komunitas literasi idefix makassar - http://idefixmakassar.blogspot.com/
memperkenalkan sahabat dan jejaring Rumah Asa.........
artikel oleh : Irfan Saputra [2]
Kapitalisme bukanlah sistem sempurna tanpa borok, namun justru mengandung cacat bawaan. Sebagai sistem yang sangat kompleks dan rumit, penghisapan dan eksploitasinya hampir-hampir tak terlihat. Dengan logika dan otomatisasinya, kapitalisme memiliki kemampuan dalam menyembunyikan dan membalik logika-logika umum sehingga eksploitasi yang dioperasikan selalu tampak logis, direproduksi, sehingga membuatnya terus berdiri tegak. Namun bukan berarti kapitalisme tidak bisa diruntuhkan. Potensi-potensi keseharian kita adalah bibit revolusioner dan subversif yang dapat menggoyahkan sistem ini. Mulai dari hal-hal kecil seperti protes personal dalam coretan dinding, kaos sablonan, hingga gerilyawan bersenjata atau bom bunuh diri yang menyasar target vital dalam mensabotase sistem ekonomi.
Namun bagaimana bila hal-hal subversif tersebut dapat dijinakkan, bahkan dijual kembali menjadi sebuah komoditi? Atau bahkan lebih jauh, bagaimana potensi revolusioner tersebut terus menerus diselubungi sebuah mitos seakan-akan sistem yang diusung adalah oposisi dari sistem dominai bernama kapitalisme? Maka marilah kita mengenal Spectacle, sebuah terma yang sayangnya tidak memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia.
Spectacle dan Kapitalisme
Dalam The Society of Spectacle (1994), Guy Debord menguraikan sebuah analisa modern tentang perkembangan mutakhir kapitalisme yang beranjak hingga pada level abstraksi paling radikal. Tesisnya melampaui argumen-argumen klasik tahapan perkembangan kapitalisme tertinggi. Spectacle adalah terma sentral yang dikembangkan oleh Situasionis International dengan mengadopsinya dari George Baitalle, yang dalam bahasa Perancis berarti ‘pertunjukan’. Situasis International, sebuah organisasi teoritis dan radikal pada dekade 60-70-an, satu-satunya grup ‘ultra-kiri’ yang kemudian berhasil mendorong revolusi paling fundamental dalam era kapitalisme lanjut (Paris ’68). Mereka memformulasikan sebuah teori tentang bagaimana kapital memproduksi spectacle.
SI menggunakan terminologi ini untuk menyatakan sebuah cara pandang baru dalam masyarakat, dimana ditegaskan bahwa tatanan masyarakat yang berdiri direpresentasikan melalui sekumpulan imaji atau ilusi. Dalam spectacle satu hal yang terpenting adalah imaji, kesan, atau ilusi. Untuk membuat diri tampak lebih Muslim, misalnya, kita dapat memakai simbol-simbol seperti sorban, kerudung atau baju koko. Dalam hal ini nilai sesuatu didapat dari imaji yang ditampilkannya, dan bukanlah hal tersebut secara ontologis.
Hal ini dijelaskan oleh Debord bahwa “spectale bukanlah kumpulan dari imaji-imaji, tetapi sebuah relasi sosial dalam masyarakat yang dimediasi oleh imaji” (1984). Artinya masyarakat berkomunikasi menggunakan imaji sebagai alat komunikasi sekaligus alat mediasinya. Kalau kita berbicara tentang Islam, maka yang dibicarakan sesungguhnya adalah kesan Islami. Begitupun bila mendiskusikan komunisme, yang sebenarnya kita maknai adalah citraan-citraan tentang komunisme. Dan sialnya, pada tahapan abstraksi tertinggi, keseluruhan hidup yang kita jalani ini hanyalah imaji atas hidup belaka! Atau dalam kapitalisme lanjut yang mutakhir ini, keseluruhan hidup yang kita jalani tersebut tidak lain hanyalah sekumpulan imaji-imaji yang merepresentasikan hidup yang sesungguhnya.
Resistensi dan Rekuperasi dalam Dunia Tontonan
Kapitalisme menghadapi rongrongan di sana-sini. Dari sikap subversif dan membangkang secara individu, komunitas kecil, hingga dalam bentuk gerakan sosial yang lebih luas dalam menjatuhkan pemerintahan terjadi dimana-mana. Di berbagai penjuru dunia terbangun kolektif-kolektif otonomis, yang membangun kehidupan lepas dari hegemoni kapital. Mereka saling bekerja sama dalam prinsip mutual aid, membentuk tatanan sosial yang lebih adil dari bawah. Serta fenomena yang populer di Amerika Latin dimana beberapa negara melangkah progresif dalam menggantikan kapitalisme lalu menjanjikan apa yang disebutnya sosialisme. Kesemuanya memiliki tipikal yang sama : menolak kapitalisme dan menawarkan sebuah alternatif.
Kapitalisme juga diwarnai konfigurasi lain dalam era mutakhirnya ini. Apapun yang berkembang dalam Dunia Tontonan (Spectacle) tidak akan melampaui toleransi dari kemampuan spectacle sendiri untuk merawat dirinya. PT. Newmount akan berupaya untuk tampil ramah lingkungan untuk menghilangkan kesan/imaji buruk atas tindakan-tindakannya yang mencemari lingkungan. Nike akan berupaya untuk menghadirkan kesan sportif di balik pengoperasian pabrik-pabriknya yang mengeksploitasi buruh berusia muda (sweatshops).
Naomi Klein dalam No Logo (2002) buku yang disebut-sebut orang sebagai Das Capitalnya abad 21 (dimana karya Debord adalah Das Capital abad 20), mengatakan bahwa hal tersebut tidak dilakukan untuk sekedar membersihkan, menelikung atau merubah imaji atas profil korporasi. Namun pembangunan sebuah corporate brand adalah tindakan terencana secara ekonomis dan terukur secara strategis, yang berhubungan erat dengan bagaimana eksistensi sebuah kapital. Jangan heran, sektor periklanan (advertising) menjamur dimana-mana dalam rangka membangun sebuah infrastruktur kapitalis dalam menawarkan, dan mengelola imaji dan hasrat.
Dalam spectacle, kita bisa saja menolak atas sistem yang eksis saat ini. Akan tetapi pilihan-pilihan yang akan hadir hanyalah representasi, bukan subjek dari alternatif yang kita kehendaki. Misalnya mengapa kita dirancang menjadi masyarakat konsumtif? Karena konsumerisme adalah sebuah pilihan atas bentuk kehidupan yang memungkinkan dari konsepsi hidup itu sendiri. Hanya dengan berbelanja kita terwakili oleh bentuk kehidupan yang dipilih.
Maka Situasionis juga melengkapi analisa mereka dengan memperkenalkan ‘rekuperasi’. Rekuperasi singkatnya adalah proses penyembuhan bagi sistem kapitalisme, yang mengkooptasikan proses pertukaran yang dideterminasikan oleh nilai mata uang atas kreatifitas manusia yang telah muncul akibat sistem yang tidak stabil. Proses inkorporasi dan komodifikasi menyebabkan hal-hal subversif (tidak terbatas dalam makna politik saja) akan menemukan ajalnya menjadi sekedar proses pertukaran kapital. Hal tersebut terjadi sebagai sebuah rencana yang dikalkulasikan oleh beberapa industrialis.
Dalam spectacle, proses rekuperasi adalah logika dasar dalam mempertahankan dominasinya. Kapitalisme adalah sistem yang paling luwes, dan fleksibel. Kamu dapat saja menilai Venezuela, Rusia, atau China maupun Kuba sebagai negara sosialis. Karena dalam spectacle, sebuah istilah tidak akan berpengaruh besar semenjak substansinya terkungkung sebuah mitos berdasarkan pemaknaan kita dari sebuah kata/istilah. Menilai negara-negara tersebut sosialis, tentu adalah tindakan gegabah semenjak para rekuperator di tempat-tempat tersebut mempertahankan fitur-fitur utama dalam kapitalisme (kepemilikan, ketiadaan kontrol kelas pekerja atas faktor produksi, demokrasi representatif, dan sentralisasi urusan-urusan publik) lalu kemudian memitoskan sosok-sosok tertentu sebagai simbol untuk mengakumulasi hasrat-hasrat anti-kapitalisme.
Bila memakai pola pikir klasik, apapun yang bukan Amerika, apapun yang berjargon Kiri dan revolusioner pastilah anti-kapitalisme. Sayangnya argumen-argumen standar tersebut haruslah dilampaui sedemikian jauh. Dalam spectacle, semua pihak dibolehkan untuk mengambil sikap beroposisi (lihat saja kerumunan sub-kultur anak muda yang dibolehkan memberontak entah kepada apa dan siapa, dan mereka disuplai kebutuhan-kebutuhan habitusnya dalam komoditi-komoditi sub-kultur). oposisi terhadap kapital adalah oposisi yang dapat ditoleransi, dan bahkan memberikan surplus kapital secara resiprokal.
Oposisi palsu selalu menawarkan hasrat radikal yang berbeda dari kapital. Namun sekali lagi tidak lebih sebagai representasi atas hal-hal radikal, bukan ke-radikal-an itu sendiri. Jika kita memahami tentang sesuatu yang memiliki kesan yang baik, maka tentu bukan ke-baik-annya yang kita maksud. Tapi era kapitalisme mutakhier ini kesan, imaji, citra lebih telah lebih dipercayai ketimbang substansi.
Menawarkan Hasrat Pembangkangan
Kembali pada pertanyaan dasar, apakah kaos-kaos subversif yang dicetak dan beredar adalah bentuk resistensi ataukah rekuperasi? Ada banyak fenomena yang serupa dengan bahasan kita dalam diskusi ini. Tidak sekedar kaos sablonan yang berskala rumahan, tapi hasrat-hasrat yang terwakili oleh ikon-ikon populer yang ‘berniat’ menawarkan sebuah geliat pembangkangan tapi justru jatuh dalam perangkap spectacle.
Misalnya bagaimana seorang Kate Moss mempromosikan t-shirt Che Guevara dalam salah satu pameran busananya, atau Prada (perancang busana terkenal Italia yang juga anggota aktif Partai Komunis Italia) yang menggunakan citraan-citraan seorang revolusioner Marxis Jerman, Ulrike Meinhof, sebagai model bagi gaya busana mereka yang dinamai Prada-Meinhof. Bahkan sebuah pabrik parfum terkenal Inggris merilis produk barunya yang diberi titel ‘Anarchy’, dengan beberapa pilihan aroma bernama ‘riot’ dan ‘rebellion’.
Sebuah perusahaan clothing kecil atau seorang tukang sablon yang mencetak secara mandiri desain-desain yang menampilkan imaji-imaji revolusioner, subversif, dan menjualnya untuk keuntungan personal, tidaklah lebih baik dari seorang broker pilkada atau salesman produk multilevel marketing. Dalam skala paling kecil ini, terlihat skema menakjubkan bagaimana proses kapitalisme menggandakan diri secara otomatis. Inilah batasan tipis dari sebuah proses kreasi atas resistensi dengan rekuperasi. Jika produsen bertindak dalam rangka membangun imperium bisnisnya, tidak peduli skala kecil-kecilan maupun home industry yang massif, yang akan terjadi adalah komodifikasi, karena selembar kaos berdesain subversif memang memiliki pasarnya tersendiri.
Hanya ada satu jalan keluar dari Spectacle, yakni membongkar relasi representasi dengan sebuah tujuan-tujuan anti-kapital. Sebuah clothing, atau tukang sablon independen (hmmm?) hanya bisa keluar dari spectale, dan berhenti bertindak sebagai rekuperator ketika usaha-usaha kreatifnya tersebut didedikasikan pada pengembangan komunitas atau aktifitas yang memutus rantai relasi kapital. Kolektif Taring Babi di Jakarta misalnya, yang juga memproduksi kaos propaganda dan membangun komunitasnya dalam garis tegas terhadap kapitalisme, tentu berbeda dengan Chambers dan puluhan tukang sablon independen yang menawarkan hasrat pembangkangan, hasrat berbeda, hasrat unik, hasrat pemberontakan, hasrat perdamaian, hasrat keren, dalam rangka mengantongi akumulasi dari penjualan produk-produknya tersebut. Hanya hal tersebut yang membedakannya! Karena apa yang kita kenal sebagai pembangkangan, unik dan berbeda, pemberontakan, perdamaian, aktifis, saleh dan beriman, gaul atau keren adalah hal-hal yang hendak direpresentasikan dalam bentuk imaji-imaji yang berakhir sebagai komoditi. Seperti tagline sebuah merk clothing : You Are What You Wear!
[1]. Disampaikan dalam diskusi "Resistensi dalam Baju Kaos" 28 September 2007, SekolaHI & Komunitas Idefix
[2]. Partisipan 'Idefix Makassar', juga mendesain untuk "INGSOC", sebuah mini clothing yang dioperasikan secara mandiri oleh komunitas, untuk menghidupi Idefix dari serangan uang kontrakan dan tagihan listrik.
Daftar Referensi :
Klein, Naomi. 2000. No Logo. Flamingo
Debord, Guy. 1984. The Society of Spectacle. Zone Books
Andre F; Muhammad Dahu. 2005. Jeune, Prada-Meinhoof, Rekuperasi – News From Nowhere 0.1
Pam. 2006. Aku Membeli Maka Aku Ada - Konsep Do It Yourself Dalam Kasus Distro : Antara Community Empowerment dan Dependensi Konsumen, Beyond The Barbed Wire Issue No 02
DPK Team. 2006. Krisis Representasi dan Pertukaran Kapital dalam Jurnal Nihilis Vol 01. Bandung
Kolektif Kontra Kultura. 2003. Jurnal Odyssey. Bandung 2003
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
1 komentar:
Artikel di blog ini sangat bagus dan berguna bagi para pembaca. Agar lebih populer, Anda bisa mempromosikan artikel Anda di infoGue.com yang akan berguna bagi semua pembaca di seluruh Indonesia. Telah tersediaa plugin / widget kirim artikel & vote yang ter-integrasi dengan instalasi mudah & singkat. Salam Blogger!
http://infogue.com
http://infogue.com/mode/menawarkan_hasrat_pembangkangan_pada_selembar_kain_katun/
Posting Komentar