RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 18 September 2008

Refleksi Persoalan Globalisasi : Menggali Pemikiran dan Semangat Dr. Mansour Fakiq

Tanpa Tanda Seru

(oleh : Puthut EA)

(refleksi persoalan globalisasi)

Pantai terasa memberat oleh warna yang hampir gelap. Lampu-lampu kapal mulai menyala seperti tubuh yang siuman dari pingsan seharian. Pendar mercusuar memberi tanda bahwa sebentar lagi gelap akan terasa lengkap. Sebentar lagi, berduyun-duyun para nelayan naik ke kapal, memasang layar, menaikkan jangkar, merapal mantra. Dan meluncurlah kapal-kapal mungil yang liat oleh semangat, deru napas menjadi irama kerja. Dan seperti yang sudah sudah, gelap telah ikut mengingat sebuah pertanggungjawaban dan pernyataan tentang hidup.

Tapi dewa-dewa telah lama pergi. Mantra seperti terbang percuma menuju langit. Ikan-ikan terasa semakin menjauh. Di geladak yang murung, wajah-wajah yang tanak oleh udara bergaram terlihat semakin tidak mengerti; kemana ikan-ikan itu pergi? Sedang ratusan kali, kapal sudah semakin melewati batas keramat. Kami tahu, tapi tidak pernah bisa mengerti.

Mengapa hutan-hutan bakau itu dibabat habis berubah menjadi bangunan manis dipandang lalu cahaya indah menerobos dari rekahan jendela kristal. Mengapa juga pulau-pulau kecil yang kadangkala menjadi tempat peristirahatan kami, menjadi tanda-tanda bagi kami, mulai hilang, lenyap, tenggelam meninggalkan air keruh mengusir ikan-ikan untuk semakin menjauh. Dan kapal-kapal itu? Ratusan kapal-kapal dengan bendera dan wajah asing, kapal-kapal yang rakus dengan alat tangkap ikan yang juga rakus, kenapa dibiarkan berkeliaran mengumbar kehendak? Ikan-ikan semakin menjauh, sementara perjalanan kami juga telah semakin jauh. Bahan bakar semakin mahal. Di darat, harga-harga yang lain juga semakin mahal sementara jaring-jaring kami terlihat semakin ringkih, kapal memucat tanpa muatan yang memberat. Di atas sana, bendera dwi warna memudar karena waktu dan cuaca.

Di darat, anak-anak kami masih menyanyikan lagu Indonesia Raya dan dengan semangat masih juga bernyanyi,"Nenek moyangku, orang pelaut.". Tentu, kami ingin mewariskan ke mereka ilmu perbintangan dan ketajaman mata ketika melihat dalam gelap lanskap dan dalam gelap air laut. Ingin kami bagikan ilmu sederhana agar mta kita tajam dengan cara memakan mata ikan yang masih segar. Kami ingin mengajarkan bagaimana menyikapi badai dan gelombang, membaca musim, merapal mantra. Ingin kami kabarkan tentang bagaimana mengolah, memanggang dan mengasap ikan dengan sempurna. Tapi dewa-dewa telah pergi, ikan-ikan semakin menjauh dan tanda-tanda sudah tidak lagi cermat. Akankah kami mewariskan sesuatu yang segera menjadi binasa? Akankah kami mewariskan sesuatu yang dulu diwariskan oleh moyang kami, tetapi sebentar lagi hanya akan menjadi dongeng bahkan sederajat dengan omong kosong? Alangkah malangnya ketika rantai pengetahuan yang kukuh itu, yang dibangun dari ratusan tahun pengalaman, tiba-tiba bagi sebuah generasi hanya tak lebih menjadi bualan? Dan mungkin kami hanya akan merintih dalam hati, ketika dengan jujur anak cucu kami bernyanyi,"Nenek moyangku, orang pelaut."

Siapakah yan harus dipersalahkan ketika kami tidak berani mengajarkan dan mewariskan itu semua sebab kami sendiri telah putus harapan dengan kehidupan kami sendiri. Sementara nyala lampu badai di kapal dan pendar lampu mercusuar kalah menarik dibanding neon warna-warni yang menerobos lewat kaca kristal di bibir pantai? Ketika nyanyian kerja kami tertelan oleh pesta pesta meriah di layar televisi? Mereka, anak-anak kami sudah tidak lagi mengantar kami dengan sorot mata yang bisa kami tangkap seakan berkata: apan kami lekas besar sehingga bisa ikut melaut, Bapak? Setiap mengantar kami, mata mereka sudah goyang tak tentram, sebentar lagi tayangan sinetron segera muncul di layar televisi, dan mereka tahu, bapaknya tidak akan membawa pulang banyak ikan. Dan nyanyian tentang,"Nenek moyangku, orang pelaut." tak lebih dari sindiran, sebab mereka tidak sedang berbangga dengan nenek moyangnya dan tidak sedang membuat pernyataan bahwa mereka dihidupi dari laut. Nyanyian itu ingin mengatakan bahwa: kapan kami lekas besar sehingga kami bisa menjadi penyanyi dan bintang sinetron, Bapak?

Seperti dewa-dewa itu, seperti ikan-ikan itu, kami pun terusir menjauh dari kehidupan kami sendiri. Sebagian dari kami membuat rumah-rumah di tanah yang tergenang oleh laut ketika pasang. Hingga kami timbuni dengan tanah dan sampah, dan kami bangun dengan kerja keras hingga air pasang tak lagi menyentuhnya. Tapi tiba-tiba datang serombongan kekuasaan yang tidak kami kenal, meminta tanah yang sudah tidak bisa dijilat oleh air pasang itu, tanah yang akan menerima tubuh kami dan mengistirahatkannya dari perjalanan menempuh badai. Mereka meminta dengan paksa karena itu bukan tanah kami. Tanah? Dulu itu sesuatu yang tidak pernah dimiliki oleh siapapun sebab waktu itu bukan berupa daratan tapi genangan air. Bahkan buaya pun tidak sanggup hidup di sana. Mereka merampas kerja keras bertahun-tahun lalu mengusir kami. Tidak peduli orang-orang yang sedang sakit, perempuan-perempuan yang sedang hamil dan anak-anak yang gering. Dan bendera dwi warna semakin memucat di tiang-tiang kapal kami.

Kami membuang sauh lagi, membuat perkampunan lagi, menimbuni lagi, dan mereka akan datang lagi dengan atas nama pembangunan restoran-restoran, hotel-hotel bahkan pelabuhan-pelabuhan yang tidak pernah kami mengerti untuk apa. Tapi hidup kemudian memberitahu kami bahwa ada yang boleh merampas sesuatu yang bukan miliknya, mendapatkan sesuatu tanpa pernah bersusah payah untuk mendapatkannya, mengambil sesuatu tanpa pernah mencarinya. Anak anak kami tentu tidak akan menggumamkan sebuah lagu tentang nenek moyang mereka yang terusir.

Di geladak kapal kami yang muram, dalam harum kopi yang kami campur dengan solar agar hangat kami punya badan, kami membagi duka dengan tatapan nanar ke pantai. Seandainya segala kehendak mereka bisa menyulap sekejap takdir di tubuh kami, tentu mereka menginginkan paru-paru kami menjadi insang dan tangan-kaki kami menjelma menjadi sirip, lalu membuang paksa kami ke laut menjadi ikan.

Pada pilinan peristiwa yang lain, kami patuh membayar pungutan ini dan itu, pajak a dan pajak b, anak-anak kami diajari bahwa kita punya tanah air yang berdaulat, punya pemerintahan yang sah. Ada saat-saat kami didatangi banyak orang dengan baju-baju yang menyala, tatapan mata yang menyala dan kata-kata yang menyala. Kami digiring ke kotak-kotak pemilu sambil terus disorong dengan kalimat,"Kita-lah yang akan melakukan perubahan, cobloslah partai yang membela wong cilik." Tiba-tiba semua orang mendatangi kami dengan semangat dan bilang bahwa mereka akan membela wong cilik. Tiba-tiba tubuh-tubuh bersih dan harum itu gampang menangis ketika memandangi kami, tidak canggung menggandeng tangan bahkan memeluk tubuh kami. Tiba-tiba orang yang senasib dengan kami lebih sering muncul di televisi, bukan lewat sepintas ketika ada berita kriminalitas dan penggusuran. Tiba-tiba kami menjadi sesuatu yang penting, yang kami tahu, akan segera menjadi tidak penting lagi dan terus menerus terusir.

Pada peristiwa yang lain, yang berpilin itu, tiba-tiba kami merasa nyaman bahwa kami punya sebuah negara dan pemerintah, tapi dengan segera kami sadar, mereka hanya terus menagih kewajiban kami tanpa pernah memberikan hak-hak kami. Kami akan terus melihat pulau-pulau kecil yang tenggelam diambil pasirnya, kapal-kapal asing yang rakus dengan alat-alatnya yang rakus, hutan-hutan bakau yang akan segera menjelma menjadi tembok-tembok kokoh dan cahaya indah menerobos dari jendela kristal. Kami akan terus menjadi saksi atas diri kami sendiri, anak-anak kami yang sekalipun harus berpindah-pindah tempat karena tempat tinggal kami yang digusur, mereka anak-anak kami tetap menghormat bendera dwi warna dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kami tetap akan menjadi saksi atas anak-anak kami yang sekalipun tidak punya televisi tetap mengantar kami dengan mata yang goyang sebab sebuah sinetron sedang akan dimulai, yang sekalipun serak suaranya karena tidak pernah minum air bersih serta kurang gizi, tetap menyimpan hasrat untuk jadi artis sinetron dan penyanyi.

Sementara hampir semua layar telah kena jahitan, kayu-kayu kapal dan biduk sudah semakin lapuk bersabung dengan angin dan pekat air garam, laut mulai keruh oleh pasir, limbah dan cairan merkuri. Tiang-tiang pancang mencederai pantai, dipaksa menjadi altar untuk memuja rakusnya kehendak.

Ketika ufuk mulai bangkit di timur jauh, tali-tali meregang ditambatkan, tangan-tangan kami yang gamang menenteng keranjang-keranjang yang hamper setiap saat semakin terasa ringan, maka lamat kami bisa merasakan maut yang mendekat. Menelan kami bulat-bulat dalam pusaran waktu yang taktercatat. Seperti ombak yang menghapus segala jejak di pantai. Dan seperti yang sudah-sudah, akan banyak mulut yang berucap,"Sudah jamaknya, setiap kebijakan selalu ada yang dirugikan, tapi demi kepentingan bangsa dan kepentingan bersama.dan seterusnya, dan seterusnya."

Sebelum semuanya luruh, kami ingin mengajukan pertanyaan untuk Anda. Sejujurnya, siapakah kami? Siapakah kami bagi Anda? Ah, tentu Anda tidak bisa menjawabnya. Tapi dari kalimat-kalimat yang muncul dan tindakan tindakan, kami sudah bisa menduga. Kami tak lebih dari angka-angka. Kami adalah sesuatu yang boleh dikorbankan dan menjadi tumbal untuk sesuatu yang kami tidak pernah bisa mengerti, untuk sesuatu yang asing bagi kami, untuk sesuatu yang diberi nama 'kepentingan bangsa dan kepentingan bersama', lalu segalanya menjadi halal dan sah, segalanya menjadi tidak perlu digugat dan dipermasalahkan.

Awalnya, kami hanya kehilangan dewa-dewa, lalu laut mengeruh, lalu ikan-ikan menjauh, sebelum pada akhirnya kami hanya punya sunyi dan musnahnya diri
kami.

Kami dibesarkan oleh bunyi hujan dan nyala kunang-kunang.

Bunyi hujan yang jatuh menerpa daun-daun tebal sebelum tiba di tanah, meresap menyatu seperti rindu yang telah lama menunggu. Di lanskap jauh, bebukitan menghijau mengepung seperti raksasa yang telah tertidur ratusan tahun lalu mengirim segala berkah dan mimpinya lewat aliran sungai bening sehingga setiap anak manusia bisa melihat wajah dan gairahnya.

Ingatanku dipenuhi oleh timbunan dan pergantian warna yang menakjubkan. Jika pagi rekah, sejauh mata memandang adalah hamparan warna hijau yang berkilau. Konon para peri menyiramnya dengan airmata mereka agar kami kelak bisa menuai bulir-bulir padi yang bernas. Dan setiap malam mereka mengirim jutaan kunang-kunang untuk menjaga hamparan tanaman padi itu agar jauh dari malapetaka dan kutukan. Malam yang menyala. Konon, bintang-bintang adalah juga kunang-kunang yang menjaga langit agar hujan terkirim ke bumi dengan sempurna.

Aku dibesarkan oleh rengkuh kebersamaan, upacara-upacara, tegur-sapa, kerendahhatian pada alam. Di langit malam kami, bulan tidak pernah berwarna pucat. Dan jika awan bergerak terkena sinar rembulan, maka orang tua kami melantunkan kidung,"Aja turu sore kaki, ana dewa nganglang jagat." Jangan tidur sore wahai anak manis.sebab para dewa sedang berkeliling membawa sebuah bejana emas. Bagi mereka yang terjaga pada malam, segala berkah dari bejana itu akan menjadi anugerah.

Lalu tahun-tahun begerak membuat semuanya menjadi lawas dan pucat. Nyala neon di sepanjang peta desa membuat bintang dan bulan enggan. Racun disebar ke tanah ranum kami, mengusir kunang-kunang dan ular. Pintu-pintu tertutup. Tidak ada lagi gentong air yang tersedia di depan rumah untuk membasuh kaki dan wajah para pejalan yang singgah. Raksasa hijau yang tertidur kini telah sekarat. Mesin-mesin berat menggerogotinya. Kayu, batu dan pasir dikuras, diangkut ke kota-kota bawah yang sibuk berbenah.

Desa tinggal rangka. Warnanya coklat meranggas. Sungai mati. Sumber airnya yang sudah kecil itu kini dialirkan melalui pipa-pipa besi, dijual dalam bentuk air air kemasan yang menawarkan gaya hidup sehat. Para petani yang sudah rusak tanahnya itu semakin tidak mengerti ketika aliran sungai sudah tidak bisa lagi menggenangi tanah mereka. Hidup berubah warna menjadi coklat meranggas. Tidak ada lagi kepak unggas, dan kunang-kunang redup hilang seperti penduduk desa yang habis napas.

Para petani mengurut dada, menunduk pilu. Bertani sekarang ini hanya sekadar sebagai cara untuk menunda kematian. Sekadar usaha menggusah maut. Anak anak desa kini sudah tidak ada lagi yang bercita-cita menjadi petani. Satu satunya harapan adalah menatap kotak kecil televisi, melayangkan mimpi, siapa tahu bisa menjadi bintang lewat akademi fantasi.

Dulu, kami menganggap bahwa semua yang sedang terjadi ini sebuah takdir. Tapi dengan segera kami menyangkalnya sendiri. Apakah memang Tuhan mendatangkan puluhan kendaraan dan mesin-mesin berat itu setiap hari agar kami sengsara? Mereka datang seperti telah menahan lapar bertahun-tahun, rakus, mengangkuti semuanya nyaris tanpa sisa. Kemudian kami berpikir bahwa ini karena kami yang salah sebab kesengsaraan ini datang karena kami kurang bekerja keras. Tapi dengan segera kami menyangkalnya lagi, sebab sekeras apapun kami bekerja jika semua telah diambil, semua telah dirampas, semua telah dibawa pergi, kami tidak akan bisa lepas dari kesengsaraan ini.

Kami memasuki sebuah peradaban yang aneh. Dulu, kami menjaga gunung, hutan dan sungai dengan kesungguhan hati dan rasa hormat yang tinggi. Kami tidak pernah merasa memilikinya sebab semua itu di luar batas segala hal yang tidak bisa dimiliki. Kami hanya tahu, tanpa gunung, hutan dan sungai, kami tidak akan bisa hidup. Kami mencecap dan menggunakan secukupnya tanpamerusak apalagi membinasakan. Tapi tiba-tiba ada sekelompok orang yang datang dengan hak untuk memiliki semua itu, mengambil, merusak dan membinasakan. Sewaktu kami bertanya, mereka menjawab bahwa negara membutuhkan pemasukan dan pajak-pajak. Lalu kami bilang bahwa Tuhan, nenek moyang dan dewa-dewa bisa marah. Mereka tertawa. Mereka bilang, itu semua tahayul dan mitos belaka. Mereka berkata bahwa di dunia luar orang sudah bisa terbang kemana-mana lebih cepat dari doa-doa. Mereka bilang
bahwa dunia sudah tidak lagi dibangun oleh dongeng-dongeng, tapi oleh persaingan dan jika kami tidak cepat bangkit maka kami akan tertinggal.

Kami tidak paham apa yang dimaksud dengan 'bangkit' dan apa yang dimaksud dengan 'tertinggal'. Tapi setiap kali mereka datang, kami selalu tidak paham dan tidak pernah paham. Dulu mereka datang dengan kata 'membangun' dan
'swasembada'. Tapi kira-kira maksud mereka adalah kami harus mengganti bibit bibit padi kami dengan bibit-bibit padi dari mereka, menanam dengan cara mereka, merawat padi dengan cara mereka, memanen dengan cara mereka dan menjual juga dengan cara mereka. Kemudian yang kami tahu, tanah kami menjadi dingin seperti mayat. Mereka mengajari kami bagaimana membunuh tanah yang sangat kami hormati dengan pelan-pelan, menaburi dengan racun agar padi yang mereka kenalkan bisa dipanen dengan baik. Saat itu kami tahu bahwa sebetulnya kami pun telah dibunuh dengan pelan-pelan.

Tapi kalau kami tidak mau menanam dan mengikuti petunjuk mereka, orang orang berseragam datang, menggedor rumah kami, mengumpulkan kami di tanah lapang atau balai desa dan dengan mata yang merah serta suara yang serak dan tegas, mereka menyalak,"Yang tidak mau menanam padi jenis ini berarti menghambat pembangunan, dan yang menghambat pembangunan berarti komunis."

Itu tentu bukan sesuatu yang sederhana dan lazim. Banyak hal yang hilang bersamaan dengan itu. lesung yang kami punyai, yang kemudian tidak hanya kami pakai untuk menumbuk padi tapi juga untuk melakukan pesta-pesta dan memberi tanda-tanda, hanya teronggok sepi sebab beras yang dihasilkan tidak mungkin kuat dihantam kerasnya alu. Tidak ada lagi ani-ani, tidak ada lagi upacara dan gairah yang menyala. Semua hal dilakukan dengan cepat tanpa rasa. Mengolah tanah dengan cepat, menanam dengan cepat, merawat dengan cepat, memanen dengan cepat untuk kemudian tanah diolah lagi dengan cepat begitu seterusnya. Tak ada lagi rasa dan bakti, dan hidup seperti selalu mengulang lelah yang sudah.

Sementara di sekeliling kami, lampu-lampu gemerlap mulai dinyalakan. Iming-iming yang menakjubkan seperti dilemparkan oleh tangan gaib yang lain. Bocoran-bocoran kemewahan sudah tidak lagi hanya berupa suara yang sayup-sayup. Semua nyata dan mengepung kami. Kehidupan adalah yang di luar sana. Sedangkan yang selama ini kami jalani bukan kehidupan, tapi jaman yang belum beradab sebab tidak ada kabel-kabel dan tombol-tombol. Dan kami membunuh diri kami berkali-kali, setelah pembunuhan yang dilakukan oleh mereka.

Kami menjadi buruh yang menggerogoti tanah dan kehidupan kami sebelumnya. Kami memecah batu, mengangkuti gelondongan kayu dan pasir. Kami menggagahi keyakinan kami sendiri, sebab orang yang miskin tidak boleh lagi punya keyakinan apalagi mimpi-mimpi. Mereka memetaki tanah, meledakkan bebukitan, menyediakan alat angkutnya, dan kami seperti semut-semut yang menerima remahan roti. Memakan sejarah dan moyang kami sendiri. Memakan sisa-sisa.

Bagaimana semua ini bisa terjadi? Dan anak-anak kami tertunduk dengan muka memberat. Sebagian hatinya mungkin masih menaut pada sisa-sisa cerita masa lampau, tapi sebagian lain sudah direnggut oleh kenyataan yang sulit ditanggungkan bahkan dibayangkan oleh siapapun selain mereka yang mengalaminya sendiri. Bocoran dunia yang gemerlap semakin menderas pada diri mereka, sebab anak muda harus riang dan gembira, harus wangi dan ceria, harus terkenal dan kaya. Lalu mereka berbondong-bondong mencari remahan
roti\ yang lain: ke kota. Ah, apalagi yang harus mereka pertahankan di sini? Setiap kemiskinan tidak pernah menjanjikan apa-apa selain kematian yang nista.

Lupakanlah ceita yang indah tentang desa. Tentang laki-laki dan perempuannya yang saling berbagi kerja. Lupakanlah sebait lagu yang bercerita dengan dada terkembang sempurna tentang bakti seorang petani. Sekarang yang ada hanyalah lengan-lengan sepi yang mencangkuli tanah sekarat dan dingin. Sekarang yang ada hanyalah duyunan orang-orang yang merangkak meniti tebing dan jurang bekas galian, mencabiki daging mereka sendiri. Sekarang yang ada hanyalah cerita memelas yang sebentar lagi akan segera tandas bersama pepohonan dan gunung-gunung yang lebih dulu rebah.

Sekarang tidak ada lagi tembang-tembang katresnan yang menyelip di antara bunyi dedaunan. Tidak ada lagi lagu dolanan dan teriak riang anak-anak kecil yang sedang ciblonan. Tidak ada senandung lirih dan kecipak air di pancuran dan sendang. Tidak ada kepak unggas yang memberi tanda untuk segera istirah.

Kami tahu ini hanya akan menjadi lipatan cerita yang lencu. Segala yang kami punya telah lunas berguguran. Selebihnya, cerita sedih yang tidak akan pernah selesai diriwayatkan.


Kami adalah bagian dari deru mesin. Detik-detik memangkas sisa umur kami dalam kerja yang monoton. Kami masuk dalam gilingan waktu yang kejam. Bangun, berkemas, pergi, bergegas, menjalani segalanya dalam irama yang ringkas, pulang untuk kemudian bangun pada pagi yang nyaris sama. Aku melakoni hari-hari yang tidak menyisakan apapun selain rasa lungkrah.

Kami tergencet dalam daftar angka-angka biaya produksi, barisan yang teratur, seragam-seragam kerja yang berwarna luntur, menjalani kepatuhan demi kepatuhan tanpa perlindungan. Kami menerima sederet beban kewajiban, tunduk dalam aturan-aturan yang tidak pernah kami mengerti apalagi kami sepakati. Apakah masih tetap seorang manusia jika bersepakat saja kami tidak bisa? Produksi harus berjalan tanpa tanda tanya, dan kami harus lurus landai melaju tanpa tanda seru.

Dan ketika senja telah mungkur, waktu telah surut, kami kembali meletakkan diri kami dalam petak-petak mes dan perkampungan-perkampungan buruh. Malam turun tanpa mimpi, semua rapi, terpagar, tidak ada yang bisa lolos, bahkan rasa semacam rindu.

Sebagai sederet angka, kami tidak boleh membelot dan bergolak. Juga ketika pintu pabrik tertutup sepi, angkuh, melempar kami kembali menjadi sesuatu yang melayang, ketika atas sejumlah alasan kami harus pergi. Tidak ada tanda jasa dan ucapan terimakasih, tidak ada jaminan yang bisa menyelamatkan kami. Setiap saat, di sela rasa hambar pada kepatuhan, di tengkuk kami, menempel sejenis senjata tajam yang dingin, sesuatu yang bisa berkilat dan menebas cepat, sesuatu yang kami tidak pernah ingin mendengarnya: pemutusan hubungan kerja.

Di antara sekian strategi pemasaran, pengetatan-pengetatan biaya produksi,
efisiensi, pengendalian mutu produksi, dimanakah letak kami?

Ketika lebaran tiba, kota melempar anak-anak haramnya yang tidak terlihat ini. Kami harus berganti dengan topeng baru tanpa gurat lelah. Rasa kapang yang telah tersimpan terbalut lumut waktu, bangkit perlahan, menuju tanah tempat kami dibesarkan. Setiap kali kepulangan mata kami semakin silau oleh cahaya matahari yang terpantul oleh bukit-bukit gundul, dan sebagian telah rata bahkan menjelma menjadi jurang-jurang baru. Angin yang bertiup hanya membawa bau tanah yang semakin cengkar. Kami membawa oleh-oleh televisi dan barang elektronik yang lain, memajangnya di ruang tamu seperti kami memajang kepalsuan kami sendiri. Sungguh kami tidak ingin apa-apa, kami hanya inginmengatakan pada seluruh keluarga dan tetangga bahwa kami baik-baik saja. Tidak tega rasanya menambah beban kehidupan mereka. Mereka telah kehilangan banyak hal, dan kami tidak ingin berbagi ratapan. Bagi orang seperti kami dan mereka, hidup adalah rentetan cerita tentang bagaimana airmata mengalir hinga tinggal serak suara di bilik-bilik gelap peristiwa.

Sebagian dari kami bahkan tidak lagi menemukan kampung halaman. Mereka hanya menemukan lahan-lahan tambang, pelabuhan-pelabuhan dan tanah-tanah sengketa. Mereka tidak lagi menenukan peta, tanda, dan sekadar pesan. Sebuah kelompok masyarakat bisa begitu sempurna sebagai orang yang terpinggir dan terusir, sempurna sebagai kelompok masyarakat yang teraniaya. Semenjak itu sebuah alamat kehidupan hanya menjadi kenangan untuk kemudian lenyap.

Lalu kami kembali berada dalam goa bising pabrik, deru mesin, mata-mata yang siap melipat dan melemparkan kami jika ada sedikit kesalahan terjadi. Lalu kami kembali lagi ke petak-petak padat bersama majalah-majalah mode bekas, lagu lagu melayu, kosmetika-kosmetika murahan, dan segala hal yang bisa sejenak memoles setiap perih dan kecewa.

Hingga kami benar-benar tak bisa mengerti, mengapa ada bendera-bendera berkibar mengumbar janji akan penyelamatan. Hingga kami benar-benar tak bisa mengerti ketika kami mendengar suara-suara yang bersemangat berbicara tentang kesejahteraan ketika kursi mereka mengepung meja sidang. Apalagi jika kami mendengar teriakan bahwa suara kami bisa membuat kami selamat menuju surga. Ah, surga, itu sesuatu yang jauh di sana, sedang yang kami alami sehari-hari sudah sedemikian mencekik.

Hingga kami benar-benar tak bisa mengerti mengapa kemudian di sebuah pagi, kami harus berbondong-bondong menuju tanah yang agak luas, mengantre untuk kemudian menghadapi sebuah kotak suara dan berbagai lembar kertas berisi foto orang-orang yang tidak kami kenal. Mereka membutuhkan suara kami. Alangkah luar biasanya hidup ini. Tak kenal, tak pernah bersua, tak ada percakapan apalagi kesepakatan, tiba-tiba langit seperti runtuh karena semburan panji-panji dan janji-janji. Kalian siapa? Kemana dan dimana saja kalian selama ini?

Lamat-lamat kami teringat sebuah pelajaran mengaji ketika kami masih kecil dulu. Konon, kata pak Kiai kami, Tuhan membenci orang yang menyekutukannya, tetapi lebih benci lagi golongan orang munafik yang ciri-cirinya ada tiga; jika berkata ia berdusta, jika berjanji tidak pernah dipenuhi dan jika diberi amanat ia ingkar. Dulu, kami merasa belum pernah melihat orang yang berciri seperti itu. Tapi setiap kali kami mendengar janji-janji dan wajah-wajah di televisi, kami merasa.kami merasa..ah, tidak enak.

Tapi kami rasa segala hal yang seperti itu menjadi cukup lazim menimpa orang-orang seperti kami. Kami menempati daftar masalah paling belakang di negeri ini. Kalau ada wabah penyakit, baru menjadi perhatian jika sudah sekian puluh atau sekian ratus orang mati. Jika elit politik ingin menaikkan nilai tawar dan eksistensinya, kami yang harus pasang dada. Jika ada bencana alam dan wabah, yang lebih dulu berkibar dalam sebuah pertolongan adalah bendera.

Kami menjalani rangkaian basa-basi ini dengan gelengan kepala, merasa lucu dan ganjil. Kami tahu bahwa ke depan kami akan menempuh perjalanan yang makin sedih dan runyam. Sesuatu yang seharusnya biasa dijalani seorang anak manusia, tiba-tiba bagi kami menjadi satu persoalan yang pelik, seperti menikah dan beranak-pinak. Semua yang berhubungan dengan segala hal menjadi begitu mahal; ongkos transportasi, bahan makanan, biaya kesehatan, belum lagi jika kami berpikir bagaimana kelak anak-anak kami harus sekolah?

Siapa bilang bahwa kehidupan selalu menuju ke yang lebih baik? Bagi orang-orang seperti kami, kehidupan selalu surut. Bahkan jika memungkinkan, kami akan kembali menjadi binatang melata. Bagi orang-orang seperti kami, hidup adalah sebuah tugas yang sedih.

Tidak ada komentar: