RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 18 September 2008

Sudahkah Kita Merdeka?

andreas iswinarto (2004)

Sudahkah Kita Merdeka?

Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan.

Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.

Atas berkah rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya.

Kemudian daripada itu untuk membentuk sebuah Pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa....

(Omong Kosong- Pembukaan UUD 1945)



Sudakah kita merdeka? Memang di 17 Agustus 1945 anak negeri ini, para pejuang pergerakan kemerdekaan Indonesia, berhasil menegakkan kemerdekaan negeri ini dari penjajahan asing. Tetapi sungguhkah kita telah merdeka? Sudahkah janji kemerdekaan seperti termuat didalam Undang-undang Dasar 1945 sebagai pondasi negara dan pemerintahan negara ini telah terpenuhi.
Sungguhkah Pemerintah negara ini telah menjalankan kewajibannya untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi mengapa rakyat masih meneriakkan pekik yang serupa seperti masa-masa revolusi, Merdeka atau Mati! Langkah juang yang menuntut keberanian, keteguhan dan
pengorbanan.

Pekik Merdeka atau Mati, Menggema Kembali
Hingga hari ini masih berguguran dan makan penjara para pejuang rakyat ini. Di Bulukumba, Sulawesi Selatan perjuangan rakyat menuntut hak mereka atas tanah yang dirampas oleh PT Perkebunan London Sumatera Indonesia dengan perlindungan 'negara', menelan 5 orang gugur di ujung bedil aparat dan 76 orang makan penjara.

Di Manggarai, Nusa Tenggara Timur, 6 orang gugur di ujung bedil dan hamper 250 orang makan penjara. Karena tekad mereka untuk mempertahankan tanah adapt dan kebun mereka dari kekejian operasi 'Penertiban dan Pengamanan Hutan Mangarai' yang langsung dipimpin oleh Bupati Antoni Bagul Dagur yang melibatkan unsur TNI, Polri, Kejaksaan, Balai Konservasi Sumberdaya Alam,
Polisi Kehutanan, Polisi Pamong Praja serta preman bayaran.

Tapi mereka pantang surut langkah. Karena ketika rakyat bertekad bersatu, membangun organisasi perjuangan, maka yakin suatu saat rakyat akan kuasa. Maka dari dalam selnya di penjara Bulukumba, Badariah, perempuan tinggi besar pemimpin perjuangan masyarakat adat dan petani Kajang meneguhkan sikap, tegas berujar. "Sekali lagi, kami takkan lelah berjuang. Takkan pernah berhenti sebelum dapat tanah Kajang .Alle Gattanu, Nakuallei Tanaku".

Demikian juga para petani Manggarai mencoba lagi menatap masa depan negerinya dengan ungkapan sederhana : .. mencoba (lagi) menjadi orang Manggarai. Pepatah tua Mangarai teguh bersikap, tegas berujar "Eme mangga ata kudut rampas tanah purak mukang wajo kampong, roeng manggarai pulung kudut taaang lawa mata agu mose" (jikalau ada orang yang ingin merampas tanah air dan kampung halaman, orang manggarai melawannya sampai titik darah
penghabisan mati atau hidup).

Bulukumba dan Manggarai hanyalah dua contoh, dari ribuan fakta perlawanan rakyat tertindas di negeri ini. Bahkan 'kejahatan' PT Lonsum berlangsung pula dimanapun perusahaan ini beroperasi dinegeri ini. Di Pergulaan, Sumatera Utara petani juga berjuang untuk mempertahankan lahannya yang seluas 165,6 hektar dari 4.069,84 hektar luas tanah yang masih dikuasai oleh Lonsum. Sementara di Jempang Kalimantan Timur, rakyat menuntut ganti rugi atas rusaknya 88 simpukng, 60 pohon madu dan 13 tanah kuburan leluhur, kebun
rotan, tanaman obat tradisional dan ulap doyo (bahan tenun tradisional khas Dayak Benuaq) yang telah di'bersih'kan oleh Lonsum yang saat itu belum memiliki hak guna usaha di lahan tersebut. Di Sumatera Selatan, di desa Sungai Pinang Kabupaten Musi Rawas, Lonsum memaksa rakyat menjadi petani plasma setelah sebelumnya mereka merampas lahan garapan masyarakat. Sedang petani di Bonto Biraeng dan Bonto Mangiring Bulukumba sendiri mempertahankan tanah mereka yang tidak menjadi bagian hak guna usaha.

Begitu banyak kasus atau konflik agraria yang menempatkan rakyat sebagai pihak yang kalah dan tidak berdaulat. Ini terbukti dari salah satu pernyataan sikap dalam Kongres Masyarakat Adat Nusantara tahun 1999 yang dihadiri oleh masyarakat adat hampir dari seluruh Indonesia. Hingga hari ini sikap tersebut masih terus bergaung dengan gugatannya yang sangat tajam. "Bila negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak akan mengakui negara"

Bila mereka masih meneriakkan 'Merdeka atau Mati', dengan sendirinya janji untuk memajukan kesejahteraan umum kemudian menjadi omong kosong di siang bolong. Bukan saja pemerintah tidak menjalankan kewajibannya untuk memajukan kesejahteraan rakyat, lebih-lebih pemerintah telah khianat dan merampas kesejahteraan rakyat. Operasi penggusuran di Manggarai bahkan dalam sekejab
telah melemparkan Petani Manggarai ke lantai kemiskinan yang paling dalam. Di Manggarai pembabatan tanaman kopi selama tahun 2003 saja diperkirakan telah menimbulkan kerugian materi atau kehilangan pendapatan sebesar 10 miliar rupiah. Belum lagi kalau dihitung dari nilai tanaman lainnya yang turut dibabat.

Paling tidak aparat pemerintah telah melakukan pembakaran, pembongkaran dan pemusnahkan 180 pondok dan rumah. Selain di Mbohang desa Bangka Lelak tercatat petani menderita kerugian tanaman sejumlah 142.500 pohon kopi yang ditebang, 2.210 tanaman vanili, 1146 tanaman pisang, 14.850 kg kacang, 14.350 kg jahe, 21.600 kg kentang, 1520 kg cabe, 24600 kg jagung. Di Wela
desa Golo Worok kerugian tanaman sejumlah 289150 pohon kopi, 81.235 tanaman vanili, 9.811 tanaman pisang, 9.728 pohon cengkeh, 23.658 kg sayur-sayuran dan 23.330 kacang-kacangan. Di Suka kelurahan Nantal terdapat kerugian sejumlah 2.950 pohon kopi, 279 tanaman pisang serta 8.500 tanaman vanili. Di Gulang, Perong dan Pahar desa Gelong serta Sampar Nggawang dan Laja desa Meler mengalami kerugian sejumlah 112.000 pohon kopi, 2.545 tanaman vanili, 10.170 kg kentang, 518 kg cabe, 9.245 kg jahe, 1.794 rumpun pisang, 12.660 kg jagung dan 11.690 kg kacang-kacangan.

Negeri Sejuta Bencana : Bencana Bukan Takdir

Sama seperti yang dialami oleh petani Manggarai, berbagai kasus bencana alam yang semakin sering terjadi di negeri ini telah melemparkan rakyat kedalam kemiskinan yang semakin dalam. Diantaranya banjir badang yang terjadi di Bohorok, Sumatera Utara, dimana hanya dalam sekejab meluluhlantakan kehidupan rakyat. Hanya dalam waktu 20 menit, sim salabim seperti sulap, musnahlah harta milik ribuan orang di sepanjang sungai Bohorok.

"Kejadiannya berlangsung sekejap, tak lebih sekitar 20 menit. Bergulung-gulung persis seperti ikan paus yang sedang beraksi di tengah lautan, lumpur, bebatuan, dan kayu gelondongan menghantam apa saja yang ada di depannya. Sangat dahsyat dan menakutkan. Begitu bunyi gemuruh menyurut, samar-samar saya lihat semuanya sudah rata dilindas air bah yang kecepatan
sangat sukar dihitung. Suasana sekitar berubah gelap gulita, listrik
mendadak padam karena tiang betonnya roboh dihantam kayu log," tutur Salman Rangkuti kepada wartawan Kompas (Sabtu, 08 November 2003)

Sampai proses pencarian korban di hentikan pada tanggal 16 Nopember 2003, tim penyelamat telah menemukan 150 mayat, sedangkan korban yang masih hilang berjumlah 91 orang.

Daya rusak bencana Bohorok sangat dahsyat. Ia tidak saja menyebabkan korban nyawa dan kehancuran bagi rumah, penginapan, dan toko suvenir serta rumah makan di lokasi wisata Bukit Lawang yang memiliki jumlah penduduk 600 jiwa
ini. Banjir ini juga merendam lebih dari 1.900 rumah dengan perkiraan total kerugian mencapai Rp 700 miliar.

Menurut catatan Bakornas sejak tahun 1998 hingga pertengahan 2003, tercatat telah terjadi 647 kejadian bencana di Indonesia dengan kobran sekitar 2000 orang. Di mana 85% dari bencana tersebut merupakan bencana banjir dan longsor. Hal ini menunjukkan bahwa bencana terbesar yang terjadi justru bencana yang bisa diatasi, diantisipasi kejadian dan resikonya. Bencana banjir dan tanah longsor adalah bencana yang terjadi bukan hanya karena faktor alamiah alam, namun lebih banyak karena campur tangan manusia
terhadap penghancuran lingkungan hidup.

Melihat fakta-fakta di atas, tampak jelas bahwa peristiwa bencana seperti Bohorok dan bencana-bencana serupa yang telah terjadi di hampir seluruh negeri ini bukanlah sekadar "bencana alam" seperti yang kita bayangkan sebelumnya. Bencana Bohorok adalah "bencana buatan" yang terencana secara sistematis akibat lemahnya tanggung jawab otoritas negara, buruknya kebijakan, dan tidak konsistennya penegakan hukum. Sumber daya alam kita yang terkuras habis secara serakah hanya dinikmati oleh segelintir orang
tetapi harus dibayar mahal oleh sebagian besar manusia yang lain. Baik kemerosotan penghidupan dan bahkan dengan nyawa mereka. Tragedi BOHOROK misalnya adalah risiko yang pasti dialami dari konsep pengelolaan hutan yang buruk.

Indonesia Tidak Untuk Dijual

Manggarai, Bulukumba, Bohorok nyata-nyata jadi bukti bahwa pemerintah gagal dalam menjalankan kewajibannya. Bahkan lebih dari itu mereka telah melakukan pengkhianatan terhadap misi proklamasi kemerdekaan Indonesia. Mereka bertanggungjawab langsung atau tidak langsung atas perampasan sumber-sumber
kehidupan rakyat, pemiskinan rakyat, dan penghancuran lingkungan hidup.

Belum lagi bila kita bicara tentang pemerintah baik eksekutif, dewan
perwakilan rakyat dan lembaga peradilan yang terlibat dalam perampokan uang rakyat melalui korupsi yang semakin meluas dan merata. Baik dari pemerintahan di tingkat pusat hingga pemerintahan di tingkat daerah. Indonesia bersama dengan Azerbaijan menjadi negara ketiga paling korup setelah Nigeria dan Kamerun, demikian hasil jajak pendapat yang dilakukan lembaga antikorupsi internasional, The Transparency International (TI) terhadap 99 negara pada tahun 2000.

Di negeri ini uang rakyat dan kekayaan alam, tidak saja dirampok oleh para pejabat, politisi dan pengusaha negeri ini tetapi juga dijarah oleh kuasa modal asing. Dengan memperalat pemerintah dan militer kuasa modal telah mengkapling-kapling negeri ini seenak perutnya sendiri.

Dari 192 juta luas daratan Indonesia, 110 juta hektar dikuasai pemerintah dan pengusaha kehutanan, 54 juta hektar dikuasai oleh pengusaha pertambangan, 5 juta hektar dikuasai pengusaha perkebunan.

Proses penjarahan ini berlangsung semakin sistimatis melalui instrumen hukum dan perundangan-undangan. Berbagai perundangan-undangan dan rancangan UU disiapkan untuk memberikan jalan yang mulus bagi penguasaan kekayaan alam
untuk sebesar-besarnya kemakmuran pemilik modal.

UU Sumberdaya Air misalnya memberikan ruang yang besar kepada pemilik modal untuk menguasai sumberdaya air. Air yang dahulu merupakan barang publik kini dijadikan barang dagangan. Dengan demikian disatu sisi peran modal diperbesar tetapi peran negara dan rakyat dalam pengelolaan air semakin dikurangi. Demikian berbagai rancangan perundang-undangan dibidang agrarian dan sumber daya alam seperti revisi UU Pokok Agraria 1950, RUU Sumber daya
Genetika, RUU Perkebunan memberi ruang yang sangat besar bagi peran mereka. Dibelakang berbagai rekayasa perundangan-undangan berperan cukong Bank Dunia, IMF dan lembaga-lembaga internasional yang membela kepentingan modal asing. Bahkan dana yang digelntorkan ini adalah dana hutang yang harus ditanggung rakyat Indonesia.

Bahkan demi memuluskan investasi asing di bidang pertambangan pemerintah telah mengeluarkan Perpu No. 1/2004 untuk memberi kelonggaran bagi perusahaan tambang untuk melakukan pertambangan terbuka di kawasan hutan lindung yang nyata-nyata dilarang oleh UU Kehutanan No. 41/1999. Dengan dikeluarkan Perpu ini maka sekitar 10 juta penduduk yang mengandalkan penghidupannya dari hutan-hutan tersebut akan terancam sumbe-sumber kehidupannya.

Pertanyaan kemudian apakah memang rezim penguasa saat ini khianat terhadap kewajiban dan janji-janji kemerdekaan, ataukah memang kita belum lepas dari penjajahan dalam bentuknya yang baru. Atau kedua-dunaya. Penjajahan oleh pemodal asing dan penjajahan oleh sekelompok penguasa dan penguasa negeri
ini.

Untuk itulah kini saatnya rakyat diberbagai tempat di negeri ini mulai
memperkuat organisasi-organisasi rakyat di kampung masing-masing. Dan kemudian membangun front-front perlawanan rakyat untuk menggerakan perjuangan semesta rakyat Indonesia. Tentang badut-badut penguasa di pemerintahan dan badut-badut politik yang bersangkar di DPR atau DPRD kita? Akhirnya debu saja dalam geliat dan arus massa.(AIS)

Tidak ada komentar: