RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 18 September 2008

Globalisasi Perlawanan, Globalisasi Harapan

Andreas Iswinarto (2004)

Globalisasi Perlawanan, Globalisasi Harapan


Setiap hari 11.000 anak mati kelaparan di seluruh dunia, sedangkan 200 juta anak menderita kekurangan gizi dan protein serta kalori (satu dari empat anak di dunia). Selain itu lebih dari 800 juta orang menderita kelaparan kronis di seluruh dunia dan/ada kira-kira 70% dari mereka adalah perempuan dan anak-anak. Selain itu terjadi kecenderungan meningkatnya kemiskinan sepanjang 10 tahun terakhir. Data UNDP 1999 menunjukkan bahwa jumlah orang miskin yang hidupnya kurang dari 1 dollar AS sehari meningkat dari 1,197
milyar pada tahun 1987 menjadi 1,214 milyar pada tahun 1997 atau sekitar 20% dari penduduk dunia. Dua puluh lima persennya lagi (sekitar 1,6 milyar) dari penduduk dunia bertahan hidup dengan 1-2 dollar AS setiap hari.

Disatu sisi kemiskinan semakin kronis, disisi lainnya terjadi pemusatan kekayaan ditangan segelintir orang (laporan UNDP 1999). Tiga orang terkaya di dunia menguasai aset yang nilainya setara dengan milik 600 juta orang di 48 negara miskin. Saat ini pula seperlima penduduk di negeri-negeri paling kaya menguasai 86 persen produk domestik bruto dunia, 82 persen pasar ekspor
dunia dan 68 persen penanaman modal langsung.

Korporasi-korporasi global yang didukung oleh negara-negara maju dan kaya, WTO (Organisasi Perdagangan Dunia) kartel utang terutama IMF, Bank Dunia, adalah mesin utama akumulasi kekayaan yang dihisap dari tempat-tempat termiskin di dunia ini. Kini kekuasaan Korporasi Global telah menyaingi kekuasan ekonomi-ekonomi negara-negara. Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 diantaranya adalah Korporasi Global. Sedangkan gabungan pendapatan Mitsubishi, General Motor dan Ford Motor lebih besar dibandingkan gabungan Denmark, Thailand, Turki, Afrika Selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili dan Selandia Baru.

Proses akumulasi kekayaan disatu sisi dan penghisapan serta pemiskinan di sisi lainnya, bukan terjadi secara alamiah tetapi berdasarkan suatu rancangan kebijakan politik-ekonomi yang kini kita kenal sebagai Neoliberalisme dan Globalisasi Kapitalis.

Wajah Dunia Saat Ini

Dunia yang kita lalui hari ini adalah dunia yang tak jauh beda dengan dunia saat kolonialisme dan imperialisme berada pada puncak kejayaannya, menundukkan sebagian besar bangsa-bangsa di selatan sejak abad 18. Dunia hari ini adalah dunia dimana makna kemerdekaan dan kedaulatan terutama bagi bangsa-bangsa selatan semakin memudar dan terpuruk ke titik nadir.

Dunia yang kita lalui hari ini adalah juga dunia dimana sekelompok elit kuasa dan modal atau kapital berada pada puncak kejayaannya, melalui sebuah sistim dan struktur sosial yang memberikan legitimasi dan pelanggengan perbudakan baru atas bagian terbesar umat manusia.

Neraca ketidakadilan ini pertama-tama disebabkan semakin kukuhnya rezim kapitalisme global melalui dominasi agenda-agenda globalisasi dan pasar bebas atau neo-liberalisme. Globalisasi dan pasar bebas bukan lagi sebuah wacana atau sebuah proses alamiah, tetapi merupakan sebuah ideologi baru yang dirancang untuk mempertahankan dominasi modal dan korporasi. Tidak lain ini adalah perkembangan lebih lanjut dari formasi penghisapan masa kolonialisme dan imperialisme sepanjang tiga abad lalu.

Agenda-agenda globalisasi dan pasar bebas ini kemudian menemukan lading subur dalam wilayah politik negara-bangsa dengan semakin menguatnya dukungan dan pemihakan kekuatan politik dominan di dalam negeri seperti rezim penguasa, partai-partai, militer, birokrasi, intelektual terhadap kepentingan negara-negara industri atau rejim ekonomi global.

Era kekuasaan korporasi transnasional ini sesungguhnya meruntuhkan dominasi dan batas-batas negara. Negara telah disandera oleh kepentingan modal dan korporasi serta hutang luar negeri. Segala kebijakan politik-ekonomi-sosial negara selama ini dalam ranah tata kuasa, tata kelola, tata produksi dan tata konsumsi ditujukan untuk melayani kepentingan liberalisasi ekonomi dan
perluasan modal. Untuk itu segala bentuk hambatan terhadap ekspansi modal baik itu berupa proteksi (tarif dan non-tarif) serta subsidi bagi kepentingan publik (seperti kebutuhan pokok, pendidikan, kesehatan, BBM, Listrik), konsep pengelolaan aset negara (BUMN) dan sumber-sumber kehidupan vital rakyat (air,tanah, hutan) sektor perekonomian dalam negeri dan sektor
ekonomi rakyat (tani, nelayan, masyarakat adat, industri rakyat, sector informal), perlindungan buruh (termasuk kebebasan korporasi untuk memindahkan modal ketempat yang lebih menguntungkan) dan lingkungan hidup harus dihilangkan. Akibatnya negara tidak memiliki peran lagi untuk melindungi kepentingan dan keselamatan rakyat.

Sementara itu negara-negara industri yang membawa kepentingan-kepentingan korporasi global di negeranya semakin mendominasi agenda global baik dalam perdagangan dunia dan upaya menata kehidupan ekonomi dan politik., baik melalui lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Bank Dunia, IMF dan ADB, kartel utang CGI serta pakta perdagangan seperti WTO, APEC, AFTA bahkan
PBB. Selain melalui pintu masuk ekonomi, proses ini juga secara sistematis berlangsung dengan menggunakan berbagai instrumen kebudayaan, hukum, ilmu pengetahuan, teknologi maupun komunikasi.

Kebijakan negara pada akhirnya membuka jalan bagi perampasan secara sistematis atas alat-alat produksi, sumber-sumber kehidupan, keanekaragaman hayati dan pengetahuan-kearifan rakyat, atau hak-hak sipil-politik serta hak-hak ekonomi, politik, budaya rakyat. Disisi lain makin membuka ruang bagi negara-negara industri untuk mendiktekan sistem kehidupan yang seragam, eksploitatif, menindas, seksis dan patriakhis, disamping menimbulkan beban utang yang luar biasa; kehancuran sistem kehidupan; penindasan dan pelanggaran hak-hak azasi; diskriminasi dan ketidak-adilan gender; terbatasnya akses pada pendidikan, kemiskinan serta makin terbatasnya akses
pada kebijakan dan sumber-sumber kehidupan sosial ekonomi.

Bersamaan dengan itu demokrasi, hak-hak asasi manusia dan kedaulatan bangsa-bangsa berada dibawah ancaman langsung kekerasan agresi militer yang giat dipropagandakan negara adidaya dan sekutunya, dengan alasan untuk melawan 'terorisme' (dahulu dengan alasan untuk melawan komunisme). Tetapi sesungguhnya dibalik ancaman agresi militer dan sekutunya bersembunyi kepentingan modal dan upaya untuk meneguhkan dominasi pemerintah negara adidaya dan sekutunya. Sungguh tragis dan bodoh bahwa dana yang semestinya bisa ditujukan untuk menanggulangi kelaparan yang masif di seluruh dunia, kemiskinan, kematian bayi, anak-anak dan perempuan digunakan untuk mengukuhkan dominasi modal.

Sungguh ironis dunia mengeluarkan anggaran militer sebesar US$ 810 milyar pertahun (kontributor terbesarnya adalah Amerika Serikat dengan US$ 310,6 milyar), sementara sesungguhnya hanya dibutuhkan $19 milyar untuk mengatasi kelaparan dan kekurangan gizi yang dialami jutaan penduduk dunia dan hanya dibutuhkan US$ 5 milyar untuk memulihkan kehidupan para pengungsi., hanya $21 milyar untuk membangun sarana perawatan kesehatan dan kontrol HIV, hanya $ 8 milyar untuk pencegahan pemanasan global dan hanya $ 8 milyar untuk pencegahan hujan asam

Globalisasi Perlawanan

Walaupun globalisasi penjarahan dan penghancuran seperti melaju tanpa hambatan, sesungguhnya rakyat di berbagai tempat melakukan perlawanan dengan gigih. Bahkan bagi berbagai kelompok masyarakat di akar rumput hal ini telah menjadi perlawanan sehari-hari, seperti apa yang nampak pada perjuangan berbagai kelompok masyarakat adat mempertahankan wilayah hidupnya dari penetrasi perusahaan-perusahaan tambang, buruh tani yang berjuang untuk untuk mendapatkan tanah garapan, petani yang berjuang untuk membebaskan diri dari ketergantungan terhadap asupan pertanian yang diproduksi perusahaan asing, buruh yang berjuang untuk meningkatkan upah dan jaminan kesehatan.

Namun seiring meningkatkan kesadaran dan wawasan mereka berbagai bentuk perlawanan semakin jelas mengarah kepada aktor-aktor utama atau mesin-mesin penjarahan, baru kemudian kepada rezim penguasa negara yang memihak kepada kepentingan modal, dan akhirnya kepada sistem Neo-liberal dan Kapitalisme Global.

Sepanjang tahun 2000 terjadi berbagai aksi masa besar-besaran. Di Bolivia, ribuan penduduk memaksa perusahaan Bechtel yang akan mengambil alih (swastanisasi) pelayanan air minum untuk keluar dari negeri itu. Di India lebih dari 50.000 petani berkumpul di Bangalore untuk melakukan protes menentang WTO dan penguasaan korporasi atas pertanian. Di Argentina sebanyak 80.000 orang turun ke jalan sebagai puncak protes dan mogok selama beberapa bulan melawan rencana program penghematan IMF. Di Kosta Rica 10.000 demonstran melakukan pawai menuju tempat kediaman presiden menuntut pencabutan RUU Privatisasi. Di Brazil gerakan kiri mengadakan plebisit tentang program IMF, dimana enam juta orang memberikan suara dan mayoritas menolak. Sedang di Indonesia sendiri dapat dicatat aksi 5000 massa Koalisi Anti Utang menentang sidang CGI.

Setelah munculnya perlawanan yang sporadis di berbagai belahan dunia selatan, kemudian diikuti pula oleh perlawanan di negara-negara Utara. Bermula dari demonstrasi anti WTO di Seattle, ketika 30.000 aktivis menggoncang kota ini. Sebuah goncangan yang memaksa walikota setempat untuk menetapkan kota dalam keadaan darurat. Seperti bola salju kemudian aksi anti-globalisasi semakin membesar dan meluas.

Seperti dikatakan seorang jurnalis gerakan perlawanan anti-globalisasi ini, membawa pula strategi lapangan hijau 'man to man marking' kearena demonstrasi. Kemanapun forum ekonomi global di selenggarakan, mulai dari pertemuan para menteri keuangan, kepala negara hingga pertemuan kelembagaan seperti IMF dan Bank Dunia, pertemuan itu selalu dihadang oleh protes dari berbagai kelompok anti-globalisasi dari seluruh dunia. Seattle, Davos, Merlborne, Prague, Genoa, Doha..

Statistik di tingkat global yang menunjukkan 'trend' meningkatnya akumulasi kekayaan ditangan segelintir orang dan penghisapan serta pemiskinan, kini mulai digoyahkan dengan statistik perlawanan dengan 'trend' yang semakin intensif dan terkonsolidasi.

Bila mereka mengibarkan globalisasi ekonomi, maka gerakan sosial mengibarkan globalisasi solidaritas, globalisasi perlawanan dan globalisasi harapan. Dengan semakin mengkristalnya identifikasi musuh bersama gerakan anti-globalisasi semakin cepat memobilisasi kekuatan, namun ternyata tidak cukup untuk membuat perubahan berarti.

Keprihatinan ini akhirnya mendorong sekelompok ornop dan organisasi rakyat terutama di Brazil menginisiasi forum pertemuan global untuk lebih jauh mengkonsolidasi gerakan dan memperdebatkan berbagai alternatif dunia baru yang dikenal sebagai World Social Forum (Forum Sosial Dunia). Forum Sosial Dunia di Mumbay baru bulan Januari lalu adalah kali keempat forum itu diselenggarakan.

Piagam Prinsip-prinsip Forum Sosial Dunia (FSD) menyebutkan bahwa FSD adalah
sebuah tempat pertemuan terbuka untuk pemikiran reflektif, perdebatan demokratik atas berbagai ide, rumusan proposal dan pertukaran bebas atas pengalaman dan pembangunan jaringan untuk aksi-aksi yang efektif, oleh kelompok dan gerakan masyarakat sipil yang berlawan terhadap neo-liberal dan dominasi dunia oleh modal dan segala jenis imperialisme dan berklomitmen untuk membangun sebuah masyarakat dunia yang ditujukan pada hubungan yang penuh manfaat antar umat manusia dan anatara manusia dengan bumi.

Forum Sosial Dunia hanya memiliki mandat menyatukan dan membangun jaringan dari organisasi dan gerakan masyarakat sipil dari semua negeri di seluruh dunia, namun tidak berniat menjadi sebuah badan yang mewakili masyarakat sipil dunia. FSI menyatakan bahwa demokrasi adalah jalan untuk memecahkan masalah masyarakat secara politik. Sebagai sebuah tempat pertemuan, ia terbuka untuk pluralisme dn keragaman aktivitas dan cara keterlibatan organisasi dan gerakan memutuskan terlibat di dalamnya, disamping keragaman gender, ras, etnik dan budaya.

Pada akhirnya sebagai sebuah konteks bagi pembangunan jaringan, FSD berusaha menguatkan dan menciptakan rantai nasional dan internasional baru antar organisasi dan gerakan masyarakat sipil yang akan meningkatkan kemampuan untuk perlawanan sosial terhadap proses dehumanisasi yang sedang menimpa dunia dan memperkuat langkah-langkah perbaikan martabat manusia yang sedang diambil oleh aksi-aksi dari gerakan dan organisasi ini. FSD adalah sebuah proses yang mendorong organisasi dan gerakan yang tergabung di dalamnya untuk menempatkan aksi-aksi meraka sebagai bagian dari masyarakat dunia, dan untuk memasukkan ke dalam agenda global praktek-praktek perubahan yang kini sedang mereka coba dalam rangka membangun sebuah dunia baru.

Lantas apakah gerakan sosial di Indonesia, yang terfragmentasi baik berdasar geografis, sektoral, proyekisme hingga ego aktivis, yang punya nafas pendek dimana persoalan-persoalan rakyat disikapi secara pragmatis dan jangka pendek, dan lemah dalam membangun kesadaran rakyat tentang isu-isu globalisasi/imperialisme dan musuh bersama, tidak tergerak untuk melakukan konsolidasi secara intens dan massif?

Brosur Forum Sosial Indonesia

Tidak ada komentar: