RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Sabtu, 12 April 2008

Jalan Hegemoni: Meraba Arah Bagi Gerakan Sosial

Memperkenalkan blog Sahabat Rumah Asa........

Dian Yanuardy di http://dyanuardy.wordpress.com/


oleh
Dian Yanuardy

Dalam gudang bawah tanah yang luas dan lapang di Menara Babel modern, gerakan-gerakan, belumlah surut. Mereka masih tertatih-tatih…mereka mulai memperoleh kembali kata dan kemampuannya untuk bertindak sebagai cermin dan lensa…(Subcomandate Marcos)

Awal

Ungkapan Marcos, pemimpin gerilyawan EZLN, di atas boleh jadi juga merupakan panorama gerakan sosial di Indonesia. Sebagian gerakan sedang tertatih-tatih, sebagian yang lain baru mulai menemukan kata dan kemampuannya untuk bertindak. Pertanyaannya adalah: situasi internal semacam apa yang mengakibatkan gerakan sosial di Indonesia tertatih-tatih?

Dalam dugaan saya, ada beberapa hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, tidak semua gerakan sosial di Indonesia mampu mencerna situasi perubahan sosial yang terjadi, baik pada skala mondial maupun nasional. Perubahan sosial yang dimaksud adalah situasi transisional di Indonesia dari rejim otoriter yang dipandu oleh kapitalisme negara ke arah rejim demokrasi yang dipandu oleh kapitalisme pasar bebas. Pergeseran semacam itu, mungkin saja, kurang dibaca secara kompleks: bagaimana logika demokrasi liberal itu berjalan; bagaimana efek dari modus kapitalisme neoliberal itu; dan yang terpenting adalah bagaimana gerakan semestinya memperbaharui analisa dan pembacaannya atas situasi ekonomi, sosio-politik dan kebudayaan dalam masyarakat Indonesia saat ini.

Kedua, salah satu akibat dari kemiskinan analisis tersebut, maka bukan tak mungkin gerakan sosial menjadi mengalami kekeringan imajinasi, kemiskinan arah gerakan dan kemandulan yang dapat mengujungkannya menjadi kematian. Kekeringan imajinasi dan kemiskinan dan kemandulan arah gerakan itu mulai tampak dari sepinya ruang publik dari kiprah dan prakarsa gerakan sosial. Beberapa permasalahan kerakyatan semisal tragedi lumpur Lapindo, harga minyak goreng yang terus menanjak, penggusuran berbagai sektor informal dan isu-isu nasional yang lain gagal disikapi dengan cara yang strategis sekaligus elegan. Situasi semacam ini mengakibatkan gerakan eksistensi gerakan sosial seakan surut dari ruang publik, sebab tak bisa memberi warna dan melakukan perimbangan atas sistuasi ekonomi-politik dan kebudayaan kontemporer. Selain itu, ruang kiprah dari gerakan sosial juga semakin menyempit. Hal ini ditandai oleh ketakmampuan gerakan sosial untuk menyentuh dan memberi warna pada “aparatus-aparatus ideologis” semisal, media, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, bahkan pada lembaga keluarga. Absennya apa yang disebut oleh Louis Althusser sebagai “perjuangan radikal pada taraf ideologi” ini mengakibatkan kita tak bisa menjalankan taktik hegemoni—suatu strategi bagi kaum pergerakan untuk merajut rantai kemenangan dengan mengandalkan keterpikatan dan kepercayaan (consent) masyarakat untuk mengikuti gerakan sosial.

Ketiga, karena itulah, kiprah dan prakarsa gerakan sosial di Indonesia juga semakin diabaikan. Artinya, kepemimpinan intelektual dari gerakan sosial di Indonesia—sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Antonio Gramsci—akan semakin diragukan. Jika demikian yang terjadi, maka gerakan sosial hanyalah akan dipandang sebagai sekumpulan orang marah tanpa arah, gerakan tanpa program, dan atau perkumpulan yang tanpa tujuan. Sebuah gerakan yang tuna-acuan!. Akibatnya tentu saja, kepemimpinan moral—satu aspek yang lagi-lagi juga dikedepankan oleh Gramsi—dari gerakan sosial juga akan diragukan. Gema ketidakpercayaan terhadap eksistensi gerakan sosial pun saat ini kerapkali disuarakan. Mulai dari dituduh hanya menciptakan huru-hara, mengabaikan kepentingan publik, hingga dituding sebagai agen imperialisme global. Ketiadaan kepemimpinan intelektual dan moral itulah yang saat ini menyebabkan gerakan sosial seakan-akan menjadi kekurangan relevansinya dalam masyarakat Indonesia. Akibatnya, peranannya mulai kalah mentereng oleh ‘subyek-subyek’ politik dan kebudayaan yang lain: politisi, kaum agamawan, selebritis, atau bahkan asosiasi bisnis. Kemunduran dan ketiadaan gerakan sosial dalam suatu negara tentu saja sangat merugikan. Bagaimanapun, melalui gerakan sosiallah artikulasi sosio-politik dari individu atau sebuah kolektifitas bisa terjamin. Melalui gerakan sosial pula, laju kejahatan negara dan kebuasan modal bisa ditahan, dan transformasi sosial bisa diimpikan.


Selengkapnya silah klik Dian Yanuardhi

Tidak ada komentar: