RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 18 September 2008

Wajah Pertambangan Besar Indonesia

Andreas Iswinarto (2004)

Konspirasi Imperialisme dan Sistim Politik-Ekonomi Indonesia Yang Korup
Agaknya soal yang menimbulkan kepedihan Soekarno diatas masih terus berlangsung hingga hari ini.. Perusahaan-perusahaan pertambangan global mendominasi sektor 'ekstraktif' di negeri ini, dimana mereka tidak saja menghisap kekayaan alam dengan menyisakan remah-remah keuntungan bagi negara (setelah di korupsi oleh elit-elit penguasa), tetapi yang terutama mereka meninggalkan kerusakan lingkungan yang parah, serta luka dan kemiskinan bagi penduduk di sekitar kawasan tambang. Kajian yang dilakukan Dianto Bachriadi tentang pelanggaran-pelanggaran HAM pada industri pertambangan di Indonesia dengan studi kasus PT Freeport Indonesia dan PT Kelian Equatorial (Elsam, 1998) menunjukkan paling tidak ada delapan bentuk pelanggaran HAM yang ditemukan. Pertama, pelanggaran atas hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk didalamnya adalah tidak diakuinya tanah-tanah adat yang menjadi milik seseorang, keluarga atau satu suku tertentu, tidak diakuinya struktur sosial masyarakat adat serta pemaksaan untuk alih fungsi lahan menjadi areal pertambangan. Kedua, pelanggaran atas hak untuk hidup. Ketiga, penghilangan orang dan penangkapan secara sewenang-wenang Keempat, hilangnya hak untuk bebas dari rasa takut. Kelima, hilangnya hak seseorang untuk tidak mendapatkan penyiksaan atau tindak kekerasan, khususnya yang dilakukan oleh pejabat publik. Keenam, dicabutnya hak seseorang atas sumber penghidupan subsistensinya Ketujuh, hilangnya hak anak-anak untuk mendapatkan perlindungan Kedelapan, lenyapnya standar kehidupan yang layak dan pencapaian tingkat kesehatan yang optimal (hak atas lingkungan hidup yang sehat).

Dengan demikian disatu sisi mereka menyedot bagian keuntungan terbesar, disisi lain mereka menimbulkan kerugian bagi penduduk disekitar pertambangan. Ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula. Lantas sesungguhnya adakah perbedaan kondisi negara yang secara formal telah meraih kemerdekaan dengan kondisi pada masa kolonial dan imperialisme tempo hari?

Imperialisme Pertambangan
Hakekatnya pola hubungan antara korporasi pertambangan global dan negara-negara dunia ketiga adalah sama dan sebangun dengan hubungan antara penjajah dan negeri jajahan. Walaupun teori tentang imperialisme V.I. Lenin telah mengalami kelemahan, setelah berbagai negara jajahan di dunia secara formal berhasil merebut atau dihadiahi kemerdekaan (G. Aditjondro, 2002), beberapa karakteristik masih tetap relevan. Bila pada sebelumnya kekuatan-kekuatan kapitalis direpresentasi oleh negara-negara penjajah maka kini peran itu telah digantikan oleh korporasi-korporasi global atau TNC/MNC.Ada kecenderungan pula bahwa korporasi-korporasi global mengalami konsentrasi kekayaan dan proses monopolisasi ketangan segelintir korporasi global.

Aditjondro sendiri menawarkan pendekatan lain yang lebih cocok untuk menggambarkan hegemoni korporasi-korporasi tambang mancanegera di dunia dengan menggunakan definisi yang ditawarkan James Connor. Menurut Connor imperialisme merupakan "penguasaan secara formal atau tidak formal atas sumber-sumber daya ekonomi setempat yang lebih banyak menguntungkan kekuatan metropolitan, dengan merugikan ekonomi setempat'. Dalam prakteknya "...pola hubungan ekonomi yang biasa dilakukan antara negara-negara sedang berkembang dan negara industri, menunjukkan kenyataan hanya ada sedikit pengolahan dilakukan didalam negeri penghasil bahan mineral, sehingga barang yang dikirim mempunyai nilai tambah yang tidak terlampau banyak. Negara-negara majulah yang akan mendapat keuntungan lebih besar dari industri pertambangan ini, karena merekalah (seperti negara-negara industri di Eropa, Amerika Utara, Jepang, NICs) yang menjadi penyerap lebih banyak ekspor produk mineral dari Indonesia untuk kemudian diolah menjadi bahan setengah jadi dan dilempar kembali ke kantong-kantong industri barang jadi yang mereka miliki di negara-negara berkembang (lewat program relokasi indsutri) dalam skema ekspor impor pula. Kalaupun industri pengolah kemudian dibangun di negara penghasil barang mentah, sehingga hasil produksi bisa lebih terserap ke dalam negeri, hal itu tidak berarti bahwa nilai tambah yang dihasilkan oleh industri pengolah tadi tertinggal untuk rakyat atau negara setempat. Karena pada umumnya negara-negara atau kelompok-kelompok perusahaan yang berkepentingan dengan hasil produk bahanmentah dan olahannya dari negara asing akan berusaha menjadi pemegang saham" (Elsam, 1998). Apropriasi (pengambilalihan) nilai lebih tidak hanya terjadi melalui lika-liku praktek ekonomi diatas, tetapijuga melalui nilai lebih yang hilang akibat tergusurnya dan terganggunya berbagai mata pencaharian rakyat seperti usaha pertanian, perkebunan dan perikanan rakyat. Lebih jauh lagi apropriasi terjadi bila lebih jauh dihitung nilai modal ekologis yang hilang akibat rusaknya fungsi-fungsi ekologis alam akibat proses destruktif industri pertambangan ini.

Sebuah penelitian Walhi dengan menggunakan data satelit indraja Landsat dengan lebar rekaman 185 km persegi, diperoleh temuan total wilayah darat yang tercemar tailing tahun 200 adalah 35.820 hektar. Adapun wilayah laut yang tercemar tailing mencapai luasan 84.158 ha. Dimana radius penyebaran tailing di laut dari muara Komoro adalahsejauh 6 km dari garis pantai menuju laut lepas, sementara dari muara Sungai Ajkwa Barat sejauh lebih kurang 10 km dari garis pantai menuju laut lepas. Sebaran tailing diperkirakanlebih luas lagi karena kenampakan citra yang terpotong. Hanya dari sisi pencemaran saja bisa diperkirakan begitu besarnya nilai kerugian ekologis akibat beroperasi PT Freeport Indonesia.

Kedigjayaan Koporasi Global
Pola imperialisme pertambangan ini hakekatnya berlaku juga dalam berbagai lapangan ekonomi dan bisnis. Bahkan berbagai data statistik menunjukkan semakin digjayanya korporasi global disatu sisi, sementara disisi lain secara relatif semakin melemahnya posisi ekonomi negara-negara. Hal ini sesungguhnya sejalan dengan samkin menguatnya hegemoni dan dominasi ideologi neo-liberal dan 'pasar bebas'. Ideologi ini intinya menyatakan berikan kebebasan sebesar-besarnya bagi korporasi untuk melakukan akumulasi keuntungan, dandari sana kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat akan tercapai. Untuk itu peran regulasi pemerintah atau negara-negara harus dikikis habis, bahkan termasuk regulasi demi alasan melindungi kepentingan umum atau kemaslahatan umum termasuk dalam soal perburuhan, hingga lingkungan hidup.

Fenomena makin menguatnya kekuasaan korporasi-korporasi global nampak dari statistik berikut. Sebanyak 200 korporasi besar papan atas dunia menguasai 28 persen aktivitas perekonomian global. Sementara itu 500 korporasi besar papan atas memegang 70 persen perdagangan dunia, dan 1000 korporasi papan atas mengontrol lebih dari 80persen hasil industri dunia (Robert Kaplan, The Atlantic Monthly 1997). Dimana kini kekuasaan korporasi global telah menyaingi kekuasaan ekonomi-ekonomi negara-negara. Dari 100 pelaku ekonomi terbesar dunia, 52 diantaranya adalah korporasi global (dimana 8 diantaranya adalah korporasi pertambangan). Sedangkan gabungan pendapatan Mitsubishi, General Motor dan Ford Motor lebih besar dibangdingkan gabungan GDP Denmark, Thailand, Turki, Afrika selatan, Arab Saudi, Norwegia, Finlandia, Malaysia, Chili dan Selandia Baru. Selain itu dapat dicatat bahwa pada tahun 1999, hasil penjualan dari lima korporasi papan atas (General Motors, Wal Mart, Exxon Mobil, Ford Motor dan Daimler Chrysler) lebih besar ketimbang GDP 182 perusahaan.

Menurut I Wibowo kehebatan dari MNC kiranya bukan hanya karena statistik ekonomi diatas. Yang menyebabkan MNC disegani oleh banyak pemerintah di dunia adalah bahwa MNC mampu mengadu negara satu dengan negara lain, politisi satu dengan politisi lain, memilih mana yang memberikan syarat-syarat yang lebih ringan. Jadi MNC itu bisa datang kepada kepala-kepala negara, lalu menawarkan lapangan pekerjaan, investasi dibidang infrastruktur dan pertumbuhan ekonomi. Jika sebuah negara menerapkan syarat-syarat ketat dan pajak yang tinggi, maka mereka akan mengancam negara tersebut akan keluar dari wilayahnya.

Ironi Demokrasi Kita
Seperti dikatakan Wibowo ironi demokrasi Indonesia terbesar kini adalah bahwa orang-orang yang tidak dipilih oleh rakyat (aktor kapitalisme global), malah mampu mendiktekan jenis kebijakan yang harus diambil oleh penguasa negara yang mendapat mandat dari rakyat. Kontroversi yang kini sedang hangat menyangkut lahirnya Perpu No.1/2004 yang mengijinkan pembukaan kawasan hutan lindung untuk penambangan terbuka oleh 13 perusahaan, hanyalah salah satu contoh kecil dari penetrasi kepentingan aktor kapitalisme global dan korporasi. Walaupun hanya salah satu contoh kecil namun mempunyai nilai material yang sangat besar. Menurut pengkajian Greennomics Indonesia berdasarkan metode perhitungan Benefit Transfer Perpu No. 1/2004 akan menyebabkan tidak kurang Rp. 70 triliun pertahun, Indonesia akan kehilangan nilai modal ekologi. Nilai ini setara hampir 70 kali lipat dari nilai penerimaan sektor tambang terhadap Anggaran Pendapatan dan BelanjaNegara (APBN) 2003, yang hanya bernilai Rp. 1,07 tiliun. Atau, lebih besar Rp 25 triliun dari nilai total secara nasional sumbangan sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) 2002 sekitar Rp. 45 triliun. Ironis memang sektor pertambangan besar diluar minyak dan gas hanya menumbang RP. 1,48 trilyun atau kurang dari dua persen nilai penerimaan negara di di luar pajak pada APBN 2003. Bandingkan dengan kemudaratan Perpu No. 1/2004 yang mengijinkan penambangan terbuka di hutan lindung kepada 13 perusahaan dengan potensi kerugian Rp. 70 trilyun pertahun.

Dalam skala yang lebih besar dalam makna dampaknya terhadap perjalanan negara ini penjarahan atas kekayaan alam, kedaulatan dan demokrasi kita terjadi melalui intervensi dalam penyusunan UU Sumber Daya Air, RUU Sumber Daya Genetika, Perubahan UU Agraria bahkan dalam amandemen UUD 1945. Dengan demikian sebenarnya narasi besar dari persoalan ini adalah imperialisme dan sistim politik-ekonomi yang korup termasuk militerisme di dalamnya yang melanggengkan penjajahan baru tersebut. Tidak bisa tidak yang kini yang dibutuhkan adalah persatuan rakyat, kuasa rakyat untuk bergerak melawan penjajahan gaya baru ini. Mari kita berjuang untuk proklamasi kedua!

Tidak ada komentar: