RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 03 April 2008

Ekologi, Kapitalisme, dan Sosialisasi Alam (bag 1)

Ekologi, Kapitalisme, dan Sosialisasi Alam ( bagian 1)

Oleh: Dennis Soron (2)

Sumber : seri bacaan ilmiah yang diterjemahkan dan disunting oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Lembaga PEMBEBASAN, Media dan Ilmu Sosial 20

Baca pula SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN Strategi-Taktik Untuk Gerakan Lingkungan Hidup Radikal



Kegagalan Reformasi Lingkungan Hidup Global


DENNIS SORON (DS): Setelah pertemuan Rio Earth Summit pada tahun 1992, yang akhirnya memasukkan alasan mengapa reformasi lingkungan hidup global dimasukan dalam agenda politiknya, banyak ahli lingkungan hidup menjadi lebih optimis. Namun, dengan kondisi lingkungan hidup yang semakin memburuk dan pemerintah menolak mengambil tindakan yang efektif, optimisme itu kemudian memudar. Bagaimana bisa, harapan yang memuncak pada pertemuan di Rio jadi salah kaprah?

JOHN BELLAMY FOSTER (JBF): Optimisme tersebut jadi salah kaprah terutama disebabkan karena kelompok-kelompok lingkungan hidup tidak memperhitungkan tekanan ekonomi yang ditujukan terhadap mereka atau tidak mempertimbangkan secara fundamental sistem ekonomi kapitalisme yang mengakibatkan kerusakan lingkungan hidup. Selama satu dekade terakhir, kita menyaksikan pesatnya ekspansi perdagangan neoliberal dan rejim investasi yang mengabaikan pentingnya perbaikkan lingkungan hidup. Perlu diingat bahwa pada saat pertemuan di Rio, negosiasi GATT sedang berlangsung pula dalam Pertemuan Uruguay (Uruguay Round). dari negosiasi-negosiasi tersebut lahirlah formasi WTO, organisasi yang mensentralisasi pengambilan keputusan ekonomi internasional dan mengisyaratkan bahwa regulasi-regulasi lingkungan hidup secara global akan ditentukan oleh dewan tersebut. Sama halnya dengan NAFTA, IMF, Bank Dunia, dan institusi-institusi neoliberal lainnya, WTO telah menyatakan dengan jelas bahwa pertumbuhan ekonomi adalah tujuan utama mereka, apapun harganya, kerusakkan sosial atau pun kerusakan lingkungan hidup sekalipun.

Perkembangan-perkembangan lain yang terjadi beberapa tahun terakhir ini telah sampai pada tahap yang kritis sehingga meningkatkan pesimisme komunitas lingkungan hidupsebagai contoh, Amerika Serikat mengundurkan diri dari Protokol Kyoto, lalu pemerintahan Bush bersikeras pada posisi hanya mempermasalahkan perbedaan biologis, bioteknologi, kontrol plasma bakteri, dan sebagainya. Walaupun Amerika Serikat (AS), di berbagai bidang, telah mengambil keputusan secara sepihak, sebenarnya ia tak sendirian dalam mengabaikan pemanasan global dan masalah-masalah lingkungan hidup lainnya. Dinamika sistem ekonomi global mendikte dan menyebarkan keengganan pada seluruh negara kapitalis untuk mengambil tindakkan efektif untuk menyelamatkan lingkungan hidup.

Palam Johannesburg Summitsepuluh tahun setelah Rio Earth Summittumbuh perasaan gamang (di kalangan kelompok-kelompok lingkungan hidup) bahwa mereka kehilangan landasan lingkungan hidup dalam perjuangannya, dan sangat yakin bahwa negosiasi yang mereka lakukan tak akan menghasilkan apapun. Mereka memang tak berhasil mencapai apapun. Kehilangan semangat tersebut, betapapun mengecewakannya, namun pesimisme tersebut ternyata lebih masuk akal dalam menyikapi hakikat permasalahan yang sedang kita hadapi sekarang ini. Sebagai contoh, panel antar-pemerintahan dalam mempersoalkan perubahan iklim baru-baru ini menyatakan bahwa perkiraan cuaca yang mereka buat terlalu konservatif, dan kemungkinan perubahan besar dalam lingkungan hidup dunia akan lebih besar ketimbang dari yang diprediksi. semua tanda-tanda mengacu pada menggunungnya krisis lingkungan hidup, namun tindakan politik untuk mengatasinya tetap sedikit.

DS: Dalam apatisme politik seperti ini perlukah kelompok-kelompok lingkungan hidup menelaah ulang strategi-strategi mereka untuk mempromosikan perubahan?

JBF: Aku rasa begitu. Seperti yang anda ketahui, akhir-akhir ini aku sedikit mengritik strategi-strategi yang diadopsi oleh beberapa kelompok. kita ambil contoh International Forum on Globalization (Forum Internasional untuk Membahas Globalisasi) dan beberapa organisasi serupa, yang sangat baik dan progresif dalam berbagai bidang. Namun demikian, dalam beberapa laporan terbaru mereka, kebijakan utama yg mereka tawarkan adalah “menghijaukan” Bank Dunia, WTO, dan lain sebagainya—dan entah bagaimana caranya mengubah institusi-institusi tersebut menjadi lebih “hijau” dan ramah lingkungan. Padahal kontrol utama lembaga-lembaga tersebut adalah modal, dan tak akan pernah berubah. Tujuan utama WTO, misalnya, adalah memperluas akumulasi modal bagi kepentingan negeri-negeri kaya dengan menyingkirkan penghalang mobilitas modal internasional, menghapuskan subsidi dan regulasi dan, pada dasarnya, memaksakan penerapan kebijakan neoliberal ke seluruh dunia. Sampai pada tahap ini, mustahil “menghijaukannya”, atau merubahnya menjadi organisasi lingkungan hidup.

Untuk melangkah maju, kita tidak saja harus lebih terorganisir tetapi juga lebih realistis terhadap kekuatan lawan, dan lebih terbuka untuk mau mengusung isu ekonomi yang lebih luas tepat di pusat krisis lingkungan hidup. Gerakan lingkungan hidup harus berhenti berpikir bahwa negosiasi dengan sekelompok elit akan melahirkan kompromi yang akan menyelamatkan lingkungan hidup. Sebab tujuan mereka adalah “sustainable development”, mempertahankan pertumbuhanitu artinya mempertahankan pertumbuhan ekonomi di negeri kaya dan mempertahankan akumulasi modal. Lembaga semacam ini tidak akan pernah berkompromi.

Ekologi melawan Kapitalisme

DS: Tidak seperti para ekolog radikal, yang cenderung menggambarkan “modernitas” atau “industrialisasi” sebagai sumber pengrusakkan lingkungan hidup, anda malahan menekankan pentingnya landasan teori ekologis dan praktek yang sistematis dalam mengritik kapitalisme. Bisa anda jelaskan lebih detil?

JBF: Pertama-tama, fakta bahwa kapitalisme adalah sistem sosial yang berlaku di dunia yang kita tinggali ini adalah fakta yang tidak dapat dipungkiri lagi, dan satu-satunya cara untuk lebih memahami dan memetakan sistem tersebut adalah dengan berpikir seperti seorang kapitalis. Sudah sejak dahulu para ahli ilmu sosial dari berbagai disiplin ilmu dan berbagai spektrum politik setuju atas gagasan ini dan berbagi pemahaman dasar cara kerja sistem tersebut.

Dalam lingkungan progresif, tentu saja, pentingnya atau tidak “memberi nama sistem” tersebut, terus menerus diperdebatkan. sebab terkadang terlihat terlalu radikal dan terlalu dibesar-besarkan bila kita mengakui bahwa kapitalisme adalah satu-satunya momok dari masalah yang kita hadapi. Sebaliknya, banya organisasi tidak sungkan menyebut “nama” kapitalisme. Majalah Fortune dan Business Week secara eksplisit memuja kapitalisme. Pendekatan apapun yang kita adopsi, masih ada sedikit keraguan sistem apa yang sebenarnya kita anut.

Agar “Industrialisme” dihargai, perlu dipahami kapitalisme merusak lingkungan hidup jauh sebelum adanya revolusi industrisehingga masalahnya tidak bisa ditimpakan begitu saja pada metode produksi industri. “Modernitas” adalah kategori yang teramat sangat luas sehingga terkadang sangat sulit mendefinisikan arti sesungguhnya. Apapun itu, sebenarnya kita hanya akan banyak menghabiskan waktu membahasnya, dan itu bukan cara yang tepat untuk mendeskripsikan sebuah sistem sosial. Pembahasan tersebut mungkin saja memberi kan pengertian pada kita tentang metode bagaimana menjelaskan pola perkembangan historis karakteristik sistem sosial yang kita miliki, tetapi hal tersebut tak mengarahkan kita pada apapun yang konkrit. Jika modernitas adalah cikal bakal kerusakan lingkungan hidup, maka masalah nya hanya akan timbul dalam masyarakat “modern”. Aku rasa terlalu gegabah untuk membuat kesimpulan semacam itu.

Menurut ku persoalan ekologis timbul sejak satu milenia, tetapi untuk memahami persoalan ekologis dalam satu kurun waktu tertentu perlu pemahaman akan sistem yang berlaku pada saat itu. Kapitalisme memang sangat merusak lingkungan hidup, tapi perlu diingat kapitalisme bukan lah satu-satunya sistem yang merusak. Sistem ala-Soviet juga melakukan pengrusakan lingkungan dengan cara dan alasan yang berbeda. Feodal dan masyarakat lainnya pada milenia sebelumnya juga sangat merusak lingkungan hidup.

Jadi, dapat dikatakan bahwa meningkatnya krisis ekologis global menunjukan kerja keras kapitalisme. Jika anda mencari apa sumber asal kekuatan yang memicu krisis tersebut, terlihat jelas bahwa sebab musababnya tak dapat dipisahkan dari dinamika dasar kapitalisme global itu sendiri. Dahulu dan sekarang kapitalisme tetap menuntut pertumbuhan ekonomi yang konstan dan cepat. Jadi, pada dasarnya, dapat disimpulkan bahwa ekonomi kapitalis diharapkan menikmati pertumbuhan ekonomi sebesar 3% setiap tahun nya. Sehingga perekonomian dunia akan meningkat 16 kali dalam seabad, 250 kali dalam dua abad, dan meningkat 4.000 kali dalam tiga abad. Itu memang hanya hitungan matematis, tapi itu menunjukkan bahwa sistem ekonomi yang begitu hebat, tentu saja, dalam konteks biospere tertentu, akan mendatangkan masalah. Ya, dalam skala sistem ekonomi global, tentu saja semakin berseberangan dengan proses biokemikal planet. Dengan begitu, pendekatan lingkungan hidup yang tidak memperhitungkan pentingnya pertumbuhan kapitalis jelas akan mendatangkan keraguan dalam hal efektifitas dan kemampuannya.

DS: Dalam konteks ekologi Marx, anda mengatakan bahwa hasil karya Marx sebagai sumber inspirasi pemikiran ekologi radikal kurang dihargai. Apakah itu tidak bertentangan dengan pemikiran Marx dan Marxis secara umum? Bagi sebagian pemikir “hijau” (lingkungan), Marx didakwa tak punya sikap terhadap masalah lingkungan hidup, atau bahkan terang-terangan anti-ekologi bila dilihat dari kepercayaan “Promethean” nya dalam menyikapi perkembangan ekonomi dan teknologi, serta dalam hubungannya dengan tradisi pencerahan yang berorientasi untuk “menguasai” alam, dan lain sebagainya.

JBF: Ya, aku memang menentang intrepretasi Marx seperti yang anda sebutkandan mungkin hanya aku yang berpikir demikian. Berkat beberapa peneliti, telah didokumentasikan bahwa Marx sebenarnya menulis tentang krisis ekologis dan langkah-langkah penanggulangannya. pandangan Materialis Marx dipengaruhi oleh Justus von Liebig, ilmuwan tanah (soil) abad sembilan belasyang jelas tercermin dari gagasannya tentang “jurang metabolis” (metabolic rift) yang tumbuh di antara daerah pedesaan dengan kota, dan dislokasi ekologis sebagai akibatnya. Gagasan-gasan seperti itu, seharusnya terus menjadi sumber analisa kritis problematika ekologis. Kegagalan memanfaatkan kontribusi Marx, hingga ke bagian-
bagiannya, dimulai saat adanya peningkatan keberpihakan sehingga nilai-nilai ekologi dan bentuk-bentuk pemahaman secara fundamental diberikan kesempatan layaknya pemikiran ilmiah dan materialis. Saat ini, menjadi “ekologis” berarti melihat lingkungan hidup dengan cara yang lebih spiritualis dan idealis, dan membeber-bebrkan sikap instrumental, reduktif, dan antagonistik terhadap alam yang, padahal, seharusnya dijelaskan oleh ilmu pengetahuan dan Pencerahan. Sejalan dengan itu, menjadi seorang pecinta lingkungan hidup berarti menolak ide-ide “antroposentris”, menanamkan kesadaran spiritual yang didapat dari nilai-nilai yang dikandung alam, dan bahkan bisa saja menempatkan alam di atas manusia.

Berbeda dengan pernyataan diatas, ada tradisi lingkungan hidup yang lebih menggunakan prinsip-prinsip materialisyang sebenarnya telah melahirkan lebih banyak ilmu ekologiyang sampai sekarang masih terus diperdebatkan. Tradisi tersebut, dalam berbagai bidang, telah mampu memprediksi permasalahan ekologis lebih awal dan lebih substansial, danmenurut kumemberikan banyak sumbangan bagi kita untuk mengatasi nya sekarang ini. Terlebih lagi, tradisi tersebut tidak begitu saja mengkotak-kotakkan anda sebagai antrophosentris atau ekosentris, pro-manusia atau pro-alam. Sebaliknya, tradisi tersebut mengetahui bahwa inti masalahnya lebih mengacu pada interaksi hubungan antara manusia dengan alam, bagaimana kita mengatur hubungan kita dengan alam. Kita harus mengetahui kandungan instrinsik alami bumi dan, tentu saja, berusaha melindunginya. Namun kita juga perlu memahami bahwa kita tidak bisa memungkiri fakta bahwa kita telah merubah alam selama kita hidup dan bekerja atas bumi ini. Sampai tahap ini, tujuan utama kita seharusnya adalah merubah alam tanpa merusaknya, membuat aturan tentang hubungan kita dengan alam.

Di situ lah, Marx, sebenarnya menjelaskan bagaimana mengatur hubungan kita dengan alam dan bahwa, sebenarnya, proses lingkungan hidup itu berkaitan dengan perkembangan hubungan masyarakat dan sosial. Sayangnya, para analis marxis tidak benar-benar mengikuti jejak sang guru, setidaknya tidak cukup lama, sehingga pandangannya tentang ekologis hilang. Para anti-positifisme Marxisme Barat terkadang memanifestasikan diri dengan mengabaikan atau memusuhi ilmu pengetahuan. Dilain pihak, “materialisme dialektik” yang berasal dari Uni-soviet itu sifatnya over-positif dan terlalu memuja serta
memakai konsepsi ilmu pengetahuan yang salah. Di situ lah analisis ekologis jadi salah kaprahdi satu sisi, ilmu pengetahuan mekanis tidak memberikan ruang untuk manusia; di sisi lain, hermeneutik, tradisi humanistik yang menolak ilmu pengetahuan.

Kita membutuhkan materialisme yang lebih rasional, yang memandang permasalahan ekologis dengan imbang, dan memadukan kepedulian untuk mengatasi krisis lingkungan dengan kebutuhan untuk mepertahankan keberlanjutan dilihat dari perspektif ekonomi. Sampai pada tahap tersebut, Marx merupakan salah seorang pemikir yang meletakkan prinsip-prinsip dasar materialisme tipe tersebut, aku rasa pemikirannya masih sangat penting bagi kita.


entang Moralitas Ekologis

DS: Anda jelas sangat berhati-hati terhadap posisi pemahaman idealistik lingkungan hidup yang berbasis pada pandangan “ekosentris”, semangat abad baru, dan sebagainya. Anda juga berpendapat krisis ekologi saat ini juga merupakan krisis nilaiyang muncul dari dominasi nilai-nilai pasar dibanding yang lain. Berarti anda menyatakan kita membutuhkan “revolusi moral” dalam hubungan kita dengan alam, revolusi tidak hanya terhadap tindakan-tindakan dan keputusan-keputusan yang tidak bertanggung jawab yang diambil oleh konsumen perorangan, politisi, dan para pejabat tinggi eksekuti, tetapi juga terhadap “amoralitas tingkat tinggi” sistem kapitalisme itu sendiri. Bagaimana caranya kita menerapkan kategori-kategori moral terhadap pelaksanaan sebuah sistem sosial? Apakah itu berarti menyepelekan tanggung jawab individu yang sekarang diteriakkan oleh para ahli lingkungan hidup?

JBF: Memang agak sulit membicarakkan moralitas pada tahap ini, tetapi perlu dilakukan jika kita tidak ingin meletakkan kesalahan pada individu tertentu atas kerusakkan ekologi yang dipicu oleh sistem pasar para kapitalis. Aku mengutip istilah “amoralitas tingkat tinggi” dari C. Wright Mills, beliau juga menggunakannya untuk mengekspresikan kepedulian terhadap status moral struktur-struktur sosial yang membentuk dan membatasi pilihan dan tindakan seseorang.

Seiring dengan berjalannya waktu, kita terbiasa menerima prinsip-prinsip dasar moral tertentu dalam melihat perkembangan manusiacontohnya, setiap orang tidak bebas dari tekanan dan kontrol, berhak mengembangkan bakat dan kemampuan masing-masing, berpartisipasi dalam proses demokrasi, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip tersebut tentu saja terikat pada soal-soal yang berkaitan dengan perkembangan sosial yang lebih umum dan, berarti, prinsip-prinsip dasar tersebut terbentuk seiring dengan pergulatan manusia dan, dalam prakteknya, memiliki kondisi-kondisi sosial tertentu.

Jadi bagaimana kita melihat sebuah sistem sosial yang menghambat perkembangan manusia seperti itu? Bagaimana jika sistem tersebut, seperti yang kita miliki, sebenarnya membatasi kebebasan berkembang keseluruhan populasi dan, hanya, dikuasai oleh segelintir orang? Bagaimana jika sistem tersebut, hanya, mengutamakan kepentingan para penanam modal kaya, dan mengabaikan nasib seluruh populasi sekarang dan keturunannya? Buat aku, sitim tersebut terlihat sebagai bentuk “amoralitas tingkat tinggi.”

Anak cucu kita, jika tidak punah, tentu tidak akan memuja orang yang merusak alam, tidak juga sistem yang memungkinkan terjadinya hal memalukan itu. Perlu kita sadari bahwa tanggung jawab moral kita pada anak cucu tidak hanya terletak di tangan perorangan, tetapi terkait pada keseluruhan struktur masyarakat di mana kita, sebagai individu, terlibat di dalamnya.

Tentu saja kita bertanggung jawab atas tindakan-tindakan pribadi kita namun, yang perlu dipahami, tindakan-tindakan tersebut terkadang bukan pilihan melainkan ditentukan dan diarahkan oleh struktur masyarakat tertentu yang kita anut. Marx, sebagai contoh, tentu saja tidak menggambarkan para kapitalis sebagai orang baik, akan tetatpi dia, mungkin melebihi kritikus sosial terkenal pada zamannya, berulang kali menyalahkan kelemahan kapitalisme atas kerakusan dan kesalahan pelakunya. Marx menyadari bahwa ketika orang ditempatkan sebagai kelas kapitalis, maka tidak salah jika dia melaksanakan aturan pasar dan berusaha mendapat untung besar atas barang serta investasinya. Masalahnya proses pasar yang berorientasi keuntungan itu secara sistematis berkecenderungan merampas hak orang lain dan merusak lingkungan hidup.

Setiap Institusi yang merusak alam dan mengakibatkan keturunan kita semakin kehilangan interaksinya dengan alam bisa dimasukan ke dalam kategori amoralitas tingkat tinggi. Marx menulis manusia tidak memiliki dunia, kita hanya menggunakan dan berkewajiban melestarikannya untuk anak cucu kita. Itu lah landasan prinsip moral yang menggaris bawahi semua pertanyaan tentang keberlanjutanlandasan dasar universal bagi setiap masyarakat yang merasa bahwa keturunannya berhak mendapat kesempatan yang sama.

Sedihnya, prinsip-prinsip dasar tersebut tidak berpengaruh banyak dalam masyarakat kita. Masyarakat dengan rakus terus menerus memanfaatkan alam milik anak cucu kita. Para peneliti meyakini bahwa pada akhir abad ini akan terjadi kepunahan sekitar 30-50 spesies mahluk hidup. Mereka menyebutnya sebagai “kepunahan keenam.” Kepunahan terakhir yang sebanding terjadi sekitar 65 juta tahun yang lalu, yaitu ketika dinosaurus mengalami kepunahan. Kita, manusia, melakukan itu terhadap bumitidak sebagai individu-individu, melainkan sebagai bagian dari sebuah sistem sosial yang membuat kita menjadi penghancur dan menilai segala hal berdasarkan akumulasi modal.

DS: Walaupun mengalami kemunduran politik dalam beberapa tahun ini, sebagian besar segmen masyarakat tetap menunjukkan kepedulian mereka terhadap permasalahan lingkungan hidup. Sayangnya, banyak sekali cara untuk menunjukkan kepedulian terhadap lingkungan hidupseperti bersepeda ke kantor, mandi lebih cepat, menggunakan lampu hemat enerji, daur ulang, kompos, dan lain sebagainyatanpa menciptakan pilihan gaya hidup yang sadar lingkungan. Bagaimana caranya agar gerakan lingkungan hidup mulai menghubungkan ekspresi-ekspresi kesadaran dan tanggung jawab ekologi seperti tersebut ke arah yang lebih transformatif?

JBF: tentu saja dibutuhkan organisasi politik yang lebih tinggi tingkatannya dan kemauan besar untuk menohok langsung ke pusat masalah sebenarnya. Gerakan lingkungan hidup harus menyadari bahwa musuh utama mereka berada pada struktur kekuasaaan masyarakat kapitalis. Intinya, mencapai kestabilan lingkungan hidup berarti merubah struktur kekuasan masyarakat kapilatis, bukan memperbaiki kerusakan kecil yang dihasilkannya.

Saya akan berikan contohnya. Kita sering diberitahu, agar sadar lingkungan, untuk secara sadar memilih tidak mengendarai mobil, dan sebaliknya lebih memilih berjalan kaki, mengendarai sepeda, atau menggunakan kendaraan umum. Padahal bagi sebagian orang pilihan-pilihan tersebut tidak masuk akal. Jalan-jalan, pekerjaan dan keseluruhan infra-struktur urban yang ada tidak memungkinkan kita melakukan kegiatan sehari-hari dengan bersepeda atau berjalan kaki, serta banyaknya tempat yang tidak terjangkau kendaraan umum. Dengan keadaan seperti itu, mengharapkan manusia membuat pilihan pribadi yang sadar lingkungan saja sangat tidak memadai. Kita perlu terorganisir secara politis untuk menciptakan struktur-struktur sosialtransportasi umum, sistem kereta dalam kota, jam kerja yang luwes, perencanaan kota dan pengembangan lahan yang baru, dan lain sebagainyayang memungkinkan manusia benar-benar dapat melakukan pilihan-pilihan tersebut.

Hal itu juga berlaku pada berbagai permasalahan lain. Anda bisa saja menyuruh seseorang untuk “belanja hijau” (belanja produk ramah lingkungan), tetapi tidak banyak faktor penunjang yang memungkinkannya. Tidak ada label pada produk yang membedakan produk “hijau” dari produk lainnya di rak-rak pasar swalayan besar; atau bahkan produk-produk ramah lingkungan tersebut malah tidak tersedia sama sekali, atau terlalu mahal sehingga tidak terjangkau. Intinya, semua itu permasalahan politik, yang berpusat pada struktur kekuasaan yang perlu diambil alih sebelum kita dapat membuat pilihan–pilihan yang ramah lingkungan.


Melihat Kedepan

DS: Dalam sebuah artikel, yang awalnya diterbitkan dalam Monthly Review, dan kemudian menjadi salah satu bab dalam buku anda yang berjudul Ecology Against Kapitalisme (Ekologi Melawan Kapitalisme), anda menuliskan tentang “the limits of environmentalism without class” (keterbatasan lingkungan-hidup-isme yang tak berkesadaran kelas). Menurut anda mengapa gerakan lingkungan hidup yang ada sekarang perlu melirik persoalan kelas sosial?

JBF: Tulisan tersebut aku tulis awal tahun 1990-an, pada saat krisis burung hantu berbintik di hutan tua, barat-laut pasifik. Pada masa itu, strategi kebanyakan organisasi lingkungan hidup yang berpengaruh adalah menggunakan pendekatan yang sempit dan tunggal terhadap konflik. Pada dasarnya, mereka memihak alamsatu-satunya perhatian mereka tertuju pada melindungi hutan tua, dan sama sekali bukan tanggung jawab mereka untuk mengurusi penyebab kerusakan hutan seperti pekerja hutan atau kondisi ekonomi komunitas para pekerja. Aku sempat berbincang-bincang dengan salah seorang yang bertugas mengadakan lobi dengan Washington DC tentang permasalahan tersebut, dan dia dengan gamblang menjelaskan pandangan organisasinya, mempertimbangkan kondisi para pekerja hanya akan melemahkan posisi mereka. Baginya, kerja aktifis lingkungan hidup hanyalah melindungi hutan.

Kesalahan mengadopsi strategi tersebut adalah: anda mengabaikan para pekerja, yang sebenarnya punya kepedulian untuk melestarikan alam, namun khawatir akan kelangsungan hidup dan dan pekerjaannya, sehingga terpaksa bergabung-memihak manajemen dan mengadopsi bentuk industri yang merusak ekologi. Pada kasus krisis burung hantu berbintik, para pekerjawalaupun sebenarnya bermasalah dengan perusahaan-perusahaan kayu tempat mereka bekerja dalam soal gaji dan persoalan buruh lainnyatidak punya pilihan selain memihak perusahaan. Mereka melihat bahwa kerja para aktifis mengancam pekerjaan mereka. Dalam konteks tersebut, “gerakan bijak” di Barat berhasil mengeksploitasi dan “mengipasi” kekhawatiran para pekerja, walaupun mereka dibiayai oleh modal dan tujuan utamanya memperlancar jalannya modal. Aliansi politik antara pekerja dan industri itu lah yang menjadi penyebab utama proses perumusan kebijakan lingkungan hidup mendapat banyak perlawanan di Barat.

Yang ingin aku sampaikan di sini: jika aktivis lingkungan hidup hanya menggunakan satu sudut pandang dalam melihat sebuah permasalahan, mereka dengan sengaja menyerahkan para pekerja ke tangan pemodal. Agar strategi mereka efektif secara politik dan menyentuh permasalahan dasar, mereka harus menghadapi persoalan kelas sosial. Dalam masyarakat kapitalis, yang sebagian besar penghuninya adalah kelas pekerja, gerakan lingkungan hidup tidak akan kemana-mana jika orentasi mereka berputar pada kelas menengah atas keatas, atau begitu saja menisbikan kelas sosial dan menyerahkan nasib para pekerja di tangan pasar. Gerakan lingkungan hidup sebaiknya tidak hanya memberikan pilihan antara melestarikan alam atau mempertahankan pekerjaan bagi para pekerja. Sebaliknya, membuat program politik yang memenuhi kebutuhan sosial dan material para pekerja yang juga ramah lingkungan. Dengan terbangunnya strategi politik pekerja-aktivis lingkungan hidup maka perubahan yang sejati akan terwujud.

DS: Dalam buku anda The Vulnerable Planet, anda menulis tentang “the socialization of nature” (sosialisasi alam)tujuan politis yang, sampai pada tahap tertentu, terlihat seperti sandiwara kecil tentang tujuan tradisional kaum kiri dalam mensosialkan ekonomi. Untuk sebagian akhli lingkungan hidup, itu artinya sama saja dengan mengurangi kewaspadaan, dan dapat diartikan melanggengkan subordinasi alam atas kebutuhan sosial manusia. Bisakah anda menjelaskan istilah anda tersebut lebih rinci?

JBF: Kekuatan dominan yang berkuasa sekarang ini mengarah pada apa yang kita sebut sebagai swastanisasi alam. Perekonomian global sekarang ini terus merubah kekayaan alam sebagai komoditas swasta yang dapat dibeli dan dijual di pasarair, hutan, spesies tanaman, dan bahkan (dengan meningkatnya polusi) atmosfir. Kecenderungan swastanisasi alam sangat merusak, dan memicu permasalahan-permasalahan lingkungan hidup yang selama ini kita perdebatkan, yakni masalah endemik kapitalisme.

Sosialisasi alam tidak lah demikian maksudnya. Menurut pandangan ku, semakin kita menempatkan alam dalam perlindungan manusia melalui proses demokratik yang dapat menentukan aturan keberlanjutan, maka keadaan akan semakin membaik. Jika kita memandang kekayaan alam sebagai kapital, kita membiarkan kontrol dan eksploitasi alam berada di tangan perseorangan, yang dapat merusak keberlanjutannya.

Sebagai contoh, bila kita merubah sebagian hutan untuk kepentingan pribadi, maka tak ada lagi yang dapat dilakukan oleh masyarakat sebab daerah tersebut adalah milik pribadi. Hutan-hutan kita memang dalam kondisi rusak parah sekarang ini, tetapi bila dibandingkan dengan hutan pribadi, kondisinya jauh lebih baik. Jika anda melihat lahan-lahan milik perseorangan di wilayah Barat laut Pasifik, anda akan menemui bahwa semua pepohonan yang cukup tua telah dibabat habis dan diganti dengan pepohonan muda yang akan sesegera mungkin dipanen (dipotong). Bentuk produksi dan panen semacam itu merupakan produksi industri dan sama sekali tidak memperdulikan pelestarian integritas hutan atau kesehatan ekosistem. Satu-satunya alasan kita masih memiliki hutan adalah karena hutan tersebut adalah hutan lindung yang dilindungi pemerintah, dan hutan itu tersebut telah disosialisasikan.


Sekarang ini, para pembela swastanisasi sangat menghakimi negara, cenderung menghubungkan setiap bentuk “sosialisasi” dengan totalitarianisme ala-Soviet, statisme, dan lain sebagainya. Mereka cenderung melupakan bahwa negara memiliki berbagai wujudwalaupun, demokrasi itu sendiri tak akan ada tanpa negara. Ketika segala sesuatu di bumi menjadi milik pribadi, maka daerah kepentingan demokratik publik akan menghilang, dan anda akan dikelilingi aktor-aktor swasta yang dengan egoisnya mengejar kepentingan pribadi masing-masing. Dalam meriahnya era swastanisasi dan deregulasi sekarang ini, terkadang kita lupa bahwa banyak kebutuhan dasar yang harus kita nikmatidari setetes air, hingga listrik, sanitasi, taman-taman, dan lain sebagainyatidak disediakan oleh bisnis, melainkan oleh agen-agen publik untuk memenuhi permintaan demokratik. Seperti halnya, perlindungan lingkungan hidup paling mendasar yang kita miliki sekarang ini dihasilkan dan dilaksanakan oleh badan-badan publik demokratik, yang dengan berat hati diberi sedikit ruang oleh kelas kapitalis.

Jika semua hal dimuka bumi diswastanisasi, maka sebagian besar populasi manusia akan kehilangan kemampuan untuk melindungi alam atau bahkan melindungi diri sendiri dari serangan kehendak kaum minoritas penguasa, yang memiliki dan menguasai sebagian besar sumber-sumber daya sosial. Kebalikannya, jika bumi menjadi milik dan memenuhi kepentingan publik, maka kita telah meletakkan alam dalam sebuah kontrol politik yang memberlakukan prinsip-prinsip demokratik. Berdasarkan pemahaman itu lah sosialisasi alam merepresentasikan strategi demokratik dan anti-kapitalis, yang berhubungan dengan sosialisme. Sosialisme mendukung pelaksanaan penuh kontrol publik demokratik, meyakini bahwa mayoritas masyarakat biasa berhak menentukan pemanfaatan sumber-sumber daya kolektif. Aku pikir, kita seharusnya melangkah ke sana jika ingin merubah hubungan kita dengan alam dan meraih keberlanjutan yang sejati.


Wawancara antara Dennis Soron dengan John Bellamy Foster. Wawancara ini dilakukan melalui telepon pada bulan Januari Tahun 2004, dan diterbitkan bulan Agustus, 2004, pada Aurora Online—Interviews with Leading Thinkers and Writers (wawancara dengan para pemikir dan penulis terkemuka), htttp://aurora.icaap.org. Tulisan yang tersaji ini telah mengalami sedikit modifikasi. (1)

Dennis Sorron adalah peneliti Neoliberal Globalism and Its Challengers Project (globalisme neoliberal dan proyek-proyek tandingannya) di Universitas Alberta, tempat ia mengajar sebagai dosen paruh waktu pada departemen sosiologi; Monthly Review, November, 2004. (2)

Tidak ada komentar: