stagnasi proses reformasi TNI dan Polri, khususnya berkaitan dengan perubahan peran
mereka dalam penyelenggaraan negara dan administrasi pemerintahan.

Call for Papers and Work

Untuk itu kami mengundang segenap civitas akademika dan para pemerhati masalah masalah sosial, ekonomi, dan politik untuk berpartisipasi dan berlibat dalam konferensi ini dengan mempresentasikan ide-ide, gagasan maupun pengalamandalam bentuk karya tulis sepanjang 5.000-10.000 kata, maupun karya seni (film,tari, instalasi, musik, dll)

Abstraksi dari karya tulis (maksimal 1.000 kata) dan karya seni diserahkan paling lambat tanggal 25 April 2008, dialamatkan langsung ke penanggung jawab masing-masingpanel lokakarya (jika sudah menentukan akan berpartisipasi di panel lokakaryatertentu) , atau sekretariat panitia:

Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jl. Siaga 2 no.31 Pejaten Barat
Jakarta Selatan 12510
Telp. (021) 7972662, 79192564
Facs. (021) 79192519, 7996681
Email: rini@elsam.or. id

Panitia penyelenggara kemudian akan menyeleksi abstraksi karya tulis dan karya seni yang masuk, dan akan mengumumkan hasilnya pada tanggal 6 Mei 2008.

Penyumbang karya tulis dan karya seni diharapkan telah menyelesaikan karyanya pada tanggal 25 Juli 2008, untuk kemudian dengan dibantu panitia penyelenggara menyiapkan presentasi
karya-karya tersebut dalam konferensi.

Peserta Konferensi

Konferensi ini diarahkan pada kelompok-kelompok intelektual atau kaum muda di berbagai bidang, khususnya kalangan intelektual sosial yang bekerja di organisasi-organisasi nonpemerintah dan lembaga-lembaga akademik, serta para penggiat seni dan
seniman mandiri di berbagai komunitas.

Peserta konferensi, baik darikalangan umum maupun akademisi akan diberikan sertifikat. Biaya sertifikasi bagi pelajar dan mahasiswa adalah Rp. 50.000,- dan bagi kalangan umum dan pengajar perguruan tinggi ini adalah Rp. 150.000,-

Penyelenggara dan Pendukung

Lembaga-lembaga yang menjadi penyelenggara utama dalam pelaksanaan kegiatan
ini yaitu:
- Lembaga Studi dan AdvokasiMasyarakat (ELSAM)
- Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina
- Pusat Studi Sejarah dan EtikaPolitik (PuSDEP) Universitas Sanata Dharma
- Institut Sejarah Sosial Indonesia(ISSI)
- Pusat Kajian Politik (Puskapol)FISIP Universitas Indonesia
- International NGO Forum for Indonesia Development( INFID)
- Trade Union Research Center(TURC)
- Perkumpulan Praxis

Didukung oleh lembaga-lembaga dan individu yang menjadi penanggung jawab panel lokakarya

Sekretariat:
Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM)
Jl. Siaga 2 no.31Pejaten Barat
Jakarta Selatan 12510
Telp. (021) 7972662,79192564
Facs. (021) 79192519,7996681
Email:rini@elsam.or.id

Rabu, 20 Februari 2008

Kursus Keadilan Sosial

KURSUS "KEADILAN SOSIAL" - IRE Yogyakarta


Diselenggarakan oleh:
• Pusat Studi Pancasila UGM
• Pergerakan Indonesia
• IRE Yogyakarta
• Perkumpulan Prakarsa Jakarta

Ide dasar
Orang kini semakin menyadari bahwa keadilan merupakan masalah penting dan mendesak untuk ditangani dalam kehidupan bersama. Sentimen ini telah lama disuarakan, John Rawls, misalnya, menyatakan bahwa keadilan merupakan kebajikan utama institusi-institusi sosial. Kata Rawls, ’sebuah teori, betapapun elegan dan ekonomis, harus ditolak atau diperbarui jika tidak benar; demikian juga, hukum dan institusi betapapun efisien dan tersusun dengan baik, harus dihapus atau diperbarui jika tidak adil’.
Seluruh nilai politik dan tatanan sosial kita karena itu perlu diukur menurut dan berlandaskan pada keadilan. Teori perdamaian demokrasi (democratic peace theory), misalnya, menyebutkan bahwa perdamaian hanya mungkin terjadi jika setiap negara atau masyarakat menjadi demokratis. Tetapi teori ini nampaknya akan tetap menjadi perdebatan, karena demokrasi terbukti bisa menjadi sangat ambisius. Kelompok atau negara dapat, atas nama demokrasi, memaksakan nilai-nilainya kepada kelompok atau negara lain justru atas nama demokrasi. Karena itu, bukan demokrasi yang harus jadi prioritas, tetapi keadilan.
Para pemikir keadilan seperti John Locke, Thomas Paine, John Rawls, Ronald Dworkin, Robert Nozick, Michael Walzer, Karl Marx, Amartya Sen, Susan Okin, Thomas Pogge dengan caranya masing-masing telah merubah dan memperbaharui berbagai ragam tradisi ideologis yang mereka wakili. Kita perlu memperhatikan pandangan mereka tentang nilai-nilai (values) yang mendasari kehidupan politik, visi mereka tentang “masyarakat yang baik” (good society) dan pertanyaan tentang apa prinsip-prinsip keadilan (principles of justice) dan bagaimana mengembangkaan distribusi kekayaan (resources) yang adil.
Kajian secara secara saksama atas pandangan mereka dapat memperkaya wacana dan pemahaman tentang berbagai masalah keadilan yang berkembang dalam masyarakat Indonesia dewasa ini. Sebab, masalah keadilan juga telah menjadi masalah mendesak dan harus segera ditangani di Indonesia. Penilaian mengatakan bahwa meskipun Pancasila sebagai dasar negara mengandung nilai keadilan, namun, diantara kelima sila dari Pancasila, keadilan merupakan sila yang paling sial. Kenapa demikian?
Apakah itu, seperti dikatakan sejumlah kalangan, karena Pancasila ’belum memiliki definisi yang jelas secara konseptual maupun operasional mengenai cita-cita, tujuan, serta cara atau mekanisme untuk mewujudkan cita-cita atau tujuan yang diinginkan’?
Benarkah, sebagai wawasan politik, Pancasila terlalu normatif dan tidak menjangkau persoalan-persoalan ekonomi dan sosial yang kongkrit, seperti kemiskinan dan keadilan sosial, dan karena itu, dibandingkan ideologi-ideologi semacam Marxisme, Sosialisme, Liberalisme atau bahkan ekonomi Islam, Pancasila menjadi terlalu lemah?
Keadilan perlu dikaji dan dikembangkan secara saksama terutama karena bukti memang menunjukkan adanya bentuk-bentuk ketidakadilan dan kesenjangan ekonomi yang semakin meningkat di Indonesia dan juga dalam konteks hubungan internasional dengan implikasi-implikasi yang sangat serius terhadap keamanan, stabilitas, kohesi sosial dan secara umum kelangsungan hidup manusia di masa depan.

selengkapnya

Sekolah Politik IRE

SEKOLAH POLITIK

Partai politik (Parpol) adalah pilar utama demokrasi. Dalam perkembangan demokrasi, peran parpol sangat strategis dalam menentukan arah kebijakan pemerintahan. Di Indonesia, pasca reformasi, peran yang ditunjukkan parpol dalam demokratisasi di Indonesia tak kunjung terlihat. Ironinya, parpol justru dianggap sebagai penghambat proses demokratisasi dan konsolidasi demokrasi.

Jika dicermati, parpol sebetulnya memiliki peluang sebagai institusi yang bisa mengkomunikasikan kepentingan masyarakat, terutama masyarakat di level desa, ke pemangku kebijakan. Mengapa? Di era orde baru, jangkauan struktural parpol, kecuali Golkar, hanya sampai pada wilayah kecamatan. Saat ini, parpol leluasa untuk membentuk kepengurusan mulai dari dusun hingga nasional.

Di masa Soeharto berkuasa, parpol hanya dipakai sebagai kendaraan politik menuju kursi kekuasaan, yang sama sekali mengabaikan fungsi-fungsi mulia yang semestinya diemban, seperti pendidikan politik, kaderisasi, artikulasi, agregasi, dll. Dalam kondisi yang demikian, oligarki artai semakin kokoh dan menegasikan kinerja partai.

Saat ini, walaupun kondisi di atas belum sepenuhya hilang, berbagai macam fungsi yang melekat dalam parpol seperti kaderisasi, agregasi dan artikulasi sangat berpeluang untuk dijalankan secara maksimal. Sayangnya, peran atau fungsi tersebut sejauh ini juga belum terlihat menonjol.

Melihat pentingnya posisi dan peran parpol, sudah waktunya pemberdayaan dan penguatan kembali parpol dalam kerangka pembangunan politik dan demokrasi sangat diperlukan. Maksud besarnya adalah, bagaimana memposisikan ulang parpol sebagai sarana dan alat politik yang mengakar pada suara dan kepentingan masyarakat

selengkapnya

Selasa, 19 Februari 2008

Bea WC Umum Rp 1000, Obral Hutan Lindung Rp 300/meter

Siaran Pers JATAM, WALHI, Huma, Sawit Watch - 16 Februari 2008

Presiden Jual Hutan Lindung seharga Pisang Goreng

Sejak 4 Februari lalu, hutan lindung dan hutan produksi tak berharga lagi. Lewat Peraturan Pemerintah (PP) No 2 tahun 2008, para pemodal diberi kemewahan membabat hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan pertambangan dan usaha lain, hanya dengan membayar Rp 300 setiap meternya. PP ini menghapus fungsi lindung kawasan hutan menjadi fungsi ekonomi sesaat.

Ditengah keprihatinan bencana banjir dan longsor musim ini, Presiden mengeluarkan PP No 2 tahun 2008 tentang Jenis & tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan utuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan.

PP ini memungkinkan perusahaan tambang merubah kawasan hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan tambang skala besar, hanya dengan membayar Rp. 1,8 juta hingga Rp. 3 juta per hektarnya. Lebih murah lagi untuk tambang minyak dan gas, panas bumi, jaringan telekomunikasi, repiter telekomunikasi, stasiun pemancar radio, stasiun relai televisi, ketenagalistrikan, instalasi teknologi energi terbarukan, instalasi air, dan jalan tol. Harganya turun menjadi Rp. 1,2 juta hingga Rp 1,5 juta.

“Itu harga hutan termurah yang resmi dikeluarkan sepanjang sejarah negeri ini. Hanya Rp. 120 hingga Rp. 300 per meternya, lebih murah dari harga sepotong pisang goreng yang dijual pedagang keliling” ujar Rully Syumanda, pengkampanye hutan WALHI.

Selengkapnya..

Pesta Pora UNFCCC - KTT Perubahan Iklim Kuras 30 juta Liter Air

KTT Perubahan Iklim Habiskan 30 juta Liter Air

Provinsi Bali yang kerap menjadi tuan rumah bagi konferensi internasional, tidak hanya membawa dampak yang baik bagi citra pariwisata Bali namun juga berdampak negatif bagi supply-demand sumber daya alam Bali.

Hal ini terungkap pada Lokakarya dan Diskusi ”Pasca Konferensi PBB Tentang Perubahan Iklim dan Tindak lanjut Kampanye Nyepi Untuk Dunia” yang dilaksanakan oleh Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim hari ini (19/02/2008).

”Ternyata hasil dari konferensi yang berupa Bali Action Plan masih merupakan rekomendasi dan memerlukan pembahasan jangka panjang, tidaklah sebanding dengan biaya ekonomi yang telah dikeluarkan dan biaya lingkungan yang harus ditanggung oleh Bali selaku tuan rumah”, ungkap Hira Jhamtani selaku wakil Kolaborasi Bali untuk Perubahan Iklim.

”Jika menggunakan asumsi yang paling minim, yakni peserta berjumlah 3.000 orang saja maka air yang dibutuhkan 30 juta liter selama 10 hari konferensi. Pertanyaannya, jatah air petani atau masyarakat kecil mana yang diambil untuk memasok kebutuhan peserta konferensi?” dia menambahkan.

Selengkapnya...

Senin, 18 Februari 2008

Hari Valentine, Emas dan Sejuta Luka Tersembunyi

Tulisan yang huebat dari Mai aktivis Jaringan Advokasi Tambang!


http://www.jatam.org/content/view/247/1/

Hari Valentine & Emas

Monday, 18 February 2008

Oleh Siti Maemunah
Dimuat majalah FORUM, 18 Februari 2008

Perhiasan Emas ternyata menyimpan sisi gelap, yang tak diketahui pemakainya. Sisi yang jauh dari makna kasih sayang, yang diungkap pasangan kekasih di hari Valentine.
“Buat kisah cintamu bersinar di hari Valentine dan jadikan kenangan manis yang abadi”. Itu bunyi salah satu iklan perhiasan emas dan berlian di satu koran nasional, menyambut peringatan hari Valentine, setiap 14 Februari.

Hari Valentine dikenal sebagai hari kasih sayang. Meski di Indonesia, beberapa kelompok memprotes perayaannya. Tapi hari itu tetap diperingati sebagai hari khusus, untuk saling mencurahkan rasa sayang pada pasangannya atau orang lain, yang mereka sayangi.

Biasanya, itu mereka wujudkan dengan memberi kejutan spesial. Mulai dengan berkirim kartu, makan malam hingga memberi hadiah perhiasan emas dan berlian.

Sejak lama, perhiasan emas dan berlian dipilih sebagai simbol cinta kasih. Sebab, dalam kondisi apapun, ia tak mudah berubah, baik warna, kilau maupun bentuknya. Itu simbol keabadian. Dan tiap pasangan, tentu mendambakan kasih sayang abadi, tak rusak oleh badai, tak lekang oleh jaman.

Tak heran, jika di hari Valentine, penjualan perhiasan naik pesat. Jewelry Consumer Opinion Council, yang melakukan jejak pendapat di Amerika Serikat, menyebut perhiasan sebagai hadiah paling diminati di hari Valentine.

Sayang, tak banyak pasangan yang tahu darimana perhiasan emas dan berlian itu digali. Mereka tak tahu, penggalian emas meninggalkan warisan buruk yang abadi bagi warga sekitar pertambangan.

Harga Emas Sebenarnya

Jika berkunjung ke www.nodirtygold.org, kita akan tahu bagaimana sebuah cincin emas dihasilkan. Ternyata untuk membuatnya, dibuang sedikitnya 20 ton limbah. Di tambang Newmont di Sulawesi Utara misalnya, untuk mendapatkan satu gram emas dibuang 2,1 ton limbah batuan dan lumpur tailing. Belum lagi 5,8 kilogram emisi beracun, berupa 260 gram Timbal, juga 6,1 gram Merkuri dan 3 gram Sianida. Limbah ini kelak, diwariskan kepada penduduk lokal dan lingkungan sekitar.

Pertambangan adalah industri yang beresiko. Perusahaan tambang menggunakan bahan kimia Merkuri dan Sianida untuk memisahkan emas dari bijih batuan. Pencemaran oleh dua bahan kimia tersebut sangatlah berbahaya. Sianida seukuran biji beras saja, bisa berakibat fatal bagi manusia, sepersejuta gramnya dalam seliter air bisa fatal bagi ikan.

Dua tahun lalu, pertambangan logam dinyatakan sebagai pencemar nomer satu di Amerika Serikat. Mereka bertanggung jawab terhadap 84 hingga 89 persen Arsen, Merkuri dan Timbal yang mencemari. Tambang emas juga dikenal sebagai salah satu industri yang paling merusak di dunia.

Satariah, perempuan dayak Siang Bakumpai sudah merasakan daya rusak itu.Ia tinggal di desa Oreng Puruk Cahu Kalimantan Tengah. Ia punya ladang di tanah adat, luasnya sekitar 15 hektar. Hasil panen ladang ini cukup untuk menutup kebutuhan pangan setahun, malah kadang berlebih. Sejak perusahaan tambang emas skala besar – PT Indo Muro Kencana (IMK) dari Australia datang pada1986, semuanya berubah.

Awalnya, perusahaan dibantu aparat pemerintah setempat merampas tanah Satariah dan warga lainnya. luas ladang keluarganya tersisa tak kurang dari satu hektar. Akibatnya buruk. Panen padi tak cukup lagi untuk dimakan harian. Tiap bulan, untuk makan keluarganya yang lebih selusin itu, ia harus membeli beras tambahan, sedikitnya 3 karung.

Selengkapnya

Minggu, 17 Februari 2008

Bertindak atau Mati : Dukung Protokol Rakyat untuk Perubahan Iklim

Mohon Dukungan atas Protokal Rakyat untuk Perubahan Iklim


Kawan-kawan yang terhormat,

Perubahan iklim adalah isu yang mensyaratkan aksi kolektif yang mendesak dari kalangan masyarakat sipil dan sector yang termarginalisasi, khususnya dari negar-negara Selatan – para pihak yang akan menerima dampak terbesar dari perubahan iklim.

Dibawah ini adalah draft Protokol Rakyat untuk perubahan Iklim yang merefleksikan aspirasi dan kebutuhan rakyat dimana persoalan perubahan iklim harus disikapi. Draft Protokol Rakyat ini telah melalui beberapa kali workshop dan temu rakyat di Indonesia. Dokumen ini akan difinalisasi dan ratifikasi melalui Sidang Rakyat yang diinisiasi oleh Pesticide Action Network International (PAN International), Coalition of Agricultural Workers International (CAWI), People's Coalition on Food Sovereignty (PCFS) and the Asian Peasant Coalition (APC) selama Copenhagen Climate Change meetings 2009.

Ratusan tanda tangan telah dikumpulkan dan ribuan dukungan telah di peroleh melalui aksi serempak di 19 kota di Indonesia pada pringatan hari Hak Asasi Manusia pada tanggal 10 Desember 2007.

Kami mengharapkan dukungan anda dengan menandatangani draft Protokol Rakyat Untuk perubahan iklim. Silah klik http://www.petitiononline.com/ppcc

Mohon disebarluaskan

Salam hangat,
Ava Danlog (IBON Foundation) – (adanlog@ibon.org), Don K. Marut (INFID), Syamsul Ardiansyah (INDIES), Flint Duxfield (Aid/Watch)


di dukung, dipublikasikan kembali dan disirkulasikan oleh
Andreas Iswinarto (Sarekat Hijau Indonesia


Protokol Rakyat tentang Perubahan Iklim
(DRAFT)

Pembukaan
Planet bumi tengah berada di tengah krisis perubahan iklim pada tingkat yang sangat membahayakan. Dibutuhkan tindakan-tindakan drastic untuk mengembalikan keadaan. Suhu global meningkat dua kali lebih cepat dalam waktu 50 tahun terakhir sejak akhir abad yang lampau dan diperkirakan akan meningkat dengan lebih cepat pada decade-dekade yang akan datang. Hal ini menyebabkan perubahan pola cuaca, berkali-kali merusak lingkungan, dan, menghancurkan hidup serta kehidupan khususnya bagi mereka yang hidup dalam kemiskinan dan paling rentan.

Perubahan iklim yang semakin berbahaya ini didorong oleh peningkatan produksi buangan gas rumah kaca yang dihasilkan oleh tindakan-tindakan manusia. Peningkatan gas rumah kaca yang paling membahayakan disebabkan oleh buangan CO2 yang diakibatkan oleh tingginya pembakaran bahan-bakar fosil, operasi-operasi komersial, sarana transportasi dan aktivitas-aktivitas militer. Kapasitas planet bumi untuk memproses buangan ini telah mengalami pelemahan yang luar biasa akibat meluasnya dan semakin hancurnya hutan di seluruh dunia. Sebagai hasilnya, konsentrasi gas rumah kaca berupa buangan CO2 saat ini telah jauh di atas ambang-batas alami yang berlangsung selama kurang lebih 650.000 tahun belakangan. Konsentrasi metan dan nutrousoksida, yang juga disebabkan oleh industry dan pertanian, juga mengalami peningkatan secara dramatis dan turut memperburuk dampak pemanasan global.

Perubahan iklim akan secara universal membawa dampak buruh bagi penduduk dunia dengan semakin membesar dan semakin seringnya perubahan cuaca panas yang tinggi dan pola hujan, demikian pula dengan badai tropis, topan, dan angin ribut. Afrika, Asia, dan Amerika Latin akan menghadapi gejala menyingkatnya musim tanam, berkurangnya mutu lahan, menghilang atau rusaknya tanah pertanian, turunnya produksi pertanian, dan semakin langkanya air minum. Kekeringan di Afrika akan memperluas kelaparan dan kelangkaan pangan. Asia telah lebih dulu menghadapi bencana banjir, banjir bandang, dan longsor, yang akan menyebabkan mewabahnya berbagai penyakit dan kematian. Di Latim Amerika, meningkatnya suhu dan berkurangnya keanekaragaman hutan tropis akan menghancurkan komunitas-komunitas asli. Secara global, meningkatnya permukaan air laut akan membanjiri kawasan-kawasan yang berada dibawah permukaan laut, meningkatnya ancaman petir akan mengancam masyarakat pesisir, dan semakin panasnya suhu air laut akan menghilangkan cadangan ikan.

Satu abad yang lalu telah dilalui dengan mewariskan kemajuan perkembangan teknologi, produksi, dan peradaban manusia—akan tetapi hal ini harus dibayar dengan dengan rangkaian bencana ekologi global yang terus berkembang. Pada satu sisi, elite-elite ekonomi dan politik global telah secara sembrono mendorong produksi berorientasi keuntungan dan meningkatkan tingkat konsumsi dunia. Pada sisi lain, berjuta-juta manusia hidup dalam keadaan yang serba terbelakang dan sengsara dengan hanya bersandar pada konsumsi subsisten yang ala kadarnya, atau bahkan lebih rendah lagi. Perusahaan-perusahaan transnasional besar di dunia (TNCs) yang umumnya berbasis di negara-negara utara dengan sayap usahanya yang sampai ke selatan, telah menjadi pihak yang paling lama menyebabkan terjadinya pemanasan global. Bahkan, pada saat ini Negara-negara industry telah menciptakan eksploitasi yang demikian hebat terhadap rakyat dan sumberdaya alam di selatan. Nafsu untuk mengejar pertumbuhan dan keuntungan adalah faktor utama yang menjadi inti penghisapan, kemiskinan structural, dan pemanasan global.

Saat ini telah terdapat sebuah skema global dalam upaya untuk menyatukan aksi dan kerjasama internasional untuk menghadapi pemanasan global. Hal ini termasuk landmark 1992 Kerangka Kerja Konvensi untuk Perubahan Iklim atau Framework Convention on Climate Change (FCCC) tahun 1992 dan kesepakatan-kesepakatan berikutnya dalam perjanjian Kyoto. Namun hingga ini, masalah belum bisa dibendung, bahkan keadaan menjadi semakin memburuk sejak target-target pembatasan dan rentang waktu yang ditetapkan berdasarkan Protokol Kyoto tidak mengalami perkembangan. Yang paling penting, Protokol Kyoto tidak secara desisif mengakui akar dari masalah ini – yakni globalisasi dan perburuan gila demi keuntungan yang dilakukan perusahaan-perusahaan transnasional. Bahkan, Protokol Kyoto juga telah tanggungjawab dan akuntabilitas untuk krisis iklim melalui marketisasi sumber dan pasokan energi. Sistem penanggulangan dan perdagangan emisi telah mengalihkan ongkos penyesuaian dari yang kaya kepada yang miskin, menciptakan ketergantungan baru, memberikan penghargaan kepada para pencemar dan meningkatkan kesempatannya untuk mendapatkan keuntungan. TNC-TNC utara dan para investor telah mempertahankan bahkan meningkatkan insentif operasi energy dengan merelokasi ke negara-negara selatan, merangkul dan mengooptasi elit-elit local ke dalam proses destruktif produksi dan konsumsi yang didominasi kapitalis.

Secara signifikan, Protokol Kyoto tidak sungguh-sungguh melibatkan komunitas-komunitas grassroot dan rakyat yang terkena dampak terburuk, khususnya di Selatan. Protokol Kyoto juga telah mengacuhkan kerusakan-kerusakan yang mengancam kehidupannya, keselamatannya, dan kesejahteraannya. Protokol Kyoto tidak secara konsisten dan koheren mengusung prinsip-prinsip vital pembangunan, khususnya tentang Kedaulatan Rakyat atas sumber Daya Alam.

Gravitasi, lingkup, dan kedalaman masalah menuntut usaha kolektif dan kerjasama terbesar. Tidak ada rakyat atau negara yang bisa dengan sendirinya berhasil mengurai akar sebab dari masalah ini. Pada saat yang sama, penstabilan emisi gas rumah kaca hari ini memang tidak akan secara langsung membawa dampak pada peningkatan suhu global sebab proses iklim berlangsung dalam waktu lama dan sebuah pertanggungjawaban global harus dilakukan untuk mengatasi akibat negative terkini yang akan membebani kaum miskin dan marjinal.

Deklarasi ini mengartikulasikan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang bisa menjadi pedoman aksi internasional dan perjuangan rakyat melawan perubahan iklim serta keterkaitannya dengan kehancuran ekologis dan sosio-ekonomis.

Pernyataan tentang Nilai-Nilai dan Prinsip-Prinsip
Kami, rakyat, telah dipersatukan di belakang nilai-nilai dan prinsip-prinsip pembangunan berdasarkan pada keadilan social, demokrasi, kesetaraan dan kesamaan, keadilan gender, penghormatan terhadap martabat dan hak asasi manusia, penghormatan terhadap lingkungan hidup, kedaulatan, kemerdekaan, kebebasan dan kemandirian, saling menguntungkan, solidaritas social, partisipasi dan pemberdayaan. Pernyataan dibawah ini merupakan pengejewantahan atas prinsip-prinsip tersebut dalam konteks tentang krisis iklim global.

1.
Keadilan social harus dijamin, mengakui akar sistemik dari krisis iklim, pertanggungjawaban yang tidak adil dalam lingkaran elit, dan ketidakmerataan kerentanan bagi mayoritas rakyat yang terkena akibat terburuk, kesenjangan kapasitas yang sangat lebar dalam menghadapi dan merespon, serta aspirasi yang legitimate terhadap pembangunan rakyat yang terpisah dari krisis.

1.1 Kami menekankan bahwa Perubahan Iklim harus dipahami tidak semata-mata sebagai masalah lingkungan namun sebagai sebuah persoalan mengenai keadilan social, yang mana sebabnya berakar pada ekonomi global yang dominasi kapitalis yang secara prinsipil disetir oleh nafsu yang keras kepala untuk mengejar keuntungan dan akumulasi.

1.2 Kami menekankan bahwa rejim ekonomi global hari ini, yang dipimpin oleh kekuatan Utara dan perusahaan-perusahaan transnasionalnya adalah muasal yang fundamental atas eksploitasi yang biadab dan pengerukan yang rakus atas sumber daya alam, dengan penggunaan sumber energi yang serampangan dan pelepasan yang eksesif gas rumahkaca ke atmosfir.

1.3 Kami pun menentang kebijakan-kebijakan “pasar bebas” dari globalisasi, serta ekspansi yang agresif sekaligus intrusif terhadap berbagai sector ekonomi dan terhadap kawasan selatan dunia, serta menentang pula eksploitasi yang dilakukan oleh TNC terhadap rakyat dan planet bumi.

1.4 Kami dengan sungguh-sungguh meyakini bahwa kebijakan-kebijakan neoliberal tersebut secara khusus diterapkan bagi rakyat di kawasan selatan dunia oleh pemerintahan asing yang adidaya yang menggunakan pengaruhnya melalui badan-badan multilateral, regional, dan mekanisme bilateral seperti perjanjian-perjanjian Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), perjanjian pasar bebas regional dan bilateral (FTAs), perjanjian investasi dan persyaratan-persyaratan yang menyertai bantuan.

1.5 Kami memandang bahwa bagian sumbangan emisi yang signifikan yang diduga dari “Selatan” sesungguhnya merupakan hasil dari operasi energy intensif TNC-TNC Utara yang berlokasi di Selatan dengan maksud mengeksploitasi tenaga kerja buruh dan sumberdaya alam kawasan Selatan. Kami pun mengakui bahwa kerusakan alam yang luas di sepanjang latin Amerika, Asia, dan Afrika disebabkan oleh komersialisasi perkayuan, perkebunan-perkebunan besar, aktivitas pertambangan, dan proyek-proyek bendungan yang semuanya didorongan oleh TNC Utara.

2.
Kedaulatan berarti mengusung kekuatan rakyat melalui gerakan sosialnya dan struktur partisipasinya yang sejati sebagai fondasi respon global atas masalah perubahan iklim.

2.1 Kami menekankan peranan penting dan esensial dari komunitas-komunitas dan rakyat yang akan menjadi pihak yang terkena dampak terburuk dalam mendefinisikan, menyusun pedoman, dan menentukan tugas dari berbagai dan semua konferensi-konferensi serta pertemuan-pertemuan besar dalam bidang ekonomi, social, serta bidang-bidang terkait pada tingkat lokal, nasional, regional, dan global.
2.2 Kami menegaskan untuk lebih mendorong berbagai usaha memperkuat masyarakat sipil dan gerakan social, dan khususnya organisasi massa dan perjuangan-perjuangannya sebagai fondasi yang tidak tergantikan serta kekuatan pendorong yang paling dinamis untuk usaha ini. Kami menegaskan bahwa kedaulatan rakyat atas sumber alam adalah prinsip utama yang mutlak dalam mengatasi berbagai dampak perubahan iklim dan hal ini harus dimenangkan dalam berbagai perjuangan.
2.3 Kami menyadari bahwa partisipasi rakyat baik di Utara dan khususnya di Selatan, telah disingkirkan dalam perumusan langkah-langkah kebijakan dengan hasil yang tidak menggembirakan di mana kekuatan elit swasta dan kepentingan korporasi telah sangat jauh lebih berpengaruh dalam pengambilan kebijakan social-ekonomi.

3.
Penghormatan terdapat lingkungan alam berarti penolakan terhadap mekanisme pasar yang kerap meminggirkan prioritas ekologis. Kepentingan planet bumi dan penduduknya harus selalu didahulukan di atas dorongan untuk pertumbuhan dan keuntungan.

3.1 Kami mengakui bahwa alam memegang peranan penting untuk keberlangsungan bagi semua dan sumber-sumber daya alam serta pemanfaatannya adalah esensial untuk keberkelanjutan pertumbuhan ekonomi, keberlangsungan perkembangan manusia, dan pengentasan kemiskinan, wabah penyakit, dan kelaparan. Kami berkomitmen untuk membangun masyarakat dimana rakyat menikmati seluruh hak-hak asasi dan kebebasan fundamentalnya, serta dengan sebuah jalan di mana dunia yang kita ciptakan tidak akan secara sepihak mengabaikan kesamaan hak atas masa depan bagi semua generasi.

3.2 Kami mendesak bahwa kepentingan rakyat dan planet bumi harus ditempatkan di atas semua kepentingan kapital-global dan seluruh nafsu yang melulu hanya untuk mengejar keuntungan pribadi. Sumber daya bumi harus tidak boleh direndahkan menjadi semata hak milik yang bisa dibeli, dijual, diakumulasi, dan dimonopoli oleh segelintir orang demi kepentingan dan hasrat pribadi.

3.3 Kami mempercayai bahwa pertumbuhan populasi meningkatkan permintaan manusia atas alam, namun ketersediaan sumber-sumber alam di planet bumi akan bisa memadai untuk memenuhi tuntutan tersebut apabila aktivitas produksi, pemanfaatan sumberdaya alam, dan konsumsi diorganisasikan untuk memenuhi kebutuhan seluruh manusia dan tidak hanya untuk kepentingan segelintir orang.

4.
Bertanggungjawab, diwujudkan dalam prinsip umum namun terbagi dalam bentuk-bentuk pertanggungjawaban yang berbeda, membutuhkan sebuah mekanisme untuk mengakomodasi kesamaan inklusif secara global. Berdasarkan sejarah emisi, negara-negara di utara mendapatkan porsi tanggungjawab yang lebih besar.

4.1 Kami mengakui bahwa tingkat kerawanan terbesar dalam menghadapi dampak terburuk perubahan iklim berada di pundak kaum miskin dan komunitas-komunitas marjinal.

4.2 Kami memandang bahwa terdapat segelintir elit dalam masyarakat yang memiliki tingkat konsumsinya tumbuh sangat tinggi dan tidak bisa dan tidak boleh bisa diatur, meskipun sebenarnya populasi terbesar secara global yang hak terlanggar haknya adalah pihak yang sebenarnya mendapatkan perhatian lebih agar bisa memperoleh kebutuhannya. Segmen-segmen elit dalam masyarakat inilah yang harus dituntut pertanggungjawaban yang lebih besar atas krisis iklim.

4.3 Kami menyimpulkan bahwa bagian terbesar dari penduduk bumi sesunggunya memiliki ketergantungan yang lebih besar bagi kehidupannya pada akses dan pemanfaatan sumberdaya alam, iklim, dan lingkungan alam. Dengan begitu, kami menekankan pentingnya memberikan perhatian khusus dalam hal usaha-usaha adaptasi bagi komunitas-komunitas pertanian, masyarakat asli/adat, masyarakat pesisir, kaum nelayan, dan kalangan marjinal, miskin, dan produsen pedesaan.

4.4 Kami menyimpulkan bahwa adaptasi semata sesungguhnya tidak akan menyelesaikan masalah perubahan iklim namun adalah perlu untuk menyediakan dukungan pemulihan sementara atas dampak-dampak perubahan iklim yang mengemuka sampai usaha mitigasi secara global telah terbangun secara memadai untuk menangkal pemanasan global.

Pernyataan mengenai cita-cita dan tujuan-tujuan

1.
Kami mengakui bahwa perubahan iklim sebagai sebuah masalah yang kompleks dan memiliki lipatan-lipatan hambatan dan ancaman yang saling terkait karenanya membutuhkan sebuah konfrontasi yang terintegrasi dan terkoordinasi untuk mencapai kemajuan yang nyata.

2.
Kami menyatakan komitmen kami untuk pengurangan emisi gas secara signifikan dan ekstensif dalam garis nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang telah kami kemukakan.

3.
Selanjutnya kami menyatakan kesediaan kami untuk bekerja dan mendukung setiap kesepakatan tentang perubahan iklim yang konsisten dengan fondasi esensial tersebut.

4.
Kami mempercayai bahwa bahwa krisis perubahan iklim tidak bisa dipandang remeh semata hanya adaptasi dan mitigasi, namun dengan perubahan menyeluruh atas kerangka ekonomi yang mengarah pedoman yang ramah lingkungan dan berkesinambungan.

5.
Kami melihat Protokol Kyoto telah merepresentasikan suatu kompromi palsu dan berkomitmen untuk mengisi kelemahan fundamental Perjanjian Kyoto dalam protocol baru atau perjanjian pasca 2012.

a.
Kami menolak mekanisme berbasis pasar dalam mengatasi masalah iklim karena hanya bersifat mengalihkan dan didesain untuk mengekalkan tingkat aktivitas ekonomi dan keuntungan terkini, bila tidak hal itu merupakan maneuver yang vulgar dari korporasi untuk melepaskan beban dalam menghadapi efek negatif emisi gas rumah kaca kepada rakyat di kawasan Selatan dunia
b.
Kami mengakui bahwa perkembangan teknologi dapat memainkan peranannya untuk mengatasi masalah perubahan iklim namun gagasan yang memandang bahwa teknologi bisa memperbaiki dirinya sendiri tentu-saja bukan hanya tidak masuk akal namun justru dihunakan untuk mengalihkan dari kebutuhan untuk mengatasi akar masalahnya.

6.
Kami berkukuh bahwa kemajuan umat manusia dan kemampuan mempertahankan kehidupan, keberadaan, dan kemakmuran rakyat seluruhnya membutuhkan sebuah system ekonomi yang berkeadilan social, demokratis, dan berkelanjutan secara ekologis. Termasuk didalamnya pertanian dan pembangunan industry yang berorientasi rakyat.

7.
Kami menyatakan bahwa dalam rangka mengatasi krisis iklim, kepentingan, akses, dan kontrol rakyat atas sumber daya alam yang dibutuhkannya sebagai hal yang harus diutamakan dari pada kepentingan TNC, lembaga-lembaga keuangan internasional atau bahkan pemerintahan yang menunjukkan kedekatannya pada kepentingan elit-elit global dan kolaborator lokalnya. Dalam hal itulah kami mengusung kedaulatan rakyat atas sumber daya alam.

8.
Untuk itu semua, kami akan bekerja untuk:
a.
Kepemilikan nasional atas sumber-sumber daya dan asset-aset produktif.
b.
Manajemen dan pengambilan keputusan pada tingkat komunitas yang didukung oleh otoritas tingkat nasional atau kemitraan komunitas public dalam pemanfaatan dan pemeliharaan sumber-sumber daya tersebut.
c.
Keterbukaan dalam pengambilan keputusan serta pembagian manfaat yang dihasilkan dari kegiatan ekstraksi, pengolahan, dan perdagangan produk-produk yang diperoleh dari alam.
d.
Kerangka kebijakan nasional yang komprehensif untuk diversifikasi ekonomi guna mempertemukan kepentingan kolektif bagi generasi sekarang maupun yang akan datang.
e.
Sebuah program nasional mengenai penelitian dan pengembangan tentang teknologi yang berkelanjutan termasuk metode pengolahan kembali, pembaruan energy dan berbagai alternatif menggantikan alat produksi yang tidak-terbaharui.
f.
Pendidikan tentang ekologi dan konsumsi yang bertanggungjawab secara social; dan
g.
Perjanjian kerjasama dengan berbagai Negara dalam kerangka saling menguntungkan secara global atau pembagian sumberdaya seperti lautan, sungai-sungai, hutan-hutan dan iklim.

9.
Kami menegaskan pentingnya pendidikan pada tingkat akar-rumput, pengorganiasian, dan mobilisasi guna mempromosikan dan merealisasikan pandangan-pandangan alternatif dan program-program menuju transformasi sosial. Kami akan tetap mengedepankan kewaspadaan dan kritik kami meskipun ketika pemerintah telah menunjukkan dukungan-dukungannya terhadap agenda-agenda progresif mengenai perubahan iklim dan tetap memaksa akuntabilitas pemerintah melalui partisipasi popular dan mobilisasi. Kami akan selamanya melakukan kritik terhadap berbagai usaha yang ditujukan untuk mencari titik tengah kompromi kepentingan kaum mayoritas dan termarjinalisasi.

10.
Kami akan membangun jaringan gerakan masyarakat yang kuat untuk mendorong aksi-aksi atas masalah iklim yang saat ini telah menunjukkan kebangkitannya di dunia. Melokalkan aksi-aksi melawan pembuangan gas rumah kaca yang telah menyebar di seluruh dunia dan memperdalam pembangunan gerakan dari hari ke hari.

11.
Kami mengakui peranan suportif dari dana ‘adaptasi’ untuk Negara-negara di selatan untuk membantu mengatasi masalah perubahan iklim, namun juga menekankan bahwa tanggungjawab terbesar terhadap negara-negara di utara dalam krisis iklim kontemporer yang berarti bahwa dukungan tersebut semestinya mendapatkan proporsi yang paling besar, mengutuk kegagalan atas usaha dana adaptasi global yang telah dialokasikan yang hanya merupakan dana yang remeh, dan mengkritik usaha Bank Dunia dalam menggunakan dana adaptasi untuk mengalihkan usaha dari mengatasi masalah yang intinya mengusung kepentingan kalangan akar rumput yang menghadapi berbagai kendala akibat perubahan iklim. Kami menekankan bahwa dana adaptasi meski lebih besar di atas alokasi tradisional untuk bantuan pembangunan asing atau overseas development assistance (ODA).

12.
Kami menuntut keadilan secara restoratif yang mensyaratkan distribusi tanggungjawab berdasarkan data histories emisi per kapita dan tidak hanya sebatas perhitungan berdasarkan Negara namun lebih signifikan berdasarkan basis polutan. Tekanan terbesar untuk melakukan penyesuaian harus berada di Negara-negara utara dan korporasi transnasionalnya (dimana pun mereka berada), juga kepada elit-elit di Selatan, yang telah menyebabkan dan mengambil keuntungan dari bencana. Kami pun menegaskan bahwa ini merupakan persyaratan absolute pada tingkat yang sangat minimum, komitmen-komitmen utara dan praktik konkret untuk;

a.
Mengurangi secara drastic pemanfaatan energi secara menyeluruh dan meningkatkan efisiensi energi.
b.
Meningkatkan bantuan atas keadaan yang tidak bersyarat yang secara langsung diaragkan untuk mengatasi masalah-masalah krisis iklim di selatan, dan
c.
Memeriksa secara seksama peraturan perdagangan dan investasi internasional untuk disesuaikan dengan pembangunan yang berkelanjutan dan meningkatkan standar hidup masyarakat di selatan, termasuk juga menghentikan secara nyata dan efektif transfer polutan dari Negara-negara industri di utara ke selatan.

13.
Kami mengakui pentingnya pengurangan emisi gas rumah kaca baik oleh Negara-negara Utara maupun Selatan. Kami menegaskan bahwa aksi untuk mengatasi perubahan iklim hanya akan berhasil bila diarahkan untuk emisi Negara-negara selatan dan hal ini membutuhkan mekanisme yang bisa memperbesar skala dukungan rehabilitasi secara financial dari Negara-negara utara kepada Negara-negara selatan. Secara khusus, hal ini harus mencakup penciptaan dana mitigasi global, yang disokong oleh Negara-negara utara, dan secara khusus oleh TNC-TNC Utara.

Do or Die : Support For People's Protocol on Climate Change

Support for the People's Protocol on Climate Change

Dear Friends and Colleagues,

Climate change is an issue that requires the urgent collective action from the civil society and marginalized sectors -especially from the South- who will be most affected by climate change.

Below is the draft People's Protocol on Climate Change which reflects the aspirations and demands of the people on how climate change should be addressed. The draft People's Protocol on Climate Change has already undergone a series of workshops in Indonesia. It will be finalized and ratified through a grand People's Assembly spearheaded by the Pesticide Action Network International (PAN International), Coalition of Agricultural Workers International (CAWI), People's Coalition on Food Sovereignty (PCFS) and the Asian Peasant Coalition (APC) during the 2009 Copenhagen Climate Change meetings.

Hundreds of signatures have already been gathered and thousands more are expected at a nationally coordinated people's actions in 19 key cities in Indonesia on December 10, International Human Rights Day.

We need your support. Please endorse the draft People's Protocol on Climate Change by following the link http://www.petitiononline.com/ppcc

Please circulate.
Thank you.

Regards,
Ava Danlog (IBON Foundation), Don K. Marut (INFID), Syamsul Ardiansyah (INDIES), Flint Duxfield (Aid/Watch), Andreas Iswinarto (Sarekat Hijau Indonesia)

If you would like to comment on the petition, or otherwise communicate
directly with the petition author, you can contact the author at:
Ava Danlog, adanlog@ibon.org


Endorsed, Re-publish and re-circulate by Andreas Iswinarto-Sarekat Hijau Indonesia
(sekjen@sarekathijauindonesia.org)



People’s Protocol on Climate Change (draft)

Preamble

The planet is experiencing a climate crisis of catastrophic proportions. Drastic action is required to reverse the situation. Global temperatures have increased twice as fast in the last 50 years as over the last century and will rise even faster in the coming decades. Eleven of the last twelve years (1995-2006) are among the 12 warmest years on record. This is disrupting weather patterns, severely damaging the environment, and destroying lives and livelihoods - especially of the poorest and most vulnerable.

This dangerous climatic change is driven by the unprecedented increase in human-generated greenhouse gases in the atmosphere. The most dangerous increase is in CO2 emissions from the ever-mounting burning of fossil fuels for industry, commerce, transport and militarism. The planet’s capacity to process these emissions has also been crippled by widespread deforestation. As a result, the concentration of CO2 in the atmosphere is now far higher than its natural range over the last 650,000 years. Concentrations of methane and nitrous oxide, again caused by human industry and agriculture have also increased dramatically and are also implicated in causing global warming.

Climate Change will be universally adverse for the world’s people with greater and more frequent extremes of heat and rainfall patterns as well as tropical cyclones, typhoons and hurricanes. Africa, Asia and Latin America face shorter growing seasons, lower yields, lost or deteriorated agricultural land, decreased agricultural production and freshwater shortages. Droughts in Africa will bring widespread hunger and famine. Asia is already confronting flooding, avalanches and landslides, which will increase illness and death. In Latin America, higher temperatures and reduced biodiversity in tropical forests will devastate indigenous communities. Globally, rising sea levels will flood low-lying areas, increased storm surges will threaten coastal communities, and warmer sea waters will diminish fish stocks.

The last centuries have been heralded for great strides in technology, production and human progress – but these advances have precipitated global ecological and development disasters. On one hand a privileged global elite engages in reckless profit-driven production and grossly excessive consumption. On the other hand, the mass of humanity is mired in underdevelopment and poverty with merely survival and subsistence consumption, or even less. The world’s largest transnational corporations (TNCs) based mainly in the Northern countries and with expanding operations in the South, have long been at the forefront of these excesses. Indeed the powerful industrialized nations of today were built on the severe exploitation of the human and natural resources of the global South. The pursuit of growth and profit is at the core of exploitation, structural poverty and global warming.

There have already been high-profile schemes for concerted action and co-operation to combat global warming. This includes the landmark 1992 Framework Convention on Climate Change (FCCC) and the succeeding Kyoto Agreement. Yet the problem has not been stemmed or much less reversed, indeed it has worsened as the limited targets and timelines set by the Kyoto Protocol have made no headway. Importantly, the Kyoto Protocol does not decisively acknowledge the real roots of climate change - globalization and the mad pursuit of TNCs for profits. Instead, Kyoto has diminished responsibility and accountability for the climate crisis through the marketization of energy resources and supply. The offsets and emissions trading system transfers adjustment costs from rich to poor, creates new dependencies, rewards corporations for polluting and increases their opportunities for profits. Northern TNCs and investors have sustained and even increased their energy intensive operations through relocation to Southern countries, capturing and co-opting local elites into the destructive process of capitalist-dominated production and consumption.

Selengkapnya...

Sabtu, 02 Februari 2008

Propaganda, Kuasa, Dan Pengetahuan : Genealogi Ilmu Komunikasi

sumber : http://indoprogress.blogspot.com/

Genealogi Ilmu Komunikasi di Indonesia, Suatu Penelusuran Awal
Ignatius Haryanto

Pengantar

PERKEMBANGAN ilmu komunikasi di Indonesia dan berbagai kegiatan penerapannya sangat berkembang dalam satu dasawarsa terakhir ini. Ada beberapa indikasi yang bisa ditunjuk untuk melihat perkembangan tersebut. Pertama, adalah makin banyaknya dibuka program-program pendidikan komunikasi (terutama dalam ilmu terapannya) yang diselenggarakan baik oleh perguruan tinggi (mulai dari program sarjana, diploma, hingga kelas extention) ataupun kelembagaan pendidikan non perguruan tinggi lain (ada berbagai pendidikan non degree yang menawarkan program-program komunikasi terapan ini).

Kedua, hasil lebih lanjut dari berbagai program ini adalah tentu saja, semakin banyak lulusan-lulusan berbagai program tadi yang memiliki latar belakang pendidikan komunikasi. Ketiga, hampir seluruh instansi pemerintah, perusahaan bisnis dan berbagai kelembagaan lain yang berurusan dengan publik, pastilah memiliki suatu departemen yang diberi nama Hubungan Masyarakat (Humas) / Public Relations, ataupun kelembagaan konsultan Humas. Keempat, salah satu hasil lain dari program terapan ilmu komunikasi adalah bidang periklanan atau advertising yang juga menunjukkan perkembangan yang sangat pesat dalam dua dekade belakangan ini.

Tak ada yang salah dengan fenomena yang telah disebutkan di atas, karena bagaimanapun juga perkembangan yang terjadi di Indonesia juga merupakan hal yang istimewa jika dibandingkan dengan perkembangan yang terjadi di belahan dunia lain, terutama negara yang sudah termasuk dalam sebutan negara Industri (ataukah negara industri advanced ataupun negara industri baru), apalagi dengan kemajuan teknologi informasi telah membuat berbagai rangkaian hubungan antar manusia atau lembaga kini menjadi makin kompleks, sehingga ada kebutuhan untuk sebagian pihak untuk mengadakan suatu kelembagaan khusus yang berurusan dengan masalah komunikasi – terutama – dengan pihak luar.

Yang hendak ditulis di sini adalah suatu kritik atas pemahaman ataupun perkembangan ilmu dominan yang terjadi dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia, yang sebenarnya merupakan bagian dari kritik lebih luas terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia, yang menunjukkan kemandegan atas cara berpikir yang telah diterapkan sekian lama, lewat suatu cara yang spesifik dalam pelanggengan suatu mazhab tertentu yang diyakini untuk diajarkan, dan diterapkan, tanpa ada suatu dimensi kritik epistemology atas perkembangan ilmu itu sendiri.

Tesis utama yang hendak dikemukakan di sini adalah bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama diajarkan oleh universitas-universitas dominan di Indonesia, lebih membela suatu paradigma tunggal, atau katakanlah lebih membela paradigma yang lebih pragmatis, cenderung positivistik, mengabaikan konteks perkembangan ilmu dalam wilayah dimana ia berkembang, serta tak pernah mempertanyakan keabsahan asumsi-asumsi yang terletak di balik penggunaan paradigma dominan dalam perkembangan pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.

Dengan menyebut ‘paradigma tunggal’, posisi binner adalah paradigma plural, dimana ada berbagai mazhab lain yang dikenal dalam ilmu komunikasi atau ilmu lain yang kini sering berinteraksi secara metodologis dengan ilmu-ilmu komunikasi. Dengan membela posisi paradigma yang plural, maka tulisan ini pun hendak membela suatu pendekatan interaksi antar bidang ilmu yang untuk sebagian pihak masih dianggap suatu tabu.1

Tulisan ini barulah sekedar tulisan awal untuk melacak akar-akar perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia yang terutama sangat berorientasi pada perkembangan ilmu komunikasi di Amerika, terutama dalam kacamata paradigma positivistik, berakar pada mashab Chicago School, dan juga dengan pendekatan yang sangat pragmatis, dengan asumsi-asumsi yang sudah diterima begitu saja dan cenderung menggunakan statistik untuk peneguhan tesis yang sudah dipegang awalnya. Dari sini, secara tidak langsung, hendak mencoba menjawab mengapa terjadi kemandekan dalam perkembangan ilmu komunikasi, sebagai bagian dari ilmu-ilmu sosial lainnya di Indonesia.

Tulisan ini juga hendak melacak bagaimana ilmu komunikasi di Amerika sendiri berkembang menjadi suatu disiplin yang lebih mapan terutama pada tahun 1950-an atau dekade awal setelah selesainya perang dunia II. Hal tentang perang dunia II, di sini disinggung karena ini terutama berkait dengan fakta bahwa sejumlah ahli ilmu komunikasi Amerika – yang teorinya dipergunakan oleh para mahasiswa dan sarjana ilmu komunikasi tanpa daya kritis, dan dianggap sebagai the founding fathers of communication science - punya andil besar dalam penerapan dan pengembangan metode-metode ilmu komunikasi untuk membela kepentingan Amerika dalam perang yang terjadi sejak masa perang dunia II hingga masa perang dingin tahun 1960-an. 2

Dari pelacakan sejarah awal di Amerika, diharapkan tulisan ini bisa memberikan sedikit gambaran, bahwa perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia tak bisa juga dilepaskan dari perkembangan kepentingan ekonomi dan politik Amerika terhadap negara dunia ketiga, seperti Indonesia – terutama yang jaman Sukarno dikenal dengan nasionalisme dunia ketiga dengan mendirikan gerakan non blok dengan negara-negara Asia dan Afrika – dan perkembangan posisi ilmu komunikasi di Indonesia saat ini tak juga bisa dilepaskan dari perkembangan pendekatan developmentalis yang dianut para penyusun kebijakan sosial pada masa awal orde baru, terutama dengan menggandeng ilmu sosial, khususnya ilmu komunikasi dalam kekuasaan birokrasi negara.

Tulisan ini hendak dimulai dengan pelacakan perkembangan ilmu komunikasi di Amerika – yang dibedakan dengan perkembangan ilmu komunikasi di Eropa Barat3
dan juga perkembangan ilmu komunikasi di Amerika Latin ataupun India yang memiliki ciri perkembangan khas – terutama dengan bertumpu pada pengembangan metode propaganda sebagai hasil penting dari dua perang dunia (1914-1918 dan 1939-1945) dengan dua tokoh utama Harold Lasswell dan Walter Lippman. Kemudian tulisan ini berlanjut pada perkembangan metode perang psikologis (psychological warfare) yang digunakan para ahli komunikasi Amerika yang bekerja pada 6 kelembagaan perang Amerika untuk membela kepentingan ekonomi dan politik Amerika.4

Kemudian setelah itu tulisan ini menyoroti sejarah perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia dengan terutama menyoroti bagaimana dekatnya hubungan para sarjana ilmu komunikasi di Indonesia dengan ilmu komunikasi asal Amerika,5
serta menunjuk pada luasnya pengaruh ‘mazhab Amerika’ ini dalam pengajaran ilmu komunikasi di Indonesia.6 Di bagian akhir tulisan ini, akan sedikit dipaparkan bagaimana propaganda dilakukan di Indonesia oleh kelompok yang menginginkan kejatuhan Sukarno pada tahun 1965/66, dengan menjalankan proyek kudeta sembari melempar berbagai tudingan ke pihak-pihak lain. Bagian ini hendak menunjuk pada penerapan metode propaganda terutama dari kepentingan ilmu komunikasi Amerika dalam proses transisi politik tahun 1965/66 tersebut.7

Selanjutnya…