RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 03 April 2008

Kapitalisme dan Ekologi: Hakikat Kontradiksinya (bag 2)

Ekologi,Kapitalisme,Sosialisasi Alam (bagian 2)

Oleh:John Bellamy Foster

Sumber : seri bacaan ilmiah yang diterjemahkan dan disunting oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Lembaga PEMBEBASAN, Media dan Ilmu Sosial 20

Baca SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN Strategi-Taktik Untuk Gerakan Lingkungan Hidup Radikal


Kapitalisme dan Ekologi:
Hakikat Kontradiksinya
Oleh:John Bellamy Foster

Relasi sosial modal, seperti yang kita ketahui, mengandung kontradiksi. Kontradiksi tersebut, meskipun berasal dari hukum gerak internal kapitalisme, namun ia meluas menjadi suatu fenomena yang biasanya dianggap sebagai sesuatu yang berada di luar sistem, mengancam integritas keseluruhan biosfer dan semua di yang ada di dalamnya sebagai dampak dari ekspansi modal yang tak henti-hentinya. Cara memahami kontradiksi ekologis dalam kapitalisme telah menjadi subyek perdebatan yang sengit di antara kaum sosialis. Dua hal penting dalam perdebatan tersebut adalah: (1) di bawah kapitalisme, apakah krisis ekologi selalu diikuti oleh krisis ekonomi? dan (2) sampai taraf mana kah kontradiksi ekologis yang terjadi di jantung masyarakat kapitalis?

Persoalan yang diperdebatkan tersebut dapat diselesaikan jika kita melihat kembali kepada Marx. Salah satu elemen kunci dalam analisis ekologi Marx, seperti yang saya jelaskan dalam Ekologi Marx, adalah teorinya tentang celah metabolisme. Marx menggunakan konsep celah dalam hubungan metabolis antara manusia dengan bumi untuk menggambarkan keterasingan material manusia (dalam masyarakat kapitalis) dari syarat-syarat alami yang membentuk dasar keberadaan mereka. Salah satu manifestasinya adalah pemisahan ekstrim antara kota dengan desa (di bawah kapitalisme), yang berangkat dari pemisahan populasi massa dari tanahnya.

Ahli kimia pertanian abad ke-19, khususnya Justus von Liebig, telah menemukan bahwa hilangnya nutrisi tanahseperti nitrogen, fosfor dan potasium—selama pengiriman makanan dan serat ke kotamengganggu siklus nutrisi tanah dan melemahkan pertanian kapitalis, juga mengubur kota-kota dengan sampah. Bukannya membangun bentuk produksi yang rasional, pertanian Inggris yang canggih (pertanian kapitalis paling maju saat ini), malah lebih tepat digambarkan sebagai, menurut Liebig, “sistem perampokan” karena efeknya terhadap tanah. Menurut sistem tersebut, secara historis, penurunan produktifitas tanah disebabkan karena masuknya tulang (secara besar-besaran dari negeri-negeri Eropa lainnya) dan guano (kotoran burung) dari Peru serta, yang terakhir, pengembangan pupuk sintesis. Pupuk sintesis, bagaimanapun juga, menimbulkan masalah yang lebih besar. Hal tersebut memperlebar dan membuat celah metabolisme menjadi jauh lebih rumit, menimbulkan keterputusan yang parah dalam hubungan antara alam dengan masyarakat, yang mencirikan karakter pertanian dan industri saat ini.

Marx menyadari bahwa celah metabolisme tersebut menggambarkan masalah tentang keberlanjutan. Dalam kutipan bacaan tak resmi, ia mengatakan bahwa kapitalisme melemahkan vitalitas sumber daya kemakmuran yang abadi, yakni tanah dan pekerja. Masalah celah metabolisme pun tidak terbatas hanya soal tanah. Marx mengembangkan suatu kajian tentang keberlanjutankonservasi dan, jika perlu, restorasi bumi sehingga bisa diteruskan (dalam keadaan seperti semula atau lebih baik) kepada rantai pergantian generasi manusiayang pembicaraannya ditujukan secara langsung pada masalah-masalah seperti nutrisi tanah, pendaurulangan, polusi, kondisi sanitasi, penebangan hutan, banjir, penandusan, perubahan iklim, pendaurulangan limbah industri, keanekaragaman spesies, pengkomoditasan spesies dan masalah yg lain-lainnya. Penelitiannya yang cukup dekat kaitannya dengan teori evolusioner membawanya kepada ide koevolusi. Konfliknya dengan Malthus memaksa dia untuk menggunakan faktor-faktor sejarah (daripada alamiah) untuk menjelaskan terjadinya “overpopulasi” (istilah yang digunakan oleh Marx, tetapi tidak oleh Malthus). Analisis Marx tentang akumulasi modal primitif menunjukkan bahwa pemisahan pekerja dari tanahnya merupakan kontradiksi yang membentuk kapitalisme. Kritiknya tentang ekonomi politik menyoroti pengkomoditasan seluruh aspek kehidupan dan peran dominan yang dimainkan oleh akumulasi modal tanpa akhir, yang berakar dalam nilai tukar yang berlawanan dengan nilai pakai. Mengutip dari Thomas Muntzer, pemimpin revolusioner perang kaum tani di Jerman abad keenam belas, Marx mengamati: tidak bisa ditolerir bahwa ”semua makhluk hidup telah dijadikan barang milik, ikan di air, burung di udara, tumbuhan di bumi—semua yang hidup harus bebas” (Muntzer, Collected Works, hal. 335; Marx and Engels, Collected Works, vol 3, hal. 172).

Meskipun demikian, telah menjadi suatu kecenderungan pada lingkaran-lingkaran eko-sosialis tertentu untuk tidak terlalu menekankan pada kekayaan wawasan ekologi yang dijelaskan oleh Marx, mereka hanya memfokus dirinya pada apa yg dianggap sebagai kelemahan utama analisis Marx yang, katanya, membuat Marx tidak mampu mengembangkan Marxisme ekologis sebaik-baiknya. Alan Rudy, yang menulis dalam Capitalism, Nature, Socialism (Kapitalisme, Alam, Sosialisme), jurnal terkemuka eko-sosialisme, yang diedit oleh James O’Connor, mengatakan bahwa “keterbatasan ekologinya Marx…, adalah bahwa Marx tidak menteorikan ‘celah metabolisme’ sebagai momen penting dalam (kecenderungan) krisis kapitalisme.” Poin ini sudah dikatakan secara penuh oleh O’Connor, yang berpendapat bahwa ketika Marx mengetahui adanya “metode yang bersifat merusak secara ekologi” dalam pertanian, “dia tidak pernah mempertimbangkan kemungkinan” bahwa degradasi ekologi “akan mengancam krisis ekonomi dalam bentuk tertentu, yakni penurunan kapasitas produksi modal” karena terjadi perusakan kondisi alami produksi. O’Connor juga menyatakan, karena itu Marx gagal untuk “menyatukan dua dengan dua”, yaitu membangun teori tentang bagaimana peningkatan biaya ekologi akan berperan dalam penurunan kemampuan meraih profit dan menciptakan krisis akumulasi. Analisisnya jadi mengecewakan karena konsep kerangka kerjanya diberi label “ekologi Marxisme” oleh O’Connor. (2)

Kontribusi teori O’Connor sendiri merupakan suatu usaha untuk melakukan apa yang gagal dilakukan oleh Marx, yaitu menunjukkan bagaimana perusakan kondisi produksi yg disebabkan oleh modal menciptakan bentuk khusus krisis ekonomi bagi kapitalisme, atau yang disebut sebagai “kontradiksi kedua kapitalisme” oleh O’Connor. Dia berpendapat bahwa kapitalisme selalu dikelilingi oleh “kontradiksi pertama”atau kecenderungan krisis ekonomi yang berkaitan dengan kenaikan tingkat nilai lebih, yang justru menghasilkan hambatan untuk merealisasikan nilai lebih tersebut atau kesulitan mengeruk keuntungan melalui penjualan barang dan jasasehubungan dengan ketidak-seimbangan antara pendapatan dengan kelimpahan/kekayaan yang tersedia. Kontradiksi pertama ini menggambarkan krisis ekonomi yang menampakkan dirinya dalam bentuk kelemahan (dilihat dari sisi) permintaan (yakni, kelemahan dilihat dari sisi upaya untuk merealisasikan keuntungan).

Walaupun demikian, saat memfokuskan diri secara eksklusif pada kontradiksi pertama, O’Connor berpendapat bahwa kritik-kritik para sosialis tentang kapitalisme telah melupakan “krontadiksi kedua”yang dikaitkan dengan melemahnya syarat-syarat produksi kapitalisme. O’Connor menyebutkan tiga tipe “syarat-syarat produksi” dalam analisis Marx, yaitu: (1) sayarat personal produksi yang berhubungan dengan kemampuan tenaga kerja manusia, (2) syarat eksternal-alam produksi (hutan, ladang minyak, persediaan air, spesies burung, dan lain sebagainya.), dan (3) syarat komunal-umum produksi (lingkungan yang tercipta, contohnya, kota-kota dan infrastruktur daerah perkotaannya). Apa yang menyebabkan elemen-elemen tersebut menempati posisi sebagai syarat-syarat produksi adalah karena syarat-syarat tersebut tidak dihasilkan (atau tidak sepenuhnya dihasilkan) oleh kapitalisme, melainkan, meminjam istilah Karl Polanyi, lebih sebagai “komoditas-komoditas fiksi”. Kapitalisme tidak secara langsung memproduksi manusia atau bahkan kemampuan tenaga kerjawalaupun demikian kapitalisme memperlakukan tenaga kerja sebagai komoditas sebagaimana komoditas lainnya. Kapitalisme juga tidak menciptakan alam eksternal. Lingkungan yang tercipta, sampai per bagiannya, muncul disebabkan oleh faktor-faktor spasial dan temporal yang bukan merupakan subyek langsung hukum nilai.

Produksi modal sangat bergantung pada penggunaan dan transformasi syarat-syarat alami produksi, yang pada tahap tertentu melambangkan kelangkaan sumber daya alam, dan bahwa sistem ekonomi tidak mampu melestarikan alam dengan biaya yang relatif murah. Menurunnya syarat-syarat produksi tersebut memicu meningkatnya biaya bagi kapitalisme, menekan keuntungan dari segi biaya produksi (atau penawaran): itu lah “kontaradiksi kedua” kapitalisme. Joel Kovel dalam bukunya yang berjudul The Enemy of Nature (Musuh Alam), sependapat dengan O’Connor, menyebut krisis ekologi yang diakibatkan oleh penurunan modal karena syarat-syarat produksi modal itu sendiri skala tekanannya terus meningkat layaknya “keharusan besi, tak terhindarkan”. Dia menyatakan bahwa “degradasi tersebut memiliki efek kontradiksi terhadap profitabilitas itu sendiri... secara langsung, dengan merekayasa tatanan dasar produksi sehingga menghancurkannya atau, secara tidak langsung, melalui reinternalisasi “biaya yang telah dikeluarkan untuk lingkungan hidup”.

O’Connor mengidentifikasikan “teori ekologi Marxis” dalam kaitannya dengan “kontradiksi kedua”, sedangkan kontradiksi pertama ia sebut berkaitan dengan “Marxisme tradisional.” Keduanya, kontradiksi pertama dan “kedua”, berwujud sebagai kecenderungan krisis ekonomi, dan keduanya secara silmultan muncul dalam sejarah dalam bentuk krisis ekonomi. Tetapi argumen tersebut mengindikasikan bahwa “kontradiksi kedua”, yakni kontradiksi-kontradiksi ekonomi dari sisi-penawaran, yang berakar pada peningkatan biaya, sekarang ini sangat domonan. Sehingga kapitalisme terperangkap dalam kecenderungan krisis ekonomi yang berkaitan dengan produksi modal yang rendah. Hak tersebut disebabkan karena syarat-syarat produksi modal sendiri yang sangat merusak: bentuk krisis ekonomi yang, menurut O’Connor, lebih berkaitan dengan halangan eksternal atau alami ketimbang persoalan internal atau antagonisme kelas sistem kapitalisme.

Bagian terpenting dari argumen tersebut adalah kaitannya dengan perkembangan gerakan-gerakan sosial radikal modern. Kontradiksi pertama dihubungkan dengan gerakan buruh berdasarkan kelas yang, walaupun gerakan-gerakannya masih bisa dikatakan eksis, namun semakin tergeser oleh gerakan-gerakan sosial baru yang timbul oleh “kontradiksi kedua.” O’Connor berpendapat ada tiga tipe dasar gerakan-gerakan sosial baru yang masing-masingnya berhubungan dengan melemahnya syarat produksi yang berbeda-beda: gerakan seperti feminisme, yang peduli terhadap politik tubuh, distimulasi oleh melemahnya syarat-syarat personal produksi; gerakan lingkungan hidup bersumber pada melemahnya syarat-syarat eksternal-alam produksi; dan gerakan perkotaan bermula dari syarat-syarat komunal-umum produksi. Kekuatan tesis “kontradiksi kedua”, dan alasan pengaruhnya terhadap pemikiran para sosialis dan non-sosialis, tentu sudah sangat jelas. Ia memberikan satu argumen logis yang menghubungkan kelangkaan sumber daya alam, krisisi ekonomi, dan perkembangan gerakan-gerakan baru untuk perubahan sosial. Walaupun demikian, menurut saya, ada beberapa masalah dalam pendekatan ini yang membatasi penerapannya pada bidang yang tepat.

Suatu cara memahami istilah “kontradiksi kedua” kapitalisme, yang tujuannya dalam rangka meyakinkan tesis Marxisme ekologis, telah memecah belah analisa sosialis dalam bidang ekologi. Hal tersebut terlihat dengan adanya perubahan terbaru judul buku Capitalism, Nature, Socialism (Kapitalisme, Alam, Sosialisme) menjadi berjudul “Marx's Ecology or Ecological Marxism (Ekologi Marx atau Marxisme Ekologi)”. Istilah “Ekologi Marx”, dalam kasus itu, sepertinya diambil dari judul buku saya, tetapi sumber awal argumen para kritikus diambil dari krontribusi Marx sendiri terhadap ekologiseperti yang terlihat dalam buku tersebut, istilah tersebut sangat sedikit disebut sebab tesisnya tidak mengarah pada “Marxisme Ekologis” seperti yang disajikan sebagai “kontradiksi kedua” nya O’Connor. Secara eksplisit, poin nya telah ditentukan, seperti yang disebutkan sebelumnya, bahwa, katanya, Marx tidak menjelaskan bagaimana cara krisis ekologi memicu krisis akumulasi bagi kapitalisme, dan oleh karena itu analisisnya tidak lengkap, tidak sistematis, dan tidak berkembang. Sebab itu pula Rudi, mewakili sudut pandang ini, menyatakan: “analisis Marx tentang peran krisis ekologis terhadap krisis kapitalisme ‘tetap’ masih lemah.”

Tetapi apakah masuk akal mempertentangankan pendekatan Marxis tentang masalah-masalah ekologi dengan mengacu pada teori krisis ekonomi di bawah kapitalisme? Harus kah pengembangan analisis Marxis, yang selama ini diterima sebagai pemikiran maju, ditentukan oleh ketepatanya dalam teori tertentu krisis ekonomi? Jika dilihat dari sudut pandang tersebut maka terdapat posisi ekonomisme dan fungsionalisme yang menyusup masuk ke dalam analisis Marxis. Seluruh kepercayaan konsepsi “kontradiksi kedua” adalah: ketika kerusakan ekologi dipandang sebagai krisis ekonomi oleh kapitalisme, maka akan terjadi mekanisme reaksi-balik, yakni secara langsung melalui upaya modal untuk menurunkan tingkat biaya produksi karena melemahnya syarat-syarat produksi dan, secara tidak tidak langsung, melalui upaya-upaya gerakan-gerakan sosial untuk memaksa sistem menginternalisasi faktor-faktor eksternal, contohnya, membayar biaya sosial dan lingkungan hidup yang selama ini dianggap sebagai faktor eksternal oleh modalkemudian mengarahkannya menjadi produksi yang lebih ramah lingkungan. Karena itu, asumsi gampang-gampangan dengan jelas mengatakan bahwa krisis ekonomi yang bermula dari kondisi ekologi memberi ruang bagi kaum kiri suatu kesempatan popular untuk membentuk aliansi antara gerakan buruh yang berdasarkan kelas dengan gerakan-gerakan sosial baru.

Tujuan ku adalah menunjukan bahwa sebenarnya tak ada mekanisme reaksi semacam disebut di atassetidaknya bagi kapitalisme secara keseluruhan. Seperti yang dikatakan gerakan lingkungan hidup Jerman: hanya jika pohon sisa terakhir ditebang maka sistem baru lah menyadari bahwa uang tidak bisa dimakanbukan sebelumnya. Kita tidak boleh memandang rendah kemampuan kapitalisme mengakumulasi modal pada saat terjadi kekacauan, kerusakan ekologi terparah sekali pun, untuk mengambil keuntungan dari pengrusakkan lingkungan hidup (contohnya, mengambil keuntungan dari industri penanggulangan limbah), dan terus merusak bumi hingga tak tertolong lagibaik bagi lingkungan hidup manusia dan bagi semua spesies makhluk hidup. Dengan kata lain, bahaya dari semakin akutnya masalah ekologis jadi semakin serius karena sistem tidak memiliki mekanisme hukum internal (atau eksternal) untuk mendeteksi kemunculannya. Ekologi tidak punya tempat dalam siklus bisnis.

Tidak ada alasan untuk percaya bahwa kerusakan lingkungan hidup menjadi serius ketika kerusakkan tersebut mempengaruhi syarat-syarat produksi yang, per definisi, melibatkan elemen-elemen lingkungan alam-fisik yang secara subtansial merupakan bagian dari sistem. Hutan Amazon mungkin telah menjadi sumber utama kayu dan hasil hutan lainnya bagi modal, tetapi sampai sekarang masih dilihat sebagai faktor eksternal syarat-syarat produksi kapitalisme. 50 persen spesies yang diyakini hidup dalam hutan tropis dan terancam kepunahan dalam beberapa dekade ke depan, sebagian besar tidak terkait dengan proses akumulasi global, malah sebagian besarnya belum didokumentasikan, belum dikenal ilmu pengetahuan. Jika kita ambil contoh lapisan ozon, yang menipis dengan cepat sehingga sangat membahayakan kehidupan di muka bumi, tentu salah besar jika mengemas masalahnya dalam analisis syarat-syarat produksiseakan-akan masalahnya hanyalah pra-syarat ekonomi dan bukannya pra-syaratkehidupan sebagaimana kita ketahui.

Semua pernyataan di atas menunjukkan bahwa bila kita berkubang pada syarat-syarat produksi dan “kontradiksi kedua” kapitalisme, maka kita akan cenderung meremehkan keseluruhan dimensi krisis ekologis dan bahkan meremehkan efek samping kapitalisme bagi lingkungan hidup karena kita, dengan demikian, semata-mata sekadar menyederhanakan segala permasalahan ke dalam teori krisis ekonomi tertentu. Hal tersebut memberikan peluang bagi kapitalisme untuk mengacuhkan masalah-masalah lingkungan hidupwalau faktanya kapitalisme menggunakan keseluruhan biosfir sebagai tempat sampah raksasa dan kapitalisme juga mampu, hingga tahap tertentu, berfungsi dari satu eko-sistem ke eko-sistem lainnya, beroperasi, seperti kata Marx, di bawah prinsip “kejar lah daku si maha kaya”atau menganggap bahwa bumi masih merupakan “hadiah gratis bagi modal”. Dan, dengan demikian, juga tidak memungkinkan terjadinya perubahan mendasar, karena kapitalisme dalam berbagai cara adalah sistem bebas hambatan.

Anda bisa melihat penjelasan lebih lanjut dari apa yang akan aku katakan dengan mengacu pada Climate Action Report, 2002 (Laporan Kondisi Iklim, 2002), pemerintahan nya Bush tentang pemasan global, yang diangkat oleh Enviromental Protection Agency/EPA (Lembaga Perlindungan Lingkungan Hidup). EPA menyadari ancaman pemanasan global bagi kehidupan dan bagi syarat kehidupan, khususnya saat mereka menekankan bahwa di Amerika Serikat kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh pemanasan global dapat terlihat dengan melelehnya salju di pegunungan, dan semacamnya. Menurut mereka, bila syarat-syarat produksi pertanian dipertimbangkan, maka pemanasan global malah akan meningkatkan keseluruhan produktifitas pertanian. Kurang jelasnya hubungan antara kerusakan lingkungan hidup dengan kerusakan terhadap syarat-syarat ekonomis produksi malah digunakan (melalui standar analisa biaya-keuntungan) untuk membenarkan kebijakan beradaptasi dengan pemanasan global, ketimbang mengambil tindakan untuk mengurangi tingkat pemanasan globalkarena tentu saja tindakan tersebut akan menelan banyak biaya produksi.

Hal itu bisa terjadi karena tidak adanya mekanisme balasan yang, dengan serta merta, bisa membebankan pengrusakan lingkungan kepada kapitalisme (dalam bentuk peningkatan biaya modal itu sendiri)melainkan, pengrusakan lingkungan hidup hanya akan menjadi tanggungan alam dan masyarakat, bukannya ditanggung kapitalisme. Dan jika gerakan-gerakan sosial berusaha menanggulanginya dengan “meregulasi” kapitalisme, belum tentu regulasi tersebut akan menekan batas keuntungan dari segi pembiayaan sehingga bisa memaksa modal mereformasi diripada kenyataannya, malah menyediakan cara baru dalam mengambil keuntungan dari pengrusakan lingkungan hidup. Oleh sebab itu sangat meragukan bila krisis ekonomi, yang tidak terhindarkan dimasa datang, hanya dipicu oleh masalah-masalah tersebut.

Aku meyakini bahwa dalam teori ekologi terdapat masalah-masalah empiris yang menstimulasi timbulnya krisis ekonomi. Logikanya benar bahwa dengan menaikkan harga bahan-bahan mentah maka akan meningkatkan biaya yang berhubungan dengan kelangkaan sumber daya alam yang, kemudian, akan menurunkan batas keuntungan dan, pada akhirnya, memicu terjadinya krisis ekonomi. Faktor tersebut berperan dalam krisis akumulasi modal pada abad kesembilan belas, seperti yang terlihat pada teori klasik mengenai kecendurangan menurunnya tingkat keuntungan. Penting bagi modal untuk menjaga agar biaya yang berhubungan dengan kelangkaan sumber daya alam tetap rendah. Walaupun demikian, hingga sekarang tidak ada bukti bahwa biaya-biaya di bidang tersebut dapat menjadi penghalang yang berarti bagi sistem secara keseluruhan untuk berakumulasi. Seperti yang diperlihatkan Marx pada zamannya: lesunya pertambangan-pertambangan batubara pada akhirnya akan meningkatkan biaya batubara, tapi sementara itu produksi sering kali meningkat akibatnya berkurangnya biaya energi.

Pengurangan polusi juga tak memberikan beban (yang tak bisa ditanggung) pada modal
Berdasarkan penyelidikan eksekutif bisnis, pemerintah memperkirakan bahwa bahwa dunia usaha mulai mempertimbangkan peningkatan alokasi dana bagi lingkungan hidup, tapi bukti-bukti tersebut tidak lah bisa dijadikan dasar yang cukup meyakinkan untuk mengatakan bahwa, secara rata-rata, biaya lingkungan hidup akan menekan keuntunganseperti halnya, tak perlu dipandang serius adanya keluhan yang tak henti-hentinya dari badan-badan eksekutif tentang upah buruh yang katanya menekan keuntungan. Sungguh, aku tetap bersiteguhtapi tentu saja aku tidak bisa membeberkan panjang lebar argumen ku karena masalah waktubahwa kecenderungan utama krisis ekonomi kapitalis adalah (masih) karena adanya peningkatan tingkat penghisapan yang, karenanya, memperbesar (batas) keuntungan dan menyebabkan ketidakmampuan merealisasikan nilai tambahapa yang oleh O’Connor disebut sebagai kontradiksi pertama.

Kesulitan lebih lanjut untuk memahami konsepsi “kontradiksi kedua” kapitalismesebagai cara untuk mendefinisikan Marxisme ekologisadalah karena konsep tersebut memaksakan perspektif ekonomi dualistik pada kita, dan sekali terperangkap dalam pemahaman tersebut kita akan terjerat. Ada dua kontradiksi kapitalisme (keduanya menyebabkan kecenderungan krisis ekonomi), yang satu internal, dan pada dasarnya muncul dari perjuangan kelas, dan yang lainnya eksternal, dan pada dasarnya muncul dari melemahnya syarat-syarat produksi. Kontradiksi-kontradiksi tersebut akhirnya melahirkan dua bentuk gerakan sosialgerakan tradisional berdasarkan kelas, yang lahir dari kontradiksi pertama, dan gerakan sosial baru, yang timbul sebagai hasil dari “kontradiksi kedua.” Tentu saja ini memperjelas potensi aliansi kedua tipe gerakan tersebut berdasarkan gabungan kekuatan kedua kontradiksi tersebut di atas. Tetapi, dengan semakin dominannya “kontradiksi kedua” dan, konsekuensinya, gerakan-gerakan sosial baru menjadi lebih vital, maka gerakan-gerakan berdasarkan kelas cenderung dianggap tak begitu penting perannya dalam analisis dan strateginya. Marxisme Ekologis adalah pendekatan yang memandang perjuangan berdasarkan kelas memainkan peranan kedua. Dengan begitu, bisa dikatakan, gerakan telah terpecah-belah (menambah lapisan teoritis pada divisi yang sudah ada), dan semakin memudarkan harapan. Sebagaimana Kovel memaparkan pandangannya dalam The Enemy of Nature (Musuh Alam): “tidak ada agen yang istimewa dalam transformasi eko-sosialis”pemberontakan kelas tidak selalu harus menjadi kuncinya (p. 218).

Tujuan ku bukan untuk membantah pentingnya teori “kontradiksi kedua”, ataupun menolak fakta bahwa kontradiksi tersebut telah memperjelas aspek-aspek penting problematika ekologi di bawah kapitalisme. Memang ada krisis-krisis lokal tertentu yang dapat dilihat dengan cara tersebut. Aku juga tidak hendak membantah besarnya kontribusi James O’Connor bagi sosialisme ekologis. Namun, tujuan ku adalah menggugat adanya kemungkinan membangun analisis Marsis terhadap permasalahan ekologis yang terlalu ekonomistik, terlalu sempit, terlalu fungsionalis, dan terlalu tunduk terhadap dualisme ekonomiserta, tentu saja, terlalu tidak-dialektikdalam mengupas keseluruhan kontradiksi ekologis yang dihasilkan oleh kapitalisme.

Sehingga sangat masuk akal bagi kita untuk kembali pada Marx. Jika kita harus mencari contoh (pada abad ke-19) tentang melemahnya syarat-syarat produksiseperti yang dinyatakan oleh teori “kontradiksi kedua” nya O’Connor. Tidak ada contoh sebaik krisis pertanian yang dipicu oleh hilangnya unsur hara tanah. Krisis ini banyak terjadi di Amerika Serikat dan Eropa sejak tahun 1840-an, dan awalnya diatasi secara acak dengan cara melakukan serangan-serangan mendadak dalam jang-ajang pertempuran di Eropa, lalu dengan memabngun terowongan-terowongan untuk tempat mengubur korban-korban pertempuran sebagai pupuk, dan dengan meng-impor guano (sejenis pupuk dari kotoran burung laut) secara besar-besaran dari Peru; yang kemudian diikuti dengan pengembangan pupuk sintetis pertamayang bahkan pada zaman Marx sudah digunakandan pada akhirnya mengarah pada pengembangan pupuk berbahan dasar nitrogen pada masa perang dunia ke-2. Sengat mungkin bagi Marx untuk memberikan argumen bahwa peningkatan biaya ekologi yang menghalangi akumulasi dipicu oleh krisis pertanahan tersebut. Namun, sebaliknya, Marx malah menekankan tentang jurang metabolik, yakni permasalahan ekologi struktural yang lebih luas yang dicerminkan oleh krisis tanah tersebut dan, dalam istilah Marx, kerusakan yang tak bisa diperbaiki lagi oleh kapitalismewalaupun kemajuan teknologi, seperti penemuan pupuk sintetis, bisa memberikan jalan keluar sementara.
Marx tak sekadar memusatkan perhatian pada cara bagaimana melihat kontribusi permasalahan ekologi terhadap krisis ekonomi, tapi juga melihat pengaruh langsungnya pada penggulingan kapitalisme secara revolusioner, yang menurutnya akan segera terjadi. Dalam bidang itulah kepedulian utama

Marxyang terus meningkatdalam mempertanyakan tentang keberlanjutan, dan aturan rasional metabolisme masyarakat dengan alamnya (melalui tenga kerja manusia). Baginya, masalah pokok dalam membangun masyarakat komunis memerlukan terciptanya hubungan baru antara manusia dengan alamnya.

Tentu saja, itu karena Marx dan Engels menekankan permasalahannya pada upaya untuk mengakhiri hubungan antagonistik antara kota dengan desa, sebagai kunci untuk mengatasi keterasingan manusia dari alamnya sehingga bisa merubah cara pandang terhadap permasalahan ekologistidak sempit, seperti dalam masuarakat borjuis; atau seperti dalam geakan proletar yang hanya mengejar kebutuhan mendsak saja. Walau Marx dan Engels sangat berhati-hati agar tidak terjebak ke dalam sosialis utopi, yang menawarkan masyarakat mendatang melampui syarat-syarat gerakan pada saat itu, maka mereka menekankanseperti halnya Fourier dan beberapa kaum sosialis utopia lainnyapentingnya kebutuhan agar gerakan memperhatikan keterasingan alam agar dapat menciptakan masyarakat yang berkelanjutan.

Akhir-akhir ini krisis ekologis tergambarkan dari pemberontakan anti-kapitalispada taraf yang bahkan mungkin tak mampu dipahami Marx. When William Morris developed his ideas for the reorganization of relations between town and country in News from Nowhere he was knowingly or unknowingly very close to the spirit of Marx. Tapi, secara keseluruhan, cara pandang kita mengenai gambaran ekologi dalam revolusi sosialis jarang lebih radikal dari yang dicita-citakan Marxdengan gagasannya mengakhiri hubungan antagonis antara kota dengan desa, dan usahanya mengatasi jurang metabolik melalui produksi berkelanjutan yang didasarkan pada masyarakat komunal para produsen bebas. Ketika Willim Morris mengembangkan gagasannya untuk mereorganisasi hubungan antara kota dengan desa dalam cara yang baru, ia, tanpa disadarinya, sejalan dengan gagasan-gagasan Marx.

Alasan kita sama dengan apa yang Marx lakukan pada masanya, yakni membatasi analisis kontradiksi ekologis pada teori krisis ekonomi tertentu. Teori krisis ekonomi bisa saja disanjung-sanjung, bahkan sampai didewakan. Mari aku berikan contohnya. Untuk jangka waktu yang lama, para ekonom Marxis dari berbagai bidang telah mengembangkan cara menjelaskan kecenderungan imperialistis kapitalismeyakni kecenderungan pusat sistem mengekploitasi daerah pinggiran (periphery)dengan menunjukkan beberapa teori-teori tertentu krisis ekonomi. Masalah dari semua perspektif tersebut, menurut ku, adalah bahwa mereka melupakan: imperialisme bukanlah produk krisis ekonomi ini atau krisis ekonomi itu (siginifikansinya juga tidak terletak pada bahwa imperialisme menanggung fenomena krisis ekonomi), tetapi imperialisme, secara lebih mendasar, sebagaimana seperti kemuculannya dalam sejarah, adalah merupakan upaya untuk mencari keuntungan itu sendiri. Dengan kata lain, imperialisme adalah produk penting kapitalisme sebagai kekuatan yang mendunia, dan sampai pada tahap yang dihadapi Marx pada zamannya, imperialisme tentu saja senada. Tetapi upaya untuk melihat keseluruhan kenyataan imperialisme melalui sudut pandang krisis ekonomi malah semakin mengaburkan sifat dasarnya.

Kasus degradasi ekologis yang sedang kita hadapi sekarang (bukan saja melulu tentang kapitalisme) tapi juga merupakan aturan main utama, bukan aturan main kedua, kapitalisme. Degradasi ekologis, seperti halnya imperialisme, bagi kapitalisme sama mendasarnya dengan usaha mengeruk keuntungan (yang sangat bergantung pada prluasannya). Permasalahan lingkungan hidup juga sebaiknya tidak dipandang melalui sudut pandang ekonomis yang menggiring pemahaman kita pada kesimpulan bahwa krisis lingkungan hidup memicu krisis ekonomi kapitalisme. seperti yang dijelaskan Rosa Luxemburg, burung-burung berkicau mengalami kepunahan bukan karena mereka adalah bagian dari kapitalisme, atau merupakan syarat-syarat produksinya, tetapi karena habitat mereka rusak disebabkan proses ekspansi sistem yang terus menerus. Luxemburg tidak menghubungkan kerusakkan ini dengan fenomena krisis ekonomi, namun dia tidak berhenti melawan upaya pengrusakkan terhadap apa yang ia sebut sebagai “mahluk-mahluk lemah tak berdaya.”

Tak diragukan lagi, Luxemberg yakin bahwa perekonomian akan lebih teratur di bawah sistem sosialisme,
yang dapat mengurangi kerusakan alam. Namun, perubahan yang ia bela tidak ia letakan dalam masalah ekonomi, walaupun ia setia dengan materialisme. Kekuatan terbesar analisa Marxis tidak terletak terutama pada teori krisis ekonomi, tidak juga dalam analisa-analisa perjuangan kelas seperti yang kita kenal, melainkan terletak pada konsepsi materialis dalam melihat sejarah (baik) manusia maupun alamyang dipahami sebagai proses saling ketergantungan yang tak pernah berakhir, lain tidak. Pemahaman tersebut berarti telah berhasil mengatasi penyederhanaan yang memisahkan antara ilmu pengetahuan fisika-alam dengan ilmu sosial, yang selama ini merupakan produk-produk intelektual (terasing) masyarakat bourjuis.

Sebagai kesimpulan, aku akan menoleh pada kematian Stephen Jay Gould, salah seorang pemikir besar evolusi setelah Darwin. Gould adalah seorang Marxis, yang mempelajari Marxismeseperti yang dikatakannya dalam karya utamanya, The Structure of Evolutionary Theory (Struktur Teori Evolusioner)dari “dengkul ayahnya”. Seorang materialis, pemikir dialektik yang sadar, pengritik reifikasi dan reduksionisme, akhli teori evolusi, analis permasalahan lingkungan hidup, eksponen yang menjelaskan tentang banyaknya saling-ketergantungan manusia-alam, dan seorang pembela kebebasan manusia. Dia, dalam pandangan saya, dengan pengertian yang penuh makna, adalah seorang Marxis ekologi.***

Tidak ada komentar: