Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Rabu, 29 Oktober 2008
Kartun: Roh Demokrasi Liberal
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Warga Cina di Era Demokrasi Liberal : Empat Masa ’Persoalan Cina’
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Warga Cina di Era Demokrasi Liberal : Terusir dari Kampung Sendiri
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Warga Cina di Era Demokrasi Liberal : Peraturan yang Menggusur Tionghoa
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Nasution, Jalan Tengah, dan Politik Militer
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Nasionalisasi era 1950an : Berkah Kecil dari Shell
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Nasionalisasi di Era 1950an : Nasionalisasi Berakhir Buntung
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Cobra Menyerbu Istana (Kudeta Militer?)
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Empat Meriam Setelah Rinai Hujan (Kudeta Militer?)
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Demokrasi di Ujung Senapan (Ancaman Kudeta Militer?)
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Demokrasi dan Rule of Law, Pelajaran dari 1950-an
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Supremasi Hukum : Demi Martabar Peradilan
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Polemik Pembocoran Rahasia Negara : Kisah Asa Bafagih
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Sejarah Gerakan Anti-Korupsi : Tak Mempan Katabelece
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Hilangnya Otto Iskandar Di Nata : Misteri Si Jalak Harupat
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Sejarah Gerakan Anti Korupsi : Menjerat dengan Aturan Devisa
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Sejarah Gerakan Anti-Korupsi : Menghalau Korupsi di Awal Republik
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Sejarah Era Demokrasi Liberal : Menguji Kemandirian Mahkamah
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Tarikan Konstitusionalisme + Jebakan Tradisionalisme = RI
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Pergulatan Demokrasi Liberal : Pemberontakan Separuh Jalan
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Sejarah Demokrasi Liberal : Tersesat di Jalan yang Benar
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Sejarah Era Demokrasi Liberal : Panas di Sidang, Akrab di Luar
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Era Demokrasi Liberal : Nasi Uduk di Lapangan Kremlin
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Periode Demokrasi Liberal : Demokrasi Parlementer, Optimisme yang Terabaikan
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Masa Demokrasi Liberal : Pelajaran dari Dunia yang Hiruk-Pikuk
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Era Demokrasi Liberal : Lahirnya Sebuah Optimisme
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Menimbang Demokrasi Liberal
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Periode Demokrasi Liberal : Ada Revolusi di Bulan Agustus 1945
Judul artikel ini adalah bagian dari artikel-artikel sepenggal sejarah "Pergulatan Demokrasi Liberal", edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62. Silah kunjung untuk link artikel tersebut
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/pergulatan-demokrasi-liberal-sepenggal.html
semoga masih bermanfaat
Demokrasi Liberal tahun 1950-an adalah era paling kontroversial dalam perjalanan Republik Indonesia. Ada yang bilang ini sistem impor dari Barat dan bukan keinginan mayoritas rakyat. Banyak pula yang mengenangnya sebagai masa paling demokratis. Mahkamah Agung masih berwibawa. Jaksa dan hakim amat dihormati. Atas dasar apa Soekarno membubarkannya?
Edisi khusus Tempo menyambut ulang tahun Republik Indonesia yang ke-62 mencoba membaca ulang masa ini. Dilengkapi kolom-kolom khusus, kesaksian para pelaku sejarah, dokumen, memoar, serta catatan dari Indonesianis Ben Anderson dan Boyd R.Compton
(Majalah Tempo)
Label:
demokrasi liberal,
Sejarah Indonesia
Selasa, 21 Oktober 2008
E-Book anda : Fund Raising ala Media
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
E-Book Gratis,
Fund Raising,
PIRAC
E-Book Anda : Semua Bisa Seperti Jembrana: Kisah Sukses sebuah Kabupaten Meningkatkan Kesejahteraan Rakyatnya
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
E-Book Anda : Modul Pelatihan Peningkatan Kapasitas Radio Prima dan BMC
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
E-Book Anda : Media untuk Pengembangan Komunitas
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
E-Book Gratis,
Media,
pengembangan komunitas
E-Book Anda : Konflik dan Ide Jurnalisme Perdamaian
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
E-Book Gratis,
jurnalisme perdamaian,
Konflik SDA,
stanley
E-Book Anda : Propaganda, Kuasa, Dan Pengetahuan
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
E-Book Anda : HAK-HAK NORMATIF BURUH/PEKERJA DALAM TIGA PAKET UNDANG-UNDANG PERBURUHAN
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
E-Book Gratis,
Hak Normatif Buruh,
LBH,
UU Perburuhan
E-Book Anda : Pemberdayaan Hukum Bagi Masyarakat Miskin
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
Bantuan Hukum,
E-Book Gratis,
Masyarakat miskin,
ylbhi
E-Book Anda : Politik Gerakan Buruh di Asia Tenggara
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
Asia Tenggara,
Buruh,
E-Book Gratis,
Politik Gerakan,
Vedi R Hadiz
E-Book Anda : Modul Pelatihan Analisa Gender dan Anggaran Berkeadilan Gender
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
analisa gender,
Anggaran,
E-Book Gratis,
Modul,
pelatihan
E-Book Anda : Panduan Praktis Pemantauan Legislasi
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
E-Book Gratis,
hukum,
Legislasi,
panduan,
pemantauan
E-Book Anda : Pengujian Undang-Undang dan Proses Legislasi
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
E-Book Gratis,
Legislasi,
Uji UU
E-Book Anda : Mendagangkan Sekolah - Studi Kebijakan Manjemen Berbasis Sekolah (MBS) di DKI Jakarta
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda
Label:
E-Book Gratis,
komersialisasi,
pendidikan,
Sekolah
E-Book Anda : Eksaminasi Publik : Partisipasi Masyarakat Mengawasi Peradilan
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
E-Book Gratis,
eksaminasi,
Masyarakat,
Partisipasi,
Peradilan
E-Book Anda : Utang yang Memiskinkan : Studi Kasus Proyek Bank Dunia di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
bank dunia,
Nusa tenggara barat,
pemiskinan,
sulawesi tengah,
Utang
E-Book Anda Roadmap KPK 2007-2011 : Menuju Pemberantasan Korupsi yang Lebih Efektif
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
E-Book Gratis,
KPK,
Pemberantasan Korupsi,
Roadmap
E-Book Anda : BENIH PERUBAHAN DI ATAS FONDASI POLITIK YANG RAPUH (Studi tentang Politik Anggaran Daerah Kota Kendari, Sulawesi Tenggara) Anda
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
Anggaran,
E-Book Gratis,
kendari,
Politik,
Sulawesi Tenggara
E-Book Anda DAERAH BUDIMAN: Prakarsa dan Inovasi Lokal Membangun Kesejahteraan
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
E-Book Gratis,
inovasi,
lokal,
otonomi daerah,
prakarsa
E-Book Anda : PRO POOR BUDGETING: Politik Baru Reformasi Anggaran Daerah untuk Pengurangan Kemiskinan
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
Anggaran,
E-Book Gratis,
kemiskinan,
Pembangunan,
Pro-poor
E-Book Anda : Krisis Demokrasi Liberal
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
Demokrasi,
E-Book Gratis,
krisis,
liberal
E-Book Anda : NEOLIBERALISME MENGGOYANG AGAMA
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
Agama,
E-Book Gratis,
neoliberalisme
Senin, 20 Oktober 2008
E-Book Anda : Buku Seri Panduan Pemetaan Partisipatif
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
E-Book Gratis,
Kompas,
Pemetaan Partisipatif
E-Book Anda : INCO : RAHMAT ATAU PETAKA ?
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
E-Book Anda : PEREDARAN ILEGAL SENJATA API DI SULAWESI TENGAH
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
E-Book Anda : Belajar dari Sejarah Studi Gerakan Petani di Indonesia dan Amerika Selatan
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
E-Book Anda : Marmer, Migas, dan Militer Di Ketiak Sulawesi Timur
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
Bisnis Militer,
E-Book Gratis,
Konflik SDA,
Migas,
Sulawesi Timur
E-Book Anda : Agama dan Suku: Kepemilikan dan Penguasaan Usaha Pertanian Di Dataran Tinggi Sulawesi Tengah
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
Agama,
agraria,
Dataran Tinggi Sulawesi Tengah,
E-Book Gratis,
Suku
E-Book Anda : MEREKA BILANG DI SINI TIDAK ADA TUHAN; SUARA KORBAN TRAGEDI PRIOK
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
E-Book Gratis,
HAM,
Tragedi Priok
E-Book Anda : Ketika Moncong Senjata Ikut Berniaga
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
E-Book Bebas : Politik Militer Dalam Transisi Demokrasi Indonesia
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Label:
E-Book Gratis,
HAM,
Militer,
Transisi Demokrasi
E-Book : HAM Belum Jadi Etika Politik
Dapatkan link E-Book ini dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
E-Book Konvensi-Konvensi HAM Internasional
Dapatkan link Konvensi-konvensi berikut dan E-book lainnya di 75 E-Book Anda.
Deklarasi HAM
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Protokol Tambahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Protokol Tambahan Kedua Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Untuk Penghapusan Hukuman Mati
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Protokol Tambahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Konvensi Hak-Hak Anak
Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata
Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindak Penghilangan Secara Paksa
Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Orang Penyandang Cacat
Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa
Deklarasi HAM
Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya
Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Protokol Tambahan Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
Protokol Tambahan Kedua Kovenan Hak-Hak Sipil dan Politik, Untuk Penghapusan Hukuman Mati
Konvensi Internasional Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial
Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Protokol Tambahan Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan
Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Protokol Tambahan Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam,Tidak Manusiawi, dan Merendahkan Martabat Manusia
Konvensi Hak-Hak Anak
Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata
Protokol Tambahan Konvensi Hak-Hak Anak Tentang Tentang Perdagangan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Hak-Hak Semua Buruh Migran dan Anggota Keluarganya
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindak Penghilangan Secara Paksa
Konvensi Internasional Tentang Hak-Hak Orang Penyandang Cacat
Mahkamah Pidana Internasional (ICC)
Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Paksa
Sabtu, 18 Oktober 2008
Riwayat Warna - Subcomandante Marcos
RIWAYAT WARNA
Pak Tua Antonio menunjuk seekor kakatua yang terbang melintasi sore. ”Lihat,” katanya.Kulihat warna-warni menyala itu menentang latar kelabu badai yang
mengabarkan kedatangan dirinya. ”Mustahil rasanya begitu banyak warna datang dari cuma satu ekor burung,” kataku sambil menggapai puncak bukit. Pak Tua Antonio duduk di ceruk kecil yang bersih dari lumpur di jalur utama. Ia mengambil nafas sambil melinting rokok baru. Beberapa langkah ke depan, aku sadar ternyata ia masih tetap disitu. Aku kembali lalu duduk disampingnya. ”Menurutmu kita bakal sampai di kota
sebelum hujan?” tanyaku sambil menyalakan api. Pak Tua Antonio sepertinya tidak mendengar. Sekarang sekumpulan toucan menarik perhatiannya. Ditangannya, rokok menunggu nyala api melukis asap perlahan-lahan. Ia berdehem-dehem, menyalakan rokok dan duduk senyaman mungkin, lalu perlahan memulai.
”Kakatua tidak senantiasa seperti itu. Ia dulu hamper tak berwarna. Bulunya pendek-pendek, mirip ayam basah kuyup. Salah satu diantara begitu banyak burung yang
tak seorang pun tahu bagaimana mereka bisa sampai ke dunia, sebab para dewa pun tak tahu siapa yang mencipta mereka atau bagaimana mereka diciptakan. Ada begitu saja. Para dewa membangunkan malam dan berkata kepada siang ”cukup disini dulu”, maka orang-orang lelaki dan perempuan pun pergi tidur dan bercinta – cara yang indah untuk membuatmu capek agar pulas terlelap. Dewa-dewa ini berkelahi, dewa-dewa ini
selalu berkelahi sebab mereka itu para petarung, bukan seperti dewa-dewa pertama itu, tujuh dewa yang melahirkan dunia, yang paling mula. Para dewa berkelahi sebab dunia begitu membosankan cuma dengan dua warna yang melukisinya. Dan kemarahan dewa itu ada benarnya sebab Cuma ada dua warna di dunia: yang satu hitam yang merajai malam dan satunya lagi putih yang menjalani siang, dan yang ketiga sama sekali tidak
bisa disebut warna, kelabu yang melukisi petang dan subuh agar hitam dan putih tidak anjlok terlalu keras. Namun selain gemar berkelahi, dewa-dewa ini juga penuh pengetahuan. Dalam suatu rapat, mereka memutuskan untuk membuat warna lebih panjang agar berjalan dan bercinta jadi lebih menyenangkan bagi orang-orang
lelaki dan perempuan itu. Salah satu dewa ini mulai berjalan untuk bisa
merenungkan pikirannya dalam-dalam dan ia berpikir begitu keras sampai tidak melihat kemana langkahnya. Ia tersandung batu sebesar ini dan kepalanya terantuk lalu darahpun mengalir keluar dari sana. Dan dewa itu, setelah mengaduhaduh sesaaat, ,menatap darahnya dan melihat warna yang berbeda dari dua warna tadi, maka ia pun lari ke tempat dewa-dewa lainnya dan menunjukkan pada mereka warna baru itu dan mereka menamainya ”merah”, maka warna ketiga lahirlah. Kemudian, dewa yang lain lagi sedang mencari-cari warna untuk melukisi harapan. Ia menemukannya sebentar
kemudian, ia pergi dan menunjukkannya pada sidang para dewa, dan mereka namai warna ini ”hijau”, yang keempat. Yang lain lagi mulai mengais-ngais bumi begitu rupa. ”Kau sedang apa?” dewa-dewa lain bertanya padanya. ”Mencari jantung bumi,” jawabnya sambil melempar lumpur ke sembarang tempat. Tak lama kemudian ia temukan jantung bumi dan menunjukkannya pada para dewa-dewa lainnya, dan mereka namai warna kelima ini ”coklat”. Dewa yang lainnya pergi setinggi yang ia bisa. ”Aku ingin tahu warna dunia,” katanya, dan ia mendaki dan terus mendaki sampai jauh ke atas sana.
Saat tiba nun jauh disana , ia memandang kebawah dan melihat dunia, tapi ia tidak tahu bagaimana membawanya turun ke tempat para dewa, maka ia terus menatapnya sampai sekian lama, sampai ia buta, sebab kini warna dunialah yang menempel dimatanya. ”Kubawa warna dunia di mataku.,” dan mereka menyebut yang keenam itu ”biru”. Dewa yang lain sedang mencari-cari warna saat ia dengar seorang anak tertawa, dan dengan hati-hati ia pun mendekat. Ketika anak itu lengah ia curi senyumnya dan membuatnya menangis. Konon tiu sebabnya anak kecil bisa mendadak tertawa mendadak menangis.
Dewa itu membawa tawa anak itu dan mereka namai warna ketujuh itu ”kuning”. Sampai disitu para dewa kelelahan dan pergi makan pozol lalu tertidur. Mereka tinggalkan warna tadi dalam kotak kecil yang dilempar ke bawah pohon kapuk.
Tapi kotak kecil itu tidak tertutup rapat dan warna-waran pun menyebar keluar dengan riang gembira bermain-main dan bercinta, lalu warna-warna baru yang berbeda-beda bermunculan. Pohon kapuk itu melihatnya. Ia tudungi mereka semua agar hujan tidak melibas aneka warna tersebut. Dan ketika para dewa tiba disana yang ada bukan Cuma tujuh warna namaun banyak sekali, dan mereka memandang pohon kapuk itu lalu berucap, ”Kau lahirkan warna-warna, kau asuh bumi ini sehingga dari kepalamulah kami akan melukisi dunia”.
Mereka pun memanjat sampai ke pucuk pohon kapuk dan dari sana mereka melemparkan warna seenaknya saja. Biru mendarat sebagian di langit sebagian di laut, hijau menjatuhi bumi, dan kuning-yang dulunya tawa seorang anak-terbang jauh melukisi matahari. Merah mendarat di mulut oarang dan binatang dan mereka pun memakannya sampai segal sesuatu di dalam diri mereka berwarna merah. Hitam dan putih sudah ada di dunia.
Sungguh kacau balau waktu itu ketika para dewa melempar-lempar warna, , mereka bahkan tak melihat ke arah mana mereka lempar, dan beberapa warna terpercik di tubuh orang-orang dan itu sebabnya orang punya warna berbeda-beda dan pikiran berbeda-beda (suku, agama, ras juga kan. cat saya)
Sejenak kemudian para dewa itu lelah dan ingin kembali tidur. Dewa-dewa ini, yang bukan dewa-dewa pertama yang melahirkan dunia, Cuma ingin tidur. Maka, agar tidak lupa dan kehilangan warna-warna itu, mereka mencari cara menyimpannya. Dan saat mereka renungkan dalam hati bagaimana melakukannya, seketika itulah mereka lihat seekor kakaktua. Mereka renggut ia dan menaruh semua warna disana. Mereka buat bulu-bulunya lebih panjang agar semua warna bisa masuk. Begitulah mulanya kakatua mendapat warna dan seperti itulah ia jadinya, agar orang-orang lelaki dan perempuan tidak lupa bahwa ada banyak warna dan banyak pikiran di dunia ini, agar dunia gembira saat semua warna dan semua pikiran punya tempatnya sendiri-sendiri.
(dikutip dari Bayang Tak Berwajah, Ronny Augustinus, Insist 2003)
Jumlah nada musik tidak lebih dari lima, tetapi perubahan dari kelima nada itu tak pernah terbatas ketika didengarkan. Jumlah warna utama tidak lebih dari lima, tetapi perubahan-perubahan dari kelima warna itu tak pernah terbatas ketika dipandangi. Jumlah rasa utama tidak lebih dari lima, perubahan-perubahan dari kelima rasa itu tak pernah terbatas ketika dikecap.
(Maestro Pedang dan Kuas Musashi)
Pak Tua Antonio menunjuk seekor kakatua yang terbang melintasi sore. ”Lihat,” katanya.Kulihat warna-warni menyala itu menentang latar kelabu badai yang
mengabarkan kedatangan dirinya. ”Mustahil rasanya begitu banyak warna datang dari cuma satu ekor burung,” kataku sambil menggapai puncak bukit. Pak Tua Antonio duduk di ceruk kecil yang bersih dari lumpur di jalur utama. Ia mengambil nafas sambil melinting rokok baru. Beberapa langkah ke depan, aku sadar ternyata ia masih tetap disitu. Aku kembali lalu duduk disampingnya. ”Menurutmu kita bakal sampai di kota
sebelum hujan?” tanyaku sambil menyalakan api. Pak Tua Antonio sepertinya tidak mendengar. Sekarang sekumpulan toucan menarik perhatiannya. Ditangannya, rokok menunggu nyala api melukis asap perlahan-lahan. Ia berdehem-dehem, menyalakan rokok dan duduk senyaman mungkin, lalu perlahan memulai.
”Kakatua tidak senantiasa seperti itu. Ia dulu hamper tak berwarna. Bulunya pendek-pendek, mirip ayam basah kuyup. Salah satu diantara begitu banyak burung yang
tak seorang pun tahu bagaimana mereka bisa sampai ke dunia, sebab para dewa pun tak tahu siapa yang mencipta mereka atau bagaimana mereka diciptakan. Ada begitu saja. Para dewa membangunkan malam dan berkata kepada siang ”cukup disini dulu”, maka orang-orang lelaki dan perempuan pun pergi tidur dan bercinta – cara yang indah untuk membuatmu capek agar pulas terlelap. Dewa-dewa ini berkelahi, dewa-dewa ini
selalu berkelahi sebab mereka itu para petarung, bukan seperti dewa-dewa pertama itu, tujuh dewa yang melahirkan dunia, yang paling mula. Para dewa berkelahi sebab dunia begitu membosankan cuma dengan dua warna yang melukisinya. Dan kemarahan dewa itu ada benarnya sebab Cuma ada dua warna di dunia: yang satu hitam yang merajai malam dan satunya lagi putih yang menjalani siang, dan yang ketiga sama sekali tidak
bisa disebut warna, kelabu yang melukisi petang dan subuh agar hitam dan putih tidak anjlok terlalu keras. Namun selain gemar berkelahi, dewa-dewa ini juga penuh pengetahuan. Dalam suatu rapat, mereka memutuskan untuk membuat warna lebih panjang agar berjalan dan bercinta jadi lebih menyenangkan bagi orang-orang
lelaki dan perempuan itu. Salah satu dewa ini mulai berjalan untuk bisa
merenungkan pikirannya dalam-dalam dan ia berpikir begitu keras sampai tidak melihat kemana langkahnya. Ia tersandung batu sebesar ini dan kepalanya terantuk lalu darahpun mengalir keluar dari sana. Dan dewa itu, setelah mengaduhaduh sesaaat, ,menatap darahnya dan melihat warna yang berbeda dari dua warna tadi, maka ia pun lari ke tempat dewa-dewa lainnya dan menunjukkan pada mereka warna baru itu dan mereka menamainya ”merah”, maka warna ketiga lahirlah. Kemudian, dewa yang lain lagi sedang mencari-cari warna untuk melukisi harapan. Ia menemukannya sebentar
kemudian, ia pergi dan menunjukkannya pada sidang para dewa, dan mereka namai warna ini ”hijau”, yang keempat. Yang lain lagi mulai mengais-ngais bumi begitu rupa. ”Kau sedang apa?” dewa-dewa lain bertanya padanya. ”Mencari jantung bumi,” jawabnya sambil melempar lumpur ke sembarang tempat. Tak lama kemudian ia temukan jantung bumi dan menunjukkannya pada para dewa-dewa lainnya, dan mereka namai warna kelima ini ”coklat”. Dewa yang lainnya pergi setinggi yang ia bisa. ”Aku ingin tahu warna dunia,” katanya, dan ia mendaki dan terus mendaki sampai jauh ke atas sana.
Saat tiba nun jauh disana , ia memandang kebawah dan melihat dunia, tapi ia tidak tahu bagaimana membawanya turun ke tempat para dewa, maka ia terus menatapnya sampai sekian lama, sampai ia buta, sebab kini warna dunialah yang menempel dimatanya. ”Kubawa warna dunia di mataku.,” dan mereka menyebut yang keenam itu ”biru”. Dewa yang lain sedang mencari-cari warna saat ia dengar seorang anak tertawa, dan dengan hati-hati ia pun mendekat. Ketika anak itu lengah ia curi senyumnya dan membuatnya menangis. Konon tiu sebabnya anak kecil bisa mendadak tertawa mendadak menangis.
Dewa itu membawa tawa anak itu dan mereka namai warna ketujuh itu ”kuning”. Sampai disitu para dewa kelelahan dan pergi makan pozol lalu tertidur. Mereka tinggalkan warna tadi dalam kotak kecil yang dilempar ke bawah pohon kapuk.
Tapi kotak kecil itu tidak tertutup rapat dan warna-waran pun menyebar keluar dengan riang gembira bermain-main dan bercinta, lalu warna-warna baru yang berbeda-beda bermunculan. Pohon kapuk itu melihatnya. Ia tudungi mereka semua agar hujan tidak melibas aneka warna tersebut. Dan ketika para dewa tiba disana yang ada bukan Cuma tujuh warna namaun banyak sekali, dan mereka memandang pohon kapuk itu lalu berucap, ”Kau lahirkan warna-warna, kau asuh bumi ini sehingga dari kepalamulah kami akan melukisi dunia”.
Mereka pun memanjat sampai ke pucuk pohon kapuk dan dari sana mereka melemparkan warna seenaknya saja. Biru mendarat sebagian di langit sebagian di laut, hijau menjatuhi bumi, dan kuning-yang dulunya tawa seorang anak-terbang jauh melukisi matahari. Merah mendarat di mulut oarang dan binatang dan mereka pun memakannya sampai segal sesuatu di dalam diri mereka berwarna merah. Hitam dan putih sudah ada di dunia.
Sungguh kacau balau waktu itu ketika para dewa melempar-lempar warna, , mereka bahkan tak melihat ke arah mana mereka lempar, dan beberapa warna terpercik di tubuh orang-orang dan itu sebabnya orang punya warna berbeda-beda dan pikiran berbeda-beda (suku, agama, ras juga kan. cat saya)
Sejenak kemudian para dewa itu lelah dan ingin kembali tidur. Dewa-dewa ini, yang bukan dewa-dewa pertama yang melahirkan dunia, Cuma ingin tidur. Maka, agar tidak lupa dan kehilangan warna-warna itu, mereka mencari cara menyimpannya. Dan saat mereka renungkan dalam hati bagaimana melakukannya, seketika itulah mereka lihat seekor kakaktua. Mereka renggut ia dan menaruh semua warna disana. Mereka buat bulu-bulunya lebih panjang agar semua warna bisa masuk. Begitulah mulanya kakatua mendapat warna dan seperti itulah ia jadinya, agar orang-orang lelaki dan perempuan tidak lupa bahwa ada banyak warna dan banyak pikiran di dunia ini, agar dunia gembira saat semua warna dan semua pikiran punya tempatnya sendiri-sendiri.
(dikutip dari Bayang Tak Berwajah, Ronny Augustinus, Insist 2003)
Jumlah nada musik tidak lebih dari lima, tetapi perubahan dari kelima nada itu tak pernah terbatas ketika didengarkan. Jumlah warna utama tidak lebih dari lima, tetapi perubahan-perubahan dari kelima warna itu tak pernah terbatas ketika dipandangi. Jumlah rasa utama tidak lebih dari lima, perubahan-perubahan dari kelima rasa itu tak pernah terbatas ketika dikecap.
(Maestro Pedang dan Kuas Musashi)
Selasa, 14 Oktober 2008
Pemerintah Amerika Serikat : Kaisar Telanjang Pesuruh Korporasi (Bag 2)
Krisis Ekonomi Global (2)
It’s mentally sick, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)
(lanjutan gumaman Krisis Ekonomi Global : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datar. It’s the Capitalism, Stupid)
Di dalam perkara krisis keuangan global hari-hari ini……..
Tahukah anda dongeng tentang kaisar telanjang yang jadi ‘olok-olok’ anak-anak kecil yang polos dan lugu, “Kaisar telanjang, Kaisah telanjang, Kaisar kentir (gila)”. Sementara sebagian orang-orang dewasa sibuk memarahi dan membungkam anak-anak ini, sambil saling menipu diantara mereka dengan berlomba mengelu-elukan kaisar seolah berbusana sangat indah, mewah dan akan menciptakan trend mode adihulung. Sebagian lain tersenyum di dalam hati (kecian deh lu katanya) dan sebagian diam-diam mendukung anak-anak kecil itu. Konon orang-orang kepercayaan kaisar yang pandai menjilat sekaligus memanipulasi kaisar berseru-seru sambil mengancam, hanya orang-orang pintar dan bijaksana yang bisa melihat keindahan pakaian kaisar yang dirancang oleh desainer ternama yang lihai mengambil hati sekaligus menipu kaisar. Dan katanya hanya orang-orang bodoh saja yang tidak bisa melihat kehebatan pakaian kaisar.
selanjutnya
It’s mentally sick, stupid! (adaptasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)
(lanjutan gumaman Krisis Ekonomi Global : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datar. It’s the Capitalism, Stupid)
Di dalam perkara krisis keuangan global hari-hari ini……..
Tahukah anda dongeng tentang kaisar telanjang yang jadi ‘olok-olok’ anak-anak kecil yang polos dan lugu, “Kaisar telanjang, Kaisah telanjang, Kaisar kentir (gila)”. Sementara sebagian orang-orang dewasa sibuk memarahi dan membungkam anak-anak ini, sambil saling menipu diantara mereka dengan berlomba mengelu-elukan kaisar seolah berbusana sangat indah, mewah dan akan menciptakan trend mode adihulung. Sebagian lain tersenyum di dalam hati (kecian deh lu katanya) dan sebagian diam-diam mendukung anak-anak kecil itu. Konon orang-orang kepercayaan kaisar yang pandai menjilat sekaligus memanipulasi kaisar berseru-seru sambil mengancam, hanya orang-orang pintar dan bijaksana yang bisa melihat keindahan pakaian kaisar yang dirancang oleh desainer ternama yang lihai mengambil hati sekaligus menipu kaisar. Dan katanya hanya orang-orang bodoh saja yang tidak bisa melihat kehebatan pakaian kaisar.
selanjutnya
Label:
Kapitalisme,
krisisi-ekonomi,
neoliberalisme
Krisis Ekonomi Global (1) : Karl Marx di Aspal Jalan Dunia Datar (bag 1)
Di tingkat global setelah kisah krisis air, krisis iklim, krisis minyak, krisis pangan, kini krisis finansial naik panggung, Paradoksnya jalan krisis itu terus ditempuh. Masih saja mekanisme pasar dan korporasi dianggap solusi yang menjanjikan. Ironi abad ini, rasionalitas yang irasional. Rasionalitas yang paling tidak masuk akal.
It’s the capitalism, stupid! (adapatasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)
Rudolf Mrazek di dalam bukunya yang sangat mengesankan dan ajaib, Enginerss of Happy Land : Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (edisi Indonesia, Yayasan Obor Indonesia 2006) dan Thomas L Friedman “The World is Flat : Sejarah Ringkas Abad ke-21 (edisi Indonesia, Dian Rakyat 2006) bertemu dalam rujukan yang sama (dari banyak rujukan tentunya) untuk analisis dan argumentasinya. Rujukan itu adalah Manifesto Komunis yang ditulis oleh Karl Marx dan Engels.
selanjutnya
It’s the capitalism, stupid! (adapatasi dari frase politik yang populer digunakan Clinton ketika berkampanye melawan George Bush Senior, it’s the economic, stupid!)
Rudolf Mrazek di dalam bukunya yang sangat mengesankan dan ajaib, Enginerss of Happy Land : Perkembangan Teknologi dan Nasionalisme di sebuah Koloni (edisi Indonesia, Yayasan Obor Indonesia 2006) dan Thomas L Friedman “The World is Flat : Sejarah Ringkas Abad ke-21 (edisi Indonesia, Dian Rakyat 2006) bertemu dalam rujukan yang sama (dari banyak rujukan tentunya) untuk analisis dan argumentasinya. Rujukan itu adalah Manifesto Komunis yang ditulis oleh Karl Marx dan Engels.
selanjutnya
Label:
Kapitalisme,
krisisi-ekonomi,
neoliberalisme
Kamis, 09 Oktober 2008
E-Book Bermutu : Penanggulangan Kemiskian Melalui Pendidikan Berperspektif HAM
Kampanya Komnas HAM
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 1)
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 2)
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 3)
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 4)
silah tengok pula 75 E-BOOK lainya
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 1)
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 2)
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 3)
Kampanye Penanggulangan Kemiskinan Melalui Pendidikan yang Berperspektif HAM (Bag 4)
silah tengok pula 75 E-BOOK lainya
Label:
hak asasi manusia,
kemiskinan,
Komnas,
pendidikan
Link Artikel dan Laporan Studi DEMOS
Eksekutif Report
SATU DEKADE REFORMASI: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia
Eksekutif Report
DARI REPRESENTASI ELITIS MENUJU REPRESENTASI POPULAR
Kumpulan artikel
Green Politics dan Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Sofian M. Asgart
Gerakan "politik hijau" di Indonesia diawali dengan adanya kesadaran yang dipacu kondisi nasional kita dimana terjadi berbagai kerusakan lingkungan hidup akibat pembangunan yang terlalu berorientasi pertumbuhan dan strategi pembangunan yang eksploitatif sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, Emil Salim kerap mengkampanyekan model pembangunan alternatif. Paradigmanya bukan dengan membendung dan bersifat anti-pembangunan. Juga tidak dengan berbalik arah untuk hidup sangat sederhana secara subsisten, namun dengan melaksanakan pola pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development).
Menurutnya, hakekat pembangunan ke depan adalah mengupayakan keberlanjutan (sustainability) kehidupan. Untuk keberlanjutan kehidupan ini, pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.
Wacana mengenai pembangunan berkelanjutan di Indonesia timbul-tenggelam sejak tahun 1980-an. Diskursus ini bergulir sejalan dengan pasang-surutnya gerakan demokratisasi di tanah air. Tafsir negara mengenai pembangunan berkelanjutan sangat dominan seiring sentralisme Orde Baru yang mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1980-1990-an. Transisi demokrasi yang ditandai lahirnya semangat reformasi tahun 1998 turut mereposisi peta wacana pembangunan berkelanjutan. Fase ini memunculkan peran signifikan kalangan organisasi non-pemerintah (ornop) dan masyarakat sipil lainnya untuk turut merespon wacana pembangunan berkelanjutan dengan polemik yang lebih dinamik. Walhi, Kehati, Bina Desa, HUMA, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), merupakan ornop yang aktif mengkampanyekan green politics di tanah air dengan turut mewacanakan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu alternatifnya.
Risalah kecil ini ingin memotret perdebatan dan implementasi pembangunan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan ornop dengan mendasarkan pada sebagian temuan penelitian Demos yang relevan dengan isu pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu bentuk gerakan "politik hijau" di Indonesia
selanjutnya
Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia
Rita Olivia Tambunan
Dalam artikel ini akan dibahas pendapat mereka yang berasal dari organisasi kiri tentang masalah-masalah dan pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia pasca 1998. Pada mereka akan ditanyakan apa yang dianggap masalah utama dalam demokratisasi di Indonesia, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah itu, dan bagaimana melakukannya. Pendapat mereka tersebut akan didiskusikan berdasarkan hasil temuan riset Demos tentang "Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia" putaran pertama yang telah selesai dilakukan pada awal tahun 2004 (selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat sebagai riset Demos putaran I).
Untuk kepentingan penulisan artikel ini, organisasi kiri (left based organisation) akan diartikan sebagai organisasi yang cita-cita perjuangannya adalah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat dengan jalan menghapus penindasan terhadap rakyat serta melawan kediktatoran modal dan kekuasaan. Secara umum organisasi kiri adalah organisasi yang memperjuangkan nasib kaum terpinggir dalam sistem politik dan ekonomi seperti buruh, petani, kaum miskin kota. Organisasi kiri percaya bahwa pembangunan seharusnya ditujukan untuk kebaikan setiap orang, dan bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang saja. Ciri khas lain organisasi kiri adalah keyakinan pada jurang lebar antara dua kelas sosial dalam masyarakat (kelas pemilik modal dan kelas pekerja) sebagai salah satu sumber ketidakadilan sosial. Kelas pekerja diisi oleh mereka yang tidak memiliki akses terhadap modal dan alat produksi. Yang termasuk dalam kelas ini antara lain adalah buruh, tani, kaum miskin kota. Sebaliknya kelas pemodal adalah mereka yang menguasai modal dan alat produksi sehingga memiliki otoritas ekonomi yang jauh lebih besar, dan karena itu aksesnya pada kekuasaan politik jauh lebih besar, bahkan mendominasi, dibanding kelas pekerja. Organisasi kiri percaya bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial, maka perlu ada porsi kekuasaan ekonomi dan politik yang diambil alih oleh kaum proletar dengan menggunakan kekuatan gerakan massa. Karenanya, seringkali dalam dinamika politik Negara, organisasi kiri mengambil peran sebagai organisasi oposisi.
Dalam konteks sosial-politik Indonesia kini, jika menggunakan indikator tegas dan memperhatikan trauma politik-historis yang ditinggalkan oleh era Orde Baru, agak sulit untuk menentukan masih ada/tidaknya keberadaan organisasi kiri. Tetapi dengan menggunakan rumusan tersebut di atas, paling tidak dapat diidentifikasi beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai organisasi kiri di Indonesia saat ini.
selanjutnya
Quo Vadis Perempuan dalam Politik?
Debbie Prabawati
Latar Belakang
Pada prinsipnya semua orang setuju bahwa bentuk pemerintahan yang demokratis merupakan bentuk yang paling ideal dan didambakan oleh rakyat. Kata demokrasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dengan kata lain, rakyatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam proses pemerintahan. Para pemimpin merupakan pemegang mandat yang harus tunduk kepada suara rakyat melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam kursi kepemimpinan.
Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam peri kehidupannya menghargai hak asasi manusia secara adil dan setara, mengakui dan memajukan akan kebebasan. Dalam penghargaan terhadap hak yang adil dan setara tersebut tercermin adanya penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Hal ini juga mencakup adanya jaminan partisipasi politik bagi semua warga. Partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang kompleks dan menantang, khususnya bagi sektor-sektor masyarakat yang secara tradisional terpinggirkan. Perempuan mewakili salah satu kelompok yang dirugikan sebagai akibat dari peran-peran yang diterjemahkan secara sosial dan budaya dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah-ranah produktif, reproduktif dan politik.
Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif mereka lebih banyak tetapi hal ini tidak berarti ada jaminan terhadap hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi politik semata-mata karena mereka adalah perempuan. Inilah yang disebut sebagai diskriminasi berbasis gender.
Partisipasi politik perempuan merupakan salah satu prasyarat terlaksananya demokrasi. Karena tidak ada demokrasi yang sesungguhnya jika masih terdapat pengingkaran kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sehingga berakibat tersingkirnya perempuan dari gelanggang politik. Kehidupan demokrasi yang sejati adalah kehidupan dimana semua anggota masyarakat mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan didengar. Peran politik sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan. Sementara melalui kebijakan, hukum dapat berlaku melindungi kepentingan kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan baik domestik maupun publik. Seperti yang diungkapkan oleh Ery Seda tentang politik, bahwa politik seharusnya memikirkan kepentingan masyarakat umum dimana demokrasi sebagai sarana, bukan sebagai arena pencapaian uang dan kekuasaan.
selanjutnya
LIBERALISASI PASAR UNTUK DEMOKRATISASI
Antonio Pradjasto
Pada 1998 pemerintahan otoriter Soeharto jatuh dari kekuasaan. Berbagai aspirasi
diajukan untuk menghadapi otoritarianism. Salah satunya adalah mendorong liberalisasi
pasar dan privatisasi. Pendekatan ini mengedepankan pencabutan peran Negara dalam
berbagai kehidupan khususnya kehidupan ekonomi untuk merubah pola kronism antara
Negara dan bisnis sebagai cara untuk mendorong demokratisasi. Dengan berbagai variasi,
pendekatan ini telah diterapkan di Indonesia. Hal ini bisa ditemukan pada Letter of Intent
and Memorandum of Economic and Financial Policies yang didesakan oleh IMF, pada
saat amandemen UUD 1945, hingga amandeman dan penetapan berbagai peraturan baru
yang mendukung privatisasi, deregulasi dan perdagangan bebas, serta investasi.1
Uraian berikut mau memetakan bagaimana gagasan tersebut melihat penghambat dan
strategi demokratisasi di Indonesia. Kemudian membandingkannya dengan respon
informan penelitian, yang telah lama bekerja untuk proses demokrasi. Belajar dari respon
informan tulisan ini mencoba melihat sejauh mana [ekonomi] pasar dapat mendorong
demokratisasi.
selanjutnya
Membingkai Pluralisme dalam Demokrasi: Masalah dan Kendala yang Dihadapi di Indonesia
Syafa'atun Karyadi
KATA plural bermakna "jamak dan beragam". Pluralisme merupakan suatu kondisi dimana segala ragam corak dan warna terhimpun dengan segala perbedaan yang ada. Kondisi perbedaan yang ada ini bukan ingin dilebur menjadi satu ragam baru melainkan justru dibiarkan untuk memperkaya dinamika ragam yang ada. Dalam kehidupan beragama, pluralisme merupakan keyakinan bahwa kebenaran terdapat dalam berbagai agama. Tidak ada kebenaran tunggal. Para penganut paham ini mengakui dan menghargai perbedaan yang ada dan bersama-sama berupaya menjalin kerjasama. Sebagaimana pernah diisyaratkan oleh Alwi Shihab bahwa dalam pluralisme sikap yang penting untuk diterapkan adalah tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan namun juga keterlibatan aktif dalam kemajemukan tersebut. Keterlibatan tersebut ditunjukkan melalui sikap interaktif secara positif dalam lingkungan yang majemuk, tidak melakukan klaim kepemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, dan sikap yang terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam kehidupan politik, pluralisme berarti adanya perguliran dalam kekuasaan.
Penyebaran kekuasaan juga berarti adanya otoritas secara luas yang terbagi dalam struktur-struktur kekuasaan diantara pejabat pemerintah, individu, dan kelompok-kelompok. Pluralisme juga menjadi fondasi yang kokoh bagi terciptanya demokrasi. Karakteristik pluralisme dalam demokrasi disyaratkan dengan kesempatan untuk berfikir secara bebas, adanya penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas, adanya konflik dan konsensus yang dapat diatur secara damai dan menghindari kekerasan, adanya partisipasi politik, serta adanya tingkat kepercayaan dan kepatuhan yang tinggi pada konstitusi dan kebijakan-kebijakan yang demokratis.
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, Indonesia seringkali dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama ini juga telah melahirkan ragam konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gymnasium-nya di Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya kondisi pluralisme di Indonesia? Tulisan berikut akan mengelaborasi kondisi pluralisme di Indonesia berdasar hasil riset yang telah dilakukan oleh Demos dengan melibatkan para aktor demokrasi di 29 provinsi yang tersebar di Indonesia.
selanjutnya
Dari Pembangunanisme ke Penghormatan HAM
Sofian M Asgart
Dalam masa "jaya"-nya, jargon pembangunan seringkali menjadi "kata bertuah" tak terbantah yang mampu merubah banyak hal. Kesaktian idiom pembangunan memang diharapkan mampu menghadirkan solusi untuk setiap masalah, meskipun kenyataannya pembangunan seringkali juga menghadirkan sejumlah masalah untuk setiap solusi yang ditawarkannya.
Prestasi pembangunan yang kerapkali diagungkan ternyata bukan merupakan keberhasilan pembangunan itu sendiri. Idealisasi dan mistifikasi konsep dan paradigma pembangunan yang kemudian menjadi "pembangunanisme" itulah yang kemudian mengharuskan pembangunan "tidak boleh gagal". Dengan menggunakan segala cara, ambisi untuk menyukseskan pembangunan kemudian berubah menjadi ideologi yang tak boleh dibantah. Karena itulah agenda pembangunan menjadi semu dan kadangkala harus berhadapan dengan persoalan kemanusiaan yang hakiki.
Permasalahannya kemudian adalah bagaimana paradigma pembangunan diposisikan secara semestinya sehingga tidak berbenturan dengan penghormatan nilai-nilai kemanusiaan. Risalah kecil ini memang tidak berpretensi untuk menganalisis secara kritis mengenai perspektif hak asasi manusia (HAM) dalam wacana pembangunan secara simultan.
Uraian tulisan ini lebih merupakan elaborasi deskriptif mengenai pembangunan yang berwawasan HAM. Bagaimana latar historis konsepsi dan paradigma pembangunan? Mengapa HAM harus dijadikan acuan dalam agenda pembangunan? Bagaimana pula perspektif HAM diimplementasikan dalam konstelasi pembangunan di Indonesia?
Beberapa pertanyaan inilah yang akan dicoba untuk dijawab dan dideskripsikan dalam tulisan ini.
selanjutnya
Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi di Indonesia
AE Priyono
Pendahuluan
Isu mengenai keharusan demiliterisasi dan penegakan keadilan trasisional biasanya dikemukakan oleh para aktivis HAM sebagai prasyarat bagi demokratisasi di Indonesia. Argumen yang mendasari kedua isu itu sebenarnya berakar pada pandangan bahwa militer yang menjalankan pemerintahan represif di masa lalu menjadi aktor paling bertanggungjawab terhadap terjadinya kejahatan HAM dalam skala yang luas. Karena itu menjadi kewajiban pemerintah pasca Orde Baru untuk mengeliminasi peranan politik tentara, mengadili mereka yang bersalah, dan memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM. Dengan kata lain, demiliterisasi dan penegakan keadilan harus dilakukan secara bersamaan.
Diasumsikan secara umum bahwa ketika rezim-rezim militer otoritarian tumbang oleh gerakan perlawanan demokratis, akan terjadi peralihan radikal dari represi ke demokrasi. Tapi dalam suasana peralihan itu likuidasi sistem politik lama dan eksperimentasi keadilan restoratif tidak bisa dengan mudah dikerjakan. Projek demililiterisasi cum penegakan keadilan transisional senantiasa menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks dan seringkali mengidap berbagai komplikasi. Ini biasanya berkaitan dengan kompleksitas politik proses demokratisasi.
Tulisan ini akan melihat bagaimana pengalaman Indonesia menyangkut projek demiliterisasi dan skenario keadilan transisional sebagaimana yang dikerjakan oleh berbagai aktivis pro-demokrasi, khususnya yang bergerak di bidang advokasi HAM selama lima tahun terakhir, sejak 1999. Pertanyaan pokoknya adalah apakah demiliterisasi dan keadilan transisional merupakan projek yang sejalan dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia? Dengan cara bagaimana dan melalui strategi seperti apa kedua projek itu bisa menyumbangkan sesuatu yang produktif bagi pengembangan demokrasi substansial di Indonesia?
Dengan memaparkan berbagai pemikiran para aktivis yang menggarap isu-isu demiliterisasi dan penegakan keadilan transisional, tulisan ini akan meninjau argumentasi mereka khususnya yang bersifat strategis-implementatif, lalu kemudian mengkomparasikannya dengan masalah-masalah dan pilihan-pilihan yang dihadapi gerakan aktor pro-demokrasi sebagaimana yang dihasilkan melalui temuan-temuan riset Demos.
selanjutnya
SATU DEKADE REFORMASI: Maju dan Mundurnya Demokrasi di Indonesia
Eksekutif Report
DARI REPRESENTASI ELITIS MENUJU REPRESENTASI POPULAR
Kumpulan artikel
Green Politics dan Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Sofian M. Asgart
Gerakan "politik hijau" di Indonesia diawali dengan adanya kesadaran yang dipacu kondisi nasional kita dimana terjadi berbagai kerusakan lingkungan hidup akibat pembangunan yang terlalu berorientasi pertumbuhan dan strategi pembangunan yang eksploitatif sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, Emil Salim kerap mengkampanyekan model pembangunan alternatif. Paradigmanya bukan dengan membendung dan bersifat anti-pembangunan. Juga tidak dengan berbalik arah untuk hidup sangat sederhana secara subsisten, namun dengan melaksanakan pola pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development).
Menurutnya, hakekat pembangunan ke depan adalah mengupayakan keberlanjutan (sustainability) kehidupan. Untuk keberlanjutan kehidupan ini, pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.
Wacana mengenai pembangunan berkelanjutan di Indonesia timbul-tenggelam sejak tahun 1980-an. Diskursus ini bergulir sejalan dengan pasang-surutnya gerakan demokratisasi di tanah air. Tafsir negara mengenai pembangunan berkelanjutan sangat dominan seiring sentralisme Orde Baru yang mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1980-1990-an. Transisi demokrasi yang ditandai lahirnya semangat reformasi tahun 1998 turut mereposisi peta wacana pembangunan berkelanjutan. Fase ini memunculkan peran signifikan kalangan organisasi non-pemerintah (ornop) dan masyarakat sipil lainnya untuk turut merespon wacana pembangunan berkelanjutan dengan polemik yang lebih dinamik. Walhi, Kehati, Bina Desa, HUMA, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), merupakan ornop yang aktif mengkampanyekan green politics di tanah air dengan turut mewacanakan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu alternatifnya.
Risalah kecil ini ingin memotret perdebatan dan implementasi pembangunan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan ornop dengan mendasarkan pada sebagian temuan penelitian Demos yang relevan dengan isu pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu bentuk gerakan "politik hijau" di Indonesia
selanjutnya
Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia
Rita Olivia Tambunan
Dalam artikel ini akan dibahas pendapat mereka yang berasal dari organisasi kiri tentang masalah-masalah dan pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia pasca 1998. Pada mereka akan ditanyakan apa yang dianggap masalah utama dalam demokratisasi di Indonesia, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah itu, dan bagaimana melakukannya. Pendapat mereka tersebut akan didiskusikan berdasarkan hasil temuan riset Demos tentang "Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia" putaran pertama yang telah selesai dilakukan pada awal tahun 2004 (selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat sebagai riset Demos putaran I).
Untuk kepentingan penulisan artikel ini, organisasi kiri (left based organisation) akan diartikan sebagai organisasi yang cita-cita perjuangannya adalah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat dengan jalan menghapus penindasan terhadap rakyat serta melawan kediktatoran modal dan kekuasaan. Secara umum organisasi kiri adalah organisasi yang memperjuangkan nasib kaum terpinggir dalam sistem politik dan ekonomi seperti buruh, petani, kaum miskin kota. Organisasi kiri percaya bahwa pembangunan seharusnya ditujukan untuk kebaikan setiap orang, dan bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang saja. Ciri khas lain organisasi kiri adalah keyakinan pada jurang lebar antara dua kelas sosial dalam masyarakat (kelas pemilik modal dan kelas pekerja) sebagai salah satu sumber ketidakadilan sosial. Kelas pekerja diisi oleh mereka yang tidak memiliki akses terhadap modal dan alat produksi. Yang termasuk dalam kelas ini antara lain adalah buruh, tani, kaum miskin kota. Sebaliknya kelas pemodal adalah mereka yang menguasai modal dan alat produksi sehingga memiliki otoritas ekonomi yang jauh lebih besar, dan karena itu aksesnya pada kekuasaan politik jauh lebih besar, bahkan mendominasi, dibanding kelas pekerja. Organisasi kiri percaya bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial, maka perlu ada porsi kekuasaan ekonomi dan politik yang diambil alih oleh kaum proletar dengan menggunakan kekuatan gerakan massa. Karenanya, seringkali dalam dinamika politik Negara, organisasi kiri mengambil peran sebagai organisasi oposisi.
Dalam konteks sosial-politik Indonesia kini, jika menggunakan indikator tegas dan memperhatikan trauma politik-historis yang ditinggalkan oleh era Orde Baru, agak sulit untuk menentukan masih ada/tidaknya keberadaan organisasi kiri. Tetapi dengan menggunakan rumusan tersebut di atas, paling tidak dapat diidentifikasi beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai organisasi kiri di Indonesia saat ini.
selanjutnya
Quo Vadis Perempuan dalam Politik?
Debbie Prabawati
Latar Belakang
Pada prinsipnya semua orang setuju bahwa bentuk pemerintahan yang demokratis merupakan bentuk yang paling ideal dan didambakan oleh rakyat. Kata demokrasi sendiri dapat diartikan sebagai sebuah pemerintahan dari, oleh dan untuk rakyat. Dengan kata lain, rakyatlah yang memegang wewenang tertinggi dalam proses pemerintahan. Para pemimpin merupakan pemegang mandat yang harus tunduk kepada suara rakyat melalui wakil-wakil mereka yang duduk dalam kursi kepemimpinan.
Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam peri kehidupannya menghargai hak asasi manusia secara adil dan setara, mengakui dan memajukan akan kebebasan. Dalam penghargaan terhadap hak yang adil dan setara tersebut tercermin adanya penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Hal ini juga mencakup adanya jaminan partisipasi politik bagi semua warga. Partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang kompleks dan menantang, khususnya bagi sektor-sektor masyarakat yang secara tradisional terpinggirkan. Perempuan mewakili salah satu kelompok yang dirugikan sebagai akibat dari peran-peran yang diterjemahkan secara sosial dan budaya dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam ranah-ranah produktif, reproduktif dan politik.
Perempuan sebagai salah satu kelompok minoritas sampai saat ini masih berada dalam posisi subordinat dibanding laki-laki. Meskipun secara kuantitatif mereka lebih banyak tetapi hal ini tidak berarti ada jaminan terhadap hak-hak mereka. Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Hal ini menempatkan posisi perempuan semakin termarginalkan, terutama dalam partisipasi politik semata-mata karena mereka adalah perempuan. Inilah yang disebut sebagai diskriminasi berbasis gender.
Partisipasi politik perempuan merupakan salah satu prasyarat terlaksananya demokrasi. Karena tidak ada demokrasi yang sesungguhnya jika masih terdapat pengingkaran kesetaraan antara laki-laki dan perempuan sehingga berakibat tersingkirnya perempuan dari gelanggang politik. Kehidupan demokrasi yang sejati adalah kehidupan dimana semua anggota masyarakat mendapat kesempatan yang sama untuk bersuara dan didengar. Peran politik sangat penting untuk mendorong kebijakan yang berkeadilan sosial, terutama yang berkaitan dengan kehidupan perempuan. Sementara melalui kebijakan, hukum dapat berlaku melindungi kepentingan kaum perempuan dari berbagai bentuk kekerasan baik domestik maupun publik. Seperti yang diungkapkan oleh Ery Seda tentang politik, bahwa politik seharusnya memikirkan kepentingan masyarakat umum dimana demokrasi sebagai sarana, bukan sebagai arena pencapaian uang dan kekuasaan.
selanjutnya
LIBERALISASI PASAR UNTUK DEMOKRATISASI
Antonio Pradjasto
Pada 1998 pemerintahan otoriter Soeharto jatuh dari kekuasaan. Berbagai aspirasi
diajukan untuk menghadapi otoritarianism. Salah satunya adalah mendorong liberalisasi
pasar dan privatisasi. Pendekatan ini mengedepankan pencabutan peran Negara dalam
berbagai kehidupan khususnya kehidupan ekonomi untuk merubah pola kronism antara
Negara dan bisnis sebagai cara untuk mendorong demokratisasi. Dengan berbagai variasi,
pendekatan ini telah diterapkan di Indonesia. Hal ini bisa ditemukan pada Letter of Intent
and Memorandum of Economic and Financial Policies yang didesakan oleh IMF, pada
saat amandemen UUD 1945, hingga amandeman dan penetapan berbagai peraturan baru
yang mendukung privatisasi, deregulasi dan perdagangan bebas, serta investasi.1
Uraian berikut mau memetakan bagaimana gagasan tersebut melihat penghambat dan
strategi demokratisasi di Indonesia. Kemudian membandingkannya dengan respon
informan penelitian, yang telah lama bekerja untuk proses demokrasi. Belajar dari respon
informan tulisan ini mencoba melihat sejauh mana [ekonomi] pasar dapat mendorong
demokratisasi.
selanjutnya
Membingkai Pluralisme dalam Demokrasi: Masalah dan Kendala yang Dihadapi di Indonesia
Syafa'atun Karyadi
KATA plural bermakna "jamak dan beragam". Pluralisme merupakan suatu kondisi dimana segala ragam corak dan warna terhimpun dengan segala perbedaan yang ada. Kondisi perbedaan yang ada ini bukan ingin dilebur menjadi satu ragam baru melainkan justru dibiarkan untuk memperkaya dinamika ragam yang ada. Dalam kehidupan beragama, pluralisme merupakan keyakinan bahwa kebenaran terdapat dalam berbagai agama. Tidak ada kebenaran tunggal. Para penganut paham ini mengakui dan menghargai perbedaan yang ada dan bersama-sama berupaya menjalin kerjasama. Sebagaimana pernah diisyaratkan oleh Alwi Shihab bahwa dalam pluralisme sikap yang penting untuk diterapkan adalah tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan namun juga keterlibatan aktif dalam kemajemukan tersebut. Keterlibatan tersebut ditunjukkan melalui sikap interaktif secara positif dalam lingkungan yang majemuk, tidak melakukan klaim kepemilikan tunggal (monopoli) atas suatu kebenaran, dan sikap yang terbuka terhadap perbedaan-perbedaan yang ada. Dalam kehidupan politik, pluralisme berarti adanya perguliran dalam kekuasaan.
Penyebaran kekuasaan juga berarti adanya otoritas secara luas yang terbagi dalam struktur-struktur kekuasaan diantara pejabat pemerintah, individu, dan kelompok-kelompok. Pluralisme juga menjadi fondasi yang kokoh bagi terciptanya demokrasi. Karakteristik pluralisme dalam demokrasi disyaratkan dengan kesempatan untuk berfikir secara bebas, adanya penghargaan terhadap kelompok-kelompok minoritas, adanya konflik dan konsensus yang dapat diatur secara damai dan menghindari kekerasan, adanya partisipasi politik, serta adanya tingkat kepercayaan dan kepatuhan yang tinggi pada konstitusi dan kebijakan-kebijakan yang demokratis.
Sebagai bangsa yang memiliki keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, Indonesia seringkali dijadikan ajang pemantauan bagaimana proses-proses demokrasi dapat dilangsungkan. Persentuhan ragam budaya dan agama antar kelompok masyarakatnya yang telah berlangsung sejak lama ini juga telah melahirkan ragam konflik dan konsensus yang terjadi. Demokrasi yang oleh Robert Dahl juga disyaratkan dengan terciptanya karakteristik pluralisme yang kondusif bagi sebuah negara ini mendapatkan gymnasium-nya di Indonesia. Lalu bagaimana sesungguhnya kondisi pluralisme di Indonesia? Tulisan berikut akan mengelaborasi kondisi pluralisme di Indonesia berdasar hasil riset yang telah dilakukan oleh Demos dengan melibatkan para aktor demokrasi di 29 provinsi yang tersebar di Indonesia.
selanjutnya
Dari Pembangunanisme ke Penghormatan HAM
Sofian M Asgart
Dalam masa "jaya"-nya, jargon pembangunan seringkali menjadi "kata bertuah" tak terbantah yang mampu merubah banyak hal. Kesaktian idiom pembangunan memang diharapkan mampu menghadirkan solusi untuk setiap masalah, meskipun kenyataannya pembangunan seringkali juga menghadirkan sejumlah masalah untuk setiap solusi yang ditawarkannya.
Prestasi pembangunan yang kerapkali diagungkan ternyata bukan merupakan keberhasilan pembangunan itu sendiri. Idealisasi dan mistifikasi konsep dan paradigma pembangunan yang kemudian menjadi "pembangunanisme" itulah yang kemudian mengharuskan pembangunan "tidak boleh gagal". Dengan menggunakan segala cara, ambisi untuk menyukseskan pembangunan kemudian berubah menjadi ideologi yang tak boleh dibantah. Karena itulah agenda pembangunan menjadi semu dan kadangkala harus berhadapan dengan persoalan kemanusiaan yang hakiki.
Permasalahannya kemudian adalah bagaimana paradigma pembangunan diposisikan secara semestinya sehingga tidak berbenturan dengan penghormatan nilai-nilai kemanusiaan. Risalah kecil ini memang tidak berpretensi untuk menganalisis secara kritis mengenai perspektif hak asasi manusia (HAM) dalam wacana pembangunan secara simultan.
Uraian tulisan ini lebih merupakan elaborasi deskriptif mengenai pembangunan yang berwawasan HAM. Bagaimana latar historis konsepsi dan paradigma pembangunan? Mengapa HAM harus dijadikan acuan dalam agenda pembangunan? Bagaimana pula perspektif HAM diimplementasikan dalam konstelasi pembangunan di Indonesia?
Beberapa pertanyaan inilah yang akan dicoba untuk dijawab dan dideskripsikan dalam tulisan ini.
selanjutnya
Demiliterisasi dan Keadilan Transisional dalam Proses Demokratisasi di Indonesia
AE Priyono
Pendahuluan
Isu mengenai keharusan demiliterisasi dan penegakan keadilan trasisional biasanya dikemukakan oleh para aktivis HAM sebagai prasyarat bagi demokratisasi di Indonesia. Argumen yang mendasari kedua isu itu sebenarnya berakar pada pandangan bahwa militer yang menjalankan pemerintahan represif di masa lalu menjadi aktor paling bertanggungjawab terhadap terjadinya kejahatan HAM dalam skala yang luas. Karena itu menjadi kewajiban pemerintah pasca Orde Baru untuk mengeliminasi peranan politik tentara, mengadili mereka yang bersalah, dan memulihkan hak-hak para korban pelanggaran HAM. Dengan kata lain, demiliterisasi dan penegakan keadilan harus dilakukan secara bersamaan.
Diasumsikan secara umum bahwa ketika rezim-rezim militer otoritarian tumbang oleh gerakan perlawanan demokratis, akan terjadi peralihan radikal dari represi ke demokrasi. Tapi dalam suasana peralihan itu likuidasi sistem politik lama dan eksperimentasi keadilan restoratif tidak bisa dengan mudah dikerjakan. Projek demililiterisasi cum penegakan keadilan transisional senantiasa menghadapi persoalan-persoalan yang kompleks dan seringkali mengidap berbagai komplikasi. Ini biasanya berkaitan dengan kompleksitas politik proses demokratisasi.
Tulisan ini akan melihat bagaimana pengalaman Indonesia menyangkut projek demiliterisasi dan skenario keadilan transisional sebagaimana yang dikerjakan oleh berbagai aktivis pro-demokrasi, khususnya yang bergerak di bidang advokasi HAM selama lima tahun terakhir, sejak 1999. Pertanyaan pokoknya adalah apakah demiliterisasi dan keadilan transisional merupakan projek yang sejalan dengan proses konsolidasi demokrasi di Indonesia? Dengan cara bagaimana dan melalui strategi seperti apa kedua projek itu bisa menyumbangkan sesuatu yang produktif bagi pengembangan demokrasi substansial di Indonesia?
Dengan memaparkan berbagai pemikiran para aktivis yang menggarap isu-isu demiliterisasi dan penegakan keadilan transisional, tulisan ini akan meninjau argumentasi mereka khususnya yang bersifat strategis-implementatif, lalu kemudian mengkomparasikannya dengan masalah-masalah dan pilihan-pilihan yang dihadapi gerakan aktor pro-demokrasi sebagaimana yang dihasilkan melalui temuan-temuan riset Demos.
selanjutnya
Label:
blok politik,
Demokrasi,
hak asasi manusia
Senin, 06 Oktober 2008
Perempuan berkiprah di ”dunia laki-laki”
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Dalam Jebakan Sistem Maskulin
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Di Atas Roda Pergulatan
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Raida di Sebuah Pelabuhan
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Swasti Hertian: Emansipasi Bedah Mayat
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Zuriati: Akrab Berkutat dengan Pesawat
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Shinta Damayanti: Berkilau dari Tengah Rig
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Rahayu Suhardjono: Doktor Penjelajah Gua Kapur
Artikel diatas adalah bagian dari edisi khusus Tempo Hari Perempuan dengan tema Bukan Perempuan Biasa. Untuk Mendaptkan link-link ke 22 artikel di edisi tersebut silah kunjung
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
http://lenteradiatasbukit.blogspot.com/2008/10/ibu-berkeranjang-belanja-lokomotif.html
Saat searching di internet saya temukan arsip Majalah Tempo Desember 2006 dengan liputan khusus yang simpatik dan menarik terkait Hari Perempuan. Dalam edisi ini Tempo mengambil tema Bukan Perempuan Biasa dengan menampilkan profil perempuan-perempuan yang berani meruntuhkan stereotip, perempuan-perempuan yang tak segan melintas batas.
Selain menampilkan profil Laksamana Pertama TNI Angkatan Laut Christina Rantetana, Komisaris Besar Polisi Pengasihan Gaut, Dwi Astuti Soenardi, srikandi pemimpin Tim Ekspedisi Everest Putri Indonesia 2007 dan Rahayu Suhardjono, 56 tahun, peneliti gesit jagoan menelusuri gua karst (kapur), Tempo juga menyuguhkan kisah para perempuan yang berjuang di medan yang sungguh sulit. Seperti Suster Rabi’ah (Suster Apung) juga bidan Adeleda Seba, 53 tahun, yang dijuluki ”Ibu Para Suku”. Sosok yang setia menolong persalinan perempuan suku terpencil di labirin rimba Bangga.
Tempo juga tak lupa menampilkan para pejuang di level bawah. Raida boru Tampubolon menjadi kuli panggul di Pelabuhan Tanjung Priok. Ada Ponirah, wanita pengayuh becak dari Yogyakarta, Suyanti yang sopir bus malam Wonogiri-Jakarta, juga Datin yang buruh gendong di Pasar Legi, Solo.
Tempo mengatakan bagai lilin, para perempuan dari kelas bawah ini rela membakar diri memberikan terang bagi keluarga dan orang banyak. Dan itu mengingatkan pada sajak Hartojo Andangdjaja :
Perempuan-perempuan yang membawa bakul di pagi buta, siapakah mereka
Mereka ialah ibu-ibu berhati baja, perempuan-perempuan perkasa
Akar-akar yang melata dari tanah perbukitan turun ke kota
Mereka cinta kasih yang bergerak menghidupi desa demi desa
Saya memberikan apresiasi kepada Tempo dan hormat saya kepada para perempuan ini.
Namun saya berterima kasih pula atas sudut pandang Dewi Lestari dalam kolomnya “Ibu Rumah Tangga, Lokomotif Perubahan” di liputan khusus ini yang menyoroti peran domestik perempuan sebagai ibu rumah tangga dan potensi dasyatnya sebagai lokomotif perubahan (peran perempuan-perempuan biasa berbeda dengan Tempo yang menampilkan bukan perempuan biasa, termasuk juga artikel khususnya tentang Para Perempuan di Puncak Zaman).
Dengan merujuk seorang filsuf perempuan Simone de Beauvoir yang mengatakan “yang personal adalah politis” ia sampai pada simpul pendapat “lokomotif berkekuatan besar justru unit rumah tangga yang kecil. Ibu rumah tangga sebagai penentu mekanisme sehari-hari otomatis mendominasi kendali atas produk yang dikonsumsi, anggaran bulanan, jenis informasi yang beredar di rumah, tata cara pengolahan ini-itu, dan seterusnya. Jika kekuatan memilih itu disadari penuh, maka pemberdayaan akan kembali ke tangan masyarakat. Perubahan dapat terjadi dalam hitungan hari, tanpa birokrasi berbelit dengan kecepatan siput”.
Dinyatakannya pula “kita (sebagai ibu rumah tangga) memiliki daftar protes terhadap kondisi dunia, tanpa selalu sadar bahwa kita punya kekuatan untuk mengubahnya.
Inilah momentumnya, Dewi Lestari menyatakan saat masyarakat merasa kehilangan daya, sesungguhnya kekuatan menanti pada perspektif yang berganti, siapakah yang sesungguhnya punya potensi dahsyat untuk menjadi lokomotif perubahan: pemerintah berlembaga atau ibu berkeranjang belanja?
Selamat kepada ibu berkeranjang belanja…….
hikayat bulan adalah hikayat yang mengalir
di arus waktu yang perlahan, tenang dan teduh
seperti percakapan dan narasi kasih bunda
jelang upik dan buyung tertidur
percakapan dan narasi kasih yang tak henti bertumbuh
dalam jiwa ketika harapan bermekaran atau patah
abadi
walau bunda telah mangkat
dari ruang dan waktu
Langganan:
Postingan (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat