RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 18 September 2008

Melawan Akar Ketidakadilan Sosial Untuk Dunia Damai

Andreas Iswinarto (2003)

Saya akan memulai tulisan ini dengan menyajikan beberapa fenomena sosial reaksi-reaksi berlebihan pasca aksi terorisme Bali, dimana disatu sisi menggambarkan reaksi ketakutan, kepanikan, kewaspadaan yang sangat manusiawi, disisi lain menggambarkan oportunisme politik yakni berbagai motif kepentingan kekuasaan dan modal yang bermain dan memanfaatkan situasi ini. Dari sana saya akan menarik benang merah kait mengkaitnya kepentingan militeristik dan modal di tingkat nasional dan internasional disatu sisi berhadapan dengan kepentingan rakyat pada umumnya.

Fenomena Sosial Pasca Bali

Seorang akademisi dari sebuah perguruan tinggi di Sumatera menyebutkan aksi penolakan warga atas rencana pembukaan kembali PT Indorayon (kini PT Toba Pulp Lestari) sebagai tindakan 'terorisme lingkungan' (pertama). Sedangkan aparat keamanan menyebarkan isu bahwa ke 18 orang warga yang ditangkap akibat konflik ini akan dijerat dengan Perpu Antiterorisme (seperti disampaikan Johnson Panjaitan; Equator 24.11.2003) (kedua)

Dari fenomena pertama ini kita bisa menangkap ada kelatahan untuk melabelkan teroris (dahulu label komunis yang digunakan) kepada sekelompok orang yang dipandang 'mengganggu stabilitas dan ketertiban' (menurut gaya orde baru). Sedangkan pada fenomena kedua kita melihat isu terorisme dijadikan alat untuk melakukan perang dan kekerasan psikologis untuk menakuti-nakuti rakyat.

Selepas peristiwa bom Bali KSAD Ryamirzard Ryaccudu mencoba memanfaatkan perisitiwa biadab ini sebagai dalih untuk meyakinkan masyarakat bahwa Komando Dearah Militer harus diperluas. Adapun mantan Laksamana Sudomo meminta pemerintah untuk memberlakukan kembali Undang-undang Subversi. Pararel dengan itu pemerintah Australia secara khusus mempromosikan Kopassus sebagai mitranya di Indonesia dalam kepentingan memerangi terorisme (lihat Komunike Pertama Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) (ketiga)

Fenomena ketiga hampir mirip dengan yang kedua, hanya ini dalam bentuknya yang lebih permanen, sistemik, menggambarkan akan kembalinya mimpi buruk penistaan hak asai manusia masa Orde Baru. Komando Daerah Militer, UU Subversif, Kopassus adalah salah satu sisi terkelam dari sejarah represi Orde Baru.

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro mengusulkan agar sejumlah perusahaan tambang masuk menjadi obyek vital nasional (Suara Pembaruan 21.10.2002). Menteri Polkam memutuskan agar memperketat perlindungan terhadap obyek-obyek vital di wilayah Indonesia (Metro TV; 29.10.2002). Sementara itu Pangdam VI Tanjung Pura menyatakan bahwa Kalimantan Timur paling rawan dari ancaman bom dibandingkan daerah lain di Kalimantan karena Kaltim banyak memiliki aset vital (Metro TV, 30.10.2003) (keempat).

Sementara Kepala Bappenas Koensatwanto Inpasihardjo mengatakan kepada pers bahwa setelah perisitiwa bom Bali jumlah pinjaman Consultative Group on Indonesia (CGI yang diplesetkan oleh sekelompok anak-anak muda sebagai Coalition of Global Imperialism) akan ditambah menjadi Rp. 27 triliun dibanding RAPBN 2003 yang hanya mentargetkan utang sebesar RP. 18 milyar (Media Indonesia, 3.1.2003). Sementara itu Amerika Serikat (yang kebetulan anggota CGI) menjadikan tragedy kemanusiaan di Bali sebagai alasan untuk memulihkan bantuan militer kepada TNI (lihat Komunike Pertama Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil) (kelima).

Sedangkan fenomena keempat menggambarkan disatu sisi kepanikan akan hilangnya 'kepercayaan pasar' karena obyek vital yang dirujuk adalah obyek-obyek ekonomi disisi lain menggambarkan hilangnya kepekaan terhadap realitas peran negara untuk melindungi seluruh wilayah dan bangsa Indonesia. Bahwa semestinya menjadi kewajiban negara untuk melindungi wilayah dan bangsa Indonesia tanpa harus mendahulukan kepentingan obyek-obyek vital tertentu karena obyek-obyek vital tersebut telah mempunyai mekanisme dan kemampuan sendiri untuk melindungi diri dan membiayainya (lihat pernyataan bersama Walhi-Kontras-TATR-YAPPIKA-JATAM-ELSAM; 1.11.2002). Jangan lagi terjadi koloni PT Freeport di Papua yang menikmati previlese perlindungan militer yang berlebihan yang memakan korban rakyat. Ingat kekejian yang dilakukan oleh militer terhadap Mama Yosepha yang mengalami penyiksaan hingga disekap dalam kontainer.

Perkawinan Militerisme dan Imperialisme Modal

Soal fenomena keempat dan juga kelima saya ingat kembali tulisan pada kaos yang digunakan anak-anak muda begini bunyinya 'Guns Made Free Market Possible' atau 'Free Market Used Guns'. Perbedaannya adalah soal pertama levelnya adalah nasional dan soal kedua levelnya adalah internasional. Semoga anda paham bahwa CGI-IMF dan rezim utang luar negeri adalah pembawa kepentingan 'pasar bebas' yang buntut-buntutnya adalah kepentingan minoritas pemilik modal dan perusahaan untuk menguasasi semua sumber-sumber kehidupan (sumber daya alam) dengan menyingkirkan mayoritas rakyat dari bumi, air, tanah dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya. Sebuah kemunafikan kalau menganggap utang luar negeri
tidak memiliki motif-motif yang keserakahan.

Tanpa mengaitkan dulu dengan isu utama diskusi kita hari ini ada kesimpulan sementara yang dapat kita tarik bahwa ada kait-mengkait antara kepentingan modal dan penggunaan kekuasaan militer atau tegasnya imperialisme modal dan militerisme. Dalam kasus Indorayon hal ini berimplikasi pada perampasan hak-hak rakyat atas sumber-sumber kehidupan dan lingkungan hidup. Dan untuk merebut kembali hak-hak itu mereka sekaligus mengalami pelanggaran berat terhadap hak sipil dan politik mereka . Seperti dinyatakan dalam pernyataan sikap bersama oleh organisasi-organisasi masyarakat, keagamaan, ornop serta individu-individu yang peduli untuk solidaritas korban Porsea yang di lakukan di kantor pusat Muhammadiyah (3.1.2003) disebutkan bahwa

"Hak masyarakat untuk menyatakan pendapat dan aspirasinya secara terbuka juga telah diinjak-injak oleh aparat negara dan perusahaan demi melancarkan rencana pengoperasian kembali PT.IIU/PT.TPL. Hal ini lebih jauh telah melanggar Deklarasi Umum HAM (DUHAM) terutama pasal 19 tentang Hak Mengungkapkan Pendapat (Right to Expression). Penangkapan, penahanan, pemukulan dan penyiksaan secara semena-mena terhadap masyarakat yang menyampaikan aspirasinya pada tanggal 21 November 2002 dilakukan oleh aparat keamanan tanpa melalui prosedur yang benar. Masyarakat yang ditahan tidak diizinkan untuk didampingi oleh penasihat hukum dimana hal ini telah nyata melanggar DUHAM pasal 9 tentang Hak atas Keadilan (Rights to Justice). Penjagaan tempat-tempat ibadah serta teror psikologis yang dilakukan oleh aparat keamanan yang berkeliaran di Porsea telah menghilangkan hak manusia yang paling mendasar yaitu perasaan bebas dari ketakutan (Freedom from Fear). Hal ini juga telah menyebabkan masyarakat tidak dapat merayakan Hari Besar Idul Fitri dan Natal secara bebas'.

Dari kasus Indorayon ini saja kita bisa melihat bahwa pemerintah tidak ragu-ragu melakukan tindakan tindakan represif untuk membela investasi dan kebijakan yang 'pro pasar'. Sepertinya upaya membuka kembali Indorayon menjadi taruhan besar bagi pemerintah untuk menujukkan kebijakan yang 'ramah terhadap pasar' tapi 'brutal terhadap rakyat' sebagai respon selepas histeria kecemasan hengkangnya para investor. Hal ini tidak hanya sebuah kebetulan, tetapi sesuatu yang permanen, sistemik dan struktural terjadi di tingkat global.

Karena itu marilah berupaya sekuat mungkin untuk melawan terorisme, tidak dengan membuka peluang dan melegalkan lahirnya terorisme baru atau ancaman terhadap hak asasi manusia. Seperti halnya sebuah perpu anti-teroris atau bahkan perang yang dilakukan Amerika terhadap Afganistan. Deklarasi Porto Allegre menyebutkan :

Setelah serangan teroris (peristiwa 11 september), yang secara mutlak kami kutuk, seperti juga kutukan kami atas serangan terhadap waga sipil di seluruh dunia, pemerintah Amerika dan sekutunya melakukan operasi militer masif. Serangan terhadap hak-hak sipil dan politik atas nama 'perang melawan terorisme' berlangsung di seluruh dunia. Perang melawan Afganistan, menggunakan metode yang sama dengan para teroris, yang dilakukan dalam front yang lebih
luas. Ini adalah awal perang global permanen untuk meneguhkan dominasi pemerintah Amerika dan sekutunya. Perang ini adalah wajah lain dari neo-liberalisme (imperialisme modal, pemakalah) , dengan wajah yang lebih brutal dan dan tidak bisa diterima.

Forum Sosial Dunia Porto Allegre II tahun 2002, sebuah forum masyarakat sipil se dunia yang diselenggarakan setiap tahun sebagai tandingan Forum Ekonomi Dunia milik kaum pemodal. Dalam deklarasinya yang kedua Forum ini menyerukan kepada gerakan sosial sedunia untuk melakukan perlawanan terhadap neoliberalisme (imperialisme modal), kekerasan, militerisme untuk perdamaian dan keadilan sosial.

Judul yang dipilih dalam forum sosial ini juga menggambarkan bahwa untuk mencapai perdamaian dan keadilan, kita harus melakukan perlawanan terhadap neo-liberalisme (imperialisme modal) dan militerisme.

Selain itu segala upaya untuk melawan terorisme haruslah menyentuh akar masalah munculnya terorisme. Vandana Shiva seorang feminis, aktivis perdamaian dan aktivis lingkungan menyebutkan bahwa -ketidakamanan ekonomi, subordinasi budaya dan kehancuran ekologi - dapat menjadi ladang subur bagi munculnya terorisme. Pernyataan itu agaknya senafas dengan seruan F. Budi Hardiman dalam catatan budaya akhir tahun di harian Kompas, 'Kutuklah kekerasan, tetapi juga bongkarlah ketidakadilan stuktural yang melatarbelakanginya.'

Menurut deklarasi Porto Allegre ketidakadilan ini lahir dari sistim dominan yang dilandasi nilai-nilai seksis, rasis dan kekerasan, yang mengutamakan kepentingan modal dan patriarki diatas kepentingan dan aspirasi rakyat. Sistem mana setiap hari menciptakan drama kematian perempuan, anak-anak, manula karena kelaparan, minimnya kesehatan dan penyakit yang sesungguhnya dapat dicegah. Keluarga-keluarga dipaksa untuk meninggalkan rumah mereka karena peperangan, dampak mega proyek pembangunan, tuna lahan dan bencana lingkungan, pengangguran, perampasan jasa-jasa publik, dan penghancuran solidaritas sosial.

Akhir kata dengan memohon maaf, tanpa perlu melakukan kajian atas pasal-pasal Perpu Anti-Terorisme iklim atau angin rezim kekuasaan politik dan ekonomi di tingkat nasional dan global adalah angin yang memusuhi rakyat. Karena itu saya mendukung penolakan atas Perpu atau RUU Anti Terorisme oleh Koalisi untuk Keselamatan Masyarakat Sipil. Amandemen KUHP dan KUHAP yang sudah aratan dan bulukan dan ratifikasi 12 konvensi dan protocol internasional yang dikeluarkan PBB mengenai terorisme seperti diusulkan oleh koalisi saya pikir lebih sejalan dengan akal sehat saya

Tidak ada komentar: