RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Sabtu, 18 Oktober 2008

Riwayat Warna - Subcomandante Marcos

RIWAYAT WARNA

Pak Tua Antonio menunjuk seekor kakatua yang terbang melintasi sore. ”Lihat,” katanya.Kulihat warna-warni menyala itu menentang latar kelabu badai yang
mengabarkan kedatangan dirinya. ”Mustahil rasanya begitu banyak warna datang dari cuma satu ekor burung,” kataku sambil menggapai puncak bukit. Pak Tua Antonio duduk di ceruk kecil yang bersih dari lumpur di jalur utama. Ia mengambil nafas sambil melinting rokok baru. Beberapa langkah ke depan, aku sadar ternyata ia masih tetap disitu. Aku kembali lalu duduk disampingnya. ”Menurutmu kita bakal sampai di kota
sebelum hujan?” tanyaku sambil menyalakan api. Pak Tua Antonio sepertinya tidak mendengar. Sekarang sekumpulan toucan menarik perhatiannya. Ditangannya, rokok menunggu nyala api melukis asap perlahan-lahan. Ia berdehem-dehem, menyalakan rokok dan duduk senyaman mungkin, lalu perlahan memulai.

”Kakatua tidak senantiasa seperti itu. Ia dulu hamper tak berwarna. Bulunya pendek-pendek, mirip ayam basah kuyup. Salah satu diantara begitu banyak burung yang
tak seorang pun tahu bagaimana mereka bisa sampai ke dunia, sebab para dewa pun tak tahu siapa yang mencipta mereka atau bagaimana mereka diciptakan. Ada begitu saja. Para dewa membangunkan malam dan berkata kepada siang ”cukup disini dulu”, maka orang-orang lelaki dan perempuan pun pergi tidur dan bercinta – cara yang indah untuk membuatmu capek agar pulas terlelap. Dewa-dewa ini berkelahi, dewa-dewa ini
selalu berkelahi sebab mereka itu para petarung, bukan seperti dewa-dewa pertama itu, tujuh dewa yang melahirkan dunia, yang paling mula. Para dewa berkelahi sebab dunia begitu membosankan cuma dengan dua warna yang melukisinya. Dan kemarahan dewa itu ada benarnya sebab Cuma ada dua warna di dunia: yang satu hitam yang merajai malam dan satunya lagi putih yang menjalani siang, dan yang ketiga sama sekali tidak
bisa disebut warna, kelabu yang melukisi petang dan subuh agar hitam dan putih tidak anjlok terlalu keras. Namun selain gemar berkelahi, dewa-dewa ini juga penuh pengetahuan. Dalam suatu rapat, mereka memutuskan untuk membuat warna lebih panjang agar berjalan dan bercinta jadi lebih menyenangkan bagi orang-orang
lelaki dan perempuan itu. Salah satu dewa ini mulai berjalan untuk bisa
merenungkan pikirannya dalam-dalam dan ia berpikir begitu keras sampai tidak melihat kemana langkahnya. Ia tersandung batu sebesar ini dan kepalanya terantuk lalu darahpun mengalir keluar dari sana. Dan dewa itu, setelah mengaduhaduh sesaaat, ,menatap darahnya dan melihat warna yang berbeda dari dua warna tadi, maka ia pun lari ke tempat dewa-dewa lainnya dan menunjukkan pada mereka warna baru itu dan mereka menamainya ”merah”, maka warna ketiga lahirlah. Kemudian, dewa yang lain lagi sedang mencari-cari warna untuk melukisi harapan. Ia menemukannya sebentar
kemudian, ia pergi dan menunjukkannya pada sidang para dewa, dan mereka namai warna ini ”hijau”, yang keempat. Yang lain lagi mulai mengais-ngais bumi begitu rupa. ”Kau sedang apa?” dewa-dewa lain bertanya padanya. ”Mencari jantung bumi,” jawabnya sambil melempar lumpur ke sembarang tempat. Tak lama kemudian ia temukan jantung bumi dan menunjukkannya pada para dewa-dewa lainnya, dan mereka namai warna kelima ini ”coklat”. Dewa yang lainnya pergi setinggi yang ia bisa. ”Aku ingin tahu warna dunia,” katanya, dan ia mendaki dan terus mendaki sampai jauh ke atas sana.
Saat tiba nun jauh disana , ia memandang kebawah dan melihat dunia, tapi ia tidak tahu bagaimana membawanya turun ke tempat para dewa, maka ia terus menatapnya sampai sekian lama, sampai ia buta, sebab kini warna dunialah yang menempel dimatanya. ”Kubawa warna dunia di mataku.,” dan mereka menyebut yang keenam itu ”biru”. Dewa yang lain sedang mencari-cari warna saat ia dengar seorang anak tertawa, dan dengan hati-hati ia pun mendekat. Ketika anak itu lengah ia curi senyumnya dan membuatnya menangis. Konon tiu sebabnya anak kecil bisa mendadak tertawa mendadak menangis.
Dewa itu membawa tawa anak itu dan mereka namai warna ketujuh itu ”kuning”. Sampai disitu para dewa kelelahan dan pergi makan pozol lalu tertidur. Mereka tinggalkan warna tadi dalam kotak kecil yang dilempar ke bawah pohon kapuk.

Tapi kotak kecil itu tidak tertutup rapat dan warna-waran pun menyebar keluar dengan riang gembira bermain-main dan bercinta, lalu warna-warna baru yang berbeda-beda bermunculan. Pohon kapuk itu melihatnya. Ia tudungi mereka semua agar hujan tidak melibas aneka warna tersebut. Dan ketika para dewa tiba disana yang ada bukan Cuma tujuh warna namaun banyak sekali, dan mereka memandang pohon kapuk itu lalu berucap, ”Kau lahirkan warna-warna, kau asuh bumi ini sehingga dari kepalamulah kami akan melukisi dunia”.

Mereka pun memanjat sampai ke pucuk pohon kapuk dan dari sana mereka melemparkan warna seenaknya saja. Biru mendarat sebagian di langit sebagian di laut, hijau menjatuhi bumi, dan kuning-yang dulunya tawa seorang anak-terbang jauh melukisi matahari. Merah mendarat di mulut oarang dan binatang dan mereka pun memakannya sampai segal sesuatu di dalam diri mereka berwarna merah. Hitam dan putih sudah ada di dunia.
Sungguh kacau balau waktu itu ketika para dewa melempar-lempar warna, , mereka bahkan tak melihat ke arah mana mereka lempar, dan beberapa warna terpercik di tubuh orang-orang dan itu sebabnya orang punya warna berbeda-beda dan pikiran berbeda-beda (suku, agama, ras juga kan. cat saya)

Sejenak kemudian para dewa itu lelah dan ingin kembali tidur. Dewa-dewa ini, yang bukan dewa-dewa pertama yang melahirkan dunia, Cuma ingin tidur. Maka, agar tidak lupa dan kehilangan warna-warna itu, mereka mencari cara menyimpannya. Dan saat mereka renungkan dalam hati bagaimana melakukannya, seketika itulah mereka lihat seekor kakaktua. Mereka renggut ia dan menaruh semua warna disana. Mereka buat bulu-bulunya lebih panjang agar semua warna bisa masuk. Begitulah mulanya kakatua mendapat warna dan seperti itulah ia jadinya, agar orang-orang lelaki dan perempuan tidak lupa bahwa ada banyak warna dan banyak pikiran di dunia ini, agar dunia gembira saat semua warna dan semua pikiran punya tempatnya sendiri-sendiri.

(dikutip dari Bayang Tak Berwajah, Ronny Augustinus, Insist 2003)

Jumlah nada musik tidak lebih dari lima, tetapi perubahan dari kelima nada itu tak pernah terbatas ketika didengarkan. Jumlah warna utama tidak lebih dari lima, tetapi perubahan-perubahan dari kelima warna itu tak pernah terbatas ketika dipandangi. Jumlah rasa utama tidak lebih dari lima, perubahan-perubahan dari kelima rasa itu tak pernah terbatas ketika dikecap.

(Maestro Pedang dan Kuas Musashi)

1 komentar:

sanur mengatakan...

saya adalah pengagum marcos..salam kenal su, zapatista, chiapas, lacadon, ....apalagi setelah baca buku katta adalah senjata