RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 09 Oktober 2008

Link Artikel dan Laporan Studi DEMOS

Eksekutif Report
SATU DEKADE REFORMASI: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia

Eksekutif Report
DARI REPRESENTASI ELITIS MENUJU REPRESENTASI POPULAR

Kumpulan artikel

Green Politics dan Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Sofian M. Asgart

Gerakan "politik hijau" di Indonesia diawali dengan adanya kesadaran yang dipacu kondisi nasional kita dimana terjadi berbagai kerusakan lingkungan hidup akibat pembangunan yang terlalu berorientasi pertumbuhan dan strategi pembangunan yang eksploitatif sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, Emil Salim kerap mengkampanyekan model pembangunan alternatif. Paradigmanya bukan dengan membendung dan bersifat anti-pembangunan. Juga tidak dengan berbalik arah untuk hidup sangat sederhana secara subsisten, namun dengan melaksanakan pola pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development).

Menurutnya, hakekat pembangunan ke depan adalah mengupayakan keberlanjutan (sustainability) kehidupan. Untuk keberlanjutan kehidupan ini, pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.

Wacana mengenai pembangunan berkelanjutan di Indonesia timbul-tenggelam sejak tahun 1980-an. Diskursus ini bergulir sejalan dengan pasang-surutnya gerakan demokratisasi di tanah air. Tafsir negara mengenai pembangunan berkelanjutan sangat dominan seiring sentralisme Orde Baru yang mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1980-1990-an. Transisi demokrasi yang ditandai lahirnya semangat reformasi tahun 1998 turut mereposisi peta wacana pembangunan berkelanjutan. Fase ini memunculkan peran signifikan kalangan organisasi non-pemerintah (ornop) dan masyarakat sipil lainnya untuk turut merespon wacana pembangunan berkelanjutan dengan polemik yang lebih dinamik. Walhi, Kehati, Bina Desa, HUMA, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), merupakan ornop yang aktif mengkampanyekan green politics di tanah air dengan turut mewacanakan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu alternatifnya.

Risalah kecil ini ingin memotret perdebatan dan implementasi pembangunan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan ornop dengan mendasarkan pada sebagian temuan penelitian Demos yang relevan dengan isu pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu bentuk gerakan "politik hijau" di Indonesia

selanjutnya


Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia
Rita Olivia Tambunan

Dalam artikel ini akan dibahas pendapat mereka yang berasal dari organisasi kiri tentang masalah-masalah dan pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia pasca 1998. Pada mereka akan ditanyakan apa yang dianggap masalah utama dalam demokratisasi di Indonesia, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah itu, dan bagaimana melakukannya. Pendapat mereka tersebut akan didiskusikan berdasarkan hasil temuan riset Demos tentang "Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia" putaran pertama yang telah selesai dilakukan pada awal tahun 2004 (selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat sebagai riset Demos putaran I).

Untuk kepentingan penulisan artikel ini, organisasi kiri (left based organisation) akan diartikan sebagai organisasi yang cita-cita perjuangannya adalah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat dengan jalan menghapus penindasan terhadap rakyat serta melawan kediktatoran modal dan kekuasaan. Secara umum organisasi kiri adalah organisasi yang memperjuangkan nasib kaum terpinggir dalam sistem politik dan ekonomi seperti buruh, petani, kaum miskin kota. Organisasi kiri percaya bahwa pembangunan seharusnya ditujukan untuk kebaikan setiap orang, dan bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang saja. Ciri khas lain organisasi kiri adalah keyakinan pada jurang lebar antara dua kelas sosial dalam masyarakat (kelas pemilik modal dan kelas pekerja) sebagai salah satu sumber ketidakadilan sosial. Kelas pekerja diisi oleh mereka yang tidak memiliki akses terhadap modal dan alat produksi. Yang termasuk dalam kelas ini antara lain adalah buruh, tani, kaum miskin kota. Sebaliknya kelas pemodal adalah mereka yang menguasai modal dan alat produksi sehingga memiliki otoritas ekonomi yang jauh lebih besar, dan karena itu aksesnya pada kekuasaan politik jauh lebih besar, bahkan mendominasi, dibanding kelas pekerja. Organisasi kiri percaya bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial, maka perlu ada porsi kekuasaan ekonomi dan politik yang diambil alih oleh kaum proletar dengan menggunakan kekuatan gerakan massa. Karenanya, seringkali dalam dinamika politik Negara, organisasi kiri mengambil peran sebagai organisasi oposisi.

Dalam konteks sosial-politik Indonesia kini, jika menggunakan indikator tegas dan memperhatikan trauma politik-historis yang ditinggalkan oleh era Orde Baru, agak sulit untuk menentukan masih ada/tidaknya keberadaan organisasi kiri. Tetapi dengan menggunakan rumusan tersebut di atas, paling tidak dapat diidentifikasi beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai organisasi kiri di Indonesia saat ini.

selanjutnya

Quo Vadis Perempuan dalam Politik?
Debbie Prabawati

Latar Belakang
Pada prinsipnya semua orang setuju bahwa bentuk pemerintahan yang demokratis merupakan bentuk yang paling ideal dan didambakan oleh rakyat. Kata demokrasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dengan kata lain, rakyatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam proses pemerintahan. Para pemimpin merupakan pemegang mandat yang harus tunduk kepada suara rakyat melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam kursi kepemimpinan.

Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam peri kehidupannya menghargai hak asasi manusia secara adil dan setara, mengakui dan memajukan akan kebebasan. Dalam penghargaan terhadap hak yang adil dan setara tersebut tercermin adanya penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Hal ini juga mencakup adanya jaminan partisipasi politik bagi semua warga. Partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang kompleks dan menantang, khususnya bagi sektor-sektor masyarakat yang secara tradisional terpinggirkan. Perempuan mewakili salah satu kelompok yang dirugikan sebagai akibat dari peran-peran yang diterjemahkan secara sosial dan budaya dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah-ranah produktif, reproduktif dan politik.

Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif mereka lebih banyak tetapi hal ini tidak berarti ada jaminan terhadap hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi politik semata-mata karena mereka adalah perempuan. Inilah yang disebut sebagai diskriminasi berbasis gender.

Partisipasi politik perempuan merupakan salah satu prasyarat terlaksananya demokrasi. Karena tidak ada demokrasi yang sesungguhnya jika masih terdapat pengingkaran kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sehingga berakibat tersingkirnya perempuan dari gelanggang politik. Kehidupan demokrasi yang sejati adalah kehidupan dimana semua anggota masyarakat mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan didengar. Peran politik sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan. Sementara melalui kebijakan, hukum dapat berlaku melindungi kepentingan kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan baik domestik maupun publik. Seperti yang diungkapkan oleh Ery Seda tentang politik, bahwa politik seharusnya memikirkan kepentingan masyarakat umum dimana demokrasi sebagai sarana, bukan sebagai arena pencapaian uang dan kekuasaan.

selanjutnya


LIBERALISASI PASAR UNTUK DEMOKRATISASI
Antonio Pradjasto

Pada 1998 pemerintahan otoriter Soeharto jatuh dari kekuasaan. Berbagai aspirasi
diajukan untuk menghadapi otoritarianism. Salah satunya adalah mendorong liberalisasi
pasar dan privatisasi. Pendekatan ini mengedepankan pencabutan peran Negara dalam
berbagai kehidupan khususnya kehidupan ekonomi untuk merubah pola kronism antara
Negara dan bisnis sebagai cara untuk mendorong demokratisasi. Dengan berbagai variasi,
pendekatan ini telah diterapkan di Indonesia. Hal ini bisa ditemukan pada Letter of Intent
and Memorandum of Economic and Financial Policies yang didesakan oleh IMF, pada
saat amandemen UUD 1945, hingga amandeman dan penetapan berbagai peraturan baru
yang mendukung privatisasi, deregulasi dan perdagangan bebas, serta investasi.1

Uraian berikut mau memetakan bagaimana gagasan tersebut melihat penghambat dan
strategi demokratisasi di Indonesia. Kemudian membandingkannya dengan respon
informan penelitian, yang telah lama bekerja untuk proses demokrasi. Belajar dari respon
informan tulisan ini mencoba melihat sejauh mana [ekonomi] pasar dapat mendorong
demokratisasi.

selanjutnya


Membingkai Pluralisme dalam Demokrasi: Masalah dan Kendala yang Dihadapi di Indonesia
Syafa'atun Karyadi

KATA plural bermakna "jamak dan beragam". Pluralisme merupakan suatu kondisi dimana segala ragam corak dan warna terhimpun dengan segala perbedaan yang ada. Kondisi perbedaan yang ada ini bukan ingin dilebur menjadi satu ragam baru melainkan justru dibiarkan untuk memperkaya dinamika ragam yang ada. Dalam kehidupan beragama, pluralisme merupakan keyakinan bahwa kebenaran terdapat dalam berbagai agama. Tidak ada kebenaran tunggal. Para penganut paham ini mengakui dan menghargai perbedaan yang ada dan bersama-sama berupaya menjalin kerjasama. Sebagaimana pernah diisyaratkan oleh Alwi Shihab bahwa dalam pluralisme sikap yang penting untuk diterapkan adalah tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan namun juga keterlibatan aktif dalam kemajemukan tersebut. Keterlibatan tersebut ditunjukkan melalui sikap interaktif secara positif dalam lingkungan yang majemuk, tidak melakukan klaim kepemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, dan sikap yang terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam kehidupan politik, pluralisme berarti adanya perguliran dalam kekuasaan.

Penyebaran kekuasaan juga berarti adanya otoritas secara luas yang terbagi dalam struktur-struktur kekuasaan diantara pejabat pemerintah, individu, dan kelompok-kelompok. Pluralisme juga menjadi fondasi yang kokoh bagi terciptanya demokrasi. Karakteristik pluralisme dalam demokrasi disyaratkan dengan kesempatan untuk berfikir secara bebas, adanya penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas, adanya konflik dan konsensus yang dapat diatur secara damai dan menghindari kekerasan, adanya partisipasi politik, serta adanya tingkat kepercayaan dan kepatuhan yang tinggi pada konstitusi dan kebijakan-kebijakan yang demokratis.

Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, Indonesia seringkali dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama ini juga telah melahirkan ragam konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gymnasium-nya di Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya kondisi pluralisme di Indonesia? Tulisan berikut akan mengelaborasi kondisi pluralisme di Indonesia berdasar hasil riset yang telah dilakukan oleh Demos dengan melibatkan para aktor demokrasi di 29 provinsi yang tersebar di Indonesia.

selanjutnya


Dari Pembangunanisme ke Penghormatan HAM
Sofian M Asgart

Dalam masa "jaya"-nya, jargon pembangunan seringkali menjadi "kata bertuah" tak terbantah yang mampu merubah banyak hal. Kesaktian idiom pembangunan memang diharapkan mampu menghadirkan solusi untuk setiap masalah, meskipun kenyataannya pembangunan seringkali juga menghadirkan sejumlah masalah untuk setiap solusi yang ditawarkannya.

Prestasi pembangunan yang kerapkali diagungkan ternyata bukan merupakan keberhasilan pembangunan itu sendiri. Idealisasi dan mistifikasi konsep dan paradigma pembangunan yang kemudian menjadi "pembangunanisme" itulah yang kemudian mengharuskan pembangunan "tidak boleh gagal". Dengan menggunakan segala cara, ambisi untuk menyukseskan pembangunan kemudian berubah menjadi ideologi yang tak boleh dibantah. Karena itulah agenda pembangunan menjadi semu dan kadangkala harus berhadapan dengan persoalan kemanusiaan yang hakiki.

Permasalahannya kemudian adalah bagaimana paradigma pembangunan diposisikan secara semestinya sehingga tidak berbenturan dengan penghormatan nilai-nilai kemanusiaan. Risalah kecil ini memang tidak berpretensi untuk menganalisis secara kritis mengenai perspektif hak asasi manusia (HAM) dalam wacana pembangunan secara simultan.

Uraian tulisan ini lebih merupakan elaborasi deskriptif mengenai pembangunan yang berwawasan HAM. Bagaimana latar historis konsepsi dan paradigma pembangunan? Mengapa HAM harus dijadikan acuan dalam agenda pembangunan? Bagaimana pula perspektif HAM diimplementasikan dalam konstelasi pembangunan di Indonesia?

Beberapa pertanyaan inilah yang akan dicoba untuk dijawab dan dideskripsikan dalam tulisan ini.

selanjutnya


Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi di Indonesia
AE Priyono

Pendahuluan
Isu mengenai keharusan demiliterisasi dan penegakan keadilan trasisional biasanya dikemukakan oleh para aktivis HAM sebagai prasyarat bagi demokratisasi di Indonesia. Argumen yang mendasari kedua isu itu sebenarnya berakar pada pandangan bahwa militer yang menjalankan pemerintahan represif di masa lalu menjadi aktor paling bertanggungjawab terhadap terjadinya kejahatan HAM dalam skala yang luas. Karena itu menjadi kewajiban pemerintah pasca Orde Baru untuk mengeliminasi peranan politik tentara, mengadili mereka yang bersalah, dan memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM. Dengan kata lain, demiliterisasi dan penegakan keadilan harus dilakukan secara bersamaan.

Diasumsikan secara umum bahwa ketika rezim-rezim militer otoritarian tumbang oleh gerakan perlawanan demokratis, akan terjadi peralihan radikal dari represi ke demokrasi. Tapi dalam suasana peralihan itu likuidasi sistem politik lama dan eksperimentasi keadilan restoratif tidak bisa dengan mudah dikerjakan. Projek demililiterisasi cum penegakan keadilan transisional senantiasa menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks dan seringkali mengidap berbagai komplikasi. Ini biasanya berkaitan dengan kompleksitas politik proses demokratisasi.

Tulisan ini akan melihat bagaimana pengalaman Indonesia menyangkut projek demiliterisasi dan skenario keadilan transisional sebagaimana yang dikerjakan oleh berbagai aktivis pro-demokrasi, khususnya yang bergerak di bidang advokasi HAM selama lima tahun terakhir, sejak 1999. Pertanyaan pokoknya adalah apakah demiliterisasi dan keadilan transisional merupakan projek yang sejalan dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia? Dengan cara bagaimana dan melalui strategi seperti apa kedua projek itu bisa menyumbangkan sesuatu yang produktif bagi pengembangan demokrasi substansial di Indonesia?

Dengan memaparkan berbagai pemikiran para aktivis yang menggarap isu-isu demiliterisasi dan penegakan keadilan transisional, tulisan ini akan meninjau argumentasi mereka khususnya yang bersifat strategis-implementatif, lalu kemudian mengkomparasikannya dengan masalah-masalah dan pilihan-pilihan yang dihadapi gerakan aktor pro-demokrasi sebagaimana yang dihasilkan melalui temuan-temuan riset Demos.

selanjutnya

Tidak ada komentar: