RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Sabtu, 15 Maret 2008

Bagaimana “Modal” Menjawab Isu-isu Keadilan Ekologi

Strategi “Modal” Menjawab Isu-isu Keadilan Ekologi :
PENGHINDARAN, KAMBING HITAM DAN PENJINAKAN (KOOPTASI)

silahkan baca pula Ironi COP 13

Respon kecil atas artikel M Baiquni “Integrasi Ekonomi dan Ekologi : Dari Mimpi Menjadi Kenyataan” di jurnal Wacana Edisi 12


Ketika bicara tentang ekonomi dan ekologi perlu juga ditinjau aspek ecological
justice --bukan hanya antar generasi tapi juga intra generasi. Untuk saat ini, ketika pola 'pembangunan' global menempatkan negara-negara dunia ketiga di periphery (pinggiran) yang fungsinya hanya mensuplai raw material ke dunia pertama (di center), maka yang terjadi adalah ketidakdilan dan kesalah-kaprahan, seperti dalam tulisan di bawah ini yang secara implisit menganggap bahwa masalah utama krisis ekologi di dunia adalah overpopulasi.

Kondisi ini menempatkan dunia ketiga sebagai pihak yang 'bersalah' karena tidak mengontrol jumlah penduduknya, sehingga perempuan-perempuan dunia ketiga harus make alat kontrasepsi, harus ber-KB, dll. Luput dari tulisan ini kenyataan bahwa meskipun pusat-pusat pertumbuhan penduduk dunia berada di dunia ketiga, tetapi level konsumsi per kapita penduduk dunia ketiga amat sangat jauh lebih rendah dari level konsumsi per kapita penduduk dunia pertama.

Ketika dilakukan analisis dengan ecological footprints (tapak ekologis), ternyata penduduk Belanda, misalnya --dengan level konsumsi mereka saat ini-- membutuhkan luasan kawasan dengan resources sebesar lima kali lipat dari luas negara mereka. Kalau ditilik lebih lanjut, inilah juga salah satu yg mendorong terjadinya ekspedisi-ekspedisi untuk mencari 'dunia baru'.

Kesalah-kaprahan tentang overpopulasi ini perlu dihentikan. Bukan berarti pengendalian populasi' tidak perlu dilakukan (masalah bagaimana melakukannya adalah topik lain yg berbeda yang juga perlu didiskusikan), tapi selama tidak dilakukan sesuatu di demand-side (sisi kebutuhan), maka keadaan 'periphery-center' akan terus terjadi. Dan tanggung jawab untuk action akan selalu dititikberatkan di negara-negara dunia ketiga (komentar Nur Hidayati atas artikel M Baiquni)


Lebih dari itu, tidak hanya overpopulasi, tetapi juga pola hidup tradisional dan kemiskinan di dunia ketiga dijadikan kambing hitam penyebab degradasi lingkungan hidup oleh negara-negara maju. Sesungguhnya politik kambing hitam ini ditujukan untuk melakukan penghindaran penyelesaian pada akar masalah degradasi lingkungan hidup yang gejalanya ada pada pola hidup di Utara dan sebagain elit di Selatan. Pada KTT Rio negara-negara utara mati-matian menolak ketiga negara-negara Selatan menyoal gaya hidup yang boros dan merusak lingkungan di utara dan lapisan tertentu di selatan. Bahkan kini pun Bush dan Blair secara gamblang menyatakan bahwa tujuan perang global melawan terorisme adalah untuk mempertahankan ‘gaya hidup’ Amerika dan Eropa. Vandhana Shiva dengan kritis mengatakan bahwa dengan itu mereka telah mendeklarasikan perang melawan planet-perang melawan minyak, air dan keragaman hayatinya. Gaya hidup 20 persen penduduk bumi yang menggunakan 80 persen sumber daya alam akan menyingkirkan 80 persen penduduk dari jatah sumber dayanya dan pada akhirnya menghancurkan planet ini.

Karena itu bila M Baiquni memilih pernyataan Dalai Lama “Because of overpopulation and other problems in human behavior, the natural balance is now disturbed. This is a serious problem.”, barangkali akan lebih tepat menggambarkan kritik yang dilontarkan oleh Yaya dengan pernyataan Gandhi bahwa : "Bumi cukup untuk memenuhi kebutuhan kita semua, namun ia tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan segelintir orang yang tamak. "

Bila kaum imperialis secara sengaja melakukan taktik penghindaran dan kemudian kambing hitam para pakar dan profesional mengidap sindrom penumpang pesawat. Karena semua orang adalah penumpang pesawat angkasa bumi, maka mereka semua bertanggungjawab terhadap degradasi lingkungan. Pendeknya, mereka tak melihat adanya perbedaaan sangat besar, kesenjangan dan ketidakadilan dalam persoalan sumberdaya antara berbagai negeri, kawasan, komunitas, kelas bahkan jender. "Demikian kaum analis ekosistim yang dominant ketika mereka menemukan kegiatan ‘merusak alam’ dari kaum papa, mereka jarang mengakui bahwa persoalan semacam itu berakar dalam proses pembangunan yang menggusur komunitas adat, menghambat habitat dan mata pencaharian rakyat, dan memaksa banyak masyarakat pedesaan meningkatkan tekanan mereka terhadap lingkungan." (Arturo Escobar, Wacana edisi 1-Insist)

Lebih jauh keprihatinan ekologi justru dipakai Utara untuk mengendalikan selatan. Utara selalu menganggap sumber kerusakan lingkungan ada di Selatan dan Utara mempunyai jawabnya. Karena itu mereka memberikan jawaban pembatasan kelahiran, pencakokan sistim pengetahuan yang mengunggulkan rasionalitas barat dengan menafikan kearifan tradisional, pasar bebas-investasi asing-hutang luar negeri –pendidikan untuk mengatasi ‘kebodohan’, ‘kemalasan’ dan ‘irasionalitas’ termasuk model-model konservasi yang fasis.

Setelah bersusah payah melakukan penghindaran terhadap serangan atas gaya hidup kapitalistiknya dan politik kambing hitam, maka merekapun berupaya menjinakan dan mengkooptasi isu ekologis. Mereka kemudian mengubah kepentingan-kepentingan ekologis yang ideologis menjadi semata-mata sebagai hambatan-hambatan yang bersifat teknis dan mengadaptasi tekanan-tekanan untuk kemudian dieksploitasi. Perhatikan pula ketika kata ‘alam’ diubah menjadi ‘lingkungan hidup’, beralih juga maknanya dari sesuatu yang sungguh-sungguh hidup dan memiliki kehidupannya sendiri, menjadi sesuatu yang berda dibawah kontrol manusia yang bisa didekati dengan konsep teknis rekayasa teknologi dll (escobar).

Berbagai definisi tentang perkawinan ekologi dan ekonomi, secara gambling menjelaskan hal itu :
‘Ekonomi yang tetap memlihara basis sumber daya alam yang digunakan. Tata ekonomi seperti ini dapat terus berkembang dengan penyesuaian-penyesuaian dan dengan menyempurnakan pengetahuan, organisasi, efisien teknik dan kebijakan’.

Pembangunan berkelanjutan sebagai adopsi strategi-strategi bisnis dan aktivitas yang mempertemukan kebutuhan-kebutuhan perusahaan dan stakeholder pada saat ini dengan cara melindungi, memberlanjutkan, serta peningkatan SDM dan alam yang akan dibutuhkan di masa mendatang. (IISD-(International Institute for Sustainable Development) (seperti di kutip Baiquni)

Apa yang dikutip Baiquni dibawah ini juga menguatkan hal diatas : Wim Burger (5) mengemukakan perumpamaan bahwa dunia modern ini seperti kapal raksasa super tanker. Kapal terbesar ini harus dikendalikan secara canggih dan terencana, kapten kapal tidak dapat begitu saja membelokkan kapal itu secara drastis seperti speedboat kecil. Kapal harus dijalankan sesuai rencana dan bila harus membelok perlu dilakukan antisipasi jauh dan dibelokkan secara perlahan. Kapal super tanker ibaratnya seperti dunia saat ini dengan perkembangan peradaban modern berskala besar. Ekonomi dunia tidak dapat dibelokkan begitu saja dari strategi mengejar pertumbuhan ekonomi, dibelokkan dengan cepat menuju orientasi keberlanjutan ekologi. Pembangunan berkelanjutan harus melakukan serangkaian perubahan dalam jangka panjang
yang dilakukan secara perlahan-lahan namun dipilih yang substansial.

Kita bisa lihat bahwa analogi pesawat angkasa bumi atau kapal raksasa super tanker bukanlah analogi-analogi tentang kenyataan sosial atau fakta sosial tetapi sepenuhnya sebagai ‘jargon’ yang menjinakan dan menjaga status quo.

‘Gaya hidup’ yang boros ini sesungguhnya hanya kelanjutan logika kapitalisme sebagai akar masalah. Kapitalisme dibangun dari logika akumulasi modal yang berkelanjutan, untuk mana petumbuhan konsumsi adalah muaranya. Karena itu mereka membangun argumen terntang perubahan sosial, dan tahapan-tahapan kemajuan dan peradaban masyarakat dengan indikator konsumsi.

Misal saja Rostow yang membagi tahapan kemajuan masyarakat 5 tahap, dari masyarakat tradisional, pra-lepas landas, lepas landas, jalan menuju kematangan dan masyarakat konsumsi massa tinggi (high mass comsumption). Karena itu aku menangkap sisi demand yang Yaya maksudkan di awal tulisan adalah pola produksi barang-barang material untuk akumulasi modal dan sekaligus pada pola konsumsi masyarakat yang boros di Utara dan sedang ditularkan ke Selatan.

Pada aras pola produksi perlawanan kelompok ekologis-kerakyatan di dunia ketiga adalah melawan kecenderungan kapital untuk menguasai sumber-sumber kehidupan seperti tanah, hutan, kekayaan alam di dalam bumi sebagai bahan baku dengan biaya yang murah. Pada aras konsumsi adalah perlawanan terhadap hegemoni, manipulasi kapital untuk menciptakan masyarakat konsumsi tinggi atau budaya materialistik atau konsumen budak. Sayangnya ini jauh lebih sulit dan gerakan ekologi dan gerakan konsumen disini belum mengjangkau ruang ini.

Di Indonesia gerakan perlawanan yang bermain di ruang produksi aku piker sudah cukup melimpah, tetapi ada kekosongan di ruang konsumsi, yang mau tidak mau perlawanan harus lebih banyak dilakukan dengan senjata kebudayaan bukan senjata politik seperti pada ruang produksi. (Sebagai catatan gelombang perlawanan terhadap kapitalisme dan korporasi telah mengambil bentuk menolak produk-produk konsumsi, dan kembali kepada semangat ugahari
dalam pola konsumsi, masyarakat pasca konsumsi. Mereka menyadari bahwa barang-barang konsumsi telah menggantikan dan merampas kehidupan sosial mereka, baik itu kebutuhan hubungan vertikal dengan Tuhan, hubungan sosial dengan keluarga, masyarakat, kehidupan kreatif dll . Dehumanisasi melalui Konsumerisme!) Lebih-lebih belum banyak kelompok progresif untuk perubahan sosial bermain pada aras pola produksi sekaligus konsumsi alternatif. Artinya membangun ruang yang benar-benar baru.

Betapa beratnya medan yang harus dihadapi ketika kita bicara ruang kesadaran konsumtif yang dibangun kapitalisme, karena konsumsi telah diper Tuhankan. Dibawah ini ada beberapa kutipan menarik dari buku Kapitalisme Berjingkrak (George Ritzer _ Pustaka Pelajar 2002) dan Michael Jordan dan Neokapitalisme Global (Walter LaFeber-Jendela 2003) ketika konsumsi telah identik dengan Gereja, Tuhan dll. Kowinsky berargumen berbagai pusat perbelanjaan yang lazimnya memberi ruang bagi resto ‘fastfood ’ merupakan ‘katedral konsumsi’ modern tempat orang mempraktekan ‘agama konsumen’ mereka’.

@ Seorang mahasiswa Amerika saat berkelana hingga Sinchuan Barat, 15 ribu mil dari Beijing. Seorang Tibet Nomaden yang hendak menuju ibukota Tibet Lasha sempat berbincang dengannya dan bertanya, “Hai orang Amerika, bagaimana kabar Michael Jordan?”. Apakah ia terkenal karena sekedar sebagai pemain basket yang hebat dan sepak terjang memukaunya di NBA. Tidak ia lebih dari itu Jordan adalah seorang manusia super yang terbang ke udara di dalam iklan TV, memasukkan bola demi bola terus menerus tanpa kesulitan dan dengan serentak menjual sepatu karet Nike. Saat olimpiade 1992, pada sebuah konperensi pers seseorang menanyakan apa Jordan seorang ‘dewa’. Majalah Time menulis “Jika Jordan adalah dewa, maka Phil Knightlah (pendiri Nike) yang menempatnya di surga.”.

@ Saat pembukaan resto McD di Moskow, seorang wartawan mendeskripsikan restoran itu sebagai ‘misi suci kemewahan gaya Amerika’, sementar seorang pekerja menjuluki ‘bagai katedral di Chartres, tempat untuk mereguk kenikmatan surgawi’. Dimana katedral konsumsi terbesar dibangun? Itu ada di Beijing pada awal 1992 dimana dunia menyaksikan pembukaan resto McD terbesar di dunia, dengan 700 kursi, 29 kasir dan 1000 pekerja. Hari pertama operasi rekor penjualan terbaru pecah, dalam sehari sebuah resto MCD melayani 40.000 pembeli.

@ McD telah memperoleh posisi mulia itu karena seluruh warga Amerika dan lainnya merasa harus melewati lengkungan keemasan (DALAM BAHASA PROKLAMASI KITA ADALAH JEMBATAN EMAS YANG MENGANTAR INDONESIA KE PINTU GERBANG KEMERDEKAAN) dalam berbagai kesempatan. Banyak diantara kita dibombandir komersialisasi yang mengedepankan tampang Ronald pada beragam khalayak. Diantaranya rajin menjambangi seri kartun anak-anak di tv, atau kebanggaankakek nenek bila mereka bisa mengajak cucunya ke McD.

@ apakah yang paling mengancam model sosial yang dibangun di Kuba. "apakah pariwisata yang sedang giat-giatnya digagalkan pada akhirnya akan membawa Mc Donaldisasi budaya yang mengerikan? Mampukah mereka menahan pesonanya yang berkilauan.

@ Beta Pettawaranie seorang guru sekolah rakyat di Kei menyatakan 'gerakan-gerakan hak-hak masyarakat adat Dayak di Borneo (Sarawak maupun Kalimantan), sibuk dan sangat terampil dalam perumusan-perumusan pernyataan dan aksi-aksi politik praktis, sementara pada saat bersamaan, menu makanan harian mereka (bahkan dirumah-rumah panjang paling terpencil diperbatasan sekalipun) sudah lama mereka hanya menyajikan ikan atau daging kalengan, Cocacola, air mineral botolan, Nescafe, Milo, mie instan ....."


Contoh diatas menggambarkan secara baik salah satu strategi perusahaan untuk memberlanjutkan akumulasi modal yakni meningkatkan jumlah barang yang terjual. Strategi lainya adalah meningkatkan bukan jumlah melainkan harga (nilai tukar) dari barang yang terjual, terutama dengan cara membuat barang-barang menjadi lebih rumit dan canggih

Cermati fakta-fakta yang dikumpulkan Andre Gorz - Insist 2002) :
- Kaleng-kaleng timah diganti dengan produk-produk yang terbuat dari alumunium, yang membutuhkan energi lima belas kali lipat
- Transportasi rel digantikan jalan raya-jalan tol yang mengkonsumsi energi lebih besar hingga enam sampai tujuh kali lipat, dan menggunakan kendaraan yang harus lebih sering diganti.
- Barang-barang yang dulu dapat dirakit dengan sekedar menggunakan obeng dan baut, kini diganti dengan produk-produk yang dicetak dan dilas, sehingga tak mungkin untuk diperbaiki
- Jangka waktu penggunaan kompor dan kemari es dikurangi hingga mencapai 6-7 tahun
- Bahan-bahan fiber dan kulit digantikan dengan bahan-bahan sintetis yang lebih cepat rusak
- Tissue dan piring sekali pakai langsung buang diperkenalkan
- Penyebarluasan konstruksi pencakar langit yang menggunakan kaca dan alumunium, yang mengkonsumsi energi besar untuk pendinginan maupun ventilasi pada musim panas.

Lantas meminjam Andre Gorz :
Apa yang sesungguhnya kita kejar? Sebuah bentuk kapitalisme yang adaptif terhadap rintangan-rintangan ekologis; ataukah suatu revolusi sosial, ekonomi dan kultural yang menghapuskan batas-batas dari kapitalisme, dan dengan demikian menciptakan pola hubungan baru antara individu dengan masyarakat dan antara manusia dengan alam? Reformasi atau revolusi?

Namun demikian sebagai protagonisnya model alternatif kiri tidak juga sekaligus dapat menjawab persoalan ini. Tentunya alternatif kiri seperti dicerminkan oleh Lenin yang menyerukan “Binasa atau bergerak cepat dan menyusul negara kapitalis maju” atau Stalin yang mengatakan ‘Kita berada 50 atau 100 tahun dibelakang negara maju. Kita harus mengejar ketertinggalan ini dalam 10 tahun. Kita melakukannya atau mereka yang menghancurkan kita”

Baca SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN Strategi-Taktik Untuk Gerakan Lingkungan Hidup Radikal

Wacana Edisi 12, TAHUN III,2002
Insist Press

Integrasi Ekonomi dan Ekologi : Dari Mimpi Menjadi Aksi

M. Baiquni
M. Baiquni adalah geograf lulusan UGM dan memperoleh Master Development
Studies dari institute of Social Studies, Den Haag.

Because of overpopulation and other problems in human behavior, the natural balance is now disturbed. This is a serious problem. (The Dalai Lama)

Pengantar

Akankah prinsip dan praksis ekonomi dapat dipertemukan dengan ekologi, di tengah arus perubahan peradaban global mondial? Bila ekonomi identik dengan akumulasi dan ekologi berkaitan dengan keseimbangan, dapatkah keduanya dikawinkan? Tulisan ini menganalisis berbagai perkembangan setelah dipicu revolusi industri, yang menunjukkan ledakan penduduk yang amat mencengangkan dan berbagai dampaknya pada lingkungan.

Setelah memasuki abad industri mekanik, peradaban manusia. telah merambah babakan baru informasi digital yang lebih dahsyat mempengaruhi kehidupan di berbagai pelosok dunia. Kita perlu mempelajari apa. yang telah terjadi dan dampak ikutan yang menyertai selama gegap-gempita peradaban industrialisasi mekanik, sambil memprediksi berbagai kemungkinan yang akan terjadi ketika melintasi peradaban informasi digital menuju masa. depan.

Jumlah manusia penghuni planet burni ini telah mencapai angka enam milyar, suatu angka. yang berlipat ganda bila kita tengok jumlah penduduk satu abad silam. Pertanyaan yang mendasar adalah, bila keeenderungan pertumbuhan penduduk masih terus meningkat ditambah dengan tingkat konsumsi dan gaya. hidup materialistis manusia. modern, apa yang akan terjadi pada satu abad mendatang?

Ledakan Penduduk
Peradaban manusia berubah dengan cepat dan mendasar, terutama setelah abad pertengahan. Dimulai dengan Renaissance (awal 1300-an sampai awal 1600-an) yang kemudian diikuti abad Pencerahan atau Enlightment (awal 1700-an sampai pertengahan 1700-an) serta abad Revolusi Industri (pertengahan 1700-an sampai pertengahan 1800-an). Abad Renaissance diawali dengan gerakan kebudayaan mencakup berbagai kesenian yang hidup di masyarakat sebagai penggerak dinamika perkembangan zaman. Berbagai pandangan baru dan penemuan-penemuan empiris ilmu pengetahuan membongkar berbagai kemapanan tradisi

Berbagai penemuan yang mendasari peradaban baru, cukup mencengangkan masyarakat pada zamannya, sehingt menimbulkan berbagai ketegangan dan perseteruan paham di kalangan para penganut tradisi dan penemu baru. Berbagai penernuan baru tersebut menggerakkan masyarakat yang selama ini di bawah kungkungan kegelapan dogma, seperti memperoleh pencerahan. Masyarakat menjadi lebih terbuka dan tergerak untuk mengembangkan pemikiran dan menguji temuan-temuan baru.

Pada tahun 1769, James Watt mencatatkan diri sebagai pembuat mesin uap hasil penyempurnaan temuan sebelumnya, sehingga memicu perkembangan revolusi industri. Pada waktu yang tidak terlalu lama, penemuan dalam bidang teknik dan kerekayasaan diikuti dengan perkembangan dalam bidang tata cara memanfaatkan sumber daya dan membangun kekuatan baru, yang disebut ekonomi. Pada tahun 1776, Adam Smith mengemukakan pendapat dan herdebat tentang ekonomi pasar bebas dan melahirkan atau dianggap sebagai awal dari ilmu
ekonomi. Dasar awal ilmu ekonomi yang lahir pada waktu itu populer sebagai ekonomi politik (Mubyarto, 1987).

Perkembangan tersebut diikuti dengan berbagai perubahan besar-besaran baik dalam kerekayasaan industri maupun pemanfaatan sumber daya alam. Belakangan istilah ekologi mulai populer digunakan oleh seorang sarjana Jerman Ernst Haeckel pada tahun 1869 (Dwidjoseputro, 1991). Orang mulai tertarik pula untuk melihat ekosistern dalam lingkup yang lebih luas (mengkaji alam semesta) maupun lingkup yang kecil (meneliti kehidupan mikroorganisme).

Perkembangan pengetahuan dan teknologi telah membawa manusia memungkinkan untuk mengontrol ketidakpastian dan mengelola perubahan untuk mencapai kemajuan. Kontrol atas ketidakpastian dan perubahan telah menciptakan kemampuan manusia menguasai dan mengeksploitasi alam. Produksi pangan meningkat setelah manusia mengembangkan rekayasa sumber daya air yang menghidupkan lahan tadah hujan menjadi lahan produktif sepanjang tahun, menemukan bibit unggul, mengembangkan sistem pengelolaan tanaman dengan input teknologi pertanian. Kenyamanan manusia telah mendorong perubahan besar dalam peningkatan perkawinan dan kelahiran. Jumlah penduduk terus meningkat seiring dengan perbaikan kesehatan dan kualitas hidup serta lingkungan di sekelilingnya. Perubahan ini menjadi titik tolak ledakan jumlah penduduk dunia.

Penduduk dunia yang selama berabad-abad berkisar setengah juta jiwa, sejak revolusi industri meningkat pesat. Pada tahun 18o6 jumlah penduduk dunia baru mencapai satu miliar. Kemudian secara berangsur-angsur naik menjadi dua miliar pada tahun 1927, naik lagi menjadi tiga miliar pada tahun 196o-an. Hanya dalam waktu kurang dari setengah abad atau antara tahun 1960-2000, penduduk dunia telah meningkat berlipat ganda menjadi enam milyar jiwa.

Perkembangan jumlah penduduk yang demikian dahsyat membawa konsekuensi pada sumber daya dan lingkungan. Enam miliar lebih penduduk saat ini memerlukan pemenuhan kebutuhan dasar dan mengeluarkan buangan limbah yang harus ditampung dan didaur ulang oleh alam. Memang manusia modern mampu menciptakan berbagai teknologi yang lebih efisien dan berskala besar untuk memproduksi berbagai kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Tetapi manusia modern tidak puas dengan pemenuhan kebutuhan dasar, banyak di antaranya yang
memuja ambisi spektakuler. Ambisi manusia dapat menimbulkan masalah baru dan menciptakan ketakutan sendiri.

Masalah-masalah kekhawatiran akan kekurangan pangan, kelangkaan energi, polusi udara, pencemaran air dan berbagai kerusakan sumber daya terus menjadi keprihatinan. Peradaban dunia juga menunjukkan perkembangan yang semakin cepat. Manusia saling berkompetisi mencapai pemenuhan kebutuhan dan bahkan ada yang berlomba memenuhi ambisi keinginannya. Ada suatu, pertanyaan mendasar berkaitan dengan jumlah penduduk dan kemampuan planet bumi menghidupi dan menopang peradaban manusia.

"Orang Perancis menggunakan teka-teki untuk mengajarkan kepada anak-anak sekolah, sifat pertumbuhan yang berlipat ganda. Sebuah kolam berisi teratai, demikian teka-teki itu, berisi selembar daun. Tiap hari daun itu berlipat dua: dua lembar pada hari kedua, empat lembar pada hari ketiga, delapan lembar daun pada hari keempat, demikian seterusnya. Pertanyaan teka-teki
adalah: Bila kolam itu penuh daun teratai pada hari ketigapuluh, kapan kolam itu berisi separuhnya?Hari yang kedua puluh sembilan!" (Brown, L.R. 1982).'

Teka-teki tersebut menggambarkan suatu perturnbuhan eksponensial penduduk bumi yang diibaratkan penduduk sebagai daun teratai dan bumi sebagai kolam itu. Grafik ledakan jumlah pencluduk dan teka-teki Perancis tersebut bisa memperhitungkan perkiraan kemampuan planet bumi. Orang dapat berbeda pandangan dan perhitungan, baik pesimis maupun optimis, dalam menempatkan berapa jumlah manusia yang dapat ditampung oleh bumi dan pada tingkat konsumsi serta gaya hidup seperti apa sebaiknya kehidupan ini dikelola.

Perubahan secara cepat terus berlangsung di mana-mana mengakibatkan kemajuan sekaligusjuga ketimpangan sosial ekonomi, perkembangan global sekaligus peminggiran budaya lokal, eksploitasi sumber daya sekaligus peningkatan dampak lingkungan, hingga akhirnya bermuara pada persoalan keadilan dan keberlanjutan masa depan manusia. Muncul kekhawatiran akan datangnya bencana ekologi yang dapat menyebabkan daya dukung kehidupan hancur dan sulit dipulihkan lagi. Suatu bencana yang secara sistematis mengurangi kemampuan hidup generasi mendatang akibat keserakahan segelintir generasi saat ini.

Pada awal milenium ketiga ini muncul berbagai persoalan lingkungan dan tragedi kemanusiaan yang disebabkan oleh keserakahan. Berangkat dari berbagai fakta dan keprihatinan atas perkembangan dunia ini, maka perlu ada pengkajian ulang paradigma pembangunan, dari paradigma yang mengandalkan strategi pertumbuhan (ekonomi) menuju pembangunan berkelanjutan (ekologi). Salah satu usaha penting adalah pemikiran baru mengenai integrasi ekonomi dan ekologi menuju pembangunan berkelanjutan. Tentu saja jalan untuk mempertemukan kembali keduanya. dapat bermacam-macam, demikian pula pilihan pendekatan dan strategi dapat dipilih dan dikembangkan oleh siapa saj a yang tergerak untuk membangun peradaban yang adil dan berkelanjutan.

Pembangunan Pasca Perang Dunia

Setelah era kolonialisme berakhir melalui Perang Dunia II, muncul era baru yang disebut pembangunan. Istilah pembangunan mulai populer ketika Presiden Amerika waktu itu Harry S. Truman mel6ntarkannya sebagai resep baru untuk mengatasi keterbelakangan negara-negara Selatan (bekas jajahan Eropa) maupun dalam rangka memperbaiki wilayah bekas perang di Eropa dan Asia. Saat itu Amerika berada pada posisi pemenang secara politis (adidaya) maupun secara posisi unggul peradabannya (adibudaya). Truman dalam pidato kenegaraan yang bernada propaganda mengatakan:

"We must embark on a bold new paradigm for making the benefits of our scientific advances and industrial progress available for the improvement and growth of underdeveloped areas'.(1).

Secara sisternatis, ide pembangunan disebarkan ke seluruh dunia melalui berbagai program pembangunan. Pada akhir tahun 195o-an banyak pemuda Indonesia memperoleh beasiswa untuk belajar di Amerika dan setelah kembali ke tanah air membawa gagasan pembangunan untuk dikembangkan di Indonesia. Para intelektual yang kemudian hari menjadi pernimpin nasional tersebut menjadi agen pembangunan melalui programprogram pembangunan. Penyebar gagasan pembangunan melalui pendidikan tersebut hanya salah satu strategi di antara strategi lain seperti: bantuan yang sesungguhnya hutang luar negeri, transfer teknologi yang sebenarnya relokasi industri kotor dan tidak efisien lagi.

Guna mendukung pemasaran gagasan pembangunan tersebut dibentuk pula lembaga-lembaga yang hingga kini sangat berpengaruh antara lain United Nations, World Bank, International Monetary Fund, yang semua dimotori oleh Amerika. Dengan instrumen Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) lalu lintas politik dan pertahanan dapat dikuasai sejumlah negara adidaya. Sedangkan melalui dua badan ekonomi yang dikenal pula dengan Bretton Woods Institution
(2) tersebut, lalu lintas peredaran uang dan ekonomi dapat diatur oleh negara kaya.

Ide awal pembangunan bisa jadi sederhana, tetapi implikasi praktisnya tidak dapat disederhanakan, karena realitas kehidupan sangat beragam dan kompleks. Pembangunan, seperti kata Truman merupakan resep bagi negara berkembang dalam membangun dirinya melewati masa transisi dekolonisasi menuju demokrasi, ternyata menurut pengamatan Wolfgang Sachs dan kawan-kawan dianggap banyak kelemahan. Sejumlah kelebihan pembangunan terjadi berkaitan dengan tragedi kemanusiaan dan permasalahan kelestarian lingkungan.

"Today, the lighthouse of development shows cracks and is starting to crumble. The idea of the development stands like a ruin in the intellectual landscape. Delusion and dissapointment, failures and crimes have been the steady comparaons ofdevelopment and they tell a common story: it did not work. Moreover, the historical conditions which catapulted the idea into promi- nence have vanished: development has become outdated. But above all, the hopes and desires which made the ideafly, are now exhausted: development has grown absolete" (Sachs, 1995).

Para pengkritik pembangunan modernisasi model negara-negara maju yang diterapkan begitu saja di negara-negara berkembang terus dilancarkan oleh berbagai kalangan. Gustavo Esteva (1992) menyatakan bahwa banyak para teoretisi Dependencia dari, Amerika Latin dan intelektual kritis lainnya menuding "keterbelakangan sebagai wujud pembangunan". Menurut mereka,
keterbelakangan negara-negara dunia ketiga akibat proses penjajahan dan eksploitasi sumber daya alam.(3)

Pembangunan dengan cara dan tolok ukur keberhasilan yang dirumuskan negara maju, dalam penerapannya seringkali tidak tepat dengan kondisi dan dinamika lokal. Pembangunan yang terlalu menekankan pada pertumbuhan ekonomi semata, seringkali dapat berbenturan dengan kepentingan masyarakat luas yang menginginkan keadilan dan keberlanjutan. Pertumbuhan ekonomi yang dinyatakan dengan angka ternyata telah gagal menggambarkan peningkatan pemerataan yang diharapkan. Kesenjangan terjadi di berbagai kalangan masyarakat sementara
sekelompok kecil konglomerat menguasai sebagian besar aset produktif. Bahkan bila dihitung dengan Green Growth Model, angka pertumbuhannya akan terkoreksi menjadi lebih kecil dibanding dengan angka pertumbuhan ekonomi yang sering dilansir oleh pernerintah kepada publik.

Modernisasi yang identik dengan orientasi pertumbuhan ekonomi, dengan segala manfaatnya untuk segelintir kelompok masyarakat, ternyata tidak lepas dari berbagai kelemahan yang merugikan banyak kelompok masyarakat, khususnya kelompok yang selama ini termarginalkan, seperti buruh, petani, nelayan, dan juga perempuan. Kritik yang mengemuka berkaitan dengan paradoks modernisasi adalah pertumbuhan ekonomi versus kemero sotan ekosistem, akumulasi kekayaan versus marginalisasi atau perniskinan, globalisasi versus lokalisasi.

Proyek-proyek modernisasi yang diyakini dapat menyelesaikan sejumlah masalah, temyata gagal dan tidak mampu menyelesaikan berbagai problem kehidupan masyarakat seperti kemiskian, pengangguran, dan kesenjangan. Kondisi ini sangat terasa dalam ungkapan Mahbub ul Haq (1983) dalam buku Tirai Kemiskinan:

"Sangat bijak untuk diketahui bahwa pertumbuhan ekonomi adalah suatu proses\ yang kejam dan keji. Jalan pintas ke sana tidak ada. Inti maknanya ialah mengusahakan supaya pekerja menghasilkan lebih besar dari apa yang dihabiskannya untuk mernenuhi kebutuhan pokoknya, serta menanam dan menanarn kernbali hasil lebih dari yang diperolehnya (Haq. 1983: 13)."

Orientasi pertumbuhan ekonomi dalam praktiknya terjadi akumulasi pada sekelompok keeil orang, namun memarginalkan kelompok yang besar. Fakta ini sangat terasa dengan besarnya jumlah penduduk yang terjebak dalam kemiskinan serta yang tidak kalah pentingnnya sering diperlakukan tidak adil. Kritik keras Mahbub ul Haqjuga tertuju pada perencana pembangunan yang terbius permainan angka-angka dan kurang tertarik memahami realitas kehidupan. Para
perencana pernbangunan sering dihinggapi penyakit'miopia', tidak berminat melihat yangjauh dan memandang cakrawala yang lebih luas dari sekadar ekonomi dan berpikir untuk kepentingannya sendiri.

"Perencana pernbangunan terlalu terpukau oleh laju pertumbuhan GNP yang tinggi dan mengabaikan tujuan sebenarnya dari usaha pembangunan. Ini dosa yang paling tidak dapat dirnaafkan. Dari negara demi negara, pertumbuhan ekonomi disertai jurang perbedaan pendapatan, antar perorangan maupun antar daerah, yang sernakin menganga. Dari negara ke negara, rakyat banyak makin menggerutu karena pernbangunan tidak menyentuh kehidupan sehari-hari mereka. Pertumbuhan ekonorni seringkali berarti sedikit sekali keadilan (Haq. 1983:
37)".

Para aktivis lingkungan terutama yang menganut paradigma Deep Ecology menganggap bahwa modernisasi sama dengan kerakusan manusia atas alam. Keeenderungan modernisasi yang menggalang akumulasi modal dan mengeksploitasi alam, dianggap memiliki dampak mendorong kerakusan manusia atas alam. Kalangan ini sangat keras menentang kecenderungan modernisasi yang mengarah pada eksploitasi sumber daya dan perusakan lingkungan yang
diwujudkan dalam proyek-proyek berskala besar (Baiquni, 1996).

Proyek besar dianggap sebagai arena pernasaran produk teknologi dan industri negara maju yang mengakibatkan ketergantungan dan semakin bertambahnya hutang luar negeri. Di samping itu juga menjadi biang keladi tersingkirnya masyarakat keeil dan seringkali mengakibatkan kerusakan lingkungan. Kelompok penganut Deep Ecology ini tidak hanya meneriakkan kritiknya yang tajam, tetapi juga mempromosikan pandangan hidup bahwa manusia adalah bagian dari
alam dan berusaha mempraktikkan hidup kembali ke alam, back to nature.

Dari kalangan intelektual keagamaan muncul pula kritik terhadap pembangunan yang mengakibatkan manusia teralineasi terhadap Tuhannya. Akbar S. Ahmed (1992) melihat kekurangan tersebut sambil mengajukan solusi baru, yaitu pengalaman agama sebagai arah baru bagi peradaban dalam menyongsong pergantian milenium. Dalam bukunya tentangpost-modernisme, ia menulis:

"Kegagalan umum pembangunan model materialistis, apakah Marxis di salah satu ujung spektrum atau kapitalis di ujung lainnya, mewujudkan kebangkitan Islam. Kedua sistem tersebut terlihat di dunia Islam yang didasarkan pada materialisme dan dianggap telah gagal memberikan solusi sosial dan politik: Marxisme biasanya berarti kediktatoran yang kelabu lagi brutal, sementara kapitalisme sebagian besar bercirikan alineasi, kerakusan, dan anarki."(4)

Proyek modernisasi yang mengutamakan aspek materialistis dianggap telah menjerumuskan manusia ke arah kebingungan dan kegelapan aahiliah modern). Modernisasi tanpa cahaya spiritual mengakibatkan banyak anggota masyarakat di negara maju maupun negara berkembang kebilangan akar budaya dan kemerosotan akhlaknya. Kecenderungan mengejar kepuasan materialistic ternyata tidak pernah akan puas, bahkan akan menimbulkan rasa kesepian atau mendorong kerakusan serta kesewenang-wenangan.

Masyarakat modern yang mengalami kesepian (alienasi) dan rasa ketidakpuasan (frustrasi) sebagian terjerumus dalan kecanduan obat terlarang, kekerasan fisik, kekerasan svuktural, kolusi dan korupsi, serta sejumlah patologi sosial lainnya. Sebagian masyarakat berusaha melakukan pemecahan kebuntuan hidup manusia ini dengan kegiatan pencerahan spiritual, hidup kembali ke alam, mempraktikkan nilai dan cara hidup tradisional, maupun mengabdikan diri pada kemanusiaan.

Model pembangunan, baik itu yang mainstream maupun yang alternatif sedang berkembang, ada yang dengan mudah beradaptasi dengan perubahan dan ada pula yang mengalami kesulitan dengan perubahan. Pembangunan sedang mencari bentuk baru, ketika realitas yang berkembang justru terjadi tragedi kemanusiaan dan ancaman bencana ekologi. Bencana yang terjadi tidak lagi bisa dibendung dalam skala lokal, seringkali kedahsyatan bencana mencapai berbagai penjuru dunia yang berlangsung secara silih berganti dan saling terkait.

Krisis ekologi seperti pernanasan global dan kerusakan lobang ozon atmosfer bumi akan terus mewarnai berbagai pembicaraan mengenai masa depan peradaban manusia. Kerusakan tidak hanya di darat dan di laut, tetapi telah mencapai ruang angkasa yaitu atmosfer sebagai'selimut kehidupan' yang memungkinkan makhluk hidup termasuk manusia berkembang dalam suatu keseimbangan ekosistem. Goncangan pada keseimbangan ekosistem akan berakibat berantai.
Perubahan cuaca yang drastis misalnya akan mempengaruhi curah hujan yang berlebihan atau kekeringan yang memanggang di belahan bumi lain. Kebanj*iran dan kekeringan akan berakibat pada kegagalan panen dan menurunnya persediaan pangan yang berakibat pula pada ekonomi suatu masyarakat atau negara.

Krisis multidimensi Indonesia yang terjadi sejak 1997 merupakan koensiden krisis ekologi (kemarau panjang El Nino) dan krisis ekonomi (berawal dari krisis moneter Asia). Dari sisi krisis ekologi adalah bencana besar kebakaran hutan yang menghabiskan jutaan hektar hutan, kegagalan panen, kekeringan, dan bencana kelaparan. Asap tebal menyelimuti Asia Tenggara
hingga Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Filipina. Dari sisi ekonomi, Indonesia dilanda goncangan moneter krisis ekonomi Asia yang berujung pangkal hancurnya ekonomi Indonesia. Sementara ekonomi negara-negara tetangga telah pulih dalam beberapa bulan, ekonomi Indonesia justru menimbulkan efek domino krisis sosial dan politik hingga jatuhnya
penguasa rezim Orde Baru.

Pembangunan yang tumbuh terlalu cepat dan tidak mengakar pada rakyat pada akhirnya bangkrut. Sekarang dapat dirasakan betapa pembangunan yang tumbuh terlalu cepat tanpa memperhatikan kesimbangan lingkungan dan keadilan, dapat berakibat pada hancurnya tatanan sosial kemasyarakatan dan tatanan kenegaraan. Berbagai pernikiran baru perlu dikembangkan dalam upaya nyata mencari solusi krisis, dengan menggali akar jati diri menemukan konstruksi
baru yang dimaknai bersama melalui pembangunan berkelanjutan (sustainable development).

Menuju Pembangunan Berkelanjutan

Wim Burger (5) mengemukakan perumparmaan bahwa dunia modern ini seperti kapal raksasa super tanker. Kapal terbesar ini harus dikendalikan secara canggih dan terencana, kapten kapal tidak dapat begitu saja membelokkan kapal itu secara drastis seperti speedboat kecil. Kapal harus dijalankan sesuai rencana dan bila harus membelok perlu dilakukan antisipasi jauh dan
dibelokkan secara perlahan. Kapal super tanker ibaratnya seperti dunia saat ini dengan perkembangan peradaban modem berskala besar. Ekonomi dunia tidak dapat dibelokkan begitu saja dari strategi mengejar pertumbuhan ekonomi, dibelokkan dengan cepat menuju orientasi keberlanjutan ekologi. Pembangunan berkelanjutan harus melakukan serangkaian perubahan dalam jangka panjang yang dilakukan secara perlahan-lahan namun dipilih yang substansial.

Ide tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) berakar dari pemikiran yang berusaha mengintegrasikan perspektif ekonomi dan perspektif ekologi (WCED, 1987; Boesler, 1994; Panayotou, 1994). Ide ini merupakan paradigma dalam pembangunan yang mulai diterjemahkan ke dalam berbagai konsep. Kedua ilmu tersebut memiliki akar kata yang sama, yaitu oeikos berasal dari Bahasa Yunani yang kemudian menjadi eco dalam Bahasa Inggris yang berarti suatu 'rumah' atau rumah tangga. Meskipun berasal dari akar kata yang sama, namun perkembangannya keduanya nampak berjalan dengan logika dan praksisnya masing-masing. Ilmu ekonomi berkembang dan cenderung memfokus kan diri pada capaian-capaian jangka pendek, sedangkan ilmu ekologi berusaha dan cenderung mendorong capaian-capaian yang bersifat jangka panjang.

Kesadaran lingkungan lebih banyak dipicu oleh akibat dampak negatif dari perlombaan memacu pertumbuhan ekonomi melalui proses industrialisasi yang cenderung mengeksploitasi surnber daya alam secara besar-besaran dalam bentuk kerusakan dan pencemaran lingkungan (Dhakidae, 1994). Isu lingkungan muncul dalam berbagai studi pembangunan sejak tahun 196oan, ketika pasca Perang Dunia II dimulai kembali pembangunan industri hingga mencapai
perkembangan pesat yang membentuk era baru modernisasi.

Carson (1962) dalam bukunya yang terkenal bertajuk Silent Spring mengemukakan kekhawatiran polusi industri yang menggejala di negara maju yang menyebabkan masalah kesehatan dan kerusakan lingkungan. Ide ini berkembang pada dekade 1970-an yang ditandai munculnya berbagai buku yang mengupas isu lingkungan dan pembangunan.

Limits to Growth, laporan sekelompok peneliti dan industriawan yang tergabung dalam Club of Rome, merupakan buku yang banyak didiskusikan mengingat pandangannya yang pesimistik sekaligus menggugah kesadaran akan masa depan. Buku ini mengupas adanya batas-batas fisikal bagi pembangunan pada skala global (Meadows, et al., 1972). Berbagai isu yang berkembang mengenai lingkungan mendorong PBB untuk menyelenggarakan konferensi yang
bersejarah mengenai Human Environment di Stockholm tahun 1972. Konferensi ini melahirkan deklarasi The Principles of Environment and Development.

Sejak pertemuan Stockholm tersebut, isu mengenai lingkungan berkembang pesat mempengaruhi pergeseran paradigma pembangunan yang dianut oleh negara maju yang semula sangat mengutamakan pertumbuhan ekonomi kemudian bergeser menuju peningkatan kualitas hidup melalui pernbangunan berwawasan lingkungan. Kampanye kesadaran lingkungan saat itu menggunakan moto sederhana 'Hanya Satu Burni'(Only One Earth) yang meluas menjangkau berbagai kalangan masyarakat.

Di Indonesia sejak tahun 1970-an mulai bermunculan kelompok pencinta alam di berbagai sekolah dan masyarakat. Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup didirikan pada tahun 1978. Berbagai kebijakan kependudukan dan lingkungan mulai dikoordinasikan dan diimplementasikan melalui berbagai departemen dan badan yang memiliki aparat operasional hingga tingkat lokal. Respon dari masyarakat dalam menggulirkan isu lingkungan ditandai dengan munculnya berbagai ragam Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), organisasi masyarakat dan kalangan kampus yang menaruh perhatian pada masalah lingkungan dengan mendirikan Pusat Studi Lingkungan (PSQ.

Pada dekade 1980-an ditandai dengan merosotnya harga minyak dunia, sehingga pernerintah Indonesia memacu kebijakan ekspor nonmigas. Sumber daya alam hutan hujan tropika menjadi tumpuan produk ekspor Indonesia. Produk-produk manufaktur yang mengandalkan buruh murah juga menjadi strategi peningkatan ekspor.

Selama Orde Baru terdapat keeenderungan kebijakan pembangunan yang berorientasi pada perturnbuhan yang memberikan peran pada pelaku ekonomi besar dengan bertumpu pada sektor industri. Sebagai konsekuensinya pengembangan sektor ekonomi rakyat keeil dan koperasi di perdesaan yang terkait dengan sektor pertanian tidak mengalami perkembangan yang signifikan bagi perturnbuhan ekonomi nasional. Proses pernbangunan semacam itu kini disadari telah menciptakan kesenjangan ekonomi dan keresahan sosial yang pada gilirannya menimbulkan kerawanan politik seperti yang terjadi pada krisis multidimensi dewasa ini.

Berbagai pandangan mengenai pembangunan dan lingkungan merupakan suatu proses yang alarniah. Keragaman merupakan salah satu kata kunci pembangunan berkelanjutan: "semakin beragam entitas dalam suatu komunitas, semakin kenyal dan tinggi daya tahan ekologisnya". Keragaman paradigma diwarnai oleh perbedaan kepentingan dan dilandasi adanya nilaii-nilai dasar yang dianut secara perorangan dan masyarakat sau organisasi, sehingga menimbulkan
perbedaan sudut pandang dan strategi dalam meniti jalan pembangunan.

Sebagaimana konsep pembangunan, konsep tentang pembaagunan berkelanjutan ini sangat beragam atau bervariasi yang dipengaruhi kondisi pernbangunan maupun kepentingan negara. maupun berbagai kelompok tertentu seperti jaringan bisnis dan komunitas lokal. Kegiatan pembangunan, baik itu ekonomi maupun sosial budaya, merupakan hubungan atau interaksi antara .nanusia dengan lingkungan sekitarnya (Colby, 1990).

Pengaruh manusia terhadap sumber daya alam telah menarik banyak perhatian karena di samping bermanfaat bagi kehidupan manusiajuga dapat menimbulkan permasalahan lingkungan. Meningkatnya aktivitas manusia dalam memanfaatkan sumber daya alam didorong oleh meningkatnya kebutuhan dasar seperti pangan, sandang dan papan serta pemenuhan kebutuhan lebih lanjut yang masing-masing individu, masyarakat, ataupun negara memiliki kemampuan yang berbeda dalam memenuhi kebutuhan tersebut. Fenomena kontradiktif terjadi, di satu sisi kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya alam selalu meningkat seiring dengan
peningkatan jumlah penduduk dan dorongan mencapai kemajuan; di sisi lain terjadi kemerosotan sumber daya dan lingkungan sebagai akibat penggunaan sumber daya alam secara berlebihan (Sutikno, 1982).

Hubungan semacam itu terjadi di berbagai tingkatan. dalam suatu ekosistem yang komplek dan beragam, sehingga menghasilkan fenomena yang bermacam-macam. Sebagaimana keragaman hubungan dan fenomena yang dihasilkannya, para ahli memiliki keragaman pandangan mengenai pernbangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan yang dirumuskan dalam laporan Our Common Future atau dikenal dengan Brundtland Report, adalah pembangunan yang
memenuhi kebutuhan. masa kini tanpa. mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi mendatang:

"Sustainable development is the development that meets theneeds of the present without compromising the ability of future generations to meet their own needs" (WCED, 1987: 8).

Konsep tersebut memiliki makna yang luas dan menjadi payung bagi banyak konsep, kebijakan, dan program pembangunan yang amat beragam. Pembangunan berkelanjutan merupakan paradigma baru yang memiliki interpretasi konsep dan aksi yang beragam. Konsep yang diajukan negara maju belurn tentu tepat untuk dilaksanakan di negara berkembang, demikian pula konsep yang diajukan oleh negara sedang berkembang belum tentu dapat diterima oleh negara maju. Hingga sekarang ada ratusan konsep dan definisi pembangunan berkelanjutan. Hal ini
menunjukkan bahwa isu ini telah berkembang cepat dan dapat tumbuh secara beragam dalam implementasinya.

Dalam perkembangannya, pembangunan berkelanjutan didefinisikan dalam buku Caring for the Earth sebagai: "Upaya peningkatan mutu kehidupan manusia namun masih dalarn kernarnpuan daya dukung ekosistem" (IUCN, UNEP and WWF, 1991: 10). Banyak kalangan lain juga mendefinisikan, seperti IISD (International Institutefor Sustainable Development) dengan kalangan bisnis yang mengusulkan definisi: "Pernbangunan berkelanjutan sebagai adopsi
strategi-strategi bisnis dan aktivitas yang mempertemukan kebutuhan-kebutahan perusahaan dan stakeholders pada saat ini dengan cara melindungi, memberlanjutkan, serta meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa mendatang" (Satriago, 1996: 88). Burger (1998: 48) secara diagramatis menggambarkan pernbangunan berkelanjutan sebagai interaksi antara tiga komponen besar, yaitu biosphere, masyarakat, dan moda produksi ekonorni.

Pembangunan berkelanjutan yang diperbincangkan oleh banyak kalangan dan akadernisi, setidaknya membahas empat hal. Pertama, upaya memenuhi kebutuhan manusia yang ditopang dengan kemampuan dan daya dukung ekosistem. Kedua, upaya peningkatan mutu kehidupan manusia dengan cara melindungi dan memberlanjutkan. Ketiga, upaya meningkatkan sumber daya manusia dan alam yang akan dibutuhkan pada masa yang akan datang. Keempat, upaya
memperternukan kebutuhan manusia secara antar pnerasi.

Mempertemukan Ekonomi dan Ekologi

Upaya untuk mempertemukan kembali ilmu ekonomi dan ekologi memiliki arti penting dalam upaya mewujudkan Pembangunan berkelanjutan. Banyak permasalahan pernbangunan dalam bentuk kerusakan lingkungan yang menimbulkan masalah sosial dan ekonomi dalamjangka panjang. Untuk itu perlu upaya melakukan reorientasi ekonomi yang ada saat ini menjadi ekonomi berkelanjutan. Ekonomi berkelanjutan didefinisikan sebagai: "Ekonomi yang tetap mernelihara basis sumber daya alam yang digunakan. Tata ekonomi seperti ini dapat terus berkembang dengan penyesuaian-penyesuaian, dan dengan menyernpurnakan pengetahuan, organisasi, efisiensi teknik, dan kebijakan" (Satriago, 1996: 38).

Gagasan untuk memasukkan faktor lingkungan dalam perhitungan ekonomi telah dimulai. Dialog dan kerjasama di antara para ahli ekonomi dan ahli ekologi diharapkan dapat melahirkan kembali ilmu baru yang dapat mendukung terwujudnya pernbangunan berkelanjutan. Secara cukup jelas Colby (1990: 33) menggambarkan perjalanan paradigma ilmu ekonomi yang pada milenium baru ini semakin disadari untuk diperternukan kembali kedua ilmu ekonomi dan ekologi.

Ekonomi klasik pada zaman Adam Smith awalnya lebih mengkaji berbagai persoalan manusia dengan perspektif ekonomi politik. Implementasi perkernbangannya terjadi berbagai aliran pernikiran yang dipengaruhi oleh kekuasaan, penguasaan teknologi, dinamika sosial budaya, tingkat kemajuan, dan struktur kepemerintahan. Pada perkembangannya ada tiga aliran utama
yaitu neo-Marxis, neoklasik, dan neo-Malthusian yang banyak mempengaruhi perkembangan dunia setidaknya sampai akhir abad XX.

Kritik dan saling mengisi di antara aliran terjadi selama kurun waktu yang cukup lama. Masing-masing aliran dan implementasinya telah berubah dan terus akan berubah. Persoalannya sekarang tidak sekadar mana yang paling unggul dalam konsep, tetapi mana yang dapat memberikan jalan terbaik dalam menyelesaikan masalah. Kini muncul polarisasi di antara para penganut aliran Frontier Economy dan Deep Ecology.

Aliran pertama banyak dipraktikkan oleh para pelaku ekonomi perusahaan multinasional yang memiliki skala besar dari negara maju dan juga negara industri baru. Para pemilik modal dan penguasa memperlakukan alam sebagai sumber daya tak terbatas untuk dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan manusia. Alam setelah dieksploitasi sekaligus dijadikan tempat sampah yang dipaksa melebihi kemampuan daya dukung dan daya daur ulang sendiri. Aliran
pemikiran bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemajuan manusia tak terbatas, dianut baik di negara kapitalis maupun komunis. Meskipun demikian keduanya memiliki pengorganisasian masyarakat dan kepemerintahan yang berbeda dan bahkan bertolak belakang.

Di pihak lain, aliran Deep Ecology menempatkan manusia sebagai bagian dari alam. Aliran ini juga mempromosikan persamaan hak organisme dan alam, pemanfaatan yang disesuaikan dengan daya dukung, berorientasi pada ekonomi tanpa pertumbuhan (Daly, 1989). Aliran ini juga mengangkat tema diversity & flexibility dengan mempromosikan keragaman hayati dan budaya, perencanaan yang terdesentralisasi dengan menggunakan keragaman nilai, memanfaatkan kearifan tradisional dan pengelolaan sumber daya dengan teknologi local (Colby, 1990).

Dalam berbagai kasus kedua aliran ini seringkali berhadap-hadapan dan membangun pendirian dan argumen masing-masing dalam mengelola aset sumber daya dan mempertahankan penghidupannya. Dalam berbagai kasus yang telah dikemukakan di depan, begitu banyak didominasi oleh praktik-praktik dari aliran Frontier Economy, yang tidak lain adalah wujud pembangunan yang berorientasi pertumbuhan tanpa peduli dengan dainpaknya yang cenderung memiskinkan bebagai kelompok masyarakat lain. Sementara itu banyak aliran Deep Ecology yang sesungguhnya menarik untuk dipraktikkan tetapi kurang mampu menjawab tantangan struktural yang dihadapi, terutama menjawab bagaimana kemiskinan dapat dia'tasi dan ketergantungan hutang luar negeri dapat dikurangi.

Pembangunan berkelanjutan perlu proses integrasi ekonomi dan ekologi melalui upaya perumusan paradigma dan arah kebijakan yang bertumpu pada kemitraan dan partisipasi para pelaku pembangunan dalam mengelola sumber daya yang seoptimal mungkin dapat dimanfaatkan.

Upaya pembangunan berkelanjutan tidak dapat dilakukan secara individu ataupun diserahkan masing-masing negara. Berbagai perubahan dapat dimulai dari diri sendiri, keluarga dan komunitas yang pada gilirannya akan mendorong penerapan prinsip-prinsip ekologi dalam sistem kepemerintahan, bisnis, dan kehidupan sehari-hari. Setiap orang adalah konsumen sekaligus produsen. Secara kolektif konsumen dapat menentukan pilihannya pada produk yang menerapkan produksi ramah lingkungan. Dengan demikian akan memacu pula kesadaran para produsen, pelaku bisnis, dan industriawan untuk mengikuti perilaku konsumen yang sadar akan hak dan komitmen lingkungannya (Wasik, 1997).

Aksi pada tingkat global terus dirintis melalui berbagai pertemuan dan kesepakatan untuk melakukan kerjasama. Bila kita kaji hasil kesepakatan Rio Declaration on Environment and Development tahun 1992, prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan dirumuskan menjadi 27 butir. Prinsip-prinsip tersebut telah diterjemahkan ke dalam Agenda 21 yang berisi rencana aksi
dalam rangka implementasi pembangunan berkelanjutan.

Agenda Pembangunan Berkelanjutan Indonesia, telah disusun sebelum krisis multidimensi berlangsung. Ironisnya justru Agenda 21 baru saja selesai disusun, Indonesia langsung mengalami krisis yang berkelanjutan hingga kini belum pulih kembali. Agenda 21 Indonesia memuat formula bahwa dalam upaya mengelola agar pembangunan ekonomi Indonesia berlangsung secara berkelanjutan, dibutuhkan serangkaian strategi integrasi lingkungan ke dalam pembangunan ekonomi. Strategi integrasi tersebut meliputi. pertama, pengembangan pendekatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan; kedua, pengembangan pendekatan pencegahan pencemaran; dan ketiga, pengembangan sistem neraca ekonomi, sumber daya alam, dan lingkungan (Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan UNDP, 1997).

Setelah satu dasawarsa Rio+10, kini saatnya mengevaluasi pencapaian apa yang telah diperoleh dan apa yang belum dapat dilaksanakan. Dalam konteks pembangunan Indonesia, jelas perlu disusun kembali Agenda 21 dengan lebih saksama dan realistis dalam menyusun program aksi dan penguatan institusi terutama berkaitan dengan otonomi dan kebangkitan masyarakat sipil.

Catatan kaki :
1. Presiden Truman menyampaikan pidato ini pada saat pengukuhannya, tanggal
20 januari 1949 (kutipan ini diambil dari tulisan Gustavo Esteva: 1992).
Kata underdevelopment pada kutipan tersebut menunjukkan bahwa Amerika mulai
arogan dalam peraturan tata dunia baru pasca Perang Dunia II
2. Breeton Woods adalah sebuah desa di negara bagian New Hempshire, AS,
yang menjadi ternpat berlangsungnya konferensi penting pada tanggal 1-22
Juli 1944 yang setahun kernudian melahirkan Bank Dunia dan IMF. Hasil
konferensi ini kernudian menjadi acuan baru dalarn pengelolaan ekonorni
dunia yang berpengaruh dan kuat hingga saat ini (Kornpas, 1994).
3. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan keadaan di India yaitu ketika Gandhi
berdebat dengan PemerintahInggris mengenai model pembangunan, "Mengapa India
tidak mengikuti Inggris saja?" Dengan diplomatis Gandhi berargumen, "Kalau
negara sekecil Inggris untuk dapat maju dengan cara menjajah dan
mengeksploitasi sepertiga luas bumi, maka India yang besar ini untuk dapat
maju harus menjajah berapa planet seperti bumi ini?'
4 Tulisan Akbar S. Ahmed menjadi wacana baru dan menarik, terutama di
kalangan intelektual muda yang sedang mencari jalan baru'. Bukunya
Postmodemisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam diterbitkan oleh Mizan 1992.
5 Wirn Burger adalah dosen Institute of Social Studies, Den Haag yang
memberikan ceramah tentang Ecology and Development. Saya mencatat
pokok-pokok pikirannya pada periode kuliah musim semi 1993.

Pustaka
Akhmed Akbar S. (1992), Postmodernisme: Bahaya dan Harapan bagi Islam.
Bandung: Mizan.

Baiquni, Muhammad (1996), Karakteristik Geografi Regional Indonesia:
Analisis Peluang dan Tantangan terhadap Penggalian Potensi Sumber-sumber
Dasar Kawasan Timur Indonesia. Makalah diskusi diselenggarakan Badan
Eksekutif Mahasiswa UGM.

Burger, Dietrich (1998), 'The Vision of Sustainable Development', dalam
Agriculture and Rural Development, Volume 5, No. 1, April 1998. Frakfurt,
Jerman: DLGVerlags-Gmbh.

Carson, Rachel (1962), Musim Semi yang Bisu (Silent Spring). Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia.

Colby, M.E. (199o), Environmental Management in Development: The Evolution
of Paradigms. The World Bank Discussion Papers. Washington DC: The World
Bank.

Daly, H. (1989), 'Steady-State and Growth, Consepts for the Next Century',
dalam Archibugi, F. dan Nijkamp, P. (eds.), Economy and Ecology: Towards
Sustainable Development. Dordrecht/ Boston /London: Kluwer Academic
Publishers.

Dwidjoseputro, D. (1991), Ekologi Manusia dan Lingkungannya. Jakarta:
Penerbit Erlangga.

Haq, Mahbub ul (1983), Tirai Kemiskinan; Tantangan-tantangan untuk Dunia
Ketiga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

IUCN, UNEP, dan WWF (1991), Caring for the Earth: A Strategy for Sustainable
Living. The world Conservation Union, United Nations EnvironmentProgramme
and World Wide Fund for Nature. Switzerland: Gland.

Kompas, 1 Januari 2000.

Meadows, et.al. (1972), Limits to Growth. Roma: Club of Rome.

Mubyarto (1987), Ekonomi Pancasila; Gagasan dan Kemungkinan. Jakarta: LP3ES.

Panayotou, T. (1994),'Economy and Ecology in Sustainable Development', dalam
The Society for Political and Economis Studies (ed.) 1994. Economy and
Ecology in Sustainable Development. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sachs, Wolfgang (1995), The Development Dictionary, Wolfgang Sach (ed.).
Johannesburg: Witwaterstrand University Press.

Satriago, Handry (1996), Istilah Lingkungan untuk Manajemen. Jakarta:
Ecolink, IPMI, dan Gramedia.

Sutikno (1982), Peranan Geornorfologi dalam Aspek-aspek Keteknikan. Makalah
Seminar Geografi II dengan tema Peranan Geografi dalam Pembangunan Nasional.
Yogyakarta: IGEGAMA.

Wasik, J.F. (1997), Green Marketing and Management: A Global Perspective.
Oxford, UK: Blackwell Business.

WCED (World Commision on Environment and Development) (1987), Our Common
Future.

Zen, M.T. (1979), Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia.

Tidak ada komentar: