RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 03 April 2008

Sarekat Hijau Indonesia : Embrio Partai Hijau Progresif Indonesia

Andreas Iswinarto
Sekjen
Sarekat Hijau Indonesia

Salah satu warisan politik rezim Orde Baru yang masih terus bertahan adalah fenomena ‘massa mengambang’. Tidak hanya itu kelompok pro demokrasi yang melabelkan dirinya progresif pun ternyata juga mengidap gejala serupa. Gerakan prodemokrasi yang paling vital juga masih merefleksikan politik masa mengambang yakni sebagai gerakan atau aktor demokrat yang mengambang pula. Dimana secara umum mereka terfragmentasi, tidak terorganisir dengan baik dan terisolasi dari masyarakat biasa. Tak heran kemudian karena persoalan tersebut dan pilihan strategi yang tidak tepat menyebabkan elit sukses membajak sebagian besar momentum transisi demokrasi dan mereka mengambil keuntungan darinya.


‘Demokrasi elit’ yang terus saja mengidap KKN dan meluaskannya hingga ketingkat lokal. Dalam bahasa Mochtar Pabotinggi dalam wawancara di Kompas bila pada masa lalu ‘orde Baru’ mengerucut dalam sosok Soeharto dan barisan penjilat dan kroni-kroninya, kini elite itu tersebar dalam diri soeharto-soeharto kecil yang bercokol di eksekutif, legislatif, yudikatif di pusat dan daerah yang secara sistematis menjarah dan merampok negeri.

Inilah kesimpulan yang diperoleh dan dilansir tim riset DEMOS yang dipimpin oleh AE. Priyono, Stanley Adi Prasetyo dan Olle Tornquist belum lama ini.


Penggulingan Soeharto

Studi dan riset yang dilakukan oleh DEMOS ini mencoba memetakan neraca dan aktor demokrasi dan mengkaji pilihan-pilihan demokrasi di Indonesia pasca kejatuhan Soeharto. Kejatuhan yang terjadi akibat kombinasi anarki (krisis) keuangan global, intitusi domestik yang tidak berfungsi dan mahasiswa yang memberontak. Sesungguhnya bukan krisis keuangan maupun kapitalis internasional dan IMF yang menjatuhkan rejim Soeharto.

Krisis keuangan senyatanya hanya merupakan faktor pemicu yang cukup kuat. Jadi sementara Singapura, Muangthai, Korea dan bahkan Malaysia berhasil mengatasi masalah financial mereka dalam periode yang relatif singkat , permasalahan politik dan administrasi yang lebih mendasar dan berkepanjangan yang dialami Indonesia (yang mulai terlihat pada Juli 1996) mencegah terjadinya hal yang sama.

Baik aktor internasional, kekuatan oposisi di dalam pemerintah yang mengalami krisis ini, militer maupun bisnis tidak dapat mengambil inisiatif dan melangkah keluar dari kerangka kerja struktural dari rejim ini untuk mengisi kekosongan politik. Disamping itu kelompok pro-demokrasi berorientasi masyarakat sipil yang lemah pun tidak banyak membuat perbedaan. Jadi pada akhirnya, aktivis mahasiswa radikal (dengan dukungan berbagai kelompok pro-demokrasi) mempelopori munculnya perlawanan akibat frustasi dan menggantikan kurangnya demokrasi dalam gerakan dengan akar kerakyatan yang kuat. Akhirnya mahasiswa seperti halnya Ornop masyarakat sipil pendukung mereka berangsur hilang dalam waktu sekitar delapan bulan.

Tatanan pemerintah yang tersisa lebih mampu mengorganisasi ulang dirinya dan baeradaptasi dengan hak-hak dan institusi semi-demokratis yang dibangun dengan cepat daripada kelompok pro-demokrasi sendiri. Gerakan pro-demokrasi terbukti gagal memanfaatkan peluang atau berkah sistem politik yang lebih terbuka, perpecahan di kalangan musuh dan kemungkinan membangun aliansi. Di luar kemungkinan-kemungkinan baru itu, muncul pula masalah-masalah dalam panggalangan dukungan massa, memudarnya kesadaran umum dan tiadanya musuh yang nyata. Sayang sekali gerakan demokrasi belum mampu mengambil banyak keuntungan dari peluang-peluang baru itu.

Menurut Olle Pemilu 1999, pemilu pertama pasca Soeharto adalah pertama kalinya gerakan demokrasi tidak terrefleksi dalam pemilu. Demikian pula pada pemilu 2004 ini sulit melihat representasi aktivis atau aspirasi demokrasi yang sejati dan refleksi reformasi. Dalam waktu singkat mahasiswa kehilangan perannya segera setelah pemilu dijadikan agenda. Ornop segera pula kehilangan peran karena tidak bisa memobilisasi rakyat.

Walaupun Olle menyatakan pula ada tendensi dikalangan aktivis demokrasi, yang cenderung mengikuti rekomendasi solusi mainstream agar mereka meninggalkan politik , menyerahkan urusan politik pada elite, dan kembali melakukan kegiatan dalam masyarakat sipil. Dengan harapan akan ada sesuatu perubahan dari sana. Sayangnya solusi seperti itu, tidak banyak membuahkan hasil. Walaupun diakuinya gerakan pro-demokrasi masih tetap eksis dan mereka melakukan banyak hal yang bagus

Kesadaran Aktor Demokrasi

Gagasan mainstream inilah yang didorong dengan kuat oleh lembaga-lembaga internasional seperti PBB, UNDP dan bahkan World Bank. Gagasan yang menekankan membangun institusi-intitusi pada tingkat atas, menyerahkan urusan politik pada elite dan pro-demokrasi kembali pada civil society. Lepas masih bertahannya politik massa mengambang warisan Soeharto, solusi mainstream yang didorong oleh lembaga-lembaga internasional (dengan gelontoran dananya yang menggiurkan), keterpurukan demokrasi di negeri ini adalah kesalahan gerakan pro-demokrasi sendiri.

Sepanjang gerakan pro-demokrasi terhegemoni ataupun memilih secara sadar untuk hanya bergerak dalam kawasan civil society maka mereka masuk dalam pilihan wilayah marginal dalam berpolitik. Selain itu Olle secara tajam melontarkan pertanyaan sarkatis “Sepanjang kerja mereka terutama dalam organisasi-organisasi non-pemerintah serta kelompok penekan ingin membuat perubahan dari belakang meja, tanpa ada keterkaitan dengan rakyat, apa yang bisa mereka lakukan? “. Dari pada melepaskan karakternya yang elitis dan keengganan membangun sayap gerakan sosial dan politik, dan mereka memilih tetap berada diluar dan melanjutkan tendensi anti negara dan anti politik mereka akan terus termarginalisasi dan menuai kegagalan.

Aktor demokrasi harus segera menentukan pilihan strategis apakah tetap bertahan dengan cara lama dengan strategi perjuangan masyarakat sipil secara terus menerus melawan negara dan politik, seperti ketika berada dibawah Soeharto, untuk secara demokratis membebaskan sedikit demi sedikit masyarakat pada umumnya dengan melakukan tindakan langsung sembari pelan-pelan membatasi dan melobi negara dan para politisi. Ataukah memberikan perhatian utama dalam mendukung organisasi yang terdiri dari orang-orang kelas bawah dan berdasar pada kepentingan yang sama, namun juga dalam kaitannya dengan negara dan politik, dan kemudian bersama mereka, selangkah demi selangkah, mencoba untuk mereformasi, mendemokratisasi dan menggunakan demokrasi.

Kearah Agenda Konsolidasi : Green Politic

Lepas dari kegagalan karena kelemahan gerakan dan ketidaktepatan strategi, riset demokrasi yang dilakukan DEMOS dengan melibatkan 500 responden aktor demokrasi masih menggambarkan kegigihan, optimisme yang kuat dan sikap belum menyerah aktor-aktor demokrasi dibawah walau sadar benar atas kegagalan-kegagalan yang dialami. Misal saja, sejumlah aktivis sependapat perlu adanya kaitan antara tingkat nasional dan lokal, dan untuk melawan despotisme yang terdesentralisasi dengan cara mendukung kapasitas masyarakat untuk melaksanakan demokrasi di tingkat dasar di kecamatan dan pedesaan. Sementara banyak yang mengemukkan pentingnya bekerja lebih dari ornop elitis dan kelompok-kelompok sipil yang terbatas dan membuka organisasi-organisasi berbasis keanggotaan dn upaya-upaya nyata untuk mendorong organisasi massa sesuai dengan konflik dasar, ide dan kepentingan, namun sepertinya belum ada yang mengimplementasikan ide tersebut secara jelas.

Selain itu ada kesadaran perlunya diberikan prioritas pada pengorganisasian konstituensi berbasis kepentingan dan organisasi massa atau bahkan membangun front perlawanan bahkan partai politik yang mengakar yang dibangun dengan model bawah atas melawan kecendrungan partai yang dibangun dengan model atas bawah. Bila telah ada kesadaran untuk menghancurkan sekat dan isolasi dan membangun tali mandat dengan konstituen, bagaimana dengan soal fragmentasi yang akut yang dihadapi gerakan pro-demokrasi?

Salah satu kesimpulan dari 13 kesimpulan kajian Demos adalah fakta tentang begitu banyak isu dan kepentingan namun hanya sedikit agenda dan visi komprehensif. Soal ini menjadi titik kritis untuk membangun kapasitas gerakan pro-demokrasi untuk menghadapi persoalan di wilayah politik, pemerintahan dan khususnya soal representasi dan keterwakilan rakyat dalam politik. Disimpulkan bahwa terdapat ketiadaan ideologi menyangkut bagaimana berbagai kepentingan dan isu itu harus diagregasikan dan kemudian digunakan untuk mempengaruhi pembuatan prioritas-prioritas kebijakan menyangkut pengaturan masyarakat secara keseluruhan.
Lepas dari itu riset ini menemukan mulai tumbuhnya agenda dan visi yang komprehensif dalam fenomena jejaring gerakan green politic. Ditemukan bahwa kasus-kasus individual yang berkaitan dengan isu tanah, perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat, hak-hak sosial ekonomi, lingkungan hidup dan kasus yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi, tampak berhubungan erat dengan isu-isu pembangunan berkelanjutan dan pembangunan partisipatoris - termasuk pengelolaan secara swadaya atas kehidupan sosial-ekonomi, pengelolaan sumberdaya kolektif/komunitas, maupun tuntutan perbaikan penyelenggaraan kepentingan umum dalam rangka melawan privatisasi; juga gagasan-gagasan mengenai participatory budgeting.

Demos menyatakan kemudian bahwa semua ini bisa menjadi basis bagi agenda politik kiri-hijau yang lebih umum. Ini berseberangan dengan tidak adanya pertanda yang sama dalam agenda gerakan buruh yang lebih luas, dengan atau tanpa kepedulian kelas menengah liberal. Lepas dari sudah terbentuknya demokrasi prosedural menyangkut keberadaan lembaga-lembaga pemilu, amandeman konstitusi, legilatif, eksekutif, yudikatif namun perjalanan meraih demokrasi substansial masih jauh. Maka tidak bisa tidak kita harus semakin gigih melawan dengan kecerdasan dan imajinasi.


Sarekat Hijau Indonesia

Refleksi mendalam, kriti otokritik, dan kesadaran baru dari gerakan pro-dem dan gerakan sosial pada umumnya, secara khusus terjadi pula dilingkungan aktivis ornop lingkungan hidup (diantaranya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia) dan aktivis rakyat yang mengusung isu keadilan ekologi atau kedaulatan rakyat atas sumber daya alam dan lingkungan hidup, Setelah melalui proses pendiskusian yang panjang, proses assesmen, kolektif kerja ini menyapakati untuk mengkonsolidasikan diri dalam bentuk kepanitian kerja yang menyebut dirinya Badan Pekerja Persiapan Pembangunan Organisasi Politik Kerakyatan (BP3OPK) untuk melakukan assesmen lebih lanjut, sosialisasi gagasan sayap politik dan konsolidasi aktor gerakan hijau, dan lebih jauh melakukan pendidikan kader kepemimpinan politik rakyat..

BP3OPK akhirnya merumuskan enam kesimpulan untuk pembangunan kekuatan politik alternatif.

Pertama, pasca reformasi 1998, kelompok pro-dem dan gerakan sosial 'progresif" gagal mendeterminasi arah pembangunan lingkungan hidup, sementara kekuasaan justru di bajak oleh kelompok-kelompok pro-status quo yang mendapat dukungan dari 'mayoritas rakyat' melalui mekanisme demokrasi liberal yang meninggalkan agenda-agenda dan kepentingan rakyat kebanyakan termasuk mengabaikan semua tuntutan masyarakat korban akibat otoritarianisme orba.

Kedua, transisi demokrasi justru lebih menjadi kuda tunggangan bagi kekuatan-kekuatan pro pasar bebas (kapitalisme neo-liberal), ketika kelompok pro perubahan tidak ada signifikansinya terhadap cita-cita demokrasi kerakyatan. Sebab Indonesia masih menjadi bangsa jajahan melalui sistim penjajahan baru oleh negara-negara industri maju, IFI, WTO, ADB serta TNC-MNC. Sehingga mengakibatkan kemiskinan dan bencana ekologi terus terjadi.

Ketiga, gerakan lingkungan hidup berada di jantung perlawanan atas penghisapan penjajahan baru (eksploitasi sumber-sumber kehidupan), dibutuhkan kekuatan dari blok politik anti imperialisme lainnya selain blok politik hijau (buruh, nasionalis, sosialis dll) yang menjadi kekuatan politik alternatif dengan garis ideologi yang kuat dan berbasiskan pada kekuatan massa kritis yang masif, terorganisir, terpimpin untuk mendobrak kebekuan politik yang terjadi.

Keempat, Ditengah sistim yang korup dan kotor yang masih terus berlangsung para elite kekuasaan oligarki ini berhasil menyesuaikan diri dengan sistim demorasi liberal, mengkonsolidasikan dan memperluas kekuatannya, dan nyaris berhasil memonopolisasi dan memanipulasi demokrasi sepenuhnya untuk kepentingan sendiri. Dimana mereka juga berhasil membajak proyek desentralisasi dan otonomi daerah untuk melakukan ekspansi ke tingkat lokal.

Kelima, Disisi lain mereka juga berkolaborasi dan membuka diri seluas-luas pada ekspansi dan intervensi kekuatan-kekuatan kapitalisme global (neo-liberal) dalam penataaan politik-ekonomi Indonesia. Tak pelak ini melanggengkan sistim penjajahan baru / neo-imperialisme oleh pemerintahan negara-negara industri maju, IMF, Bank Dunia, WTO serta TNC-MNC.

Keenam, karena itu tugas perjuangan rakyat Indonesia hari ini haruslah berwatak gerakan pembebasan demoratik nasional. Berwatak demokratis karena perjuangan ini harus menumbangkan kekuatan politik-ekonomi yang dominan yang tidak demokratis dan menindas didalam negeri diantaranya oligarki politik kekuasaan yang merupakan bentuk lanjutan dari feodalisme (disamping patriarkhi, sikap rasis, militerisme-premanisme, dll) sekaligus berwatak nasional karena perjuangan ini harus menghancurkan secara politik, ekonomi, budaya penghisapan imperialisme.

Selain simpulan diatas ada tiga opsi yang berkembang tentang pilihan melakukan politisasi gerakan hijau yakni pertama membangun partai hijau, kedua ,membangun ormas politik dan ketiga melakukan diaspora politik.

Akhirnya setelah berjalan selama lebih kurang satu setengah tahun BP3OPK melangsungkan Konggres Rakyat Indonesia (KRI) yang dihadiri oleh perwakilan dari 18 propinsi. Melalui KRI yang berlangsung pada tanggal 4-5 Juli 2007 disepakati untuk mendirikan ormas Sarekat Hijau Indonesia. Dimana dalam Garis Besar Programnya ditegaskan bahwa ormas ini ke depan akan menyiapkan pula lahirnya kendaraan politik alternatif, PARTAI POLITIK HIJAU.


AGENDA SHI

Ketika kami telah bersepakat untuk mendirikan Sarekat Hijau Indonesia sesungguhnya kerja-kerja utama kami tidaklah dimulai dari titik nol. Kerja-kerja yang pokok adalah konsolidasi dan penyatuan gagasan gerakan sosial menjadi gagasan gerakan politik disisi lain transformasi dari aktor gerakan sosial menjadi aktor gerakan politik. Tantangan sesungguhnya ada pada perubahan pola pikir dan pola tindak aktor pro-demokrasi. Disatu sisi menghancurkan sekat-sekat diantara elemen gerakan demokrasi, disisi lain menghilangkan kesenjangan antara elit di dalam gerakan politik baru ini dan actor akar rumput.


Pertama,
Agregasi Kepentingan dan Nilai serta Penyusunan Platform Politik dan Kebijakan Alternatif
(Kerangka Ideologi Alternatif untuk Menangkal Pragmatisme Politik)


JAWABAN KRISIS KESELAMATAN RAKYAT, TEGAKAN KEADILAN SOSIAL

Kunci untuk mewujudkan keadilan sosial adalah pemerataan alokasi dan distribusi sumber daya sosial, lingkungan hidup (alam) yang berlangsung dari tingkat lokal, nasional hingga tingkat global. Hal ini untuk menjamin pemihakan yang kuat terhadap kelompok terlemah di dalam masyarakat, jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar manusia, adanya jaminan bagi semua warga negara memiliki kebebasan dan kesempatan untuk mengembangkan kehidupan pribadi dan sosial, sekaligus tanggung jawab sosial dan ekologinya. Tercakup di dalam perwujudan keadilan sosial adalah penghargaan terhadap pluralisme budaya, keadilan gender, masyarakat adat dan keadilan antar generasi.

JAWABAN KRISIS RUANG HIDUP RAKYAT, TEGAKAN KEADILAN DAN KEBERLANJUTAN LINGKUNGAN HIDUP (KEADILAN EKOLOGI)

Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan segala benda, daya, keadaan dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya yang mempengaruhi kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. Salah satu komponen terpenting dari lingkungan hidup dan menjadi prasyarat kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia adalah alam. Alam menjamin pemenuhan kebutuhan sekaligus menjadi ruang hidup manusia. Namun, alam memiliki keterbatasan untuk menunjang kehidupan manusia. Untuk itu kita perlu menghargai integritas ekosistim dan menjamin keanekaragamannya sebagai prasyarat untuk mendukung kelangsungan kehidupan manusia. Dengan itu sekaligus terdapat jaminan bagi generasi saat ini untuk melangsungkan perikehidupannya dengan baik, dan jaminan generasi mendatang untuk menikmati kualitas alam yang sama baiknya.

JAWABAN KRISIS PRODUKTIFITAS RAKYAT, TEGAKAN KEDAULATAN DAN KEMANDIRIAN SOSIAL-EKONOMI

Demokrasi politik yang sejati haruslah dibangun berdasarkan kerangka kedaulatan dan kemandirian dalam penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan rakyat atau basis material yang menjadi fondasi tata kemasyarakatan dan negara. Penguasaan dan pengelolaan sumber-sumber kehidupan rakyat(sosial dan ekonomi) haruslah berlandaskan semangat BERDIKARI dan kekuatan daya kreasi rakyat secara kolektif di tingkat lokal. Hak menguasai negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang atas bumi, air, dan kekayaan alam untuk sepenuh-penuhnya kemakmuran rakyat, memiliki legitimasi apabila didedikasikan kepada kepentingan hak asasi warganya. Kepentingan rakyat atau hak asasi rakyat, terutama dalam hal akses terhadap bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya harus dijadikan sarana utama dan tujuan akhir dari hak menguasai negara. Dengan demikian, maka peran modal bersifat sekunder dan komplementer, bukan substitusi pengelolaan oleh rakyat.

Inilah kerangka dasar dan pijakan awal yang dirumuskan oleh Sarekat Hijau Indonesia untuk memulai proses penemuan ‘ideologi’ bersama yang bisa mengikat berbagai elemen gerakan pro demokrasi yang terfragmentasi. Sedang untuk mengatasi kesenjangan elit dan akar rumput, kami akan membangun proses belajar mulai dari tingkat kesatuan politik terkecil hingga agregasi ke tingkat kesatuan politik yang tertinggi. Inilah yang kemudian mengantar kami kepada kerangka dasar keempat dibawah ini


Kedua
Kerja Basis, Kaderisasi dan Partisipasi Politik
(Kerangka Demokrasi Internal dan Eksternal, Menangkal Oligarki dan Elitisme)


JAWABAN KRISIS POLITIK DAN KEKUASAAN, BANGUN ELAN DEMOKRASI KERAKYATAN

Semua orang adalah makhluk politik. Perjuangan politik tidak hanya dilakukan di parlemen, tetapi harus dijalankan dalam kehidupan sehari-hari oleh seluruh anggota masyarakat. Tanggung jawab dan tindakan politik tidak bisa serta merta direpresentasikan oleh parlemen atau perwakilan yang dipilih melalui pemilu, tetapi harus menjadi tanggung jawab dan tindakan politik setiap hari dari seluruh masyarakat mulai dari lingkungan komunitas terkecil hingga lingkungan negara. Perjuangan mewujudkan demokrasi tidak hanya ditujukan untuk mendemokratiskan negara, tetapi mencakup pula penguatan otonomi masyarakat sipil untuk menggunakan kekuasaaan dan secara terus menerus mempengaruhi negara agar sungguh-sungguh menjadi representasi kepentingan rakyat. Demokrasi Kerakyatan juga harus terus menerus meningkatkan kapasitas kedaulatan orang per orang dan memprioritaskan pada kepentingan kelompok yang tersubordinasi.
Untuk membangun kekuatan politik rakyat, SAREKAT HIJAU akan mengarahkan perhatian utamanya pada penguatan gerakan massa kerakyatan.
SAREKAT HIJAU INDONESIA yang dibangun harus bertulangpunggungkan kader massa masif yang terdidik dan kritis, dengan kesadaran politik dan ideologi yang kuat.
Untuk itu SAREKAT HIJAU INDONESIA akan bekerja dalam siklus tiga kaki - didik, organisir, mobilisasi. Siklus ini harus dimulai dari wilayah kesatuan politik terkecil hingga wilayah kesatuan politik yang lebih besar. Percepatan pembangunan kekuatan politik ini akan didorong dan mengandalkan energi perlawanan yang tersebar di wilayah-wilayah kabupaten, untuk menemukan momentumnya di tingkat propinsi, region dan nasional.

Ketiga,
Membangun Politik Anggaran yang Mandiri, Menangkal Money Politic dan Kendali Pemilik Modal

Sejak awal Sarekat Hijau Indonesia menetapkan kemandirian pendanaan ini sebagai hal yang mendesak dan mendasar. Artinya secara sadar salah satu uji keteguhan dan komitmen kader atau anggota adalah kesanggupannya untuk memberikan kontribusi dana bagi jalan organisasi. Selain harus ada integrasi antara pelaksanaan program politik dan program ekonomi. Program penguatan ekonomi kolektif di kalangan konstituen dan anggota sesungguhnya sekaligus sebagai program politik terpenting. Artinya kerja-kerja penguatan politik sekaligus merupakan program penguatan ekonomi anggota dan konstituen.


Pandangan Dasar Tentang Politik Indonesia dan Agenda 2009

Dalam penilaian kami sikap dan tugas politik mendesak gerakan rakyat termasuk di dalamnya adalah Sarekat Hijau Indonesia adalah melakukan delegitimasi dan penentangan terhadap oligarki kekuasaan dan partai-partai dominant. Inilah momentum pasang naiknya gerakan massa. Juga ini momentum pasang naiknya lahirnya idiom-idiom politik baru untuk keluar dari bunuh diri politik ekonomi negeri ini. Sehingga kerja-kerja mendesak adalah pembangunan pakta politik baru diantara elemen gerakan dengan membangun front politik arau blok politik baru. Pakta politik ini juga terbuka untuk membangun sinergi antara gerakan ekstra parlementer dan partai progresif yang bertarung di pemilu sepanjang mereka bersepakat dengan agenda menggoyang sistem dan deligitimasi sistem politik hari ini.

Pandangan ini didasari analisis bahwa rezim kekuasaan hari ini berada di dalam kebangkrutan karena menjadi sumber ancaman keselamatan rakyat dan menanamkan benih kehancuran negeri ini. Bahwa oligarki politik hari ini bercokol di hampir semua partai politik yang ada hari ini. kepentingannya tunggal yakni mempertahan kekuasaan dan share/pembagian sekaligus persaingan kalangan sendiri untuk meperebutkan rente ekonomi dari penggadaian kekayaan alam negeri ini. Kalau pun ada pernentanganan dan sikap yang seolah-olah opisisi sesungguhnya hanya permainan politik dan sirkulasi elit atau oligarki politik-ekonomi.

Paket UU Politik yang baru saja diterbitkan pada galibnya adalah sarana untuk mempertahankan status quo dan menutup pintu kekuatan politik yang pro perubahan dan pro rakyat. Praktek ini sejalan dengan kebijakan partai-partai untuk menutup dan membatasi ruang gerak kekuatan pro perubahan di dalam tubuhnya.

Pembahasan paket UU Politik sangat kental nuansanya sebagai politik dagang sapi. Proses perdebatan yang terjadi pada akhirnya mengerucut kepada kepentingan untuk menjaga status quo dan kepentingan politik partai-partai yang ada, bukan kepada upaya untuk meningkatkan kualitas demokrasi dan terwakilinya kepentingan rakyat. Selain itu secara teknis masih nampak kuatnya kecenderungan untuk mempertahankan dominasi partai dalam menentukan wakil rakyat yang akan melaju ke parlemen. Disamping adanya dugaan masih kuatnya tendensi partai-partai politik untuk mendorong pilihan rakyat melalui pilihan tanda gambar partai bukan pada nama calon.

Hal ini sesungguhnya mengukuhkan pilihan kita untuk menyiapkan lahirnya kekuatan politik baru atau kendaraan dan partai kita sendiri. Konggres Rakyat Indonesia (pen dirian SHI) sudah secara eksplisit memberikan mandat untuk membangun partai. Oleh karena itu kita harus konsisten untuk mewujudkan pilihan politik kita ini. Untuk itu menjadi keharusan para pekerja inti Sarekat Hijau Indonesia yang ada di jajaran pengurus untuk sepenuhnya mengerahkan segala daya upayanya untuk mewujudkan pilihan politik kita ini. PP SHI berpandangan pengurus Sarekat Hijau Indonesia seyogyanya tidak merangkap sebagai pengurus Partai Politik dan menjadi calon Wakil Rakyat dari Partai Politik lain.

Sekali lagi kami memandang 2009 adalah momentum dan ajang untuk mendelegitimasi oligarki kekuasaan dan partai-partai dominan yang hanya mengabdi kepentingan elite dan menjadi antek-antek penjajahah gaya baru. Sekaligus momentum bagi SHI untuk mempropagandakan kemendesakan bagi lahirnya kekuatan politik baru yang progresif.

Tidak ada komentar: