Memperkenalkan blog Sahabat Rumah Asa........
Dian Yanuardy di http://dyanuardy.wordpress.com/
Mereka yang Merebut Kembali Jalan Raya
oleh: Dian Yanuardy
Pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan di pinggir jalan raya kini semakin lazim dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Sebagaimana elemen-elemen sosial yang lain — seperti halnya polisi, pemilik rumah makan, pengendara motor dan mobil, atau perusahaan periklanan — mereka juga menjadikan keramaian jalan raya sebagai tumpuan utama kehidupan. Tak ada bedanya antara perusahaan periklanan yang memasang iklan-iklan besar dan menarik mata dengan pengamen yang melengkingkan suaranya. Tak ada bedanya antara polisi yang mencari sasaran tilang dengan penjaja koran yang mencari sasaran pembeli. Semua elemen itu sama dan tak bisa dibedakan. Dalam arti bahwa mereka sama-sama menggunakan jalan raya untuk mencari makan dan penghidupan.
Namun mengapa elemen yang pertama (pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan), dalam leksikon ilmu sosial sekalipun, disebut dengan nada minor yaitu sebagai kaum miskin kota (lumpen proletariat)? Dan mengapa pula elemen yang kedua (polisi, pengusaha, dan mereka yang bermobil atau bermotor di jalan raya) disebut dengan sebutan terhormat: aparatus negara, pelaku ekonomi, atau pengguna jalan raya? Meski sama-sama menggunakan jalan raya, mengapa relasi di antara keduanya tak pernah setara? Mengapa yang disebut sebagai kaum miskin kota selalu terancam pengusiran? Mengapa para pengemis, penjaja koran, pedagang kakilima selalu didefinisikan sebagai pihak yang mengganggu ketertiban? Bagaimana ‘mestinya’ kita memandang kelompok ini?
Konstruksi Marginalitas
Relasi yang tak setara semacam itu selalu dibangun dalam suatu konstruksi marginalitas. Bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Konstruksi marginalitas itu dibentuk oleh suatu mekanisme kekuasaan yang beragam, dari kekuasaan ekonomi-politik hingga kuasa budaya. Sebagai hasil dari marginalitas dalam ranah ekonomi-politik, secara umum kaum miskin kota merupakan residu dari sistem ekonomi dan pembangunan yang berporos pada bias kota (urban bias) yang dimulai semenjak pasca Perang Dunia Kedua, yaitu semenjak berkembangnya model pembangunan yang mematok model modernisasi negara-negara Barat sebagai acuan. Strategi umum dari model pembangunan ini adalah mengutamakan pembangunan dan modernisasi yang bertumpu pada pertumbuhan dan pengembangan kota. Di beberapa negara yang sedang berkembang, akibat dari duplikasi kebijakan ini adalah munculnya gelombang migrasi ke kota secara massif. Alasan perubahan nasib, sempitnya peluang kerja di desa dan daya tarik industralisasi di kota menyebabkan migrasi ke kota bertambah dari tahun ke tahun. Gelombang migrasi inilah yang kemudian turut menyuburkan keberadaan kaum miskin kota.
.......
.......
Karena itu, bagi saya, mereka adalah agen kebudayaan dan politik yang penting. Kemampuan kaum marjinal merebut, menduduki, dan memberi makna baru pada jalan raya patut dipelajari oleh gerakan mahasiswa yang semakin kehilangan visi dan imajinasi. Mengambil istilah Gilles Deleuze dan Felix Guattari, saya percaya bahwa kaum yang merebut kembali jalan raya ini adalah ‘kaum nomad’ yang tak suka pada pijakan yang tetap, dan yang tak memiliki ‘ruang tinggal’ yang baku dan teratur. Bagi saya, mereka telah menyebarkan benih-benih ‘pikiran-pikiran nomadik’ (nomadic thought), yaitu suatu gagasan dan pemikiran yang tak pernah terikat pada sumber-sumber dan sistem otoritas tertentu. Pikiran-pikiran nomadik yang berupaya menggoncang kestabilan, menghancurkan basis-basis otoritas, dan mengajak kita untuk tak pernah puas dengan kemapanan.[]
Selengkapnya silah klik Dian Yanuardi
Sabtu, 12 April 2008
Mereka yang Merebut Kembali Jalan Raya
Label:
Anak Jalanan,
Pedagang Kaki Lima,
Pengamen,
Pengemis,
Penjaja Koran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar