RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 04 September 2008

Kisah Seuntai Awan Kecil

Subcomandante Marcos
7 November 1997

Dalam Kata Adalah Senjata, suntingan Ronny Agustinus
(Resist Book 2005)

Alkisah, hiduplah sebuah awan yang sangat keil dan
sangat kesepian dan bisa berkeliaran jauh-jauh dari
awan-awan besar. Ia sangat kecil, nyaris tak sampai
seuntai. Dan manakala awan-awan besar menajdikan diri
mereka hujan untuk mengecat hijau pegunungan, si awan
kecil akan terbang mendekat untuk menawarkan jasanya.
Tapi mereka mengoloknya karena ia begitu kecil.

"Kau tak punya apa-apa buat diberikan", awan-awan
besar biasa memberitahunya. "Alangkah kecilnya
dirimu".

Mereka mengoloknya menjadi-jadi. Lantas, dengan sangat
sedih si awan kecil mencoba menyingkir ketempat lain
untuk menjadikan dirinya hujan, tapi kemanapun dia
pergi, awan-awan besar mendesaknya minggir. Maka si
awan kecil pergi lebih jauh lagi sampai ia tiba di
tempat yang sangat kering kerontang, saking keringnya
sampai tak satu pun dahan tumbuh, dan si awan
kecil berkata pada cerminnya (aku lupa memberitahumu
bahwa si awan kecil ini membawa-bawa cermin agar ia
bisa bicara dengan dirinya sendiri saat sedang
sendirian) :

"Ini lokasi sempurna untuk menjadikan diriku hujan
karena tak seorang pun pernah datang kemari."

Si awan kecil mengerahkan banyak upaya untuk
menjadikan dirinya hujan, dan akhirnya menelurkan satu
tetes kecil. Begitulah, si awan kacil lenyap dan
mengubah dirinya jadi setetes hujan kecil. Sedikit
demi sedikit, si awan kecil, yang kini tetes hujan
kecil, jatuh meluncur. Dalam segenap kesepiannya, ia
jatuh dan jatuh, tapi tak ada yang manantikannya di
bawah sana. Akhirnya, tetes hujan kecil itu menciprat
sendirian. Karena padang pasir itu begitu lengang, si
tetes hujan kecil menimbulkan kebisingan hebat waktu
menciprat tepat di atas batu. Ia membangunkan bumi
yang bertanya:

"Ribut-ribut apa itu?"
"Tetes hujan jatuh," kata batu.
"Tetes hujan? Artinya hujan bakal turun! Lekas!
Bangun! Hujan akan turun!" ia mengingatkan tetumbuhan
yang sembunyi di bawah tanah dari terik mentari.

Maka tumbuh-tumbuhan pun bangun dan mengintip, dan
untuk sesaat seisi padang pasir tersaput warna hijau,
dan awan-awan besar pun melihat hijau itu dari
kejauhan dan berkata:

"Lihat. Ada banyak hijau di sana. Ayo bikin hujan di
tempat itu. Kita tidak tahu disana bagitu hijau."

Maka pergilah mereka menjadikan dirinya hujan di
tempat yang dulunya padang pasir. Mereka curahkan
hujan dan hujan, dan tanaman pun tumbuh dan segala
sesuatu berubah hijau sekaligus.

"Mujur nian kita ada di sekitar sini," ucap awan-awan
besar. "Tanpa kita, tak bakal ada hijau."

Dan waktu itu, tak seorang pun teringat akan seuntai
awan kecil yang mengucurkan setetes hujan kecil yang
cipratannya membangunkan mereka yang tertidur.

Tak seorang pun ingat, tapi si batu menyimpan rahasia
awan kecil itu. Waktu berlalu, dan awan-awan besar
pertama itu pun lenyap dan tanaman-tanaman pertama itu
pun mati. Dan batu, yang tak pernah mati, memberitahu
tanaman-tanaman baru yang terlahir dan awan-awan baru
yang tiba kisah mengenai seuntai awan kecil yang
mengucurkan setetes hujan kecil.

Tidak ada komentar: