RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 13 Maret 2008

Buyat dan Refleksi Gerakan Lingkungan Hidup (I)

(posting 2004 yang semoga masih relevan)

Paling tidak selama satu bulan berturut-turut (non-stop setiap hari) Koran Kompas memuat berita Buyat, demikian media massa lain baik koran, radio maupun televisi memberikan porsi pemberitaan yang luas tentang kasus ini. Berdasarkan pengalaman di berbagai negara dukungan media massa merupakan salah satu kunci keberhasilan gerakan lingkungan hidup dalam kegiatan advokasinya.

Menurut Chrtistine Sussana (peneliti CSIS) di Jepang, media massa berdiri di garda terdepan dalam memfokuskan perhatian nasional terhadap problem lingkungan yang multidimensional dan membentuk opini publik yang tercerahkan. Selain menjaga kredibilitas pemberitaan demi menangkal rumor, upaya strategis lainnya adalah gencarnya memperlihatkan konektivitas aspek lingkungan dengan aspek ekonomi, sosial-budaya dan politik, dan konektivitas lingkup lokal dengan lingkup nasional.

Peran media massa penting dilihat dari sisi bahwa merekalah yang mampu menghadirkan fakta-fakta aktual yang kemudian akan mampu membentuk opini publik dan mendorong publik untuk melakukan tindakan. Berbagai kajian dan penelitian menguatkan argumen ini, diantaranya seperti dirangkum oleh kawan Abdul Wahid Situmorang, Robert Jay Lifton dan Richard Falk (1982) menjelaskan bagaimana kekuatan fakta memainkan peran sangat penting dalam tradisi gerakan lingkungan hidup. Menurut Lifton dan Falk jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki mendorong aktivis pro lingkungan hidup di dunia melakukan perlawanan secara serentak menolak nuklir sebagai solusi baik
untuk mengamankan negara maupun untuk kepentingan pembangkit tenaga listrik. Argumentasi ini diperkuat oleh Jacqueline Vaughn Switzer (1994), Switzer memberi contoh tragedi bocornya tabung reaktor nuklir di Chernobyl ampu menstimulasi tumbuhnya kesadaran manusia terhadap salah satu hak asarnya, yaitu, hak atas lingkungan hidup.

Oleh karena itu tragedi atau penyelesaian kasus Buyat adalah sebuah momentum penting untuk mendorong atau mengakselerasi perubahan yang lebih besar. Kawan Situmorang berharap k asus pencemaran logam berat Teluk Buyat dipergunakan sebagai window opportunity bagi aktivis lingkungan hidup dan kemanusian. Kasus Teluk Buyat bisa menjadi the silent spring Indonesia sekaligus mile stone perlawanan anti sampah beracun dan berbahaya di Indonesia mempertimbangkan sejarah perlawanan serupa pernah terjadi tidak hanya dibelahan dunia lain tetapi juga di Indonesia ( The Silent Spring
adalah sebuah buku yang ditulis oleh Rachel Carson tahun 1962. Menurut Kirkpatrick Sale memainkan peranan sangat penting dalam sejarah atau pertumbuhan gerakan LH di Amerika Serikat. Ia tidak hanya menggugah kesadaran masyarakat Amerika tentang kontribusi pestisida terhadap hancurnya ekosistem seperti matinya flora, fauna termasuk terganggunya kesehatan manusia tetapi juga mendorong perubahan sikap dan sekaligus memotivasi mereka untuk melakukan aksi kongkrit meminta pemerintahnya
melakukan tindakan drastis menghentikan penggunaan pestisida sebagai cara membasmi hama).

Sedangkan Susanna melihat kasus Buyat sebenarnya merupakan tantangan demokratisasi yang dimensinya melampaui hura-hura pemilu presiden. Ia mengatakan bila kasus direspon dengan baik oleh pemerintah, berarti masih ada harapan untuk pembangunan yang berkesinambungan dan demokratisasi dalam arti yang sebenarnya. Selanjutnya dikatakannya BUYAT bukanlah satu-satunya permasalahan multidimensional yang bernuansa lingkungan yang diderita oleh Indonesia. Bisa jadi penyelesaian kasus lingkungan lain bergantung pada sejauh mana Buyat bisa diselesaikan.

Saya sendiri melihat bahwa narasi besar dari persoalan Buyat dan juga Freeport (yang mencuat sebelumnya) adalah imperialisme, khususnya imperialisme pertambangan dan sistim ekonomi politik yang korup yang melanggengkan penjajahan baru ini. Sehingga penyelesaian terhadap kasus Buyat, sesungguhnya akan dapat menjadi momentum untuk mengakselerasi perlawanan terhadap ketidakadilan struktural ini.

Pertanyaannya kemudian sanggupkah gerakan lingkungan hidup mendesakkan penyelesaian yang jujur dan adil atas kasus Buyat, sekaligus membangun atau melakukan perluasan basis konstituen gerakan lingkungan sebagai motor perubahan yang lebih luas dikemudian hari.

Kawan-kawan walaupun penyelesian kasus Buyat masih berjalan, saya mengajak kawan-kawan gerakan lingkungan hidup (termasuk kawan-kawan saya di Walhi) untuk melakukan refleksi tentang gerakan lingkungan hidup atau gerakan sosial yang kita bangun secara khusus tentang bagaimana kita memperlakukan kasus ini? Apakah kita bisa menggunakan kasus Buyat ini untuk mendorong perubahan yang lebih luas, apakah juga kita mampu mendorong isu lingkungan masuk ke jantung perpolitikan negeri ini atau tetap sebagai isu pinggiran atau marginal? Saya bahkan cemas kebenaran dan keadilan gagal ditegakkan dalam kasus Buyat ini?

Untuk itu dengan terlebih dahulu memohon maaf atas kecerewetan ini dan mungkin beban pada rekening email kawan-kawan, saya mengajak kawan-kawan untuk membaca kembali artikel Abdul Wahid Situmorang di koran Tempo "Teluk Buyat: The Silent Spring Indonesia" (bagian I) dan artikel Christine Susanna Tjhin di Kompas "Belajar dari Tragedi Minamata" (bagian II). Selanjutnya saya akan sajikan saduran atas buku Kirpatrick Sale Revolusi Hijau : Sebuah tinjauan historis-kritis gerakan lingkungan hidup di Amerika Serikat, Yayasan Obor Indonesia 1996, sebagai bahan refleksi tentang gerakan lingkungan hidup sebagai gerakan sosial (bagian IV). Saya menyadur karya ini dengan terlebih dahulu merangkai teoritisasi sederhana tentang gerakan
sosial, konsep itu kemudian digunakan sebagai kerangka penyaduran buku ini. (bagian III)

Selebihnya terserah kawan-kawan apakah akan dijadikan bahan merenung-renung sendiri, diskusi di milis ini atau bahkan dijadikan pengantar tidur atau di delete saja

Salam
Andreas Iswinarto

Koran Tempo, 14 Agustus 2004

Teluk Buyat: The Silent Spring Indonesia

Abdul Wahib Situmorang
Alumnus Ohio University


Kirkpatrick Sale (1993) dalam bukunya The Green Revolution menyatakan bahwa bangkitnya gerakan lingkungan hidup di Amerika Serikat pada dekade 1960-an tidak terlepas dari pengaruh terungkapnya dampak negatif pestisida terhadap lingkungan hidup dan manusia. Menurut Sale, adalah Rachel Carson (1962), melalui bukunya The Silent Spring, memainkan peranan sangat penting. Ia tidak hanya menggugah kesadaran masyarakat Amerika tentang kontribusi pestisida terhadap hancurnya ekosistem seperti matinya flora, fauna termasuk terganggunya kesehatan manusia tetapi juga mendorong perubahan sikap dan sekaligus memotivasi mereka untuk melakukan aksi kongkrit meminta
pemerintahnya melakukan tindakan drastis menghentikan penggunaan pestisida sebagai cara membasmi hama.

Robert Jay Lifton dan Richard Falk (1982) menjelaskan bagaimana kekuatan fakta memainkan peran sangat penting dalam tradisi gerakan lingkungan hidup. Menurut Lifton dan Falk jatuhnya bom atom di Hirosima dan Nagasaki mendorong aktivis pro lingkungan hidup di dunia melakukan perlawanan secara serentak menolak nuklir sebagai solusi baik untuk mengamankan negara maupun untuk kepentingan pembangkit tenaga listrik. Argumentasi ini diperkuat oleh Jacqueline Vaughn Switzer (1994), Switzer memberi contoh tragedi bocornya tabung reaktor nuklir di Chernobyl mampu menstimulasi tumbuhnya kesadaran manusia terhadap salah satu hak dasarnya, yaitu, hak atas lingkungan hidup.

Saat ini, kita terhentak melalui pemberitaan media massa baik cetak maupun elektronik tentang pencemaran merkuri dan logam berat lainnya di Teluk Buyat Minahasa, Sulawesi Utara. Tragedi ini terungkap setelah masyarakat buyat didampingi Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Kesehatan melaporkan dampak pencemaran yang mereka alami ke Markas Besar Polisi di Jakarta. Menurut sejumlah penelitian, pencemaran ini sangat potensial merugikan kesehatan masyarakat buyat, bahkan untuk beberapa tingkatan dampak logam berat ini sangat mematikan. Mereka, para peneliti, melakukan pengecekan beberapa sampel darah masyarakat Buyat dan hasilnya mengungkapkan bahwa sampel darah yang diambil positif mengandung merkuri.

Dari sudut pandang akademisi gerakan lingkungan hidup menarik dan penting untuk dielaborasi, apakah tragedi pencemaran logam berat di Teluk Buyat Minahasa memungkinkan sebagai stimulan merubah sikap dan aksi para elit pemerintah, parlemen dan aparat penegak hukum menindak secara tegas kasus-kasus pencemaran? Dan apa arti pentingnya tragedi Minahasa bagi aktivis pro lingkungan hidup dan kemanusian memobilisasi sumberdaya yang mereka miliki?

Tragedi Minahasa, sejauh ini, tidak merubah sikap elit pemerintah bertindak cepat memecahkan masalah pencemaran yang berdampak serius terhadap hancurnya ekosistem dan termarginalisasinya manusia dari lingkungan hidupnya. Dalam kasus pencemaran di Teluk Buyat, alih-alih pemerintah berpihak dan berempati kepada korban pencemaran, pemerintah Indonesia melalui Menteri Negara Lingkungan Hidup, Menteri Pertambangan dan energi dan Menteri Kesehatan mengatakan bahwa pencemaran logam berat di Teluk Buyat tidak ada hubungannya dengan limbah tailing PT. Newmont Minahasa yang dibuang ke Teluk Buyat melalui pipa-pipa raksasa. Statemen pemerintah ini terlalu pagi untuk
diumumkan ke publik mempertimbangkan beberapa penelitian mengungkapkan peranan Newmont mencemarkan Teluk Buyat disamping proses investigasi sedang berlangsung.

Disamping itu, aksi pemerintah Indonesia begitu lamban menelurkan langkah-langkah affirmative action baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang memecahkan persoalan pencemaran di Teluk Buyat. Untuk jangka pendek, Pemerintah Indonesia semestinya tidak segan-segan melakukan apa saja untuk membuktikan sampai sejauh mana pencemaran logam berat merusak ekosistem Teluk Buyat termasuk masyarakat Buyatnya.

Data hasil penelitian ini penting untuk menentukan langkah-langkah kongkrit merahabilitasi dan menyembuhkan ekosistem yang telah rusak. Data ini juga sangat dibutuhkan untuk meminta pertanggungjawaban Newmont baik secara hukum maupun non hukum memperbaiki pencemaran di Teluk Buyat. Dengan data ini, pemerintah akan mampu mengambil tindakan medis secara jitu mengembalikan hak atas kesehatan kepada masyarakat buyat sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah kepada warga negaranya. Oleh sebab itu, pengumpulan data yang solid, valid dan objektif menjadi sangat krusial dalam kasus pencemaran di Teluk Buyat.

Fenomena respon pemerintah menangani kasus Teluk Buyat menunjukkan bahwa para pejabat di pemerintah terus terkungkung mind set paradigma lama melihat isu hak-hak dasar masyarakat seperti hak mendapatkan lingkungan yang bersih. Elit tetap berpendirian bahwa kepentingan investasi berada diatas kepentingan ekosistem dan hak dasar manusia. Ini tercermin rendahnya empati dan tindakan kongkrit pemerintah memecahkan, tidak hanya kasus pencemaran di Teluk Buyat tetapi juga kasus lingkungan hidup lainnya di Indonesia.

Disisi lain, kita tidak melihat tragedi pencemaran di Teluk Buyat menjadi simbol perlawanan kelompok pro lingkungan hidup menekan pelaku perusak lingkungan hidup, khususnya perilaku perusahaan tambang di Indonesia. Padahal, dampak pencemaran logam berat di Buyat sangat menggetarkan hati nurani sebagai seorang manusia dan data hasil penelitian cukup lengkap dan solid. Disamping itu, ekpos media massa baik cetak maupun elektronik terus menerus dan selalu mendapat prioritas tempat pemberitaan utama dengan menampilkan berbagai sudut berita.

Andrew Szasz (1994) dalam bukunya Eco Populism: Toxic Waste and the Movement for Environmental Justice mengungkapkan bahwa isu sampah toxic, termasuk didalamnya sampah logam berat telah menjadi ikon baru gerakan untuk keadilan lingkungan hidup. Szasz membeberkan bahwa isu sampah beracun dan berbahaya hasil buangan aktivitas industri, tidak hanya menjadi isu lingkungan hidup an-sih tetapi juga telah menjadi isu sosial. Menurut Szasz, perkembangan isu toxic menjadi isu sosial berlangsung pada decade 1970-an sampai dengan 1980-an ketika masyarakat Amerika memiliki kekhawatiran sama besarnya antara dampak sampah toxic dengan nuklir.

Selama tiga minggu isu pencemaran Teluk Buyat muncul kepermukaan, menurut catatan penulis, hanya dua protes sosial, pertama di Kalimantan Selatan dan kedua di Sulawesi Tengah menggelar aksi solidaritas mempergunakan kasus pencemaran Teluk Buyat memperingatkan masyarakat dan pemerintah daerahnya atas dampak pertambangan skala besar bagi lingkungan hidup dan manusia. Dua-duanya menekan pemerintah daerahnya untuk mempertimbangkan secara serius aktivitas pertambangan didaerahnya masing-masing dan menolak rencana investasi baru didunia pertambangan apalagi bila itu dilakukan di hutan lindung. Meskipun demonstrasi yang digelar hanya diikuti sejumlah kecil demonstran.

Semestinya, Kasus pencemaran logam berat Teluk Buyat dipergunakan sebagai window opportunity bagi aktivis lingkungan hidup dan kemanusian. Kasus Teluk Buyat bisa menjadi the silent spring Indonesia sekaligus mile stone perlawanan anti sampah beracun dan berbahaya di Indonesia mempertimbangkan sejarah perlawanan serupa pernah terjadi tidak hanya dibelahan dunia lain tetapi juga di Indonesia.

Kelebihan kasus pencemaran teluk buyat dibandingkan dengan kasus pencemaran lainnya adalah pada dampaknya yang bisa dilihat secara kasat mata. Dan ini sangat significant menginjeksi pengetahuan tentang bahaya logam berat bagi ekosistem dan manusia kepada pemerintah dan masyarakat. Momentum seperti ini jarang terjadi sebagai media mengingatkan pemerintah dan masyarakat luas bahwa Indonesia sedang menghadapi ancaman logam berat diteritorialnya baik didaratan maupun didaerah perairan sebagai konsekuensi investasi industri pertambangan dan idustri lainnya yang mempergunakan bahan beracun dan berbahaya.

silahkan baca posting terkait dibawah ini

Cukup Sudah! Stop Imperialisme Tambang di Indonesia (Bag 1)

Cukup Sudah! Stop Imperialisme Tambang di Indonesia (Bag 2)

Cukup Sudah! Stop Imperialisme Tambang di Indonesia (Bag 3)

Seri Buyat dan Refleksi Gerakan LH (1)

Seri Buyat dan Refleksi Gerakan LH (2)

Seri Buyat dan Refleksi Gerakan LH (3)

Tidak ada komentar: