Kerakyatan vs neoliberalisme
RI dibangun di atas struktur ekonomi kolonial
Kerakyatan vs Neoliberalisme. Masihkah ada harapan?
Republik Indonesia Dalam Perangkap Struktur Ekonomi Kolonial
Hegemoni Neoliberalisme : Penjajahan Kurikulum, Cuci Otak dan Pembodohan di Perguruan Tinggi
Neoliberalisme : Penanda Kemenangan Gagasan atau Kemenangan Kelas?
Empat Tahun Merdeka, Enam Puluh Tahun Dijajah Utang
Resep Neoliberal IMF dan Bank Dunia Terbukti Gagal
Ekonomi Kerakyatan dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam
Fiskalisme Militer di Indonesia: Dari Otorianisme Ke Neoliberal
Konstitusi Dalam Intaian Neoliberalisme; Konstitusionalitas Penguasaan Negara Atas SDA
NEOLIBERALISME DAN PENGALAMAN INDONESIA
Segera Rampas Kembali Diskursus Anti-Neolib Dari Para Elit Penipu Rakyat
Neoliberalisme Biang Kerok Globalisasi Kemiskinan dan Ketimpangan
Pemilu Presiden 2009, Mengukuhkan Jalan Rente Ekonomi dan Kekuasaan Politik Modal
Indonesia Di bawah Ancaman Fundamentalisme Pasar dan Fundamentalisme Agama
Definisi Singkat Neoliberalisme
UU Migas, Lumpur Lapindo dan Neoliberalisme
Ekonomi Pancasila, Ekonomi Rakyat, ataukah Ekonomi Kerakyatan?
Dari Diskusi Konsolidasi Ekonomi Kerakyatan
Seri Lawan Neoliberalisme! Washington Consensus vs Jakarta Concencus
Neoliberalisme dan Kedaulatan Pangan
Seized : Perampasan Tanah untuk Ketahanan Pangan dan Keuangan 2008
Neoliberalisme - Revrisond Baswir
Ekonomi Kerakyatan vs Neoliberalisme (Revrisond Baswir – Tim Ahli Pusat Ekonomi Kerakyatan)
Jalan Neoliberal Pak Bud - Revrisond Baswir
Agenda Indonesia : Sebuah Bangsa hanya Dibentuk dengan Sengaja - Herry Priyono
Sesat Neoliberalisme - B. Herry-Priyono, Dosen pada Program Pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta.
Neoliberalisme – Kolonisasi Homo Ekonomikus dan Homo Finansialis - B Herry-Priyono
Neoliberalisme dan Sifat Elusif Kebebasan - B Herry-Priyono :
The End of Laissez-Faire - Sri-Edi Swasono
Mewaspadai Neoliberalisme - Sri Edi Swasono
Apa Neoliberalisme Itu?- Kwik Kian Gie
Kerakyatan vs Neoliberal - Ichsanudin Noorsy
Washington Concencus vs Jakarta Concencus - Prof Nizam Jim Wiryawan PhD Guru Besar dalam bidang Ilmu Bisnis Internasional,
Reformasi Ekonomi, Konsensus Washington, dan Rintangan Politik - Ahmad Erani Yustika Staf Pengajar Fakultas Ekonomi Universitas Brawijaya dan Kandidat Doktor di University of Göttingen, Jerman
Neoliberalisme dan Warganegara - I Wibowo (ditor buku “Neoliberalisme” (Yogyakarta, Cindelaras: 2003)
Neoliberalisme Kena Batunya - Martin Manurung
Neoliberalisme Telah Mati - Akhmad Kusaeni
Lonceng Kematian Era Pasar Bebas - Joni Murti Mulyo Aji
Menelanjangi Liberalisme - Ahmad Erani Yustika
Kosmologi Krisis Moneter - Yasraf Amir Piliang
Rakus – Caping Gunawan Muhammad
Ekonomi Pancasila, Ekonomi Rakyat, ataukah Ekonomi Kerakyatan?
Yayasan Mubyarto (YasMuby) Jogjakarta dan Mubyarto Institute (Mubins)
Sejarah dan Kebhinekaan: Merumuskan Kembali Keindonesiaan - I Gusti Agung Ayu Ratih Kita,
FORMASI NEGARA NEOLIBERAL DAN KEBANGKITAN KOMUNALISME - Eric Hiariej (Pengajar di Jurusan Ilmu Hubungan Internasional Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta)
Good Governance dan Mitos Ketatanegaraan Neoliberal - R. Herlambang Perdana Wiratraman
KAPITALISME BENCANA DAN BENCANA KAPITALISME – Don Marut
Neoliberal dan Kejahatan Multinasional - Bonnie Setiawan (IGJ)
Rekayasa Merawat Neoliberalisme: Menggagas Kembali Peran Teknologi untuk Akumulasi Laba - Yanuar Nugroho
Krisis Keuangan Global : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datar
Tiada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Penghapusan Utang - Dani Setiawan – Ketua KAU
Krisis Ekonomi Global dan Sosialisme buat Kaum Kaya - Irwansyah
Memang, tak mungkin sistem kapitalisme tanpa krisis - Ken Budha Kusumandaru
Analisis Pasangan Yudhoyono – Boediono - Fahmy Radhy (Dosen FEB UGM dan Direktur Eksekutif Mubyarto Institute) Analisis : Pasangan Yudhoyono – Boediono
Track Record : Bisnis Capres Cawapres - Dr George Aditjondro
Pemilu Presiden 2009, Mengukuhkan Jalan Rente Ekonomi dan Kekuasaan Politik Modal
Lumpur Lapindo dan Praktek Neoliberal - Firdaus Cahyadi
Negosiasi Pertanian WTO Dirancang Untuk Memperparah Kelaparan Di Dunia - Aileen Kwa
Tidak Ada Ekonomi Kerakyatan Tanpa Reforma Agraria - Henry Saragih -vKetua Umum Serikat Petani Indonesia (SPI) dan General Coordinator La Via
Campesina, organisasi gerakan buruh tani, petani kecil dan masyarakat adat internasional.
Rezim SBY-JK Gagal Laksanakan Pembaruan Agraria
Rebutan Pangan : TNC dan Penghancuran Petani - Mansour Fakiq
Seized : Perampasan Tanah untuk Ketahanan Pangan dan Keuangan 2008
Noer Fauzi Gelombang Baru Reforma Agraria Di Awal Abad ke-21
Noer Fauzi, Ph.D. Candidate di University of California – Berkeley, Department Environmental Science, Policy and Management (ESPM), Ketua Badan Pelaksana Konsorsium Pembaruan Agraria 1995-2002, dan Koordinator Dewan Pakar Konsorsium Pembaruan Agraria 2002-2005.
PLN Korban Neolib - Ir A Daryoko – Ketua Umum Serikat Pekerja BUMN Strategis
Prosa Tanpa Tanda Seru : Refleksi Persoalan Globalisasi - Puthut EA
Siklus Politik Neoliberal: “Penyesuaian” Amerika Latin Menuju Kemiskinan dan Kemakmuran di Era Pasar Bebas - James Petras
Sebuah Pengantar Tentang Ambruknya Wall Street - Walden Bello
Krisis Finansial Global: Dampaknya terhadap Asia - Reihana Mohideen
Krisis Wall Street: Rakyat Miskin Lagi-lagi Talangi Orang Kaya - Peter Boyle
Venezuela dan Sekutu Amerika Selatannya Majukan Integrasi - James Suggett
Rabu, 26 Agustus 2009
Sabtu, 15 Agustus 2009
Belajar Dari Ilmu Pedang Miyamoto Musashi (bag 1 dari 2)
Pertanyaan Miyamoto Musashi Tentang JALAN-ZEN : Seberapa Tangguh Ujung Pedangmu, Ujung Kuasmu, Ujung Kata-katamu?
Prolog
Seorang murid bertanya ”Apa itu Kehidupan Sejati? Dalam kebisuan guru Zen yang bijak menulis kata ”perhatian” di pasir. Pasti ada jalan yang lain, kata muridnya. Ya, ada jawab guru itu dan ia lagi-lagi menulis kata ”perhatian” di pasir. Tapi bukankah ada yang lain? Tanya si murid. Guru itu terdiam sejenak sebelum sekali lagi menulis kata ”perhatian”. Kini di pasir tertulis pesan ”Perhatian. Perhatian. Perhatian” (adaptasi dari tiger heart, tiger mind)
Jalan Pedang Musashi
Musashi ”The Lone Samurai” (begitu William Scott Wilson Penulis Biografi Musashi menjulukinya) yang hidup antara tahun 1584-1645 telah mengalami dan memenangkan 60 kali duel dan terlibat dalam 6 kali pertempuran dalam perang besar antara umur tiga belas sampai dua pulau sembilan tahun. Selain maestro pedang, Musashi juga seorang seniman maestro serba bisa (paling menonjol sebagai pelukis terkemuka). Bagi banyak orang Jepang, Jalan Musashi adalah teladan kisah manusia sejati atau pencarian manusia akan jalan yang benar dan ganjaran yang akhirnya diperoleh dari jalan tersebut.
Popularitas Musashi memang luar biasa. Novel Musashi yang ditulis Eiji Yoshikawa di Jepang saja terjual di angka 120 juta. Ini mengejutkan karena penduduk Jepang saja hanya berjumlah 110 juta orang. Bisa jadi buku ini dan Musashi telah turut membentuk watak Jepang Modern (JB Kristanto dalam pengantar novel Musashi). Novel Musashi yang pernah dimuat di harian Kompas sebagai cerbung dan kemudian diterbitkan Gramedia adalah versi ringkas dari naskah aslinya dengan tebal 26.000 halaman.
selengkapnya
Prolog
Seorang murid bertanya ”Apa itu Kehidupan Sejati? Dalam kebisuan guru Zen yang bijak menulis kata ”perhatian” di pasir. Pasti ada jalan yang lain, kata muridnya. Ya, ada jawab guru itu dan ia lagi-lagi menulis kata ”perhatian” di pasir. Tapi bukankah ada yang lain? Tanya si murid. Guru itu terdiam sejenak sebelum sekali lagi menulis kata ”perhatian”. Kini di pasir tertulis pesan ”Perhatian. Perhatian. Perhatian” (adaptasi dari tiger heart, tiger mind)
Jalan Pedang Musashi
Musashi ”The Lone Samurai” (begitu William Scott Wilson Penulis Biografi Musashi menjulukinya) yang hidup antara tahun 1584-1645 telah mengalami dan memenangkan 60 kali duel dan terlibat dalam 6 kali pertempuran dalam perang besar antara umur tiga belas sampai dua pulau sembilan tahun. Selain maestro pedang, Musashi juga seorang seniman maestro serba bisa (paling menonjol sebagai pelukis terkemuka). Bagi banyak orang Jepang, Jalan Musashi adalah teladan kisah manusia sejati atau pencarian manusia akan jalan yang benar dan ganjaran yang akhirnya diperoleh dari jalan tersebut.
Popularitas Musashi memang luar biasa. Novel Musashi yang ditulis Eiji Yoshikawa di Jepang saja terjual di angka 120 juta. Ini mengejutkan karena penduduk Jepang saja hanya berjumlah 110 juta orang. Bisa jadi buku ini dan Musashi telah turut membentuk watak Jepang Modern (JB Kristanto dalam pengantar novel Musashi). Novel Musashi yang pernah dimuat di harian Kompas sebagai cerbung dan kemudian diterbitkan Gramedia adalah versi ringkas dari naskah aslinya dengan tebal 26.000 halaman.
selengkapnya
Kapitalisme, Analisis Kelas dan Gerakan Lingkungan Hidup (Bag 2 dari 2)
Marx menganggap masalah kelas itu sentral, tapi jauh dari mengatakan bahwa itulah satu-satunya masalah yang dihadapi umat manusia. Dan pentingnya kelas ini tidak lain karena Marx berbicara tentang zaman yang dibedakan dari segi produksi materialnya. Dia tidak berbicara tentang lingkungan hidup misalnya, tidak lain karena memang di zamannya masalah itu belum menonjol.
Memang kita tidak boleh mereduksi segala sesuatu semata-mata menjadi persoalan kelas, tapi kalau bicara tentang perubahan tatanan sosial dan ekonomi seperti feodalisme dan kapitalisme, perjuangan kelas tetap merupakan persoalan sentral
(dipetik dari pandangan Hilmar Farid lihat bag 1)
Kapitalisme adalah Akar Persoalan
Di dalam Manifestonya, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyebutkan bahwa akar persoalan lingkungan hidup adalah paham neoliberalisme. Dimana paham inilah yang selama ini mempromosikan bahwa sistem pasar harus diberi hak penuh untuk menentukan keputusan penting di bidang politik dan sosial. Sedangkan inti dari pandangan ini adalah mendesak agar negara secara sukarela melepaskan perannya di bidang ekonomi-sosial.
Lebih lanjut paham neoliberal inilah yang menciptakan serangkaian kebijakan ekonomi yang membuat si kaya semakin berkuasa dan si miskin kian melarat dengan cara memberikan keleluasaan sebebas-bebasnya kepada perusahaan swasta mengembangkan diri seraya melupakan hak serta perlindungan bagi rakyat kebanyakan.
selengkapnya
Baca juga bagian 1
Memang kita tidak boleh mereduksi segala sesuatu semata-mata menjadi persoalan kelas, tapi kalau bicara tentang perubahan tatanan sosial dan ekonomi seperti feodalisme dan kapitalisme, perjuangan kelas tetap merupakan persoalan sentral
(dipetik dari pandangan Hilmar Farid lihat bag 1)
Kapitalisme adalah Akar Persoalan
Di dalam Manifestonya, Walhi (Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) menyebutkan bahwa akar persoalan lingkungan hidup adalah paham neoliberalisme. Dimana paham inilah yang selama ini mempromosikan bahwa sistem pasar harus diberi hak penuh untuk menentukan keputusan penting di bidang politik dan sosial. Sedangkan inti dari pandangan ini adalah mendesak agar negara secara sukarela melepaskan perannya di bidang ekonomi-sosial.
Lebih lanjut paham neoliberal inilah yang menciptakan serangkaian kebijakan ekonomi yang membuat si kaya semakin berkuasa dan si miskin kian melarat dengan cara memberikan keleluasaan sebebas-bebasnya kepada perusahaan swasta mengembangkan diri seraya melupakan hak serta perlindungan bagi rakyat kebanyakan.
selengkapnya
Baca juga bagian 1
Kapitalisme, Analisis Kelas dan Gerakan Lingkungan Hidup (Bag 1 dari 2)
Dalam semangat menghidupkan teori, analisis kelas, jender, etnis hingga ekologi adalah cara mengorganisasi pengetahuan. Dengan demikian pisau-pisau analisis ini bukan untuk dihadap-hadapkan, dipertentangkan dengan pendekatan atau analisis yang lainnya. Persoalannya kemudian adalah bagaimana membuat adonannya atau pembobotan dalam pembacaan atau teori yang lebih lengkap dan komprehensif.
selengkapnya
Baca juga bagian 2
selengkapnya
Baca juga bagian 2
Pramoedya, Sejarah dan Angkatan Muda
PRAMOEDYA ANANTA TOER adalah buku. Buku yang seutuh-utuhnya buku. Karena ia buku yang besar, meluas, dan berwibawa, maka ia abadi: scripta manent verba volant (tulisan itu abadi, sementara lisan cepat berlalu bersama derai angin). Pram memang telah berangkat dengan kereta api pagi pada Ahad (30/4/2006, 08.55) tiga tahun yang lampau—dua hari setelah hari pergi penyair Chairil Anwar—di usia 81 tahun 84 hari. Tapi Pram sangat yakin bahwa ia akan abadi. Dan keyakinan itu sudah ia tuliskan dalam sebuah artefak utuh tanpa ragu di halaman 356 kuartet keempat Buru, Rumah Kaca:
“Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”
Pram memang bukanlah buku yang biasa. Buku yang datang tergesa-gesa, cepat, dan setelah itu dilupakan orang. Pram juga bukan buku cengeng, picisan, dan penuh cekikikan. Sebab hidup Pram adalah hidup yang selalu sepi, sunyi, disiakan, sekaligus keras dan berjelaga. Nasib dan respons kehidupan yang tak memanjakan membawanya menjadi buku yang selalu tegak menantang cadas atau apa pun yang mengganggu otonomi tubuh dan pikiran dan ideologinya.
Bahkan kesadaran melawan yang berkobar itu tetap ia perlihatkan hingga ajalnya menjemput.
Dipetik dari tulisan Muhidin M Dahlan, PRAM: Buku yang tak Pernah Selesai Dibaca
Beberapa bulan lalu dalam tulisan pendek Kado Raksasa : Trilogi Lekra dan Kronik Seabad Kebangkitan Nasional, saya memberikan aspresiasi dan penghormatan tinggi kepada sekelompok anak muda penggila buku yang tergabung dalam I:Boekoe (Indonesia Buku).
Penggila disini bukanlah penggila dalam arti pasif, gila membaca buku, tetapi kegilaan disini bersifat aktif. Artinya gila membaca buku secara kritis sekaligus menulis buku. Yang menarik pula proyek penulisan I:Boekoe adalah dalam kategori penulisan buku-buku babon atau buku-buku yang bersifat ensiklopedik.
Saat itu saya mengangkat 2 serial buku (saya menyebutnya Kado Gila Kaum Muda Untuk Kebangkitan Nasional) yang pertama adalah Kronik Kebangkitan Indonesia. Buku ini adalah hasil kerja keras belasan anak muda berusia di bawah 25 tahun selama 1,5 tahun yang kini telah berbuah 21 buku dengan ketebalan 1.7 meter.
Sedangkan seri buku berikutnya adalah Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku. Serial buku ini di tulis oleh 2 orang dari tim kerja Kronik Kebangkitan Nasional yakni Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Mereka bekerja pararel untuk proyek buku Kronik Kebangkitan Nasional sekaligus untuk proyek mereka berdua.
Trilogi Lekra Tidak membakar Buku ini terdiri dari buku-buku Lekra Tak Membakar Buku : Suara Senyap Lembar kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, Gugur Merah : Sehimpunan Puisi Harian Rakjat-Lekra dan Laporan dari Bawah : Sehimpunan Cerita Pendek Harian Rakjat –Lekra. Coba simak di dalam Lekra Tidak Membakar Buku kedua anak muda ini melakukan liputan menyeluruh yang diriset dari sekitar 15 ribu artikel kebudayaan yang terserak.
Selengkapnya
“Menulislah, jika tak menulis, maka kamu akan ditinggalkan sejarah.”
Pram memang bukanlah buku yang biasa. Buku yang datang tergesa-gesa, cepat, dan setelah itu dilupakan orang. Pram juga bukan buku cengeng, picisan, dan penuh cekikikan. Sebab hidup Pram adalah hidup yang selalu sepi, sunyi, disiakan, sekaligus keras dan berjelaga. Nasib dan respons kehidupan yang tak memanjakan membawanya menjadi buku yang selalu tegak menantang cadas atau apa pun yang mengganggu otonomi tubuh dan pikiran dan ideologinya.
Bahkan kesadaran melawan yang berkobar itu tetap ia perlihatkan hingga ajalnya menjemput.
Dipetik dari tulisan Muhidin M Dahlan, PRAM: Buku yang tak Pernah Selesai Dibaca
Beberapa bulan lalu dalam tulisan pendek Kado Raksasa : Trilogi Lekra dan Kronik Seabad Kebangkitan Nasional, saya memberikan aspresiasi dan penghormatan tinggi kepada sekelompok anak muda penggila buku yang tergabung dalam I:Boekoe (Indonesia Buku).
Penggila disini bukanlah penggila dalam arti pasif, gila membaca buku, tetapi kegilaan disini bersifat aktif. Artinya gila membaca buku secara kritis sekaligus menulis buku. Yang menarik pula proyek penulisan I:Boekoe adalah dalam kategori penulisan buku-buku babon atau buku-buku yang bersifat ensiklopedik.
Saat itu saya mengangkat 2 serial buku (saya menyebutnya Kado Gila Kaum Muda Untuk Kebangkitan Nasional) yang pertama adalah Kronik Kebangkitan Indonesia. Buku ini adalah hasil kerja keras belasan anak muda berusia di bawah 25 tahun selama 1,5 tahun yang kini telah berbuah 21 buku dengan ketebalan 1.7 meter.
Sedangkan seri buku berikutnya adalah Trilogi Lekra Tidak Membakar Buku. Serial buku ini di tulis oleh 2 orang dari tim kerja Kronik Kebangkitan Nasional yakni Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M Dahlan. Mereka bekerja pararel untuk proyek buku Kronik Kebangkitan Nasional sekaligus untuk proyek mereka berdua.
Trilogi Lekra Tidak membakar Buku ini terdiri dari buku-buku Lekra Tak Membakar Buku : Suara Senyap Lembar kebudayaan Harian Rakjat 1950-1965, Gugur Merah : Sehimpunan Puisi Harian Rakjat-Lekra dan Laporan dari Bawah : Sehimpunan Cerita Pendek Harian Rakjat –Lekra. Coba simak di dalam Lekra Tidak Membakar Buku kedua anak muda ini melakukan liputan menyeluruh yang diriset dari sekitar 15 ribu artikel kebudayaan yang terserak.
Selengkapnya
Quo Vadis Kemerdekaan RI : Adakah Negara Di Wilayah Perbatasan Indonesia?
NASIONALISME : DI TAPAL BATAS atau DI SIMPANG JALAN
Campur Sari : Nasionalisme Di Tapal Batas, A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa
Dalam rangka menyambut Hari Peringatan Kemerdekaan ke-64 Harian Kompas akan menurunkan laporan khusus (dari tanggal 10-21 Agustus 2009) tentang semangat nasionalisme dan bagaimana bangsa ini menggulati makna kemerdekaan. Kompas memilih tema “Nasionalisme di Tapal Batas” karena masalah nasionalisme semakin kritis. Kompas menilai dalam konteks wilayah-wilayah perbatasan, kekritisan masalahnya semakin terasa. Demikian pula dalam perspektif politik nasional dan konstelasi politik regional, masalah pun kian kompleks.
Nasionalisme di Tapal Batas
Untuk laporan khusus ini Kompas memilih satu petikan tulisan Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia 1934 sebagai prolog laporan Nasionalisme di Tapal Batas sbb :
Oleh karena itu, kita pun harus lebih kuat daripada yang sudah-sudah jika kita hendak mengerjakan tugas kita dan menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Kita tidak boleh memboroskan waktu dan engergi kepada kesulitan-kesulitan pribadi, bahkan tidak kepada kesedihan pribadi kita, maka kita pun akan bisa menghilangkan diri kita ke dalamnya. Begitu banyak hal yang masih gelap yang sekali sudah menjadi terang, mungkin akan membuka perspektif-perspektif baru yang tidak terbatas.
Perjalanan Nasionalisme Di Tapal Batas ini akan melalui rute yang berawal pada Menerawang Aceh dari Sawang; Siberut Si Cantik yang Terabaikan; Kepulauan Riau : Tak Indonesia Hilang di Hati; Perca di Kalimantan Barat; Keseriusan Masalah di Kalimantan Timur; Perbatasan Miangas dan Marore; Maluku, Menguggah Ke Indonesiaan di Bibir Pasifik; Perbatasan NTT-Timor Leste; Geliat Pendidikan di Tengah Keterbatasan dan kemudian ditutup dengan Dua Stigma tentang Papua.
FOKUS KOMPAS : KEINDONESIAN
Masih Indonesiakah Mereka? ;WILAYAH PERBATASAN Melihat Indonesia yang (Kian) Asing; REALITAS PERBATASAN Indonesia yang Jauh; MASYARAKAT KEPULAUAN. Mereka Makin Teralienasi; PERBATASAN Perlu Pemahaman Transnasional; Di Bawah Dua Bangsa Penjajah
Saat membaca promosi laporan khusus Kompas ini, saya segera meledak dengan antusiasme atau minat yang meluap, walau sesunguhnya dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Walaupun alur perjalanan laporan ini tetap akan saya baca dengan penuh minat, saya mencerap Nasionalisme di Tapal Batas (yang sebenarnya datar dan netral ini) lebih sebagai padanan sebuah sikap menggugat yang tegas. Nasionalisme di Simpang Jalan!
Tapal Batas ini bagi saya adalah simpang jalan atau narasi Nasionalisme yang ’Membunuh’ atau Nasionalisme Yang Merawat Kebhinekaan, Mitos Nasionalisme atau Kenyataan Nasionalisme, Nasionalisme Right or Wrong is My Country atau Right is Right, Wrong is Wrong, That’s All dstnya.
A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism
Ini kemudian mengingatkan saya pada Andreas Harsono yang saat ini sedang menyiapkan buku A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism yang menurut duga saya akan tanpa ampun menggugat pemaknaan dan praktek nasionalisme ’brutal’ yang sempat beranak pinak di negeri ini.
Sembari menyiapkan bukunya Andreas Harsono menulis catatan-catatan dari perjalanannya untuk menulis buku. Dengan membaca sebagaian tulisan-tulisan pendeknya di bawah ini kita bisa makin jelas menangkap sikap kritisnya (dan bahkan menurut saya ”keras tanpa ampun”).
Simak saja beberapa tulisannya seperti Murder at Mile 63, Precisely, 86 locations in three years, Biak, Militer dan Melanesia, Semuel Waileruny- Pemimpin Forum Kedaulatan Maluku di Ambon, Pramoedya, fascism and his last interview, Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis, Tahun Kelahiran Hasan di Tiro; Miangas, Nationalism and Isolation; hingga Republik Indonesia Kilometer Nol (pernah di muat Pantau desember 2003)
Kebangsaan Indonesia dan kebangsaan Aceh dalam peperangan di ujung Pulau Sumatra adalah jendela artikel dalam tulisannya Republik Indonesia Kilometer Nol. Anda juga bisa membaca dengan cermat satu tulisannya (menurut saya ini tulisan luar biasa) ”Hoakiao dari Jember” untuk memahami latar belakang, posisinya, penyikapan dan pemihakannya. (baca juga Ramalan Akan Dibunuh)
selengkapnya
berikut link-link laporan khusus Kompas "Nasionalisme di Tapal Batas" dan link-link artikel Andreas Harsono
Campur Sari : Nasionalisme Di Tapal Batas, A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism, Ekspedisi Zamrud Khatulistiwa
Dalam rangka menyambut Hari Peringatan Kemerdekaan ke-64 Harian Kompas akan menurunkan laporan khusus (dari tanggal 10-21 Agustus 2009) tentang semangat nasionalisme dan bagaimana bangsa ini menggulati makna kemerdekaan. Kompas memilih tema “Nasionalisme di Tapal Batas” karena masalah nasionalisme semakin kritis. Kompas menilai dalam konteks wilayah-wilayah perbatasan, kekritisan masalahnya semakin terasa. Demikian pula dalam perspektif politik nasional dan konstelasi politik regional, masalah pun kian kompleks.
Nasionalisme di Tapal Batas
Untuk laporan khusus ini Kompas memilih satu petikan tulisan Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia 1934 sebagai prolog laporan Nasionalisme di Tapal Batas sbb :
Oleh karena itu, kita pun harus lebih kuat daripada yang sudah-sudah jika kita hendak mengerjakan tugas kita dan menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya. Kita tidak boleh memboroskan waktu dan engergi kepada kesulitan-kesulitan pribadi, bahkan tidak kepada kesedihan pribadi kita, maka kita pun akan bisa menghilangkan diri kita ke dalamnya. Begitu banyak hal yang masih gelap yang sekali sudah menjadi terang, mungkin akan membuka perspektif-perspektif baru yang tidak terbatas.
Perjalanan Nasionalisme Di Tapal Batas ini akan melalui rute yang berawal pada Menerawang Aceh dari Sawang; Siberut Si Cantik yang Terabaikan; Kepulauan Riau : Tak Indonesia Hilang di Hati; Perca di Kalimantan Barat; Keseriusan Masalah di Kalimantan Timur; Perbatasan Miangas dan Marore; Maluku, Menguggah Ke Indonesiaan di Bibir Pasifik; Perbatasan NTT-Timor Leste; Geliat Pendidikan di Tengah Keterbatasan dan kemudian ditutup dengan Dua Stigma tentang Papua.
FOKUS KOMPAS : KEINDONESIAN
Masih Indonesiakah Mereka? ;WILAYAH PERBATASAN Melihat Indonesia yang (Kian) Asing; REALITAS PERBATASAN Indonesia yang Jauh; MASYARAKAT KEPULAUAN. Mereka Makin Teralienasi; PERBATASAN Perlu Pemahaman Transnasional; Di Bawah Dua Bangsa Penjajah
Saat membaca promosi laporan khusus Kompas ini, saya segera meledak dengan antusiasme atau minat yang meluap, walau sesunguhnya dari sudut pandang yang sedikit berbeda. Walaupun alur perjalanan laporan ini tetap akan saya baca dengan penuh minat, saya mencerap Nasionalisme di Tapal Batas (yang sebenarnya datar dan netral ini) lebih sebagai padanan sebuah sikap menggugat yang tegas. Nasionalisme di Simpang Jalan!
Tapal Batas ini bagi saya adalah simpang jalan atau narasi Nasionalisme yang ’Membunuh’ atau Nasionalisme Yang Merawat Kebhinekaan, Mitos Nasionalisme atau Kenyataan Nasionalisme, Nasionalisme Right or Wrong is My Country atau Right is Right, Wrong is Wrong, That’s All dstnya.
A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism
Ini kemudian mengingatkan saya pada Andreas Harsono yang saat ini sedang menyiapkan buku A Nation in Name: Debunking the Myth of Indonesian Nationalism yang menurut duga saya akan tanpa ampun menggugat pemaknaan dan praktek nasionalisme ’brutal’ yang sempat beranak pinak di negeri ini.
Sembari menyiapkan bukunya Andreas Harsono menulis catatan-catatan dari perjalanannya untuk menulis buku. Dengan membaca sebagaian tulisan-tulisan pendeknya di bawah ini kita bisa makin jelas menangkap sikap kritisnya (dan bahkan menurut saya ”keras tanpa ampun”).
Simak saja beberapa tulisannya seperti Murder at Mile 63, Precisely, 86 locations in three years, Biak, Militer dan Melanesia, Semuel Waileruny- Pemimpin Forum Kedaulatan Maluku di Ambon, Pramoedya, fascism and his last interview, Protes "Indopahit" Lewat Kaos Anarkis, Tahun Kelahiran Hasan di Tiro; Miangas, Nationalism and Isolation; hingga Republik Indonesia Kilometer Nol (pernah di muat Pantau desember 2003)
Kebangsaan Indonesia dan kebangsaan Aceh dalam peperangan di ujung Pulau Sumatra adalah jendela artikel dalam tulisannya Republik Indonesia Kilometer Nol. Anda juga bisa membaca dengan cermat satu tulisannya (menurut saya ini tulisan luar biasa) ”Hoakiao dari Jember” untuk memahami latar belakang, posisinya, penyikapan dan pemihakannya. (baca juga Ramalan Akan Dibunuh)
selengkapnya
berikut link-link laporan khusus Kompas "Nasionalisme di Tapal Batas" dan link-link artikel Andreas Harsono
Label:
Kemerdekaan,
nasionalisme,
wilayah perbatasan
Langganan:
Postingan (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat