RECLAIM the CITY

RECLAIM the CITY
20 DETIK SAJA SOBAT! Mohon dukungan waktu anda untuk mengunjungi page ini & menjempolinya. Dengan demikian anda tlh turut menyebarkan kampanye 1000 karya rupa selama setahun u. memajukan demokrasi, HAM, keadilan melalui page ini. Anda pun dpt men-tag, men-share, merekomendasikan page ini kepada kawan anda. salam pembebasan silah klik Galeri Rupa Lentera di Atas Bukit (kerja.pembebasan)

Kamis, 13 Maret 2008

Stop Imperialisme Tambang di Indonesia (Bag 2)

CUKUP SUDAH! Hentikan Investasi Baru Pertambangan Besar yang Menista Rakyat*

Lagipula, siapakah yang bisa mengembalikan lagi kekayaan Indonesia yang
diambil oleh mijnbedrijven partikelir, yakni perusahaan-perusahaan
partikelir, sebagai timah, arang batu dan minyak. Siapakah nanti yang bisa mengembalikan lagi kekayaan-kekayaan tambang itu? Musnah-musnahlah
kekayaan-kekayaan itu buat selama-lamanya bagi pergaulan hidup Indonesia, masuk ke dalam kantong beberapa pemegang andil belaka! (Soekarno, Indonesia Menggugat 1961)

Kami menyatakan keprihatinan dan kemarahan kami, atas penistaan para pejabat negara untuk yang kesekian kalinya terhadap warga Buyat. Orang-orang biasa, perempuan dan laki-laki, tua dan muda yang mempertaruhkan keselamatan diri mereka untuk melakukan protes dan menuntut keadilan atas bencana lingkungan yang mereka alami. Sebuah bencana pencemaran yang menyebabkan gangguan kesehatan kronis dan kemiskinan akibat hilangnya mata pencaharian yang ditimpakan kepada mereka sebagai dampak operasi pertambangan raksasa PT Newmont Minahasa di wilayah hidup mereka Alih-alih menerapkan prinsip kehati-hatian, empati serta memihak pada korban, para pejabat negara dengan serta merta menyangkal penderitaan para korban dan menyatakan bahwa PT Newmont Minahasa tidak menimbulkan pencemaran. Dengan menyatakan bahwa Teluk Buyat tidak tercemar, dengan setumpuk hasil penelitian dan bukti laboratoris berbagai pihak yang mengindikasikan terjadinya pencemaran, sesungguhnya para pejabat negara telah memvonis rakyat menyampaikan informasi yang tidak benar alias bohong.

Kami menilai sikap ini adalah bagian dari upaya untuk menutup-nutupi borok sistim politik-ekonomi yang korup yang mendukung usaha pertambangan besar yang tidak adil. Dalam kasus Buyat hingga operasi PT Newmont Minahasa berakhir, ternyata perusahaan ini hanya mengantongi ijin sementara pembuangan limbah ke laut. Ketika ijin sementara itu dikeluarkan disyaratkan perusahaan tambang ini menyusun Ecological Risk Assesment (ERA- Penilaian Resiko Ekologi) dengan tenggang waktu enam bulan sejak keputusan dikeluarkan, sebagai dasar pemberian ijin permanen. ERA nantinya akan dijadikan dasar penetapan baku mutu lingkungan. Namun hingga saat ini pemerintah ternyata belum dapat menerima ERA yang disiapkan oleh perusahaan.


Dengan demikian jelas bahwa tidak ada jaminan bahwa lingkungan hidup dan masyarakat aman dari dampak sistim pembuangan tailing ke dasar laut yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa. Hal ini sebenarnya sejalan dengan rekomendasi tim peneliti Kementrian Lingkungan Hidup di teluk Buyat tahun 2002 yang menyarankan penduduk sekitar Teluk Buyat mengurangi konsumsi ikan yang hidup di area pembuangan tailing Newmont.

Adalah sebuah tragedi bangsa, adalah sebuah ironi 'kemerdekaan', bahwa masih terdapat fakta ketimpangan dan kesenjangan yang mengerikan.
Berdamping-dampingan dengan kerakusan operasi raksasa perusahaan
pertambangan asing mengeruk kekayaan alam tambang berton-ton dari bumi
Indonesia, terdapat kemiskinan yang kronis disekitar wilayah operasi
perusahaaan tersebut. Sebut pula apa yang terjadi di tanah Papua, konsesi tambang PT Freport di tanah Papua telah mengorbitkan perusahaan tambang tersebut sebagai salah satu perusahaan tambang tembaga, emas dan perak terbesar di dunia. Sementara kita tahu masyarakat di sekitar pertambangan PT Freeport masih saja terpuruk dalam kemiskinan dan kemandegan yang dalam.

Belum lagi fakta pencemaran lingkungan yang terjadi akibat operasi
perusahaan ini. Paling tidak menurut penelitian Walhi dengan menggunakan data satelit Indraja Landsat tahun 2000, diperoleh temuan total wilayah darat yang tercemar tailing mencakup luasan 35.820 hektar. Sedangkan wilayah laut yang tercemar paling tidak meliputi wilayah seluas 84.158 ha. Dimana radius pencemaran tailing di laut dari muara Komoro. Gejala ini sesungguhnya bukan saja terjadi di Minahasa dan Papuan Barat namun terjadi pula dihampir seluruh wilayah operasi pertambangan besar di Indonesia.

Selain merupakan gejala yang universal bahwa di tengak iklim demokrasi yang kurang berkembang dan masih kuatnya militerisme, sektor pertambangan besar ini potensial menimbulkan pelanggaran hak asasi manusia. Dalam konteks Indonesia kajian atas pelanggaran-pelanggaran HAM pada industri pertambangan dengan studi kasus PT Freeport Indonesia dan PT Kelian Equatorial (Elsam, 1998) menunjukkan paling tidak ada delapan bentuk pelanggaran HAM yang ditemukan. Pertama, pelanggaran atas hak untuk menentukan nasib sendiri. Termasuk didalamnya adalah tidak diakuinya tanah-tanah adat yang menjadi milik seseorang, keluarga atau satu suku tertentu, tidak diakuinya struktur sosial masyarakat adat serta pemaksaan untuk alih fungsi lahan menjadi areal pertambangan. Kedua, pelanggaran atas hak untuk hidup. Ketiga, penghilangan orang dan penangkapan secara sewenang-wenang Keempat, hilangnya hak untuk bebas dari rasa takut. Kelima, hilangnya hak seseorang untuk tidak mendapatkan penyiksaan atau tindak kekerasan, khususnya yang dilakukan oleh pejabat publik. Keenam, dicabutnya hak seseorang atas sumber penghidupan subsistensinya Ketujuh, hilangnya hak anak-anak untuk mendapatkan perlindungan Kedelapan, lenyapnya standar kehidupan yang layak dan pencapaian tingkat kesehatan yang optimal (hak atas lingkungan hidup yang sehat)

Pelanggaran hak asasi manusia, pemiskinan rakyat dan penghancuran lingkungan hidup di sekitar wilayah konsesi pertambangan besar yang didominasi pemain internasional, sesungguhnya menegaskan masih bertahannya karakter model penguasaan sektor pertambangan masa penjajahan.

Praktek-praktek ekonomi-politik perusahaan tambang internasional di
Indonesia sesungguhnya adalah praktek imperialisme, meminjam definisi
Connors adalah praktek-praktek "penguasaan secara formal (atau tidak
formal) atas sumber-sumber daya ekonomi setempat yang lebih banyak
menguntungkan kekuatan metropolitan, dengan merugikan ekonomi setempat'.

Di tingkat agregat perekonomian nasional, sesungguhnya distribusi keuntungan dari pendapat negara dari sektor pertambangan besar ini yang diperoleh dari bagi hasil, royalti dan pajak, serta kontribusinya bagi perluasan lapangan kerja (yang sebenarnya kecil saja) vis a vis perusahaan pertambangan internasional dan negara-negara maju menunjukkan ketimpangan yang kronis pula.

Pola hubungan ekonomi yang lazim terjadi antara negara sedang berkembang yang kaya dengan sumberdaya alam terutama mineral dan negara maju atau industri, menunjukkan karakter ketimpangan dalam menyerap manfaat ekonomi atau nilai tambah dari pengolahan bahan baku atau bahan mineral.

Perusahaan-perusahaan internasional dari negara maju memiliki kontribusi terbesar dalam proses ekstraktif atau eksploitasi sumberdaya mineral. Bahan baku ini kemudian menjadi komoditi ekspor bagi negara-negara berkembang tersebut yang utamanya diserap oleh industri pengolahan di negara-negara maju. Produk setengah jadi dan produk jadi ini kemudian diimpor oleh negara-negara berkembang, untuk diolah kembali oleh industri-industri di negara berkembang yang juga di dominasi oleh perusahaan-perusahaan asing, atau dalam hal produk jadi untuk konsumsi pasar dalam negeri

Apropriasi (pengambilalihan) nilai lebih ini tidak hanya terjadi melalui lika-liku praktek ekonomi diatas, tetapi juga melalui nilai lebih yang hilang akibat tergusurnya dan terganggunya berbagai mata pencaharian rakyat (termasuk akibat kerusakan lingkungan) di sekitar wilayah tambang. Belum lagi bila kita menghitung hilangnya potensi sumberdaya manusia akibat kemiskinan dan kesehatan yang buruk. Lebih jauh lagi apropriasi terjadi bila dihitung pula nilai modal ekologis yang hilang akibat rusaknya fungsi-sungsi ekologis alam akibat proses destruktif industri pertambangan.

Kami menilai bahwa tragedi Buyat hanyalah puncak es dari kebobrokan yang jauh lebih besar dalam industri pertambangan besar bahkan dalam system politik-ekonomi di negeri ini.

Kami menegaskan bahwa narasi besar dari tragedi Buyat, sesungguhnya adalah imperialisme dan sistem politik-ekonomi yang korup termasuk militerisme yang melanggengkan penjajahan baru tersebut.

Untuk itu kami menuntut pemerintah untuk melakukan :

1. Moratorium Investasi Baru di sektor Pertambangan Besar
Moratorium di lakukan untuk memberikan waktu bagai penyiapan infrastruktur perekonomian Indonesia hingga lebih siap menyerap nilai tambah dari pengelolaan sumberdaya mineral. Selain itu moratorium memberi kesempatan untuk perombakan terhadap kebijakan negara dan sistim industri pertambangan besar yang korup dan eksploitatif baik dari aspek ekonomi, sosial dan lingkungan hidup untuk sebesar-besarnya kesejahteraan rakyat. Proses ini harus didahului dengan audit Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Hidup terhadap sektor pertambangan besar.

2. Renegosiasi Kontrak Karya
Peninjauan kembali perjanjian kontrak karya yang sudah disepakati dan
melakukan pengaturan kembali terhadap distribusi keuntungan, keterkaitan dengan dengan industri hilir, transfer teknologi, serta tanggungjawab sosial dan lingkungan hidup (termasuk pengetatan syarat-syarat lingkungan hidup mengikuti standar lingkungan hidup di negara-negara maju).

3. Tindakan Hukum Yang Tegas
Pemerintah harus menunjukkan political will untuk 'melindungi, mencegah dan mempromosikan hak-hak asasi manusia di bidang ekonomi, sosial dan
lingkungan hidup' dalam sektor industri pertambangan . Pertama-tama
'political will' tersebut harus ditunjukkan dengan tindakan pengusutan dan tindakan yang tegas terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh PT Newmont Minahasa dan aparat pemerintahan yang membiarkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia tersebut. Termasuk pula tanggungjawab perusahaan untuk memberikan kompensasi kepada para korban dan memulihkan kerusakan ekonomi-sosial-budaya dan lingkungan hidup yang terjadi. Kedua, memberikan perlindungan hukum terhadap warga Buyatyang sedang berjuang untuk menuntut keadilan dari proses kriminalisasi dan adu domba. Ketiga, melalui langkah-langkah itu pemerintah kemudian melanjutkan penyelidikan yang menyeluruh terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan perusahaan pertambangan besar lainnya .

4. Menyiapkan Fondasi Kebijakan Mineral yang Adil dan Berkelanjutan

Kami menyerukan pula kepada segenap masyarakat Indonesia
1. Dukung dengan sekuat-kuatnya perjuangan warga Buyat yang bertaruh
keselamatan diri untuk menuntut keadilan atas hak-haknya yang dilanggar.
2. Dukung dengan sekuat-kuatnya perjuangan jutaan masyarakat korban,
sesungguhnya para survivor yang berada didalam dan sekitar wilayah konsesi tambang.
3. Bangun front-front perlawanan rakyat untuk merebut kembali kedaulatanvsejati dan menyerukan proklamasi Indonesia kedua. Rakyat Bersatu, Rakyat

Berdaulat; Merdeka Seratus Persen.

*Ini adalah manifesto yang diteken oleh 800 orang dan lembaga di tahun 2004, yang dinisiasi oleh andreas iswinarto termasuk juga draft dan finalisasi manifesto ini. Sekedar mengingatkan kawan-kawan yang dulu berkomitmen untuk ini


silahkan baca posting terkait dibawah ini

Cukup Sudah! Stop Imperialisme Tambang di Indonesia (Bag 1)

Cukup Sudah! Stop Imperialisme Tambang di Indonesia (Bag 2)

Cukup Sudah! Stop Imperialisme Tambang di Indonesia (Bag 3)

Seri Buyat dan Refleksi Gerakan LH (1)

Seri Buyat dan Refleksi Gerakan LH (2)

Seri Buyat dan Refleksi Gerakan LH (3)

1 komentar:

Vic Dodge mengatakan...

Saya sangat setuju dengan prinsip bahwa bangsa ini harus menerima sebesar-besarnya hasil dari sumber tumpah darah bumi Indonesia. Mengenai kasus Buyat; setahu saya Newmont, Freeport dan seluruh tambang tembaga besar di seluruh dunia (Chile, US, Peru, China, Australia) menggunakan zat yang disebut Reagent (Lihat perusahaan regent Cytec), yang memisahkan tembaga secara fisika, yaitu dengan mengapungkan tembaga dalam bagian "flotation". zat ini aman dan tidak mengandung merkuri, bahkan kita bisa mencelupkan tangan kita disana tanpa terjadi apa-apa. Secara pasti tambang besar tidak akan melakukan hal yang konyol dan membahayakan investasinya bermilyar2 dollar dengan membuang limbah B3 secara bodoh ke alam. terlalu "risky".

Kasus buyat Pada tambang tembaga, pasti ada mineral sampingan yaitu emas.
Di indonesia dimanapun ada emas maka akan ada masyarakat yang mendulang. bagaimana cara mudah dan murah bagi penambang liar untuk memisahkan emas? tentu saja dengan Merkuri. Saya sangat geram dengan pencemaran yang ditemukan di Buyat. namun menurut saya; kita telah salah menunjuk hidung. yang mencemari lingkungan kita dengan merkuri adalah pendulang-pendulang liar tersebut. bangsa kita sendiri telah berbuat tercela. saya sangat malu saat berita bahwa tambang tembaga raksasa dituduh membuang merkuri. suatu hal yang sagat bodoh dan menjadi tertawaan internasional. karena dunia tambang professional paham betul resiko pembuangan limbah B3 yaitu bangrutnya usaha tambang. namun mengapa penambang liar (bangsa kita sendiri) yang mencemari tanah airnya lepas begitu saja? kecurigaan saya kembali ke oknum LSM yang mungkin saja salah satu organisasi penambang liar yang ingin melempar tanggung jawab. Setelah perusahaan besar itu tutup. tambahan ribuan bangsa menganggur. tidak ada pengalaman/ alih teknologi. masyarakat sekitar kembali masuk hutan. kebodohan bertambah. Inilah yang sebenarnya yang telah terjadi. saya adalah bangsa indonesia asli. saya salah satu penentang bule, cina, dan pendatang lainnya. namun perlu kita pahami bahwa bangsa indonesia masih dalam fase industrialisasi. masih dalam tahap didik. masih jauh dari fase "welfare state". selama tidak ada modal masuk, maka bangsa kita semakin tertinggal dari bangsa lain.