Chairil Anwar punya pandangan bahwa di dalam apresiasi karya sastra khususnya sajak kita harus terlebih dulu mengerti ‘pokok’ sambil mengingatkan jangan kita melakukan analisa dengan perkakas ‘bahasa’ saja. Menurutnya kita harus menangkap ‘pokok’nya dulu kemudian kita melihat bagian-bagian dalam hubungannya dengan ‘pokok’ ini. Menurutnya lebih lanjut dengan mengerti pokok kita bisa menghargai karya seni, meskipun ‘pokok’ tersebut tidak menentukan nilai karya tersebut. (dalam Membuat Sajak, Melihat Lukisan seperti di kutip Arif Budiman –Chairil Anwar Sebuah Pertemuan, Wacana Bangsa ).
Saya juga ingin mencatat pandangan Arif Budiman di dalam buku yang sama tentang makna keindahan. Dari pengakuannya Arif nampaknya tidak percaya lagi kepada konsepsi-konsepsi tentang indah dan apa yang tidak. Ia bahkan memilih tidak menggunakan kata tersebut, karena kekaburan artinya.
“Saya melihat bahwa sebuah karya seni menjadi ‘indah’ buat seseorang karena sudah terjadinya pertemuan yang otentik antara seseorang dan dunia yang diungkapkan oleh karya seni tersebut”, katanya lebih jauh.
selanjutnya
Sabtu, 28 Maret 2009
Surat dari Buton : Sejarah dan Kebenaran Dari Masa Gelap Itu
lentera dari jaman kegelapan itu
“Sekilas saya menyatakan kebenaran saya namun kalau sudah semua orang menyatakan itu tidak benar, maka yang tidak benar itu menjadi kebenaran……”
“Malam ini, saya akan lalui tidur di selku ini, sebagai malam pertama tanggal 8 April 1969” demikian lelaki itu mengakhiri suratnya.
selanjutnya
“Sekilas saya menyatakan kebenaran saya namun kalau sudah semua orang menyatakan itu tidak benar, maka yang tidak benar itu menjadi kebenaran……”
“Malam ini, saya akan lalui tidur di selku ini, sebagai malam pertama tanggal 8 April 1969” demikian lelaki itu mengakhiri suratnya.
selanjutnya
Menulis Sebagai Proses Pembelajaran Efektif
Saya akhirnya memutuskan untuk membeli buku-buku dan mencari referensi soal isu ini. Terinspirasi pengalaman saya menulis beberapa surat pembaca menolak kebijakan pemda DKI menggusur becak (ini juga karena tergerak oleh sikap penolakan Romo Mangun), saya memutuskan untuk belajar cepat dengan cara menuliskannya. Dengan menulis saya mengalami proses belajar yang lebih cepat dan nyangkut di otak sekaligus dengan tulisan saya bisa berkontribusi untuk mengkampanyekan penolakan terhadap ambisi PLTN ini. Dari siasat itu kemudian saya sempat menuliskan puluhan artikel opini/artikel kampanye dalam format surat pembaca, dan gilanya lagi setiap surat pembaca saya kirimkan ke lebih dari 20 surat kabar dan majalah.
selanjutnya
selanjutnya
Pengalaman Eksistensial, Pengalaman Spiritual
Kubaca di pengantar yang ditulis st sularto, dalam kenangan myra, brouwer ini adalah sosok yang problematis. Kata-kata kunci filsuf jerman martin heidegger yang dikaguminya selain tokoh fenomemenologi lainnya Marleau Ponti ‘kematian sebagai tujuan hidup’ seolah-olah menghantuinya, begitu disebutkan. Kepada sahabat-sahabatnya ia sering mengatakan : “saya paling takut dengan kematian”. Aku kutip lagi dari st sularto ‘ternyata brouwer tidak mampu sendirian mengatasi persoalan dengan badannya yang didera sakit sejak kecil (asma) sampai akhir hidupnya. Pada beberapa tahun sebelum kematiannya, dia merasa dikejar-kejar oleh sakitnya, dia merasa ditinggalkan banyak orang.”
Tentang ini saya teringat petikan kata bijak Pram pada Novelnya Bukan Pasar Malam
"Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang.... seperti dunia dalam pasar malam...Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi"
selanjutnya
Tentang ini saya teringat petikan kata bijak Pram pada Novelnya Bukan Pasar Malam
"Dan di dunia ini, manusia bukan berduyun-duyun lahir di dunia dan berduyun-duyun pula kembali pulang.... seperti dunia dalam pasar malam...Seorang-seorang mereka datang. Seorang-seorang mereka pergi"
selanjutnya
Di Ceto : Kosmik dan Jiwa Menari
Tentang Syiwa si raja penari, Zimmer dalam Capra bilang "Gerakannya liar namun penuh keanggunan, memencarkan ilusi-ilusi kosmik; juntaian lengan dan kaki serta
ayunan tubuhnya menghasilkan-sungguh-penciptaan-pemusnahan kontinu alam semesta, kematian persis menyeimbangkan kelahiran, pemusnahan adalah akhir bagi setiap
penciptaan".
-----
Ternyata aku tiba di pucuk ceto lebih gegas dari kabut, yang terasa gigih mengejarku ketika ngebut dengan ojek. Setibanya disana aku mendaki anak-anak tangga dan menatap-natap dari pelataran terdepan hingga pelataran teratas dan terakhir.
Saat itu tak satu pun pengunjung ada disana, karena itu aku merasa nyaman untuk hening dan bermeditasi sejenak. Selepas itu aku sejenak menikmati suara-suara alam dan sesuatu yang terus menari di benakku.
selanjutnya
ayunan tubuhnya menghasilkan-sungguh-penciptaan-pemusnahan kontinu alam semesta, kematian persis menyeimbangkan kelahiran, pemusnahan adalah akhir bagi setiap
penciptaan".
-----
Ternyata aku tiba di pucuk ceto lebih gegas dari kabut, yang terasa gigih mengejarku ketika ngebut dengan ojek. Setibanya disana aku mendaki anak-anak tangga dan menatap-natap dari pelataran terdepan hingga pelataran teratas dan terakhir.
Saat itu tak satu pun pengunjung ada disana, karena itu aku merasa nyaman untuk hening dan bermeditasi sejenak. Selepas itu aku sejenak menikmati suara-suara alam dan sesuatu yang terus menari di benakku.
selanjutnya
Proses Kreatif Elizabeth D. Inandiak dan Ayu Utami
Aku terpesona dengan cara Inandiak dalam saduran Centhini (Centhini : Kekasih yang Tersembunyi) dan Utami dalam Bilangan Fu mengambarkan proses kreatifnya sekaligus proses kreatifnya sendiri (terutama inandiak). Proses melahirkan jiwa dan anak kehidupan……
Elizabet D. Inandiak “mendengarkan selama berjam-jam syair-syair centhini yang ditembangkan teman, hingga raga dan bahasanya kerasukan dan tertanda olehnya. Lalu pada suatu hari, kenyataan yang begitu jelas dan begitu sederhana muncul : serat centhini, kehidupan inandiak, dan kehidupan para penyair jawa sejak berabad-abad semua menyatu. Segala yang pernah inandiak alami di jawa dan di tempat lain di bumi ada dalam karya yang janggal, ajaib dan raksasa itu, yang keliatannya begitu bercerai berai, tetapi intinya begitu sempurna. Ia seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan tembang-tembang dan lenyap dalam gelombang cahaya para penyair yang telah tiada, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia”.
Ayu Utami “….terima kasih saya kepada gunung gede pangrango yang memberi zat asam, kejernihan dan ilham. Dan Erick Prasetya, partner mendaki gunung yang merupakan ayah dari novel ini. Ia memberi saya benih bagi kisah roman ini, dan merawat saya selama mengandung novel ini (usaha pembuahannya yang berkali-kali gagal makan waktu empat tahun, proses mengandung –menuliskannya menghabiskan sembilan bulan). Melalui dia saya mencoba mengenang, dengan cara saya sendiri, kekasih dan sahabatnya di masa muda, LS dan almarhum SF yang meninggal dunia dari kecelakaan ganjil di bukit kapur citatah”.
selanjutnya
Elizabet D. Inandiak “mendengarkan selama berjam-jam syair-syair centhini yang ditembangkan teman, hingga raga dan bahasanya kerasukan dan tertanda olehnya. Lalu pada suatu hari, kenyataan yang begitu jelas dan begitu sederhana muncul : serat centhini, kehidupan inandiak, dan kehidupan para penyair jawa sejak berabad-abad semua menyatu. Segala yang pernah inandiak alami di jawa dan di tempat lain di bumi ada dalam karya yang janggal, ajaib dan raksasa itu, yang keliatannya begitu bercerai berai, tetapi intinya begitu sempurna. Ia seakan ingin mencebur ke sungai yang luas, membiarkan diri ditelan tembang-tembang dan lenyap dalam gelombang cahaya para penyair yang telah tiada, terikat dengan silsilah mereka secara penuh rahasia”.
Ayu Utami “….terima kasih saya kepada gunung gede pangrango yang memberi zat asam, kejernihan dan ilham. Dan Erick Prasetya, partner mendaki gunung yang merupakan ayah dari novel ini. Ia memberi saya benih bagi kisah roman ini, dan merawat saya selama mengandung novel ini (usaha pembuahannya yang berkali-kali gagal makan waktu empat tahun, proses mengandung –menuliskannya menghabiskan sembilan bulan). Melalui dia saya mencoba mengenang, dengan cara saya sendiri, kekasih dan sahabatnya di masa muda, LS dan almarhum SF yang meninggal dunia dari kecelakaan ganjil di bukit kapur citatah”.
selanjutnya
Suara Berjuang Wiji Thukul Hingga Masa Pemilu 2009 Ini
Berikut ini adalah beberapa petikan puisi Wiji Thukul seperti diulas Wahyu Susilo dalam artikelnya Pemilu dalam Puisi-puisi Wiji Thukul (Kompas 15 Februari 2009).
Satu dan dua ataupun tiga,
Semua sama sama bohongnya,
Milih boleh, tidak memilih boleh,
Jangan memaksa, itu hak gue
(Satu, dua dan tiga, Wiji Thukul, 1992)
...
Kami tak percaya lagi pada itu, partai politik,
Omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang,
Mengawang jauh dari kami punya persoalan
Bubarkan saja itu komidi gombal,
Kami ingin tidur pulas,
Utang lunas,
Betul-betul merdeka,
Tidak Tertekan,
Dari puisi ”Aku Menuntut Perubahan” yang ditulis menjelang Pemilu 1992.
Pesta Pora Pemilu dan Kesepian Kaum Miskin di Kolong Jembatan
Ironisnya puisi yang dituliskan menjelang pemilu 1992 (juga mewakili wajah pemilu-pemilu lain sepanjang pemerintahan Soeharto), bagi saya masih tetap relevan hingga hari ini setelah Soeharto dipaksa turun.
selanjutnya
Satu dan dua ataupun tiga,
Semua sama sama bohongnya,
Milih boleh, tidak memilih boleh,
Jangan memaksa, itu hak gue
(Satu, dua dan tiga, Wiji Thukul, 1992)
...
Kami tak percaya lagi pada itu, partai politik,
Omongan kerja mereka tak bisa bikin perut kenyang,
Mengawang jauh dari kami punya persoalan
Bubarkan saja itu komidi gombal,
Kami ingin tidur pulas,
Utang lunas,
Betul-betul merdeka,
Tidak Tertekan,
Dari puisi ”Aku Menuntut Perubahan” yang ditulis menjelang Pemilu 1992.
Pesta Pora Pemilu dan Kesepian Kaum Miskin di Kolong Jembatan
Ironisnya puisi yang dituliskan menjelang pemilu 1992 (juga mewakili wajah pemilu-pemilu lain sepanjang pemerintahan Soeharto), bagi saya masih tetap relevan hingga hari ini setelah Soeharto dipaksa turun.
selanjutnya
Kamis, 19 Maret 2009
Mengenang 80 Tahun YB Mangunwijaya dan 10 Tahun Wafatnya
Burung-burung Manyar, Mangunwijaya Dalam Ke-bermainan-nya
Mangunwijaya dalam Wajah Kanak-kanak dan Perempuannya………..
Kedungombo, Penggusuran Becak, Girli (anak pinggir kali), Kali Code…… ia mendidik kita tentang panggilan hidup dan pemihakan kepada kaum yang termiskinkan, termajinalkan, tertindas, terabaikan…..
Pastor, arsitek, novelis, akitivis NGO, pendidik………. ia mendidik kita tentang citra manusia, talenta, potensi diri , kemajemukan dan eksistensi kemanusiaan kita……
Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.
selanjutnya
Mangunwijaya dalam Wajah Kanak-kanak dan Perempuannya………..
Kedungombo, Penggusuran Becak, Girli (anak pinggir kali), Kali Code…… ia mendidik kita tentang panggilan hidup dan pemihakan kepada kaum yang termiskinkan, termajinalkan, tertindas, terabaikan…..
Pastor, arsitek, novelis, akitivis NGO, pendidik………. ia mendidik kita tentang citra manusia, talenta, potensi diri , kemajemukan dan eksistensi kemanusiaan kita……
Dari banyak segi dan aneka warna manusia Mangunwijaya, kerjanya dan panggilan hidupnya, barangkali agak kurang tajam disoroti Mangunwijaya dalam ‘Kebermainannya’, Sang Homo Ludens ini. Padahal sejatinya dari ‘kebermainan’ inilah kualitas dan citra kemanusiaan, kemerdekaan dan kesejatian dapat ditelusuri jejaknya.
selanjutnya
Tegakan Hak-hak Buruh Migran, Mohon Dukungan.
Mohon Dukungan Ratifikasi Konvensi Perlindungan Buruh Migran
Mari sama-sama mendesak Presiden dan DPR RI untuk Segera Meratifikasi Konvensi Migran 1990, dengan mendukung petisi melalui
http://www.Petition Online.com/ BMI/
Petisi ini merupakan hasil/tindaklanjut dari Dialog "Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya sebagai Pelaksanaan CEDAW", yang diinisiasi oleh Solidaritas Perempuan bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan atas dukungan UNIFEM pada tanggal 11-12 Maret 2009 di Jakarta.
Terima Kasih.
Tabik,
Benhard Nababan (nababan.jr@telkom.net)
Andreas Iswinarto
To: Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Petisi Bersama
Buruh Migran, Masyarakat Sipil dan Pemerhati Buruh Migran Indonesia
Segera Ratifikasi Konvensi Migran 1990
(Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya)
Berbagai situasi pelanggaran hak BMI antara lain disebabkan karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Migran 1990 sehingga belum ada kewajiban hukum bagi pemerintah untuk memenuhi hak-hak buruh migran sebagaimana tercantum dalam konvensi tersebut. Konvensi Migran 1990 telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada 22 September 2004. Penandatanganan ini seharusnya segera ditindaklanjuti dengan meratifikasi agar nilai-nilai dalam konvensi ini menjadi instrumen hukum di tingkat nasional.
selanjutnya
Mari sama-sama mendesak Presiden dan DPR RI untuk Segera Meratifikasi Konvensi Migran 1990, dengan mendukung petisi melalui
http://www.Petition Online.com/ BMI/
Petisi ini merupakan hasil/tindaklanjut dari Dialog "Ratifikasi Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak Seluruh Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya sebagai Pelaksanaan CEDAW", yang diinisiasi oleh Solidaritas Perempuan bekerjasama dengan Komnas Perempuan dan Kementerian Pemberdayaan Perempuan atas dukungan UNIFEM pada tanggal 11-12 Maret 2009 di Jakarta.
Terima Kasih.
Tabik,
Benhard Nababan (nababan.jr@telkom.net)
Andreas Iswinarto
To: Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
Petisi Bersama
Buruh Migran, Masyarakat Sipil dan Pemerhati Buruh Migran Indonesia
Segera Ratifikasi Konvensi Migran 1990
(Konvensi Internasional mengenai Perlindungan Hak-Hak semua Pekerja Migran dan Anggota Keluarganya)
Berbagai situasi pelanggaran hak BMI antara lain disebabkan karena Indonesia belum meratifikasi Konvensi Migran 1990 sehingga belum ada kewajiban hukum bagi pemerintah untuk memenuhi hak-hak buruh migran sebagaimana tercantum dalam konvensi tersebut. Konvensi Migran 1990 telah ditandatangani oleh pemerintah Indonesia pada 22 September 2004. Penandatanganan ini seharusnya segera ditindaklanjuti dengan meratifikasi agar nilai-nilai dalam konvensi ini menjadi instrumen hukum di tingkat nasional.
selanjutnya
Fakultas Ekonomi : Pusat Pengkaderan Agen-Agen Kolonial
Pemilu 2009 : The Battle of Mind
Ekonomi Konstitusi vs Ekonomi Neoliberal
Dari Peluncuran buku Ekonomi Konstitusi : Haluan Baru Kebangkitan Ekonomi Indonesia. (Jakarta 18 Maret 2009)
Penulis : Hendri Saparini, Iman Sugema, Revrisond Baswir, Nunung Nuyartono, Ichsanuddin Noorsy, Triana Anggraenie, Adi Setiyanto, M Iqbal Irfany, Tony Irawan
Editor : Soegeng Sarjadi, Iman Sugema
Penerbit : Soegeng Sarjadi Syndicate
selanjutnya
Adab, Bukan Adab; Sastra, Bukan Sastra?
Sastra dan Peradaban (2)
Catatan Lepas Dari Diskusi Sastra dan Pemberadaban yang diselenggarakan Bale Sastra Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya
Dalam diskusi di Bentara Budaya ini Thamrin sempat berbagi kehadirannya pada satu seminar mengenai Pancasila, dimana ia mengusulkan untuk menjawab tantangan jaman dan menjadikannya lebih kontekstual maka bisa saja urutan sila-sila di rubah. Ia mengusulkan urutan sila-sila terkait sebagai berikut : kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi, baru persatuan dan terakhir keTuhanan. Ia mengingatkan soal kekejaman di Aceh, Timor Leste, Papua yang berpangkal pada tafsir persatuan yang ngawur, juga tafsir agama yang menghasilkan kekerasan-kekerasan dan konflik-konflik keras bermotif agama.
Bagi saya inilah penjelasan yang paling tepat tentang pilihan pada religiositas bukan agama. Sebagai gerak akal, budi, rasa, nurani untuk mewujudkan kemanusiaan dan sekaligus keadilan sosial. Persoalan religiositas sebagai gerak vertikal manusia dan Penciptanya bukan semata-mata atau bahkan tidak berarti apa-apa tanpa peluberan ke bumi, tanpa wujud sebagai kasih kepada sesama. Demikian esensi dari agama manapun, sebagai sebuah perjalanan sebuah misi menuju pembebasan, kemanusiaan dan keadilan.
Karena itu saya masih melihat relevansi simpulan “Pada Awal Mula Segala Sastra adalah Religius”. Dengan demikian saya meyakini religiositas sebagai sebuah karya sastra yang baik atau dalam konteks diskusi ini sebagai jalan pemberadaban, Religiositas bisa bekerja tanpa keyakinan agama apapun, bahkan bisa jadi tanpa tuhan manapun, sepanjang manusia mewujudkan panggilan nuraninya untuk kemanusiaan dan keadilan.
Bila diskusi ini membahas Sastra dan Peradaban maka pemberadaban yang dimaksud menyasar masyarakatt atau tatanan masyarakat dimana kemanusiaan dan keadilan menjadi wujud.
selanjutnya
Catatan Lepas Dari Diskusi Sastra dan Pemberadaban yang diselenggarakan Bale Sastra Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya
Dalam diskusi di Bentara Budaya ini Thamrin sempat berbagi kehadirannya pada satu seminar mengenai Pancasila, dimana ia mengusulkan untuk menjawab tantangan jaman dan menjadikannya lebih kontekstual maka bisa saja urutan sila-sila di rubah. Ia mengusulkan urutan sila-sila terkait sebagai berikut : kemanusiaan, keadilan sosial, demokrasi, baru persatuan dan terakhir keTuhanan. Ia mengingatkan soal kekejaman di Aceh, Timor Leste, Papua yang berpangkal pada tafsir persatuan yang ngawur, juga tafsir agama yang menghasilkan kekerasan-kekerasan dan konflik-konflik keras bermotif agama.
Bagi saya inilah penjelasan yang paling tepat tentang pilihan pada religiositas bukan agama. Sebagai gerak akal, budi, rasa, nurani untuk mewujudkan kemanusiaan dan sekaligus keadilan sosial. Persoalan religiositas sebagai gerak vertikal manusia dan Penciptanya bukan semata-mata atau bahkan tidak berarti apa-apa tanpa peluberan ke bumi, tanpa wujud sebagai kasih kepada sesama. Demikian esensi dari agama manapun, sebagai sebuah perjalanan sebuah misi menuju pembebasan, kemanusiaan dan keadilan.
Karena itu saya masih melihat relevansi simpulan “Pada Awal Mula Segala Sastra adalah Religius”. Dengan demikian saya meyakini religiositas sebagai sebuah karya sastra yang baik atau dalam konteks diskusi ini sebagai jalan pemberadaban, Religiositas bisa bekerja tanpa keyakinan agama apapun, bahkan bisa jadi tanpa tuhan manapun, sepanjang manusia mewujudkan panggilan nuraninya untuk kemanusiaan dan keadilan.
Bila diskusi ini membahas Sastra dan Peradaban maka pemberadaban yang dimaksud menyasar masyarakatt atau tatanan masyarakat dimana kemanusiaan dan keadilan menjadi wujud.
selanjutnya
Senin, 16 Maret 2009
Bugilnya Politik Indonesia : Bisnis Politik di Tengah Krisis Keuangan Global
Unit usahanya adalah KPU (cc Pemerintah) dan Perseroan Partai Politik, komoditi sekaligus jaringan Franchise dan MLMnya adalah perseroan itu sendiri para caleg dan capres.
Selanjutnya
.
Selanjutnya
.
Bisnis Menguntungkan di Tengah Krisis Ekonomi
Ditengah kelesuan ekonomi dunia dan Indonesia pada khususnya setahun terakhir ini ada fenomena menarik di dunia bisnis. Tumbuh dan berkembang dengan luar biasa satu sektor bisnis yang sangat menguntungkan. Terlihat dari kecepatan yang luar biasa perusahaan-perusahaan di bisnis ini mampu memperluas dan mempertahankan jaringan bisnis dan pemasarannya atau cabang-cabangnya hingga seluruh Indonesia. Tidak hanya di ibukota propinsi, mereka pun telah merambah hingga kota-kota kabupaten, kecamatan hingga pedesaan.
Selanjutnya
Selanjutnya
Humor Politik Indonesia : Ledakan Bisnis Politik di Tengah Krisis Ekonomi Global
....bisnis ini nampak menggiurkan karena dengan cepat mengambil pangsa pasar besar di dunia promosi dan periklanan. Kita bisa melihat iklan jor-joran mereka di media massa dari TV, Radio, Surat Kabar, hingga media online seperti website, blog, hingga facebook. Demikian pula mereka giat berpromosi melalui berbagai event seperti dari pertandingan sepakbola, lomba lukis, dan sekedar bagi-bagi souvenir di ruang-ruang publik. Juga media iklan kakilima pun mereka rambah, seperti marka-marka jalan, antena pemancar telpon selular, pohon-pohon, jembatan penyeberangan, kios-kios rokok hingga kendaraan pribadi dan angkot
Selanjutnya
Selanjutnya
Selasa, 10 Maret 2009
Konser Musik Piano Anak Kontemporer - Konservatorium Musik Jakarta.
Konser di Teater Salihara pada 23 Januari 2009 ini menampilkan karya-karya musik piano untuk anak yang ditulis oleh sejumlah komponis kontemporer terkemuka dunia seperti Sofia Gubaidulina, Gyorgy Kurtag, Helmut Lachenmann, Witold Lutoslawski, Toru Takemitsu, dan Anton von Webern.
Aku dan Sandra (istriku) tak bisa menjawab dengan gamblang dan yakin pertanyaan Sonia, apa arti musik piano kontemporer.
Lalu ketika aku tanyakan Dito kakaknya kesannya setelah acara usai, jawabnya pendek saja ‘pusing’. Aku tidak puas mendengar jawabnya dan kemudian jadi tendensius. “Tapi suka atau ndak?”, Suka sih katanya, sementara Sonia mulai malas mendiskusikannya. Dia sudah ngantuk.
Dalam pencarianku, untuk sementara waktu salah satu penanda kontemporer adalah bikin pusing. Barangkali Dito yang dididik piano klasik pusing dibenturkan dengan ketidaklaziman dan ketidakharmonian, dugaku.
Karena sonia mengusik dengan pertanyaan arti kontemporer sebelum acara dimulai maka sepanjang pagelaran, pertanyaan itu mencoba mencari jawabnya di kepalaku. Memang tak ada jawaban final, yang kutemukan hanya sejumlah penanda.
selanjutnya
Aku dan Sandra (istriku) tak bisa menjawab dengan gamblang dan yakin pertanyaan Sonia, apa arti musik piano kontemporer.
Lalu ketika aku tanyakan Dito kakaknya kesannya setelah acara usai, jawabnya pendek saja ‘pusing’. Aku tidak puas mendengar jawabnya dan kemudian jadi tendensius. “Tapi suka atau ndak?”, Suka sih katanya, sementara Sonia mulai malas mendiskusikannya. Dia sudah ngantuk.
Dalam pencarianku, untuk sementara waktu salah satu penanda kontemporer adalah bikin pusing. Barangkali Dito yang dididik piano klasik pusing dibenturkan dengan ketidaklaziman dan ketidakharmonian, dugaku.
Karena sonia mengusik dengan pertanyaan arti kontemporer sebelum acara dimulai maka sepanjang pagelaran, pertanyaan itu mencoba mencari jawabnya di kepalaku. Memang tak ada jawaban final, yang kutemukan hanya sejumlah penanda.
selanjutnya
Kamis, 05 Maret 2009
Sastra dan Peradaban (I)
Pada Awal Mula, Segala Sastra adalah Religius
Dalam diskusi ‘Sastra dan Pemberadaban’ yang diselenggarakan oleh Bale Satra Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya, Putu Wijaya menyebutkan bahwa pemberadaban sangat potensial dimainkan oleh sastra tetapi juga agama, pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Menurut saya Putu agak kurang tepat menempatkan pendidikan di dalamnya. Bukan karena pendidikan tidak pokok dan penting untuk pemberadaban, tetapi lebih karena pendidikan adalah salah satu proses atau sarana untuk menjadikan ketiganya sastra, agama, ilmu pengetahuan ‘bekerja’ untuk perberadaban.
Demikian ketimbang menempatkan agama atau religi, menurut saya lebih tepat digunakan religiositas. Karena religiositas lebih dalam dan luas dari pada agama, seperti dikatakan oleh Romo Mangun agama lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “dunia atas” dalam aspeknya tang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sedang religiositas menurutnya lebih melihat aspek yang “didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa.
selanjutnya
Dalam diskusi ‘Sastra dan Pemberadaban’ yang diselenggarakan oleh Bale Satra Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya, Putu Wijaya menyebutkan bahwa pemberadaban sangat potensial dimainkan oleh sastra tetapi juga agama, pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Menurut saya Putu agak kurang tepat menempatkan pendidikan di dalamnya. Bukan karena pendidikan tidak pokok dan penting untuk pemberadaban, tetapi lebih karena pendidikan adalah salah satu proses atau sarana untuk menjadikan ketiganya sastra, agama, ilmu pengetahuan ‘bekerja’ untuk perberadaban.
Demikian ketimbang menempatkan agama atau religi, menurut saya lebih tepat digunakan religiositas. Karena religiositas lebih dalam dan luas dari pada agama, seperti dikatakan oleh Romo Mangun agama lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “dunia atas” dalam aspeknya tang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sedang religiositas menurutnya lebih melihat aspek yang “didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa.
selanjutnya
Label:
peradaban,
religiositas,
sastra
Appreciative Inquiry : Imajinasi, Jazz dan Perubahan Sosial
Soal bagaimana menciptakan orkestrasi yang asyik ditengah kemandegan dan fragmentasi gerakan sosial, kok saya beberapa waktu lalu dapat inspirasi dari musik jazz.
Berbeda dengan musik klasik, ada dirigen, partitur, pemain musik yang tertib di tempatnya masing, segudang pakem-pakem musik klasik, maka didalam musik jazz kebebasan, kreatifitas, keliaran, kejutan merupakan nafas dan jiwa musiknya. Ada saxophone, flute, drum, perkusi, bass gitar, piano yang masing-masing berdaulat penuh.
Disatu sisi ada keliaran, tapi segala keliaran tetapmenghasilkan harmoni yang asyik. Kebebasan dan keliaran tiap musisi, patuh pada satu kesepakatan, saling menghargai kebebasan dan keliaran masing-masingmusisi sekaligus menemukan harmoni dan mencapai tujuannya, yakni kepuasan diri musisinya dan kepuasan pendengarnya.
baca selanjutnya
7 seri tulisan terkait
Let’s Jazz Together? (Bag 1)
Donal Bebek, Wiji Thukul, Subcomandante Marcos Titik Koma Zapatista, PRD dan Walt Disney (bag 2)
Keajaiban Persaudaraan Para Kodok (bag 3)
Mengapa tawa dan tangis, bisa lahirkan air mata.... (bag 4)
Lao Tzu, de Mello dan Boneka Garam..............(bag 5)
Senjata Adalah Warna. Lalu Warna Adalah Senjata Juakah? (Bag 6)
....bahwa Semua Ini Dimulai Dari Seekor Tikus (7)
Berbeda dengan musik klasik, ada dirigen, partitur, pemain musik yang tertib di tempatnya masing, segudang pakem-pakem musik klasik, maka didalam musik jazz kebebasan, kreatifitas, keliaran, kejutan merupakan nafas dan jiwa musiknya. Ada saxophone, flute, drum, perkusi, bass gitar, piano yang masing-masing berdaulat penuh.
Disatu sisi ada keliaran, tapi segala keliaran tetapmenghasilkan harmoni yang asyik. Kebebasan dan keliaran tiap musisi, patuh pada satu kesepakatan, saling menghargai kebebasan dan keliaran masing-masingmusisi sekaligus menemukan harmoni dan mencapai tujuannya, yakni kepuasan diri musisinya dan kepuasan pendengarnya.
baca selanjutnya
7 seri tulisan terkait
Let’s Jazz Together? (Bag 1)
Donal Bebek, Wiji Thukul, Subcomandante Marcos Titik Koma Zapatista, PRD dan Walt Disney (bag 2)
Keajaiban Persaudaraan Para Kodok (bag 3)
Mengapa tawa dan tangis, bisa lahirkan air mata.... (bag 4)
Lao Tzu, de Mello dan Boneka Garam..............(bag 5)
Senjata Adalah Warna. Lalu Warna Adalah Senjata Juakah? (Bag 6)
....bahwa Semua Ini Dimulai Dari Seekor Tikus (7)
Label:
Appreciative Inquiry,
Imajinasi,
Jazz,
Perubahan Sosial
Minggu, 01 Maret 2009
Sastra dan Religiositas
Catatan Lepas Dari Diskusi Sastra dan Pemberadaban (bag 1)
Dalam diskusi ‘Sastra dan Pemberadaban’ yang diselenggarakan oleh Bale Satra Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya, Putu Wijaya menyebutkan bahwa pemberadaban sangat potensial dimainkan oleh sastra tetapi juga agama, pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Menurut saya Putu agak kurang tepat menempatkan pendidikan di dalamnya. Bukan karena pendidikan tidak pokok dan penting untuk pemberadaban, tetapi lebih karena pendidikan adalah salah satu proses atau sarana untuk menjadikan ketiganya sastra, agama, ilmu pengetahuan ‘bekerja’ untuk perberadaban.
Demikian ketimbang menempatkan agama atau religi, menurut saya lebih tepat digunakan religiositas. Karena religiositas lebih dalam dan luas dari pada agama, seperti dikatakan oleh Romo Mangun agama lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “dunia atas” dalam aspeknya tang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sedang religiositas menurutnya lebih melihat aspek yang “didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa.
selanjutnya
Dalam diskusi ‘Sastra dan Pemberadaban’ yang diselenggarakan oleh Bale Satra Kecapi, Kompas dan Bentara Budaya, Putu Wijaya menyebutkan bahwa pemberadaban sangat potensial dimainkan oleh sastra tetapi juga agama, pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Menurut saya Putu agak kurang tepat menempatkan pendidikan di dalamnya. Bukan karena pendidikan tidak pokok dan penting untuk pemberadaban, tetapi lebih karena pendidikan adalah salah satu proses atau sarana untuk menjadikan ketiganya sastra, agama, ilmu pengetahuan ‘bekerja’ untuk perberadaban.
Demikian ketimbang menempatkan agama atau religi, menurut saya lebih tepat digunakan religiositas. Karena religiositas lebih dalam dan luas dari pada agama, seperti dikatakan oleh Romo Mangun agama lebih menunjukkan kelembagaan kebaktian kepada Tuhan atau kepada “dunia atas” dalam aspeknya tang resmi, yuridis, peraturan-peraturan dan hukum-hukumnya serta keseluruhan organisasi tafsir Alkitab dan sebagainya yang melingkupi segi-segi kemasyarakatan. Sedang religiositas menurutnya lebih melihat aspek yang “didalam lubuk hati”, riak getaran hati nurani pribadi; sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang lain, karena menapaskan intimitas jiwa.
selanjutnya
100 Buku Paling Berpengaruh Terhadap Gagasan Indonesia
Imaji Indonesia Pada 100 Teks
Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.
Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.
Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya
Terlepas dari bisanya diperdebatkan 100 teks yang dipilih, Tempo telah menyumbang kepada kita sudut pandang pentingnya peranan gagasan dalam sebuah perubahan sosial, penemuan terus menerus sebuah nation, sebuah kebangsaan yang pada awalnya terbangun karena ketertindasan dan inspirasi kosa kata baru ‘modern’ yang kemudian meletikan kesadaran untuk bangkit, bersatu, berlawan dan berbangsa. Dalam hal ini gagasan-gagasan yang menggerakan kebangkitan nasional, proklamasi kemerdekaan hingga masa depan Indonesia.
selanjutnya
Majalah Tempo memperingati 100 Tahun Kebangkitan Nasional, menyajikan edisi khusus yang unik dan cerdas. Berbeda dengan model-model penyajian liputan dengan sejumlah artikel reflektif dan visioner, Tempo memilih 100 teks mulai 1908 yang dianggap berpengaruh atau memberikan kontribusi terhadap gagasan kebangsaan. Disebut teks karena tidak hanya memilih buku tapi juga pidato, laporan jurnalistik, polemik, renungan, catatan harian, roman dan puisi.
Seratus teks yang dipilih Tempo adalah teks yang dianggap bergerak dan mencari jalan di antara dua kutub untuk mendapatkan gagasan Indonesia masa depan. Yakni Imaji Indonesia yang tercipta oleh tarik-menarik antara sesuatu yang eksotik seperti ditulis Raffles (History of Jawa) dan sesuatu yang tragik seperti dideskripsikan Multatuli dalam Max Havelaar sebagai contoh magnum opus pada abad ke 19. Demikian teks yang berisi gagasan penting belum tentu buku yang populer dan dibaca oleh banyak orang. Dalam diskusi internal Tempo disepakati bahwa kriteria pemilihan bukan berdasarkan pada banyaknya pembacanya, melainkan pada isi dan pengaruhnya.
Untuk menguatkan kerja jurnalistik ini kemudian Tempo mengundang Taufik Abdullah dan Asvi Warman Adam (sejarawan), Goenawan Mohamad (esais), Parakitri Tahi Simbolon (penulis), Dr Ignas Kleden (sosiolog), dan Putut Widjanarko (pengamat dan penerbit buku) untuk mendiskusikannya
Terlepas dari bisanya diperdebatkan 100 teks yang dipilih, Tempo telah menyumbang kepada kita sudut pandang pentingnya peranan gagasan dalam sebuah perubahan sosial, penemuan terus menerus sebuah nation, sebuah kebangsaan yang pada awalnya terbangun karena ketertindasan dan inspirasi kosa kata baru ‘modern’ yang kemudian meletikan kesadaran untuk bangkit, bersatu, berlawan dan berbangsa. Dalam hal ini gagasan-gagasan yang menggerakan kebangkitan nasional, proklamasi kemerdekaan hingga masa depan Indonesia.
selanjutnya
Langganan:
Postingan (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat