sumber = http://korbanlapindo.blogspot.com/2008/04/cabut-jatah-makan-kami-tetap-bertahan.html
Demikian juga dengan skema pembayaran yang dicicil, 20 persen sekarang, 80 persen nanti. Kami menolak ini bukan karena serakah, ingin cash and carry, seperti sering dituduhkan pejabat pemerintah dan Lapindo (masya Allah, bahkan bupati pun, yang seharusnya menjadi pemimpin kami, pernah melontarkan hal itu). Masalahnya dengan skema itu, sebagian besar dari kami yang dulunya punya rumah, akan jadi gelandangan selamanya.
Kadang saya cuman bisa mbathin, ngerti gak sih Lapindo dan pemerintah itu. Ini rumah, yang meskipun sederhana, rumah kami sendiri, rumah yang kami bangun dengan penuh upaya, dan kebanggaan, yang menyimpan semua kenangan kemanusiaan kami. Dan sekarang itu semua sudah lenyap, sementara kami terancam tidak mam pu lagi beli rumah yang baru, karena ketidakjelasan pembayaran dari pemerintah
Untuk ukuran rumah yang rata2 didesa, kami hanya akan dapat dibawah 60 – 80 juta rupiah. Kalau dibayar 20 persen dulu, ini pasti akan segera habis untuk mbayar utang, nyicil ini itu, dan berbagai kebutuhan keluarga lainnya selama kami di pengungsian. Sehingga kami minta dibayar sekaligus, atau paling tidak jangan 2 tahun kemudian.
Toh duitnya Bakrie, kata koran, triliunan rupiah. Ada yang bilang, ya kan gak bisa gitu, keduanya kan harus berkorban, gak bisa saling ngotot. Omongan orang KEPARAT! Lha gimana kalo gini, sambil nunggu kejelasan, kami tak tidur di rumah petinggi2 Lapindo dan pemerintah, sedangkan mereka tidur dipasar. Sampai penyelesaiannya tuntas. Gimana kalau gitu? Jadi kenapa harus kami yang diminta paham dan empati?
***
Maka, kamipun menolak skema perpres itu. Kami punya tawaran sendiri, bukan atas dasar egois, dan tidak memberatkan mereka, tapi akan mempermudah kami, melewati masa sulit ini. Kami ingin tinggal sepaguyuban dengan saudara dan tetangga sedesa, maka ganti aja uang kontrak dan lain2 kami dengan tanah 30 ha. Untuk pembayaran, kami sudah turunkan, dari awalnya 100 persen, jadi 50-50, sekarang 20-80, tetapi jangan 2 tahun.
Dan mereka tidak menerima, entah dengan alasan apa. Pemerintah menuduh kami melanggar hukum dan HAM karena menolak perpres dan bertahan di pasar. Padahal, semua orang tahu kalau perpres itu juga melanggar banyak UU lain yang lebih tinggi, bahkan UUD, lalu kenapa kami harus tunduk pada perpres SIALAN itu! Ketika sesuai dengan kepentingan mereka, undang-undang bisa diganti, tetapi kalau tidak, kami yang dituduh subversi.
Maka kamipun bertahan di pengungsian. Di pasar yang baru jadi, dengan beralaskan kasur tipis dan segala keterbatasan fasilitas (lihat cerita ttg sekolah TK kami disini). Padahal kami bukan gelandangan kok, kami warga bangsa yang bermartabat. Meskipun bukan orang kaya, tapi hidup kami tentram di desa kami. Namun kami memaksa tinggal dipasar, karena hanya inilah cara yang kami tahu untuk menyatakan tidak.
Kami berusaha ’hidup’ di pengungsian. Selama hampir 2 tahun kini. Meski makan dijatah ala narapidana, kadang basi, pernah berbelatung. Dengan segala macam keterbatasan sarana dan prasarana, yang membuat kami tidak nyaman dalam melakukan segala macam hal. Termasuk ketika berbuat dengan istri kami, dimalam yang dingin, berimpit2an dengan tetangga, hanya berbatas dinding kain butut (rumah gombal, sebut anak2 kami).
Pun ketika pemerintah melihat kami, korban keserakahan industri ini, justru sebagai pengganggu. Bagi mereka, kami adalah sebutir kerikil, disepatu kulit yang empuk dan nyaman. Bagi mereka, kami adalah debu yang masuk ke mata yang menimbulkan perih, pada saat semuanya sudah sesuai dengan keinginan. Maka pemerintah, yang seharusnya melindungi kami, malah bergandengan dengan si pemodal, untuk mengenyahkan kami, dengan cara apapun.
Intimidasi, teror, hasutan, bujukan, dan berbagai cara yang tak terbilang. Kami ditangkap bak teroris ketika hendak menyampaikan pendapat, di negeri sendiri, atas undangan saudara sebangsa di Bali. Kami juga dihasut dengan berbagai macam cara, dan diadu domba antar kami sendiri. Bahkan, mengancam dan mengultimatum akan menyerbu kami, bak tentara Inggris yang akan menduduki Surabaya.
Dan ketika ratusan bambu runcing (setelah bbrp pejuang kemerdekaan bilang adalah hak kami untuk bertahan) sudah disiapkan untuk menanti serbuan itu, ternyata mereka masih punya akal sehat (atau mungkin takut karena tahu bahwa kami akan kalap kalau jadi diserbu), dan urung menyerbu. Upaya lain dicoba. Berbagai fasilitaspun dipreteli. Air bersih sudah tidak kami konsumsi sejak 5 bulan yang lalu. Bahwa negara seharusnya bertanggungjawab atas nasib pengungsi didalam negeri, sudah tidak dijalankan sejak berbulan-bulan yang lalu
Namun kami tetap bertahan, dengan satu kesadaran, bahwa kalau kami keluar dari pasar, sementara tuntutan kami hanya seperlima dipenuhi, maka tidak ada satupun kekuatan kami untuk memaksa mereka memenuhi sisanya. Pada saat negara sudah memposisikan kami sebagai warga kelas dua, dengan tidak melindungi kami, tetapi memihak pengusaha, maka kami harus berusaha sendiri memperjuangkan tuntutan kami.
Maka, silahkan mengancam mencabut jatah makanan. SILAHKAN terus mengangkangi kesadaran dan akal sehat semua orang, tetapi kami percaya, masih banyak anak bangsa yang tidak merelakan negara ini tenggelam dalam hipokrisi.
Sebab kami yakin, akan banyak saudara sebangsa yang akan mendukung perjuangan kami. Setelah ini, warga bangsa akan berbondong2 untuk datang ke Pasar Porong, mengganti peran pemerintah membantu kami. Untuk menunjukkan bahwa akal sehat mungkin bisa dibeli, tetapi nurani tidak mati di negeri ini
Karena kami percaya bahwa...
KEBENARAN BISA DISALAHKAN....
TAPI TAK BISA DIKALAHKAN...!!!
Jadi, hentikan jatah makan, kami akan bertahan
Senin, 14 April 2008
Hentikan Jatah Makan, Kami Tetap Bertahan (bag 1)
sumber = http://korbanlapindo.blogspot.com/2008/04/hentikan-jatah-makan-kami-tetap.html
Lapindo ancam cabut jatah makan, pengungsi korban lapindo lapor ke Komnas HAM, begitu kata berita kemarin. Menurut Lapindo, mereka sudah terlalu lama memberi fasilitas kepada pengungsi. Sementara 12 ribu KK lainnya sudah menerima kontrak, tinggal 604 KK warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak) yang sekarang tinggal di pasar, yang belum menerima.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Lapindo dan pemerintah, selalu membuat opini bahwa kpengungsi ini adalah kelompok yang serakah. Sebab, kami tidak mau menerima skema yang ditawarkan (lebih tepatnya, dipaksakan) melalui Perpres 14/2007, seperti 94 persen dari ‘korban’ (ingat tentang korban dalam tulisan sebelumnya), atau 48 ribu jiwa lainnya.
Faktanya, justru kelompok inilah yang masih keukeuh dan tidak tunduk pada paksaan pemerintah. Sementara sebagian besar korban lainnya, justru sudah tertundukkan akibat politik pengabaian dan pembiaran yang kompak dari pemerintah dan perusahaan. Akibatnya, mereka tidak ada pilihan lain kecuali menerima skema pemerintah. Dan bagi pemerintah, mereka inilah warga yang ’baik’.
Sedangkan pengungsi di pasar ini, dari awal menolak skema ganti rugi dengan model jual beli. Kami juga menolak uang kontrak rumah Rp5 juta rupiah, uang jatah hidup Rp300rb per bulan dan uang pindah Rp500rb. Kami lebih memilih bertahan di pasar, dengan kondisi yang sangat tidak layak, dibanding menerima kontrak, seperti yang selalu didesakkan pemerintah dan Lapindo, dan diterima oleh 48ribu korban lainnya.
Lalu mengapa kami ngotot menolak skema perpres?
Pertama, sebenarnya bukan kami saja yang ngotot menerima skema perpres. Hampir semua korban lapindo awalnya menolak skema perpres. Tetapi karena selalu diombang-ambingkan oleh isu, diintimidasi, diancam untuk tidak dibayar, sementara keseharian hidup di pengungsian juga sangat menderita, sebagian besar dari korban akhirnya memilih untuk menerima skema perpres. Sehingga mereka keluar dari pasar, dapat uang kontrak, lalu mencari rumah kontrak sendiri-sendiri.
Kedua, alasan kami menolak bukan karena skema pemerintah ini bakal tidak menguntungkan kami, tetapi justru sebaliknya. Percayalah, dibayar berapapun kami akan lebih memilih hidup kami yang dahulu di desa. Masalahnya, dengan menerima kontrak, hidup kami yang sudah susah akibat bencana ini, bakal tambah jauh lebih sengsara.
Sebab, dg menerima kontrak, kami akan tercerai berai dan tidak bisa hidup dalam satu komunitas seperti di desa dahulu. Dengan hidup tercerai berai, maka sebagian dari anggota komunitas ini, tidak akan bertahan, bahkan untuk hidup sekalipun.
Lho, kok bisa?
Ambil contoh mbok Ma, salah satu warga dusun Sengon, Renokenongo, yang sudah berusia sangat lanjut (dia tidak lagi ingat tanggal lahirnya). Selama ini dia hidup sendiri, di rumah dengan ukuran 5 x 6 meter, tanpa pekerjaan dan tanpa simpanan. Dia bisa hidup layak, dan masih relatif bahagia, sekalipun tanpa kerabat, ya karena dia hidup disitu, di Desa Renokenongo.
Dia sudah tinggal disana sejak kecil, kenal dengan semua orang. Hingga bagi mbok Ma, semua orang adalah kerabat, menggantikan kebutuhan akan kedekatan dengan cucu2nya, anak2nya. Secara ekonomi-pun, dia bisa hidup layak, karena sering terbantu oleh tetangga2nya. Yang seringkali, didesa penghitungan ekonomi memang tidak selalu untung/rugi. Sehingga dengan kemampuan seadanya, ada saja yang bisa dikerjakan oleh Mbok Ma, untuk dapat uang, dan dipakai makan sehari-hari.
Nah, orang seperti Mbok Ma ini tidak akan bisa bertahan kalau harus pindah ke desa lain. Dia bukan seperti anggota masyarakat urban yang bisa dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain, dari perumahan satu ke apartemen lain, dari satu komunitas ke lingkungan lain. Bukan pula seperti mereka yang punya pekerjaan di sektor formal atau keahlian multi sektor, sehingga ketika pindah ke lingkungan baru, tidak akan kesulitan sama sekali.
Mbok Ma butuh tinggal di desa Renokenongo, untuk hidup, untuk selamat dan untuk sejahtera di hari tuanya. Dan orang seperti Mbok Ma, atau bernasib sama dengan dia (pedagang nasi, toko kelontong, petani penggarap, dan banyak lainnya) jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan. Dan kepentingan mereka sama sekali terabaikan oleh skema yang ditawarkan pemerintah, yang hanya menguntungkan Lapindo.
Lapindo ancam cabut jatah makan, pengungsi korban lapindo lapor ke Komnas HAM, begitu kata berita kemarin. Menurut Lapindo, mereka sudah terlalu lama memberi fasilitas kepada pengungsi. Sementara 12 ribu KK lainnya sudah menerima kontrak, tinggal 604 KK warga yang tergabung dalam Paguyuban Warga Renokenongo Menolak Kontrak (Pagar Rekontrak) yang sekarang tinggal di pasar, yang belum menerima.
Apa yang sebenarnya terjadi?
Lapindo dan pemerintah, selalu membuat opini bahwa kpengungsi ini adalah kelompok yang serakah. Sebab, kami tidak mau menerima skema yang ditawarkan (lebih tepatnya, dipaksakan) melalui Perpres 14/2007, seperti 94 persen dari ‘korban’ (ingat tentang korban dalam tulisan sebelumnya), atau 48 ribu jiwa lainnya.
Faktanya, justru kelompok inilah yang masih keukeuh dan tidak tunduk pada paksaan pemerintah. Sementara sebagian besar korban lainnya, justru sudah tertundukkan akibat politik pengabaian dan pembiaran yang kompak dari pemerintah dan perusahaan. Akibatnya, mereka tidak ada pilihan lain kecuali menerima skema pemerintah. Dan bagi pemerintah, mereka inilah warga yang ’baik’.
Sedangkan pengungsi di pasar ini, dari awal menolak skema ganti rugi dengan model jual beli. Kami juga menolak uang kontrak rumah Rp5 juta rupiah, uang jatah hidup Rp300rb per bulan dan uang pindah Rp500rb. Kami lebih memilih bertahan di pasar, dengan kondisi yang sangat tidak layak, dibanding menerima kontrak, seperti yang selalu didesakkan pemerintah dan Lapindo, dan diterima oleh 48ribu korban lainnya.
Lalu mengapa kami ngotot menolak skema perpres?
Pertama, sebenarnya bukan kami saja yang ngotot menerima skema perpres. Hampir semua korban lapindo awalnya menolak skema perpres. Tetapi karena selalu diombang-ambingkan oleh isu, diintimidasi, diancam untuk tidak dibayar, sementara keseharian hidup di pengungsian juga sangat menderita, sebagian besar dari korban akhirnya memilih untuk menerima skema perpres. Sehingga mereka keluar dari pasar, dapat uang kontrak, lalu mencari rumah kontrak sendiri-sendiri.
Kedua, alasan kami menolak bukan karena skema pemerintah ini bakal tidak menguntungkan kami, tetapi justru sebaliknya. Percayalah, dibayar berapapun kami akan lebih memilih hidup kami yang dahulu di desa. Masalahnya, dengan menerima kontrak, hidup kami yang sudah susah akibat bencana ini, bakal tambah jauh lebih sengsara.
Sebab, dg menerima kontrak, kami akan tercerai berai dan tidak bisa hidup dalam satu komunitas seperti di desa dahulu. Dengan hidup tercerai berai, maka sebagian dari anggota komunitas ini, tidak akan bertahan, bahkan untuk hidup sekalipun.
Lho, kok bisa?
Ambil contoh mbok Ma, salah satu warga dusun Sengon, Renokenongo, yang sudah berusia sangat lanjut (dia tidak lagi ingat tanggal lahirnya). Selama ini dia hidup sendiri, di rumah dengan ukuran 5 x 6 meter, tanpa pekerjaan dan tanpa simpanan. Dia bisa hidup layak, dan masih relatif bahagia, sekalipun tanpa kerabat, ya karena dia hidup disitu, di Desa Renokenongo.
Dia sudah tinggal disana sejak kecil, kenal dengan semua orang. Hingga bagi mbok Ma, semua orang adalah kerabat, menggantikan kebutuhan akan kedekatan dengan cucu2nya, anak2nya. Secara ekonomi-pun, dia bisa hidup layak, karena sering terbantu oleh tetangga2nya. Yang seringkali, didesa penghitungan ekonomi memang tidak selalu untung/rugi. Sehingga dengan kemampuan seadanya, ada saja yang bisa dikerjakan oleh Mbok Ma, untuk dapat uang, dan dipakai makan sehari-hari.
Nah, orang seperti Mbok Ma ini tidak akan bisa bertahan kalau harus pindah ke desa lain. Dia bukan seperti anggota masyarakat urban yang bisa dengan mudah pindah dari satu kota ke kota lain, dari perumahan satu ke apartemen lain, dari satu komunitas ke lingkungan lain. Bukan pula seperti mereka yang punya pekerjaan di sektor formal atau keahlian multi sektor, sehingga ketika pindah ke lingkungan baru, tidak akan kesulitan sama sekali.
Mbok Ma butuh tinggal di desa Renokenongo, untuk hidup, untuk selamat dan untuk sejahtera di hari tuanya. Dan orang seperti Mbok Ma, atau bernasib sama dengan dia (pedagang nasi, toko kelontong, petani penggarap, dan banyak lainnya) jumlahnya ribuan, puluhan ribu bahkan. Dan kepentingan mereka sama sekali terabaikan oleh skema yang ditawarkan pemerintah, yang hanya menguntungkan Lapindo.
Suara Korban Lapindo
sumber http://korbanlapindo.blogspot.com/
Atas kebaikan kawan-kawan satudunia dan airputih, akhirnya korban lapindo bisa punya tempat yang lebih permanen di jagat maya. Website korbanlapindo hari minggu kemarin sudah bisa diakses, tanpa ekspos, tanpa publikasi, tetapi disertai semangat yang membuncah, namun tanpa jumawa.
Semangat untuk benar-benar bisa menjadi lawan tanding yang sepadan (meskipun jelas bukan sekelas), bagi media dan corong korporasi bernilai puluhan triliun rupiah. Mereka yang sedang mencoba dengan segala daya, untuk membuat silap dunia akan dosa sejarah yang mereka lakukan yang telah melukai hati dan penghidupan ratusan ribu rakyat Indonesia.
Dengan adanya wahana berupa situs internet ini, harapannya semakin banyak materi yang bisa ditampilkan kepada publik tentang bencana ini, dan bagaimana Lapindo dan Bakrie Group telah menelantarkan korban. Sehingga, sementara mereka dengan bebas melenggang mengembangkan bisnisnya, korban lapindo semakin terpuruk oleh ketidakpastian menghadapi masa depan.
Situs ini juga bisa diimpikan berfungsi sebagai clearing house atau information center bagi semua pihak (mahasiswa, akademisi, peneliti, aktivis, jurnalis, pendeknya public, Indonesia maupun dunia) yang tertarik untuk mengetahui apa yang SEBENARNYA terjadi, bukan apa yang oleh perusahaan dan pemerintah DIBERITAKAN atau DIKAMPANYEKAN terjadi di Sidoarjo.
Akan ada dokumen, foto, kliping, video dan berbagai materi yang selama ini tidak terwadahi oleh media mainstream. Ke depan, isi website juga akan dibuat dalam versi bahasa Inggris, sehingga bisa menjangkau public yang lebih luas.
Pendek kata, penghargaan setinggi-tingginya atas dukungan nyata kawan2 komunitas satudunia dan yayasan airputih. Moga2 semakin banyak bentuk kepedulian yang bisa digalang untuk membantu perjuangan korban lapindo!
Ngomong-ngomong, relawan untuk membantu mengelola admin situs juga sangat diharapkan, lho, karena keterbatasan sumberdaya (hehehe, masalah klasik, pengetahuan dan bandwith) yang dihadapi oleh korban lapindo.
Situs terkait……
http://korbanlapindo.blogspot.com
http://gebraklapindo.wordpress.com
Atas kebaikan kawan-kawan satudunia dan airputih, akhirnya korban lapindo bisa punya tempat yang lebih permanen di jagat maya. Website korbanlapindo hari minggu kemarin sudah bisa diakses, tanpa ekspos, tanpa publikasi, tetapi disertai semangat yang membuncah, namun tanpa jumawa.
Semangat untuk benar-benar bisa menjadi lawan tanding yang sepadan (meskipun jelas bukan sekelas), bagi media dan corong korporasi bernilai puluhan triliun rupiah. Mereka yang sedang mencoba dengan segala daya, untuk membuat silap dunia akan dosa sejarah yang mereka lakukan yang telah melukai hati dan penghidupan ratusan ribu rakyat Indonesia.
Dengan adanya wahana berupa situs internet ini, harapannya semakin banyak materi yang bisa ditampilkan kepada publik tentang bencana ini, dan bagaimana Lapindo dan Bakrie Group telah menelantarkan korban. Sehingga, sementara mereka dengan bebas melenggang mengembangkan bisnisnya, korban lapindo semakin terpuruk oleh ketidakpastian menghadapi masa depan.
Situs ini juga bisa diimpikan berfungsi sebagai clearing house atau information center bagi semua pihak (mahasiswa, akademisi, peneliti, aktivis, jurnalis, pendeknya public, Indonesia maupun dunia) yang tertarik untuk mengetahui apa yang SEBENARNYA terjadi, bukan apa yang oleh perusahaan dan pemerintah DIBERITAKAN atau DIKAMPANYEKAN terjadi di Sidoarjo.
Akan ada dokumen, foto, kliping, video dan berbagai materi yang selama ini tidak terwadahi oleh media mainstream. Ke depan, isi website juga akan dibuat dalam versi bahasa Inggris, sehingga bisa menjangkau public yang lebih luas.
Pendek kata, penghargaan setinggi-tingginya atas dukungan nyata kawan2 komunitas satudunia dan yayasan airputih. Moga2 semakin banyak bentuk kepedulian yang bisa digalang untuk membantu perjuangan korban lapindo!
Ngomong-ngomong, relawan untuk membantu mengelola admin situs juga sangat diharapkan, lho, karena keterbatasan sumberdaya (hehehe, masalah klasik, pengetahuan dan bandwith) yang dihadapi oleh korban lapindo.
Situs terkait……
http://korbanlapindo.blogspot.com
http://gebraklapindo.wordpress.com
Sabtu, 12 April 2008
Slank dan Moralitas DPR
Blog Awicaks http://titikdidih.blogspot.com
Memperkenalkan jejaring Rumah Asa........
Awicaks
DPR tersinggung dengan kata-kata pada lirik lagu Slank, dan mengatakan lagu tersebut tak bermoral dan meresahkan. Berita itu membuat saya betah duduk di kamar mandi untuk melepas hajat rutin di pagi hari. Hebat nian. Baru saja kita disuguhi warta tentang seorang anggota DPR tertangkap tangan menerima duit yang diikat karet gelang sejumlah Rp 71 juta saat sedang bersama perempuan yang tidak disebut namanya oleh para wartawan, tiba-tiba Badan Kehormatan DPR berani berdiri tegak berteriak, "Lagu Slank tidak bermoral!"
Saya tidak tertarik memperdebatkan perilaku para anggota dewan yang terhormat, juga tak tertarik memperbincangkan diameter batok kepala orang-orang yang baru saja belajar berbicara di depan publik dan belajar adu argumen. Yang saya permasalahkan adalah, suatu keberanian mereka untuk bersikap dan bertindak tak tahu malu. Itu yang luarbiasa. Dan tiba-tiba kata moral dan moralitas seakan-akan menjadi sebuah ketukan palu yang hanya boleh diayun oleh para anggota dewan yang terhormat. Luarbiasa tak tahu malunya mereka.
baca selanjutnya
Memperkenalkan jejaring Rumah Asa........
Awicaks
DPR tersinggung dengan kata-kata pada lirik lagu Slank, dan mengatakan lagu tersebut tak bermoral dan meresahkan. Berita itu membuat saya betah duduk di kamar mandi untuk melepas hajat rutin di pagi hari. Hebat nian. Baru saja kita disuguhi warta tentang seorang anggota DPR tertangkap tangan menerima duit yang diikat karet gelang sejumlah Rp 71 juta saat sedang bersama perempuan yang tidak disebut namanya oleh para wartawan, tiba-tiba Badan Kehormatan DPR berani berdiri tegak berteriak, "Lagu Slank tidak bermoral!"
Saya tidak tertarik memperdebatkan perilaku para anggota dewan yang terhormat, juga tak tertarik memperbincangkan diameter batok kepala orang-orang yang baru saja belajar berbicara di depan publik dan belajar adu argumen. Yang saya permasalahkan adalah, suatu keberanian mereka untuk bersikap dan bertindak tak tahu malu. Itu yang luarbiasa. Dan tiba-tiba kata moral dan moralitas seakan-akan menjadi sebuah ketukan palu yang hanya boleh diayun oleh para anggota dewan yang terhormat. Luarbiasa tak tahu malunya mereka.
baca selanjutnya
Lapindo : Potret Bobroknya Mental Politikus Indonesia
Blog Awicaks http://titikdidih.blogspot.com
Memperkenalkan jejaring Rumah Asa........
Awicaks
Seorang ahli geologi yang cukup vokal tak habis pikir dengan jungkir-balik politik yang secara terang-terangan mempermainkan nasib warga kebanyakan. Semburan lumpur panas akibat operasi Lapindo Brantas agaknya akan ditutup tanpa malu-malu oleh pengurus Negara, atas nama keselamatan modal dan nama baik orang terkaya di negeri ini. Mohon maaf, jika pajak warga korban semburan lumpur Lapindo dijumlahkan sekali pun tak akan mampu menyaingi jumlah pajak yang disetor oleh pemilik Lapindo, yang notabene adalah orang terkaya di negeri ini, dan saat yang sama memangku jabatan menteri dengan tugas mengurus (keselamatan dan) kesejahteraan warga.
Saya sendiri tak habis pikir dengan huru-hara yang terjadi di parlemen pada saat dengar pendapat para ahli tentang semburan lumpur Lapindo, guna mengambil keputusan apakah kejadian tersebut murni bencana alam atau akibat kesalahan operasi eksplorasi minyak-gas bumi milik Aburizal Bakrie itu. Kenapa begitu alot prosesnya?
Apa sih yang dibicarakan pada saat anggota DPR yang terhormat tersebut saling melobi? Apakah soal besarnya duwit yang dijanjikan apabila mereka sepakat menyatakan bahwa ini adalah murni bencana alam? Atau, mereka saling bersepakat untuk membagi suara, untuk menunjukkan kepada publik bahwa telah terjadi perdebatan sengit diantara mereka, tetapi ujungnya tetap keputusan bahwa kejadian di Porong, Sidoarjo itu adalah murni bencana alam? Mohon maaf lagi, saya tak punya pikiran positif sama sekali mengenai manusia-manusia tak bernurani dan tak berotak yang duduk ongkang-ongkang kaki menanti gaji, tunjangan plus plus, sambil bersandiwara seakan-akan demokrasi memang hadir di Senayan....
baca selanjutnya
Memperkenalkan jejaring Rumah Asa........
Awicaks
Seorang ahli geologi yang cukup vokal tak habis pikir dengan jungkir-balik politik yang secara terang-terangan mempermainkan nasib warga kebanyakan. Semburan lumpur panas akibat operasi Lapindo Brantas agaknya akan ditutup tanpa malu-malu oleh pengurus Negara, atas nama keselamatan modal dan nama baik orang terkaya di negeri ini. Mohon maaf, jika pajak warga korban semburan lumpur Lapindo dijumlahkan sekali pun tak akan mampu menyaingi jumlah pajak yang disetor oleh pemilik Lapindo, yang notabene adalah orang terkaya di negeri ini, dan saat yang sama memangku jabatan menteri dengan tugas mengurus (keselamatan dan) kesejahteraan warga.
Saya sendiri tak habis pikir dengan huru-hara yang terjadi di parlemen pada saat dengar pendapat para ahli tentang semburan lumpur Lapindo, guna mengambil keputusan apakah kejadian tersebut murni bencana alam atau akibat kesalahan operasi eksplorasi minyak-gas bumi milik Aburizal Bakrie itu. Kenapa begitu alot prosesnya?
Apa sih yang dibicarakan pada saat anggota DPR yang terhormat tersebut saling melobi? Apakah soal besarnya duwit yang dijanjikan apabila mereka sepakat menyatakan bahwa ini adalah murni bencana alam? Atau, mereka saling bersepakat untuk membagi suara, untuk menunjukkan kepada publik bahwa telah terjadi perdebatan sengit diantara mereka, tetapi ujungnya tetap keputusan bahwa kejadian di Porong, Sidoarjo itu adalah murni bencana alam? Mohon maaf lagi, saya tak punya pikiran positif sama sekali mengenai manusia-manusia tak bernurani dan tak berotak yang duduk ongkang-ongkang kaki menanti gaji, tunjangan plus plus, sambil bersandiwara seakan-akan demokrasi memang hadir di Senayan....
baca selanjutnya
NASIONALISME INDONESIA BARU
tJong Paniti di http://ecodisc.blogspot.com
memperkenalkan sahabat dan jejaring Rumah Asa....
Kebangkitan Nusantara
NASIONALISME INDONESIA BARU
Paparan kebangkitan nasionalisme Indonesia sudah menginjak 100 tahun umur sejarah. Dalam berbagai versi pandangan sejarah nasional, Sarekat Dagang Islam (selanjutnya Sarekat Islam) yang lahir pada 16 Oktober 1905 dan Budi Utomo (20 Mei 1908) adalah kesatuan symbol kebangkitan nasional Indonesia. Sekalipun kesatuan symbol ini kala itu sangat kontradiktif satu dengan yang lain dan terlihat ekskusif, SI melawan Belanda dengan konsep gerakan dagang (selanjutnya politik) kalangan Islam Sumatera, Jawa dan Ambon sedangkan Budi Utomo dengan konsep gerakan kooperatif kebudayaan dari priyayi Jawa dan Madura, keduanya adalah pemicu gerakan nasionalisme Indonesia pada era berikutnya.
Sejak itu, Hindia Belanda mulai memasuki era gerakan politik, ekonomi dan kebudayaan modern. Kelompok-kelompok masyarakat terjajah “ingin” bebas dari jajahan dengan berorganisasi, dengan membawa identitas sosial “regional adat besar” (Sumatera, Jawa, Ambon, Madura dan lain-lain).
Tak urung, Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928 oleh kalangan muda dari penjuru Hindia Belanda merupakan manifestasi kebangsaan Indonesia yang terajut dari kepentingan regional adat besar. Para organisasi pemuda pendukung Sumpah Pemuda tanpa “basa-basi” menyebut dirinya wakil dari Pemuda (baca: jong) Jawa, Pemuda Sulawesi, Pemuda Ambon, Pemuda Sumatera, Pemuda Islam dan lain-lain. Keindonesiaan kala itu bersimbol bangkitnya regional adat-adat besar. Indonesia menjadi satu bingkai kesatuan regional adat-adat besar di Hindia Belanda.
Pembangunanisme pasca Revolusi 45 telah melahirkan gerakan baru di Indonesia. Gerakan penegakan demokrasi. Demokrasi diusung sebagai gerakan pembaharuan oleh semua kelompok kritis di negara-negara yang baru merdeka (baca: negara sedang berkembang). Pembangunan menjadi solusi sekaligus masalah bagi sebagian besar negeri-negeri baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pembangunan dianggap “kaki tangan” penjajahan baru dunia sebagai akibat keruntuhan ekonomi-politik sosialis.
Kebangkitan gerakan adat (baca: masyarakat adat) adalah fenomena perlawanan terhadap ketidakadilan proses pembangunan. Gerakan demokrasi yang ditandai dengan tercetusnya Konggres Masyarakat Adat Nusantara I pada 17 Maret 1999 ini adalah gerakan protes terhadap negara. Negara Indonesia tidak konsisten membela kepentingan masyarakat adat. Masyarakat adat se-Nusantara menggugat pengakuan. “Kalau Negara tidak mengakui Kami, Kami tidak mengakui Negara”.
Penggugatan tersebut sebagai dampak pembangunan yang melalaikan hak (keberadaan, kepemilikan dan penguasaan atas sumberdaya alam) masyarakat adat. Proses pembangunan nasional telah menyebabkan masyarakat adat terusir dari wilayah hidupnya. Sumberdaya alam yang berada dalam kawasan adat (ulayat) dieksploitasi demi kepentingan pembangunan nasional tanpa kontribusi langsung kepada masyarakat adat setempat. Pembangunan menjadi ‘musuh’ gerakan adat. Negara vis a vis (berhadapan dengan) masyarakat adat.
Dalam perayaan ke-9 tahun kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, penyelamatan hutan adat menjadi isu sentral pengembalian hak-hak masyarakat adat. Tak pelak, bercermin kepada kebangkitan nasionalisme Indonesia seratus tahun lalu yang juga membawa symbol regional adat besar, kebangkitan masyarakat adat pasca Revolusi 45 adalah pemutakhiran dari gerakan kebangsaan saat kolonialisme Belanda (praktek kebijakan dan hukum Indonesia dalam penataan dan pemerataan kelola sumberdaya alam masih bersumber dari produk-produk kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda).
Nusantara yang kuat melekat dalam gerakan masyarakat adat post colonial (sekarang) menjadi terminologi baru pelahiran kembali Indonesia dalam nama lain. Semisal pernah disebutkan dalam sebuah paparan (anonim), Indonesia yang selalu krisis (sakit) dalam terminologi pemahaman tradisi Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusatenggara, nama Indonesia untuk negeri kaya pulau, kaya laut dan kaya hutan perlu berganti nama.
Kata Nusantara pernah disebutkan dalam paparan tanpa jelas penulisnya (baca: anonim) sebagai salah satu pilihan untuk mengganti kata Indonesia. Indonesia berganti nama Nusantara, kenapa tidak? Dunia adalah media dinamisasi. Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara adalah nasionalisme Indonesia Baru.
http://ecodisc.blogspot.com/2008/03/kebangkitan-nusantara.htm
memperkenalkan sahabat dan jejaring Rumah Asa....
Kebangkitan Nusantara
NASIONALISME INDONESIA BARU
Paparan kebangkitan nasionalisme Indonesia sudah menginjak 100 tahun umur sejarah. Dalam berbagai versi pandangan sejarah nasional, Sarekat Dagang Islam (selanjutnya Sarekat Islam) yang lahir pada 16 Oktober 1905 dan Budi Utomo (20 Mei 1908) adalah kesatuan symbol kebangkitan nasional Indonesia. Sekalipun kesatuan symbol ini kala itu sangat kontradiktif satu dengan yang lain dan terlihat ekskusif, SI melawan Belanda dengan konsep gerakan dagang (selanjutnya politik) kalangan Islam Sumatera, Jawa dan Ambon sedangkan Budi Utomo dengan konsep gerakan kooperatif kebudayaan dari priyayi Jawa dan Madura, keduanya adalah pemicu gerakan nasionalisme Indonesia pada era berikutnya.
Sejak itu, Hindia Belanda mulai memasuki era gerakan politik, ekonomi dan kebudayaan modern. Kelompok-kelompok masyarakat terjajah “ingin” bebas dari jajahan dengan berorganisasi, dengan membawa identitas sosial “regional adat besar” (Sumatera, Jawa, Ambon, Madura dan lain-lain).
Tak urung, Sumpah Pemuda yang dideklarasikan pada 28 Oktober 1928 oleh kalangan muda dari penjuru Hindia Belanda merupakan manifestasi kebangsaan Indonesia yang terajut dari kepentingan regional adat besar. Para organisasi pemuda pendukung Sumpah Pemuda tanpa “basa-basi” menyebut dirinya wakil dari Pemuda (baca: jong) Jawa, Pemuda Sulawesi, Pemuda Ambon, Pemuda Sumatera, Pemuda Islam dan lain-lain. Keindonesiaan kala itu bersimbol bangkitnya regional adat-adat besar. Indonesia menjadi satu bingkai kesatuan regional adat-adat besar di Hindia Belanda.
Pembangunanisme pasca Revolusi 45 telah melahirkan gerakan baru di Indonesia. Gerakan penegakan demokrasi. Demokrasi diusung sebagai gerakan pembaharuan oleh semua kelompok kritis di negara-negara yang baru merdeka (baca: negara sedang berkembang). Pembangunan menjadi solusi sekaligus masalah bagi sebagian besar negeri-negeri baru di Asia, Afrika dan Amerika Latin. Pembangunan dianggap “kaki tangan” penjajahan baru dunia sebagai akibat keruntuhan ekonomi-politik sosialis.
Kebangkitan gerakan adat (baca: masyarakat adat) adalah fenomena perlawanan terhadap ketidakadilan proses pembangunan. Gerakan demokrasi yang ditandai dengan tercetusnya Konggres Masyarakat Adat Nusantara I pada 17 Maret 1999 ini adalah gerakan protes terhadap negara. Negara Indonesia tidak konsisten membela kepentingan masyarakat adat. Masyarakat adat se-Nusantara menggugat pengakuan. “Kalau Negara tidak mengakui Kami, Kami tidak mengakui Negara”.
Penggugatan tersebut sebagai dampak pembangunan yang melalaikan hak (keberadaan, kepemilikan dan penguasaan atas sumberdaya alam) masyarakat adat. Proses pembangunan nasional telah menyebabkan masyarakat adat terusir dari wilayah hidupnya. Sumberdaya alam yang berada dalam kawasan adat (ulayat) dieksploitasi demi kepentingan pembangunan nasional tanpa kontribusi langsung kepada masyarakat adat setempat. Pembangunan menjadi ‘musuh’ gerakan adat. Negara vis a vis (berhadapan dengan) masyarakat adat.
Dalam perayaan ke-9 tahun kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara, penyelamatan hutan adat menjadi isu sentral pengembalian hak-hak masyarakat adat. Tak pelak, bercermin kepada kebangkitan nasionalisme Indonesia seratus tahun lalu yang juga membawa symbol regional adat besar, kebangkitan masyarakat adat pasca Revolusi 45 adalah pemutakhiran dari gerakan kebangsaan saat kolonialisme Belanda (praktek kebijakan dan hukum Indonesia dalam penataan dan pemerataan kelola sumberdaya alam masih bersumber dari produk-produk kebijakan pemerintahan Kolonial Belanda).
Nusantara yang kuat melekat dalam gerakan masyarakat adat post colonial (sekarang) menjadi terminologi baru pelahiran kembali Indonesia dalam nama lain. Semisal pernah disebutkan dalam sebuah paparan (anonim), Indonesia yang selalu krisis (sakit) dalam terminologi pemahaman tradisi Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Nusatenggara, nama Indonesia untuk negeri kaya pulau, kaya laut dan kaya hutan perlu berganti nama.
Kata Nusantara pernah disebutkan dalam paparan tanpa jelas penulisnya (baca: anonim) sebagai salah satu pilihan untuk mengganti kata Indonesia. Indonesia berganti nama Nusantara, kenapa tidak? Dunia adalah media dinamisasi. Kebangkitan Masyarakat Adat Nusantara adalah nasionalisme Indonesia Baru.
http://ecodisc.blogspot.com/2008/03/kebangkitan-nusantara.htm
Keadilan Ekologi : Green Turning
tJong Paniti di http://ecodisc.blogspot.com
memperkenalkan sahabat dan jejaring Rumah Asa....
Keadilan Ekologi
GREEN TURNING
Ekologi adalah relasi manusia dengan alam. Relasi ini diidealkan untuk selalu menuju kondisi harmonis. Kepentingan manusia (sosial, ekonomi dan politik) tidak mendominasi kepentingan alam. Kerusakan alam menjadi indikator terjadinya dominasi kepentingan manusia terhadap alam sebagai penyedia manfaat.
Politikal ekonomi manusia akhir-akhir ini adalah kekuatan yang mengatur semua sisi kehidupan manusia modern, termasuk kepentingan alam. Terlebih saat rezim di dunia menjadikan alam sebagai sumberdaya yang tak pernah habis (unlimited resources).
Kondisi makro ekonomi sebagai ukuran kemajuan internasional melalui rezim penganut pembangunanisme, telah menjerat negara-negara baru merdeka (negara ketiga) pada paruh abad 21 terlilit utang tak berkesudahan, menjadi negeri kaya sumberdaya alam tapi miskin, menjadi negeri sasaran teknologi dan industri modern dari negara-negara pertama dan kedua. Negara ketiga menggali habis sumberdaya alamnya untuk beradaptasi dan mengejar keserbaketertinggalannya dengan negara maju yang lebih dulu modern.
Kesadaran kelompok-kelompok kritis di negara-negara maju untuk melakukan aksi kembali ke alam (back to nature) yang dipicu oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik yang memburuk menjelang berakhirnya Perang Pasifik (World War II). Kelompok-kelompok anti perang, lingkungan, dan kebudayaan lahir menjadi gerakan sosial alternatif (anti negara). Yang pada perkembangan berikutnya, gerakan lingkungan menjadi gerakan baru, jalan ketiga yang muncul dari tarik-menarik dua kekuatan politik internasional, sosialisme dan liberalisme (meminjam istilah Gidden, 2001).
Gerakan lingkungan, gerakan baru yang membawa nafas idealisme postmodernis (kembali ke tradisi lama) menjalar ke negara-negara ketiga. Sekalipun cukup terlambat dan terdorong untuk memenuhi kepentingan pembangunanisme ala Orde Baru, gerakan lingkungan nasional baru muncul pada 1980-an (KTT Bumi Stockholm) telah memberikan warna kepada wajah pembangunan Indonesia. Pembangunan Berwawasan Lingkungan (yang gagal).
Saat itu pula organisasi-organisasi sipil “apolitis” ini, kelompok sipil yang kritis (menurut Orde Baru disebut OTB-Organisasi Tanpa Bentuk) hanya sekedar menjadi pusat informasi lingkungan hidup di bawah asuhan Kementerian Lingkungan Hidup (PPLH, dulu).
Kompleksitas persoalan sosial, ekonomi, dan politik telah menyebabkan degradasi lingkungan semakin meningkat. Pembangunanisme gagal membangun keharmonisan manusia dan alam. Memasuki era Millinium III, bumi bergonjang. Persediaan minyak dunia menipis, harga mencapai 100 dollar Amerika per barel sesuai prediksi 20 tahun lalu, dunia akan mengalami lonjakan minyak kedua (lonjakan pertama pada 1970-an), deforestasi tinggi, pelanggaran HAM meningkat, biodiversitas menurun, perubahan iklim mengancam kehidupan, kerentanan bencana meningkat, kemiskinan tinggi, jumlah penganguran meningkat dan melanda negara-negara maju, serta teknologi semakin rakus sumberdaya dan energi.
Kondisi yang demikian memunculkan ketidakadilan terhadap manusia, alam dan hubungan di antara keduanya (ekologi). Krisis melanda di semua sektor kehidupan di bumi. Lalu apa jawaban masa kini dari persoalan-persoalan genting tersebut. Keadilan ekologi sebagai jawabannya. Green turning, pelopor hijau! (bersambung).
http://ecodisc.blogspot.com/2008/04/keadilan-ekologi.html
memperkenalkan sahabat dan jejaring Rumah Asa....
Keadilan Ekologi
GREEN TURNING
Ekologi adalah relasi manusia dengan alam. Relasi ini diidealkan untuk selalu menuju kondisi harmonis. Kepentingan manusia (sosial, ekonomi dan politik) tidak mendominasi kepentingan alam. Kerusakan alam menjadi indikator terjadinya dominasi kepentingan manusia terhadap alam sebagai penyedia manfaat.
Politikal ekonomi manusia akhir-akhir ini adalah kekuatan yang mengatur semua sisi kehidupan manusia modern, termasuk kepentingan alam. Terlebih saat rezim di dunia menjadikan alam sebagai sumberdaya yang tak pernah habis (unlimited resources).
Kondisi makro ekonomi sebagai ukuran kemajuan internasional melalui rezim penganut pembangunanisme, telah menjerat negara-negara baru merdeka (negara ketiga) pada paruh abad 21 terlilit utang tak berkesudahan, menjadi negeri kaya sumberdaya alam tapi miskin, menjadi negeri sasaran teknologi dan industri modern dari negara-negara pertama dan kedua. Negara ketiga menggali habis sumberdaya alamnya untuk beradaptasi dan mengejar keserbaketertinggalannya dengan negara maju yang lebih dulu modern.
Kesadaran kelompok-kelompok kritis di negara-negara maju untuk melakukan aksi kembali ke alam (back to nature) yang dipicu oleh kondisi sosial, ekonomi dan politik yang memburuk menjelang berakhirnya Perang Pasifik (World War II). Kelompok-kelompok anti perang, lingkungan, dan kebudayaan lahir menjadi gerakan sosial alternatif (anti negara). Yang pada perkembangan berikutnya, gerakan lingkungan menjadi gerakan baru, jalan ketiga yang muncul dari tarik-menarik dua kekuatan politik internasional, sosialisme dan liberalisme (meminjam istilah Gidden, 2001).
Gerakan lingkungan, gerakan baru yang membawa nafas idealisme postmodernis (kembali ke tradisi lama) menjalar ke negara-negara ketiga. Sekalipun cukup terlambat dan terdorong untuk memenuhi kepentingan pembangunanisme ala Orde Baru, gerakan lingkungan nasional baru muncul pada 1980-an (KTT Bumi Stockholm) telah memberikan warna kepada wajah pembangunan Indonesia. Pembangunan Berwawasan Lingkungan (yang gagal).
Saat itu pula organisasi-organisasi sipil “apolitis” ini, kelompok sipil yang kritis (menurut Orde Baru disebut OTB-Organisasi Tanpa Bentuk) hanya sekedar menjadi pusat informasi lingkungan hidup di bawah asuhan Kementerian Lingkungan Hidup (PPLH, dulu).
Kompleksitas persoalan sosial, ekonomi, dan politik telah menyebabkan degradasi lingkungan semakin meningkat. Pembangunanisme gagal membangun keharmonisan manusia dan alam. Memasuki era Millinium III, bumi bergonjang. Persediaan minyak dunia menipis, harga mencapai 100 dollar Amerika per barel sesuai prediksi 20 tahun lalu, dunia akan mengalami lonjakan minyak kedua (lonjakan pertama pada 1970-an), deforestasi tinggi, pelanggaran HAM meningkat, biodiversitas menurun, perubahan iklim mengancam kehidupan, kerentanan bencana meningkat, kemiskinan tinggi, jumlah penganguran meningkat dan melanda negara-negara maju, serta teknologi semakin rakus sumberdaya dan energi.
Kondisi yang demikian memunculkan ketidakadilan terhadap manusia, alam dan hubungan di antara keduanya (ekologi). Krisis melanda di semua sektor kehidupan di bumi. Lalu apa jawaban masa kini dari persoalan-persoalan genting tersebut. Keadilan ekologi sebagai jawabannya. Green turning, pelopor hijau! (bersambung).
http://ecodisc.blogspot.com/2008/04/keadilan-ekologi.html
Tidak Cukup Hanya Dengan Menanam Pohon
Memperkenalkan Sahabat Rumah Asa....
http://bhumisenthana.blogspot.com
artikel oleh:
Agung Wardana
Fenomena untuk mengimitasi popularitas Al Gore nampaknya sedang menggejala di Bali saat ini. Banyak politisi mencoba meraih dukungan dengan berpose seolah-olah sabahat alam, untuk mengikuti jejak tenar peraih Nobel tersebut. Namun apakah politisi yang menunjukkan diri telah menanam pohon dan dilabel sebagai ’greens politician’ kemudian layak memimpin Bali kedepan??
Jika dilihat dari segi positif maka apa yang dilakukan oleh politisi ini mampu memobilisasi simpatisannya untuk ikut serta dalam kegiatan bertajuk ’peduli lingkungan’ karena budaya patron dalam masyarakat Bali kuat mengakar. Hal ini menyebabkan apa yang dilakukan oleh idola, pimpinan, atau pun sesepuh, akan diikuti oleh kawulo atau fans-nya. Namun disisin lain, nampaknya ada yang terlupakan dalam gerakan penyelamatan lingkungan hidup seperti ini. Ketika politisi, korporasi besar telah bermatamorfosa sebagai ’greens’ bukan berarti lingkungan hidup telah kehilangan musuhnya. Karena kesadaran penyelamatan lingkungan yang sedang dibangun bersifat atomistik, dikembalikan kepada individu masing-masing, bukan membangun kesadaran kolektif yang nantinya akan bermuara menjadi sebuah gerakan kolektif.
Atomatisasi kesadaran lingkungan hidup ini, kemudian hanya berkonsentrasi pada aspek-aspek penyelamatan lingkungan yang non-politis. Sehingga masalah lingkungan dilihat secara sepotong-sepotong bukan menjadi satu kesatuan dengan masalah tatanan sosial, ekonomi dan sistem politik kita. Saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa ada korelasi antara kemiskinan, urbanisasi, kriminalitas, gender dengan lingkungan hidup. Karena hal tersebut tidaklah berdiri di ruang hampa. Bagaimana mungkin hanya dengan menanam pohon namun tetap menganut sistem ekonomi kapitalistik (rakyat kecil harus bertarung bebas dengan raksasa korporasi), ataupun tetap mempertahankan sistem politik sentralistik dan tatanan sosial yang timpang, akan dapat menjawab seluruh permasalahan rakyat.
Green Politics Sebagai Pandangan Holistik
Kasus demi kasus yang bertalian dengan mass tourism di Bali, nampaknya di lupakan begitu saja dengan anggapan bahwa kasus tersebut sebagai pengorbanan kecil demi keberlanjutan industri pariwisata. Dari pencaplokan lahan rakyat, perusakan tatanan nilai sosial-kultural, perbudakan tenaga kerja dan pelecehan seksual, sampai eksploitasi sumber daya alam untuk kepuasan konsumen pariwisata. Hal ini akan berpotensi melahirkan konflik perebutan akses penghidupan, dan membawa paradaban Bali menuju kepunahan esensial.
Untuk itu, pendekatan yang integral dalam melihat permasalahan yang sedang dialami oleh peradaban Bali amatlah mutlak diperlukan. Politik Hijau (Green Politics) yang mempunyai nilai dasar, yakni; Kearifan Lingkungan (Ecological Wisdoms), Demokrasi Bumi (Grass-root Democracy), Keadilan Sosial (Social Justice), Perdamaian (Non-Vionlence) merupakan seperangkat nilai yang tidak akan dapat berjalan maksimal jika dipisahkan dan mengharuskan gerak pada keempat porosnya secara simultan.
Bali dengan kondisi lingkungan hidup yang terus menerus mengalami kemerosotan, maka tidak mustahil peradaban Bali juga akan menyusul untuk kolaps. Jadi perbaikan kondisi lingkungan hidup memerlukan juga perubahan mendasar pada tatanan sosial, ekonomi kapitalistik dari industri pariwisata, juga pengembalian hak-hak dasar untuk mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam ke tangan komunitas-komunitas masyarakat setempat.
Jika ada kandidat Gubernur yang berani menyatakan diri untuk konsisten mengawal nilai Green Politics ini, niscaya dia akan terpilih dan akan dikenang sebagai tokoh yang berani melakukan perubahan mendasar. Jika memang tidak ada pemimpin yang berani, maka tidak ada jalan lain, critical mass (masyarakat yang kritis) akan menentukan sendiri jalannya dalam menyelamatkan peradaban.
Penulis, Aktivis Lingkungan
http://bhumisenthana.blogspot.com
artikel oleh:
Agung Wardana
Fenomena untuk mengimitasi popularitas Al Gore nampaknya sedang menggejala di Bali saat ini. Banyak politisi mencoba meraih dukungan dengan berpose seolah-olah sabahat alam, untuk mengikuti jejak tenar peraih Nobel tersebut. Namun apakah politisi yang menunjukkan diri telah menanam pohon dan dilabel sebagai ’greens politician’ kemudian layak memimpin Bali kedepan??
Jika dilihat dari segi positif maka apa yang dilakukan oleh politisi ini mampu memobilisasi simpatisannya untuk ikut serta dalam kegiatan bertajuk ’peduli lingkungan’ karena budaya patron dalam masyarakat Bali kuat mengakar. Hal ini menyebabkan apa yang dilakukan oleh idola, pimpinan, atau pun sesepuh, akan diikuti oleh kawulo atau fans-nya. Namun disisin lain, nampaknya ada yang terlupakan dalam gerakan penyelamatan lingkungan hidup seperti ini. Ketika politisi, korporasi besar telah bermatamorfosa sebagai ’greens’ bukan berarti lingkungan hidup telah kehilangan musuhnya. Karena kesadaran penyelamatan lingkungan yang sedang dibangun bersifat atomistik, dikembalikan kepada individu masing-masing, bukan membangun kesadaran kolektif yang nantinya akan bermuara menjadi sebuah gerakan kolektif.
Atomatisasi kesadaran lingkungan hidup ini, kemudian hanya berkonsentrasi pada aspek-aspek penyelamatan lingkungan yang non-politis. Sehingga masalah lingkungan dilihat secara sepotong-sepotong bukan menjadi satu kesatuan dengan masalah tatanan sosial, ekonomi dan sistem politik kita. Saat ini tidak dapat dipungkiri bahwa ada korelasi antara kemiskinan, urbanisasi, kriminalitas, gender dengan lingkungan hidup. Karena hal tersebut tidaklah berdiri di ruang hampa. Bagaimana mungkin hanya dengan menanam pohon namun tetap menganut sistem ekonomi kapitalistik (rakyat kecil harus bertarung bebas dengan raksasa korporasi), ataupun tetap mempertahankan sistem politik sentralistik dan tatanan sosial yang timpang, akan dapat menjawab seluruh permasalahan rakyat.
Green Politics Sebagai Pandangan Holistik
Kasus demi kasus yang bertalian dengan mass tourism di Bali, nampaknya di lupakan begitu saja dengan anggapan bahwa kasus tersebut sebagai pengorbanan kecil demi keberlanjutan industri pariwisata. Dari pencaplokan lahan rakyat, perusakan tatanan nilai sosial-kultural, perbudakan tenaga kerja dan pelecehan seksual, sampai eksploitasi sumber daya alam untuk kepuasan konsumen pariwisata. Hal ini akan berpotensi melahirkan konflik perebutan akses penghidupan, dan membawa paradaban Bali menuju kepunahan esensial.
Untuk itu, pendekatan yang integral dalam melihat permasalahan yang sedang dialami oleh peradaban Bali amatlah mutlak diperlukan. Politik Hijau (Green Politics) yang mempunyai nilai dasar, yakni; Kearifan Lingkungan (Ecological Wisdoms), Demokrasi Bumi (Grass-root Democracy), Keadilan Sosial (Social Justice), Perdamaian (Non-Vionlence) merupakan seperangkat nilai yang tidak akan dapat berjalan maksimal jika dipisahkan dan mengharuskan gerak pada keempat porosnya secara simultan.
Bali dengan kondisi lingkungan hidup yang terus menerus mengalami kemerosotan, maka tidak mustahil peradaban Bali juga akan menyusul untuk kolaps. Jadi perbaikan kondisi lingkungan hidup memerlukan juga perubahan mendasar pada tatanan sosial, ekonomi kapitalistik dari industri pariwisata, juga pengembalian hak-hak dasar untuk mengelola lingkungan hidup dan sumber daya alam ke tangan komunitas-komunitas masyarakat setempat.
Jika ada kandidat Gubernur yang berani menyatakan diri untuk konsisten mengawal nilai Green Politics ini, niscaya dia akan terpilih dan akan dikenang sebagai tokoh yang berani melakukan perubahan mendasar. Jika memang tidak ada pemimpin yang berani, maka tidak ada jalan lain, critical mass (masyarakat yang kritis) akan menentukan sendiri jalannya dalam menyelamatkan peradaban.
Penulis, Aktivis Lingkungan
Perempuan dan Ekologi
Memperkenalkan Sahabat Rumah Asa....
Agung Wardana di http://bhumisenthana.blogspot.com
artikel oleh:
Agung Wardana
“Mati Devata, Dharam Devata”
(Tanah adalah dewa-dewi kami, tanah adalah agama kami)
Kalimat diatas adalah slogan yang diteriakkan oleh para perempuan India anggota Gerakan “Selamatkan Gandharman”, ketika mereka diseret oleh polisi dalam aksinya. Gerakan yang dimotori kaum perempuan tersebut adalah bentuk perjuangan dalam menolak perusakan gunung dan hutan oleh perusahaan tambang bauiksit. Seorang demonstran berusia 70 tahun, Dhanmati berteriak; “Kami akan mengorbankan hidup kami, tapi bukan Gandharman. Kami ingin menyelamatkan gunung ini yang telah memberi kami apa yang kami butuhkan”, teriakan ini menggambarkan pendirian para perempuan tersebut yang berada di garis depan dalam membela hak dan kelestarian alam mereka. Selain itu masih ada kisah Vandana Shiva bersama para perempuan sekitar hutan menolak membukaan hutan dengan cara memeluk tiap batang pohon yang akan ditebang oleh perusahaan. Pertanyaannya kemudian, mengapa perempuan berada di garis depan gerakan lingkungan?
Secara sosio-religius, dari berbagai mitologi kuno, menempatkan bumi dan sumber daya alamnya sebagai spirit perempuan, yakni feminis. Hal ini menunjukkan bahwa, masyarakat tradisional menempatkan perempuan identik dengan bumi yang harus dihormati dan karenanyalah kehidupan di dunia dapat berlangsung. Di Bali, misalnya, kita mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, di India, Sungai Gangga, Yamuna, Narmada adalah sungai sakral yang dipuja sebagai para dewi. Di Prancis, dikenal sungai Marne yang berasal dari kata Matrona, Dewi Ibu. Begitu juga di Yunani kita mengenal ada Dewi Gaia. Maka pantaslah jika kita mengatakan bumi (pertiwi) ini adalah Ibu dari semua kehidupan, karena dia telah menyediakan kebutuhan hidup dengan penuh cinta tanpa mengharap balasan melainkan hanya butuh kearifan kita dalam menjaga kelestariannya.
Kedekatan perempuan tradisional dengan alamnya tidak saja dalam spiritualitas saja tapi teraktualisasi dalam pekerjaannya sehari-hari yang berhubungan langsung dengan lingkungan hidupnya. Mengambil air untuk minum, mengumpulkan kayu bakar dari hutan atau kebun, mencuci perabot rumah tangga, mebanten adalah sebagaian kecil saja kontak langsung dengan apa yang telah diberikan ibu pertiwi yang kemudian dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.
selanjutnya slik klik
http://bhumisenthana.blogspot.com/2008/02/perempuan-dan-ekologi.html
Agung Wardana di http://bhumisenthana.blogspot.com
artikel oleh:
Agung Wardana
“Mati Devata, Dharam Devata”
(Tanah adalah dewa-dewi kami, tanah adalah agama kami)
Kalimat diatas adalah slogan yang diteriakkan oleh para perempuan India anggota Gerakan “Selamatkan Gandharman”, ketika mereka diseret oleh polisi dalam aksinya. Gerakan yang dimotori kaum perempuan tersebut adalah bentuk perjuangan dalam menolak perusakan gunung dan hutan oleh perusahaan tambang bauiksit. Seorang demonstran berusia 70 tahun, Dhanmati berteriak; “Kami akan mengorbankan hidup kami, tapi bukan Gandharman. Kami ingin menyelamatkan gunung ini yang telah memberi kami apa yang kami butuhkan”, teriakan ini menggambarkan pendirian para perempuan tersebut yang berada di garis depan dalam membela hak dan kelestarian alam mereka. Selain itu masih ada kisah Vandana Shiva bersama para perempuan sekitar hutan menolak membukaan hutan dengan cara memeluk tiap batang pohon yang akan ditebang oleh perusahaan. Pertanyaannya kemudian, mengapa perempuan berada di garis depan gerakan lingkungan?
Secara sosio-religius, dari berbagai mitologi kuno, menempatkan bumi dan sumber daya alamnya sebagai spirit perempuan, yakni feminis. Hal ini menunjukkan bahwa, masyarakat tradisional menempatkan perempuan identik dengan bumi yang harus dihormati dan karenanyalah kehidupan di dunia dapat berlangsung. Di Bali, misalnya, kita mengenal Dewi Sri sebagai dewi kesuburan, di India, Sungai Gangga, Yamuna, Narmada adalah sungai sakral yang dipuja sebagai para dewi. Di Prancis, dikenal sungai Marne yang berasal dari kata Matrona, Dewi Ibu. Begitu juga di Yunani kita mengenal ada Dewi Gaia. Maka pantaslah jika kita mengatakan bumi (pertiwi) ini adalah Ibu dari semua kehidupan, karena dia telah menyediakan kebutuhan hidup dengan penuh cinta tanpa mengharap balasan melainkan hanya butuh kearifan kita dalam menjaga kelestariannya.
Kedekatan perempuan tradisional dengan alamnya tidak saja dalam spiritualitas saja tapi teraktualisasi dalam pekerjaannya sehari-hari yang berhubungan langsung dengan lingkungan hidupnya. Mengambil air untuk minum, mengumpulkan kayu bakar dari hutan atau kebun, mencuci perabot rumah tangga, mebanten adalah sebagaian kecil saja kontak langsung dengan apa yang telah diberikan ibu pertiwi yang kemudian dinikmati oleh seluruh anggota keluarga.
selanjutnya slik klik
http://bhumisenthana.blogspot.com/2008/02/perempuan-dan-ekologi.html
MENAWARKAN HASRAT PEMBANGKANGAN PADA SELEMBAR KAIN KATUN
komunitas literasi idefix makassar - http://idefixmakassar.blogspot.com/
memperkenalkan sahabat dan jejaring Rumah Asa.........
artikel oleh : Irfan Saputra [2]
Kapitalisme bukanlah sistem sempurna tanpa borok, namun justru mengandung cacat bawaan. Sebagai sistem yang sangat kompleks dan rumit, penghisapan dan eksploitasinya hampir-hampir tak terlihat. Dengan logika dan otomatisasinya, kapitalisme memiliki kemampuan dalam menyembunyikan dan membalik logika-logika umum sehingga eksploitasi yang dioperasikan selalu tampak logis, direproduksi, sehingga membuatnya terus berdiri tegak. Namun bukan berarti kapitalisme tidak bisa diruntuhkan. Potensi-potensi keseharian kita adalah bibit revolusioner dan subversif yang dapat menggoyahkan sistem ini. Mulai dari hal-hal kecil seperti protes personal dalam coretan dinding, kaos sablonan, hingga gerilyawan bersenjata atau bom bunuh diri yang menyasar target vital dalam mensabotase sistem ekonomi.
Namun bagaimana bila hal-hal subversif tersebut dapat dijinakkan, bahkan dijual kembali menjadi sebuah komoditi? Atau bahkan lebih jauh, bagaimana potensi revolusioner tersebut terus menerus diselubungi sebuah mitos seakan-akan sistem yang diusung adalah oposisi dari sistem dominai bernama kapitalisme? Maka marilah kita mengenal Spectacle, sebuah terma yang sayangnya tidak memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia.
Spectacle dan Kapitalisme
Dalam The Society of Spectacle (1994), Guy Debord menguraikan sebuah analisa modern tentang perkembangan mutakhir kapitalisme yang beranjak hingga pada level abstraksi paling radikal. Tesisnya melampaui argumen-argumen klasik tahapan perkembangan kapitalisme tertinggi. Spectacle adalah terma sentral yang dikembangkan oleh Situasionis International dengan mengadopsinya dari George Baitalle, yang dalam bahasa Perancis berarti ‘pertunjukan’. Situasis International, sebuah organisasi teoritis dan radikal pada dekade 60-70-an, satu-satunya grup ‘ultra-kiri’ yang kemudian berhasil mendorong revolusi paling fundamental dalam era kapitalisme lanjut (Paris ’68). Mereka memformulasikan sebuah teori tentang bagaimana kapital memproduksi spectacle.
SI menggunakan terminologi ini untuk menyatakan sebuah cara pandang baru dalam masyarakat, dimana ditegaskan bahwa tatanan masyarakat yang berdiri direpresentasikan melalui sekumpulan imaji atau ilusi. Dalam spectacle satu hal yang terpenting adalah imaji, kesan, atau ilusi. Untuk membuat diri tampak lebih Muslim, misalnya, kita dapat memakai simbol-simbol seperti sorban, kerudung atau baju koko. Dalam hal ini nilai sesuatu didapat dari imaji yang ditampilkannya, dan bukanlah hal tersebut secara ontologis.
Hal ini dijelaskan oleh Debord bahwa “spectale bukanlah kumpulan dari imaji-imaji, tetapi sebuah relasi sosial dalam masyarakat yang dimediasi oleh imaji” (1984). Artinya masyarakat berkomunikasi menggunakan imaji sebagai alat komunikasi sekaligus alat mediasinya. Kalau kita berbicara tentang Islam, maka yang dibicarakan sesungguhnya adalah kesan Islami. Begitupun bila mendiskusikan komunisme, yang sebenarnya kita maknai adalah citraan-citraan tentang komunisme. Dan sialnya, pada tahapan abstraksi tertinggi, keseluruhan hidup yang kita jalani ini hanyalah imaji atas hidup belaka! Atau dalam kapitalisme lanjut yang mutakhir ini, keseluruhan hidup yang kita jalani tersebut tidak lain hanyalah sekumpulan imaji-imaji yang merepresentasikan hidup yang sesungguhnya.
Resistensi dan Rekuperasi dalam Dunia Tontonan
Kapitalisme menghadapi rongrongan di sana-sini. Dari sikap subversif dan membangkang secara individu, komunitas kecil, hingga dalam bentuk gerakan sosial yang lebih luas dalam menjatuhkan pemerintahan terjadi dimana-mana. Di berbagai penjuru dunia terbangun kolektif-kolektif otonomis, yang membangun kehidupan lepas dari hegemoni kapital. Mereka saling bekerja sama dalam prinsip mutual aid, membentuk tatanan sosial yang lebih adil dari bawah. Serta fenomena yang populer di Amerika Latin dimana beberapa negara melangkah progresif dalam menggantikan kapitalisme lalu menjanjikan apa yang disebutnya sosialisme. Kesemuanya memiliki tipikal yang sama : menolak kapitalisme dan menawarkan sebuah alternatif.
Kapitalisme juga diwarnai konfigurasi lain dalam era mutakhirnya ini. Apapun yang berkembang dalam Dunia Tontonan (Spectacle) tidak akan melampaui toleransi dari kemampuan spectacle sendiri untuk merawat dirinya. PT. Newmount akan berupaya untuk tampil ramah lingkungan untuk menghilangkan kesan/imaji buruk atas tindakan-tindakannya yang mencemari lingkungan. Nike akan berupaya untuk menghadirkan kesan sportif di balik pengoperasian pabrik-pabriknya yang mengeksploitasi buruh berusia muda (sweatshops).
Naomi Klein dalam No Logo (2002) buku yang disebut-sebut orang sebagai Das Capitalnya abad 21 (dimana karya Debord adalah Das Capital abad 20), mengatakan bahwa hal tersebut tidak dilakukan untuk sekedar membersihkan, menelikung atau merubah imaji atas profil korporasi. Namun pembangunan sebuah corporate brand adalah tindakan terencana secara ekonomis dan terukur secara strategis, yang berhubungan erat dengan bagaimana eksistensi sebuah kapital. Jangan heran, sektor periklanan (advertising) menjamur dimana-mana dalam rangka membangun sebuah infrastruktur kapitalis dalam menawarkan, dan mengelola imaji dan hasrat.
Dalam spectacle, kita bisa saja menolak atas sistem yang eksis saat ini. Akan tetapi pilihan-pilihan yang akan hadir hanyalah representasi, bukan subjek dari alternatif yang kita kehendaki. Misalnya mengapa kita dirancang menjadi masyarakat konsumtif? Karena konsumerisme adalah sebuah pilihan atas bentuk kehidupan yang memungkinkan dari konsepsi hidup itu sendiri. Hanya dengan berbelanja kita terwakili oleh bentuk kehidupan yang dipilih.
Maka Situasionis juga melengkapi analisa mereka dengan memperkenalkan ‘rekuperasi’. Rekuperasi singkatnya adalah proses penyembuhan bagi sistem kapitalisme, yang mengkooptasikan proses pertukaran yang dideterminasikan oleh nilai mata uang atas kreatifitas manusia yang telah muncul akibat sistem yang tidak stabil. Proses inkorporasi dan komodifikasi menyebabkan hal-hal subversif (tidak terbatas dalam makna politik saja) akan menemukan ajalnya menjadi sekedar proses pertukaran kapital. Hal tersebut terjadi sebagai sebuah rencana yang dikalkulasikan oleh beberapa industrialis.
Dalam spectacle, proses rekuperasi adalah logika dasar dalam mempertahankan dominasinya. Kapitalisme adalah sistem yang paling luwes, dan fleksibel. Kamu dapat saja menilai Venezuela, Rusia, atau China maupun Kuba sebagai negara sosialis. Karena dalam spectacle, sebuah istilah tidak akan berpengaruh besar semenjak substansinya terkungkung sebuah mitos berdasarkan pemaknaan kita dari sebuah kata/istilah. Menilai negara-negara tersebut sosialis, tentu adalah tindakan gegabah semenjak para rekuperator di tempat-tempat tersebut mempertahankan fitur-fitur utama dalam kapitalisme (kepemilikan, ketiadaan kontrol kelas pekerja atas faktor produksi, demokrasi representatif, dan sentralisasi urusan-urusan publik) lalu kemudian memitoskan sosok-sosok tertentu sebagai simbol untuk mengakumulasi hasrat-hasrat anti-kapitalisme.
Bila memakai pola pikir klasik, apapun yang bukan Amerika, apapun yang berjargon Kiri dan revolusioner pastilah anti-kapitalisme. Sayangnya argumen-argumen standar tersebut haruslah dilampaui sedemikian jauh. Dalam spectacle, semua pihak dibolehkan untuk mengambil sikap beroposisi (lihat saja kerumunan sub-kultur anak muda yang dibolehkan memberontak entah kepada apa dan siapa, dan mereka disuplai kebutuhan-kebutuhan habitusnya dalam komoditi-komoditi sub-kultur). oposisi terhadap kapital adalah oposisi yang dapat ditoleransi, dan bahkan memberikan surplus kapital secara resiprokal.
Oposisi palsu selalu menawarkan hasrat radikal yang berbeda dari kapital. Namun sekali lagi tidak lebih sebagai representasi atas hal-hal radikal, bukan ke-radikal-an itu sendiri. Jika kita memahami tentang sesuatu yang memiliki kesan yang baik, maka tentu bukan ke-baik-annya yang kita maksud. Tapi era kapitalisme mutakhier ini kesan, imaji, citra lebih telah lebih dipercayai ketimbang substansi.
Menawarkan Hasrat Pembangkangan
Kembali pada pertanyaan dasar, apakah kaos-kaos subversif yang dicetak dan beredar adalah bentuk resistensi ataukah rekuperasi? Ada banyak fenomena yang serupa dengan bahasan kita dalam diskusi ini. Tidak sekedar kaos sablonan yang berskala rumahan, tapi hasrat-hasrat yang terwakili oleh ikon-ikon populer yang ‘berniat’ menawarkan sebuah geliat pembangkangan tapi justru jatuh dalam perangkap spectacle.
Misalnya bagaimana seorang Kate Moss mempromosikan t-shirt Che Guevara dalam salah satu pameran busananya, atau Prada (perancang busana terkenal Italia yang juga anggota aktif Partai Komunis Italia) yang menggunakan citraan-citraan seorang revolusioner Marxis Jerman, Ulrike Meinhof, sebagai model bagi gaya busana mereka yang dinamai Prada-Meinhof. Bahkan sebuah pabrik parfum terkenal Inggris merilis produk barunya yang diberi titel ‘Anarchy’, dengan beberapa pilihan aroma bernama ‘riot’ dan ‘rebellion’.
Sebuah perusahaan clothing kecil atau seorang tukang sablon yang mencetak secara mandiri desain-desain yang menampilkan imaji-imaji revolusioner, subversif, dan menjualnya untuk keuntungan personal, tidaklah lebih baik dari seorang broker pilkada atau salesman produk multilevel marketing. Dalam skala paling kecil ini, terlihat skema menakjubkan bagaimana proses kapitalisme menggandakan diri secara otomatis. Inilah batasan tipis dari sebuah proses kreasi atas resistensi dengan rekuperasi. Jika produsen bertindak dalam rangka membangun imperium bisnisnya, tidak peduli skala kecil-kecilan maupun home industry yang massif, yang akan terjadi adalah komodifikasi, karena selembar kaos berdesain subversif memang memiliki pasarnya tersendiri.
Hanya ada satu jalan keluar dari Spectacle, yakni membongkar relasi representasi dengan sebuah tujuan-tujuan anti-kapital. Sebuah clothing, atau tukang sablon independen (hmmm?) hanya bisa keluar dari spectale, dan berhenti bertindak sebagai rekuperator ketika usaha-usaha kreatifnya tersebut didedikasikan pada pengembangan komunitas atau aktifitas yang memutus rantai relasi kapital. Kolektif Taring Babi di Jakarta misalnya, yang juga memproduksi kaos propaganda dan membangun komunitasnya dalam garis tegas terhadap kapitalisme, tentu berbeda dengan Chambers dan puluhan tukang sablon independen yang menawarkan hasrat pembangkangan, hasrat berbeda, hasrat unik, hasrat pemberontakan, hasrat perdamaian, hasrat keren, dalam rangka mengantongi akumulasi dari penjualan produk-produknya tersebut. Hanya hal tersebut yang membedakannya! Karena apa yang kita kenal sebagai pembangkangan, unik dan berbeda, pemberontakan, perdamaian, aktifis, saleh dan beriman, gaul atau keren adalah hal-hal yang hendak direpresentasikan dalam bentuk imaji-imaji yang berakhir sebagai komoditi. Seperti tagline sebuah merk clothing : You Are What You Wear!
[1]. Disampaikan dalam diskusi "Resistensi dalam Baju Kaos" 28 September 2007, SekolaHI & Komunitas Idefix
[2]. Partisipan 'Idefix Makassar', juga mendesain untuk "INGSOC", sebuah mini clothing yang dioperasikan secara mandiri oleh komunitas, untuk menghidupi Idefix dari serangan uang kontrakan dan tagihan listrik.
Daftar Referensi :
Klein, Naomi. 2000. No Logo. Flamingo
Debord, Guy. 1984. The Society of Spectacle. Zone Books
Andre F; Muhammad Dahu. 2005. Jeune, Prada-Meinhoof, Rekuperasi – News From Nowhere 0.1
Pam. 2006. Aku Membeli Maka Aku Ada - Konsep Do It Yourself Dalam Kasus Distro : Antara Community Empowerment dan Dependensi Konsumen, Beyond The Barbed Wire Issue No 02
DPK Team. 2006. Krisis Representasi dan Pertukaran Kapital dalam Jurnal Nihilis Vol 01. Bandung
Kolektif Kontra Kultura. 2003. Jurnal Odyssey. Bandung 2003
memperkenalkan sahabat dan jejaring Rumah Asa.........
artikel oleh : Irfan Saputra [2]
Kapitalisme bukanlah sistem sempurna tanpa borok, namun justru mengandung cacat bawaan. Sebagai sistem yang sangat kompleks dan rumit, penghisapan dan eksploitasinya hampir-hampir tak terlihat. Dengan logika dan otomatisasinya, kapitalisme memiliki kemampuan dalam menyembunyikan dan membalik logika-logika umum sehingga eksploitasi yang dioperasikan selalu tampak logis, direproduksi, sehingga membuatnya terus berdiri tegak. Namun bukan berarti kapitalisme tidak bisa diruntuhkan. Potensi-potensi keseharian kita adalah bibit revolusioner dan subversif yang dapat menggoyahkan sistem ini. Mulai dari hal-hal kecil seperti protes personal dalam coretan dinding, kaos sablonan, hingga gerilyawan bersenjata atau bom bunuh diri yang menyasar target vital dalam mensabotase sistem ekonomi.
Namun bagaimana bila hal-hal subversif tersebut dapat dijinakkan, bahkan dijual kembali menjadi sebuah komoditi? Atau bahkan lebih jauh, bagaimana potensi revolusioner tersebut terus menerus diselubungi sebuah mitos seakan-akan sistem yang diusung adalah oposisi dari sistem dominai bernama kapitalisme? Maka marilah kita mengenal Spectacle, sebuah terma yang sayangnya tidak memiliki padanan dalam Bahasa Indonesia.
Spectacle dan Kapitalisme
Dalam The Society of Spectacle (1994), Guy Debord menguraikan sebuah analisa modern tentang perkembangan mutakhir kapitalisme yang beranjak hingga pada level abstraksi paling radikal. Tesisnya melampaui argumen-argumen klasik tahapan perkembangan kapitalisme tertinggi. Spectacle adalah terma sentral yang dikembangkan oleh Situasionis International dengan mengadopsinya dari George Baitalle, yang dalam bahasa Perancis berarti ‘pertunjukan’. Situasis International, sebuah organisasi teoritis dan radikal pada dekade 60-70-an, satu-satunya grup ‘ultra-kiri’ yang kemudian berhasil mendorong revolusi paling fundamental dalam era kapitalisme lanjut (Paris ’68). Mereka memformulasikan sebuah teori tentang bagaimana kapital memproduksi spectacle.
SI menggunakan terminologi ini untuk menyatakan sebuah cara pandang baru dalam masyarakat, dimana ditegaskan bahwa tatanan masyarakat yang berdiri direpresentasikan melalui sekumpulan imaji atau ilusi. Dalam spectacle satu hal yang terpenting adalah imaji, kesan, atau ilusi. Untuk membuat diri tampak lebih Muslim, misalnya, kita dapat memakai simbol-simbol seperti sorban, kerudung atau baju koko. Dalam hal ini nilai sesuatu didapat dari imaji yang ditampilkannya, dan bukanlah hal tersebut secara ontologis.
Hal ini dijelaskan oleh Debord bahwa “spectale bukanlah kumpulan dari imaji-imaji, tetapi sebuah relasi sosial dalam masyarakat yang dimediasi oleh imaji” (1984). Artinya masyarakat berkomunikasi menggunakan imaji sebagai alat komunikasi sekaligus alat mediasinya. Kalau kita berbicara tentang Islam, maka yang dibicarakan sesungguhnya adalah kesan Islami. Begitupun bila mendiskusikan komunisme, yang sebenarnya kita maknai adalah citraan-citraan tentang komunisme. Dan sialnya, pada tahapan abstraksi tertinggi, keseluruhan hidup yang kita jalani ini hanyalah imaji atas hidup belaka! Atau dalam kapitalisme lanjut yang mutakhir ini, keseluruhan hidup yang kita jalani tersebut tidak lain hanyalah sekumpulan imaji-imaji yang merepresentasikan hidup yang sesungguhnya.
Resistensi dan Rekuperasi dalam Dunia Tontonan
Kapitalisme menghadapi rongrongan di sana-sini. Dari sikap subversif dan membangkang secara individu, komunitas kecil, hingga dalam bentuk gerakan sosial yang lebih luas dalam menjatuhkan pemerintahan terjadi dimana-mana. Di berbagai penjuru dunia terbangun kolektif-kolektif otonomis, yang membangun kehidupan lepas dari hegemoni kapital. Mereka saling bekerja sama dalam prinsip mutual aid, membentuk tatanan sosial yang lebih adil dari bawah. Serta fenomena yang populer di Amerika Latin dimana beberapa negara melangkah progresif dalam menggantikan kapitalisme lalu menjanjikan apa yang disebutnya sosialisme. Kesemuanya memiliki tipikal yang sama : menolak kapitalisme dan menawarkan sebuah alternatif.
Kapitalisme juga diwarnai konfigurasi lain dalam era mutakhirnya ini. Apapun yang berkembang dalam Dunia Tontonan (Spectacle) tidak akan melampaui toleransi dari kemampuan spectacle sendiri untuk merawat dirinya. PT. Newmount akan berupaya untuk tampil ramah lingkungan untuk menghilangkan kesan/imaji buruk atas tindakan-tindakannya yang mencemari lingkungan. Nike akan berupaya untuk menghadirkan kesan sportif di balik pengoperasian pabrik-pabriknya yang mengeksploitasi buruh berusia muda (sweatshops).
Naomi Klein dalam No Logo (2002) buku yang disebut-sebut orang sebagai Das Capitalnya abad 21 (dimana karya Debord adalah Das Capital abad 20), mengatakan bahwa hal tersebut tidak dilakukan untuk sekedar membersihkan, menelikung atau merubah imaji atas profil korporasi. Namun pembangunan sebuah corporate brand adalah tindakan terencana secara ekonomis dan terukur secara strategis, yang berhubungan erat dengan bagaimana eksistensi sebuah kapital. Jangan heran, sektor periklanan (advertising) menjamur dimana-mana dalam rangka membangun sebuah infrastruktur kapitalis dalam menawarkan, dan mengelola imaji dan hasrat.
Dalam spectacle, kita bisa saja menolak atas sistem yang eksis saat ini. Akan tetapi pilihan-pilihan yang akan hadir hanyalah representasi, bukan subjek dari alternatif yang kita kehendaki. Misalnya mengapa kita dirancang menjadi masyarakat konsumtif? Karena konsumerisme adalah sebuah pilihan atas bentuk kehidupan yang memungkinkan dari konsepsi hidup itu sendiri. Hanya dengan berbelanja kita terwakili oleh bentuk kehidupan yang dipilih.
Maka Situasionis juga melengkapi analisa mereka dengan memperkenalkan ‘rekuperasi’. Rekuperasi singkatnya adalah proses penyembuhan bagi sistem kapitalisme, yang mengkooptasikan proses pertukaran yang dideterminasikan oleh nilai mata uang atas kreatifitas manusia yang telah muncul akibat sistem yang tidak stabil. Proses inkorporasi dan komodifikasi menyebabkan hal-hal subversif (tidak terbatas dalam makna politik saja) akan menemukan ajalnya menjadi sekedar proses pertukaran kapital. Hal tersebut terjadi sebagai sebuah rencana yang dikalkulasikan oleh beberapa industrialis.
Dalam spectacle, proses rekuperasi adalah logika dasar dalam mempertahankan dominasinya. Kapitalisme adalah sistem yang paling luwes, dan fleksibel. Kamu dapat saja menilai Venezuela, Rusia, atau China maupun Kuba sebagai negara sosialis. Karena dalam spectacle, sebuah istilah tidak akan berpengaruh besar semenjak substansinya terkungkung sebuah mitos berdasarkan pemaknaan kita dari sebuah kata/istilah. Menilai negara-negara tersebut sosialis, tentu adalah tindakan gegabah semenjak para rekuperator di tempat-tempat tersebut mempertahankan fitur-fitur utama dalam kapitalisme (kepemilikan, ketiadaan kontrol kelas pekerja atas faktor produksi, demokrasi representatif, dan sentralisasi urusan-urusan publik) lalu kemudian memitoskan sosok-sosok tertentu sebagai simbol untuk mengakumulasi hasrat-hasrat anti-kapitalisme.
Bila memakai pola pikir klasik, apapun yang bukan Amerika, apapun yang berjargon Kiri dan revolusioner pastilah anti-kapitalisme. Sayangnya argumen-argumen standar tersebut haruslah dilampaui sedemikian jauh. Dalam spectacle, semua pihak dibolehkan untuk mengambil sikap beroposisi (lihat saja kerumunan sub-kultur anak muda yang dibolehkan memberontak entah kepada apa dan siapa, dan mereka disuplai kebutuhan-kebutuhan habitusnya dalam komoditi-komoditi sub-kultur). oposisi terhadap kapital adalah oposisi yang dapat ditoleransi, dan bahkan memberikan surplus kapital secara resiprokal.
Oposisi palsu selalu menawarkan hasrat radikal yang berbeda dari kapital. Namun sekali lagi tidak lebih sebagai representasi atas hal-hal radikal, bukan ke-radikal-an itu sendiri. Jika kita memahami tentang sesuatu yang memiliki kesan yang baik, maka tentu bukan ke-baik-annya yang kita maksud. Tapi era kapitalisme mutakhier ini kesan, imaji, citra lebih telah lebih dipercayai ketimbang substansi.
Menawarkan Hasrat Pembangkangan
Kembali pada pertanyaan dasar, apakah kaos-kaos subversif yang dicetak dan beredar adalah bentuk resistensi ataukah rekuperasi? Ada banyak fenomena yang serupa dengan bahasan kita dalam diskusi ini. Tidak sekedar kaos sablonan yang berskala rumahan, tapi hasrat-hasrat yang terwakili oleh ikon-ikon populer yang ‘berniat’ menawarkan sebuah geliat pembangkangan tapi justru jatuh dalam perangkap spectacle.
Misalnya bagaimana seorang Kate Moss mempromosikan t-shirt Che Guevara dalam salah satu pameran busananya, atau Prada (perancang busana terkenal Italia yang juga anggota aktif Partai Komunis Italia) yang menggunakan citraan-citraan seorang revolusioner Marxis Jerman, Ulrike Meinhof, sebagai model bagi gaya busana mereka yang dinamai Prada-Meinhof. Bahkan sebuah pabrik parfum terkenal Inggris merilis produk barunya yang diberi titel ‘Anarchy’, dengan beberapa pilihan aroma bernama ‘riot’ dan ‘rebellion’.
Sebuah perusahaan clothing kecil atau seorang tukang sablon yang mencetak secara mandiri desain-desain yang menampilkan imaji-imaji revolusioner, subversif, dan menjualnya untuk keuntungan personal, tidaklah lebih baik dari seorang broker pilkada atau salesman produk multilevel marketing. Dalam skala paling kecil ini, terlihat skema menakjubkan bagaimana proses kapitalisme menggandakan diri secara otomatis. Inilah batasan tipis dari sebuah proses kreasi atas resistensi dengan rekuperasi. Jika produsen bertindak dalam rangka membangun imperium bisnisnya, tidak peduli skala kecil-kecilan maupun home industry yang massif, yang akan terjadi adalah komodifikasi, karena selembar kaos berdesain subversif memang memiliki pasarnya tersendiri.
Hanya ada satu jalan keluar dari Spectacle, yakni membongkar relasi representasi dengan sebuah tujuan-tujuan anti-kapital. Sebuah clothing, atau tukang sablon independen (hmmm?) hanya bisa keluar dari spectale, dan berhenti bertindak sebagai rekuperator ketika usaha-usaha kreatifnya tersebut didedikasikan pada pengembangan komunitas atau aktifitas yang memutus rantai relasi kapital. Kolektif Taring Babi di Jakarta misalnya, yang juga memproduksi kaos propaganda dan membangun komunitasnya dalam garis tegas terhadap kapitalisme, tentu berbeda dengan Chambers dan puluhan tukang sablon independen yang menawarkan hasrat pembangkangan, hasrat berbeda, hasrat unik, hasrat pemberontakan, hasrat perdamaian, hasrat keren, dalam rangka mengantongi akumulasi dari penjualan produk-produknya tersebut. Hanya hal tersebut yang membedakannya! Karena apa yang kita kenal sebagai pembangkangan, unik dan berbeda, pemberontakan, perdamaian, aktifis, saleh dan beriman, gaul atau keren adalah hal-hal yang hendak direpresentasikan dalam bentuk imaji-imaji yang berakhir sebagai komoditi. Seperti tagline sebuah merk clothing : You Are What You Wear!
[1]. Disampaikan dalam diskusi "Resistensi dalam Baju Kaos" 28 September 2007, SekolaHI & Komunitas Idefix
[2]. Partisipan 'Idefix Makassar', juga mendesain untuk "INGSOC", sebuah mini clothing yang dioperasikan secara mandiri oleh komunitas, untuk menghidupi Idefix dari serangan uang kontrakan dan tagihan listrik.
Daftar Referensi :
Klein, Naomi. 2000. No Logo. Flamingo
Debord, Guy. 1984. The Society of Spectacle. Zone Books
Andre F; Muhammad Dahu. 2005. Jeune, Prada-Meinhoof, Rekuperasi – News From Nowhere 0.1
Pam. 2006. Aku Membeli Maka Aku Ada - Konsep Do It Yourself Dalam Kasus Distro : Antara Community Empowerment dan Dependensi Konsumen, Beyond The Barbed Wire Issue No 02
DPK Team. 2006. Krisis Representasi dan Pertukaran Kapital dalam Jurnal Nihilis Vol 01. Bandung
Kolektif Kontra Kultura. 2003. Jurnal Odyssey. Bandung 2003
Label:
Kaos Oblong,
Kemandirian,
Pembangkangan Sosial
Korupsi (tanpa) Efek Jera
Analisis dan Refleksi Politik Ellyasa KH di http://ellyasa.blogspot.com
Memperkenalkan blog sahabat Rumah Asa.....
Oleh: Ellyasa KH
Hukuman selain untuk memberikan pelajaran kepada pelaku juga dimaksudkan untuk warning bagi yang belum melakukan. Jadi setiap keputusan hakim yang dijatuhkan memiliki dua dimensi, dimensi hukuman bagi pelaku juga pada sisi lain untuk membuat efek jera. Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada lagi yang kena sangsi hukum pada kasus yang sama.
Ideal memang, akan tetapi meski sudah sekian banyak yang kena sangsi hukum akan tetapi tidak dengan sendirinya kejahatan yang sama berhenti. Selalu saja terulang dan silih berganti terjadi. Tak ubahnya dihukum satu kemudian tumbuh seribu. Kasus-kasus kejatahan selalu saja tidah kunjung berhenti dan parahnya, yang berbeda hanya modus dan polanya. Makin lama makin canggih saja. Meski substansinya tetap sama, kejahatan tetap terjadi meski sudah sekian banyak orang yang masuk hotel prodeo.
Diantara kejahatan yang berubah modus dan polanya adalah korupsi. Wajar kemudian apabila negeri ini rankingnya cukup tinggi. Sebab kejahatan korupsi ini tak ubahnya kota cina, makin dibongkar makin banyak saja kotakanya. Sekali lagi, dengan perubahan modus dan pola yang berbeda.
****
Pertanyaannya mengapa korupsi masih saja terjadi, bukankah pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dan menjadi jargon setiap pemimpin dan calon pemimpin negeri ini?
Selengkapnya silah klik Ellyasa KH
Memperkenalkan blog sahabat Rumah Asa.....
Oleh: Ellyasa KH
Hukuman selain untuk memberikan pelajaran kepada pelaku juga dimaksudkan untuk warning bagi yang belum melakukan. Jadi setiap keputusan hakim yang dijatuhkan memiliki dua dimensi, dimensi hukuman bagi pelaku juga pada sisi lain untuk membuat efek jera. Dengan demikian, diharapkan tidak akan ada lagi yang kena sangsi hukum pada kasus yang sama.
Ideal memang, akan tetapi meski sudah sekian banyak yang kena sangsi hukum akan tetapi tidak dengan sendirinya kejahatan yang sama berhenti. Selalu saja terulang dan silih berganti terjadi. Tak ubahnya dihukum satu kemudian tumbuh seribu. Kasus-kasus kejatahan selalu saja tidah kunjung berhenti dan parahnya, yang berbeda hanya modus dan polanya. Makin lama makin canggih saja. Meski substansinya tetap sama, kejahatan tetap terjadi meski sudah sekian banyak orang yang masuk hotel prodeo.
Diantara kejahatan yang berubah modus dan polanya adalah korupsi. Wajar kemudian apabila negeri ini rankingnya cukup tinggi. Sebab kejahatan korupsi ini tak ubahnya kota cina, makin dibongkar makin banyak saja kotakanya. Sekali lagi, dengan perubahan modus dan pola yang berbeda.
****
Pertanyaannya mengapa korupsi masih saja terjadi, bukankah pemberantasan korupsi menjadi agenda utama dan menjadi jargon setiap pemimpin dan calon pemimpin negeri ini?
Selengkapnya silah klik Ellyasa KH
Di Simpang Jalan
Analisis dan Refleksi Politik Ellyasa KH di http://ellyasa.blogspot.com
Memperkenalkan blog sahabat Rumah Asa.....
Artikel oleh: Ellyasa KH
Tiba-tiba saja orang nomor satu negeri ini bersuara ke public agar para pembantunya, utamanya yang berasal dari partai politik, untuk menjada proporsi kerja. Kerja mengurusi pemerintahan dan kerja mengurusi partai politik. Siapa yang disodok dari pernyataan itu? Tidak jelas benar siapa sebenarnya yang menjadi sasaran bidik dari pernyataan terbuka itu.
Statemen itu tentu saja mengagetkan banyak pihak. Apa perlunya masalah konsolidasi dan kinerja kabinetnya dibawa-bawa ke ruang publik. Jelas dalam system presidential yang kita anut sekarang, presiden memiliki hak prerogative untuk mengganti atau mempertahankan posisi dalam kabinet. Statusnya anggota kabinet, menteri, adalah pembantu presiden. Ia bertanggung jawab dan menjadi alat atau mesin pengawal kebijakan-kebijakan politik presiden.
Pertanyaanya apa makna tersembunyi dibalik statemen terbuka itu? Mengapa presiden SBY tidak menegur dan menyampaikan keinginannya secara vis a vis dengan pembantunya itu? Adakah ini pertanda bahwa pemegang hak perogrative tertinggi di negeri ini sudah kehilangan kendali atas pembantu pembantunya sehingga ia membawa masalah ‘rumah tangga’ ini ke ruang publik? Adakah ini bagian dari strategi politik untuk menimpakan kinerja kabinetnya yang oleh banyak pihak disebut sebagai tidak optimal, tidak memenuhi harapan atau secara keseluruhan kurang mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat yang cukup besar menjelang PILPRES yang lalu?
Selengkapnya silah klik Ellyasa KH
Memperkenalkan blog sahabat Rumah Asa.....
Artikel oleh: Ellyasa KH
Tiba-tiba saja orang nomor satu negeri ini bersuara ke public agar para pembantunya, utamanya yang berasal dari partai politik, untuk menjada proporsi kerja. Kerja mengurusi pemerintahan dan kerja mengurusi partai politik. Siapa yang disodok dari pernyataan itu? Tidak jelas benar siapa sebenarnya yang menjadi sasaran bidik dari pernyataan terbuka itu.
Statemen itu tentu saja mengagetkan banyak pihak. Apa perlunya masalah konsolidasi dan kinerja kabinetnya dibawa-bawa ke ruang publik. Jelas dalam system presidential yang kita anut sekarang, presiden memiliki hak prerogative untuk mengganti atau mempertahankan posisi dalam kabinet. Statusnya anggota kabinet, menteri, adalah pembantu presiden. Ia bertanggung jawab dan menjadi alat atau mesin pengawal kebijakan-kebijakan politik presiden.
Pertanyaanya apa makna tersembunyi dibalik statemen terbuka itu? Mengapa presiden SBY tidak menegur dan menyampaikan keinginannya secara vis a vis dengan pembantunya itu? Adakah ini pertanda bahwa pemegang hak perogrative tertinggi di negeri ini sudah kehilangan kendali atas pembantu pembantunya sehingga ia membawa masalah ‘rumah tangga’ ini ke ruang publik? Adakah ini bagian dari strategi politik untuk menimpakan kinerja kabinetnya yang oleh banyak pihak disebut sebagai tidak optimal, tidak memenuhi harapan atau secara keseluruhan kurang mampu memenuhi harapan-harapan masyarakat yang cukup besar menjelang PILPRES yang lalu?
Selengkapnya silah klik Ellyasa KH
Jalan Hegemoni: Meraba Arah Bagi Gerakan Sosial
Memperkenalkan blog Sahabat Rumah Asa........
Dian Yanuardy di http://dyanuardy.wordpress.com/
oleh
Dian Yanuardy
Dalam gudang bawah tanah yang luas dan lapang di Menara Babel modern, gerakan-gerakan, belumlah surut. Mereka masih tertatih-tatih…mereka mulai memperoleh kembali kata dan kemampuannya untuk bertindak sebagai cermin dan lensa…(Subcomandate Marcos)
Awal
Ungkapan Marcos, pemimpin gerilyawan EZLN, di atas boleh jadi juga merupakan panorama gerakan sosial di Indonesia. Sebagian gerakan sedang tertatih-tatih, sebagian yang lain baru mulai menemukan kata dan kemampuannya untuk bertindak. Pertanyaannya adalah: situasi internal semacam apa yang mengakibatkan gerakan sosial di Indonesia tertatih-tatih?
Dalam dugaan saya, ada beberapa hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, tidak semua gerakan sosial di Indonesia mampu mencerna situasi perubahan sosial yang terjadi, baik pada skala mondial maupun nasional. Perubahan sosial yang dimaksud adalah situasi transisional di Indonesia dari rejim otoriter yang dipandu oleh kapitalisme negara ke arah rejim demokrasi yang dipandu oleh kapitalisme pasar bebas. Pergeseran semacam itu, mungkin saja, kurang dibaca secara kompleks: bagaimana logika demokrasi liberal itu berjalan; bagaimana efek dari modus kapitalisme neoliberal itu; dan yang terpenting adalah bagaimana gerakan semestinya memperbaharui analisa dan pembacaannya atas situasi ekonomi, sosio-politik dan kebudayaan dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Kedua, salah satu akibat dari kemiskinan analisis tersebut, maka bukan tak mungkin gerakan sosial menjadi mengalami kekeringan imajinasi, kemiskinan arah gerakan dan kemandulan yang dapat mengujungkannya menjadi kematian. Kekeringan imajinasi dan kemiskinan dan kemandulan arah gerakan itu mulai tampak dari sepinya ruang publik dari kiprah dan prakarsa gerakan sosial. Beberapa permasalahan kerakyatan semisal tragedi lumpur Lapindo, harga minyak goreng yang terus menanjak, penggusuran berbagai sektor informal dan isu-isu nasional yang lain gagal disikapi dengan cara yang strategis sekaligus elegan. Situasi semacam ini mengakibatkan gerakan eksistensi gerakan sosial seakan surut dari ruang publik, sebab tak bisa memberi warna dan melakukan perimbangan atas sistuasi ekonomi-politik dan kebudayaan kontemporer. Selain itu, ruang kiprah dari gerakan sosial juga semakin menyempit. Hal ini ditandai oleh ketakmampuan gerakan sosial untuk menyentuh dan memberi warna pada “aparatus-aparatus ideologis” semisal, media, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, bahkan pada lembaga keluarga. Absennya apa yang disebut oleh Louis Althusser sebagai “perjuangan radikal pada taraf ideologi” ini mengakibatkan kita tak bisa menjalankan taktik hegemoni—suatu strategi bagi kaum pergerakan untuk merajut rantai kemenangan dengan mengandalkan keterpikatan dan kepercayaan (consent) masyarakat untuk mengikuti gerakan sosial.
Ketiga, karena itulah, kiprah dan prakarsa gerakan sosial di Indonesia juga semakin diabaikan. Artinya, kepemimpinan intelektual dari gerakan sosial di Indonesia—sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Antonio Gramsci—akan semakin diragukan. Jika demikian yang terjadi, maka gerakan sosial hanyalah akan dipandang sebagai sekumpulan orang marah tanpa arah, gerakan tanpa program, dan atau perkumpulan yang tanpa tujuan. Sebuah gerakan yang tuna-acuan!. Akibatnya tentu saja, kepemimpinan moral—satu aspek yang lagi-lagi juga dikedepankan oleh Gramsi—dari gerakan sosial juga akan diragukan. Gema ketidakpercayaan terhadap eksistensi gerakan sosial pun saat ini kerapkali disuarakan. Mulai dari dituduh hanya menciptakan huru-hara, mengabaikan kepentingan publik, hingga dituding sebagai agen imperialisme global. Ketiadaan kepemimpinan intelektual dan moral itulah yang saat ini menyebabkan gerakan sosial seakan-akan menjadi kekurangan relevansinya dalam masyarakat Indonesia. Akibatnya, peranannya mulai kalah mentereng oleh ‘subyek-subyek’ politik dan kebudayaan yang lain: politisi, kaum agamawan, selebritis, atau bahkan asosiasi bisnis. Kemunduran dan ketiadaan gerakan sosial dalam suatu negara tentu saja sangat merugikan. Bagaimanapun, melalui gerakan sosiallah artikulasi sosio-politik dari individu atau sebuah kolektifitas bisa terjamin. Melalui gerakan sosial pula, laju kejahatan negara dan kebuasan modal bisa ditahan, dan transformasi sosial bisa diimpikan.
Selengkapnya silah klik Dian Yanuardhi
Dian Yanuardy di http://dyanuardy.wordpress.com/
oleh
Dian Yanuardy
Dalam gudang bawah tanah yang luas dan lapang di Menara Babel modern, gerakan-gerakan, belumlah surut. Mereka masih tertatih-tatih…mereka mulai memperoleh kembali kata dan kemampuannya untuk bertindak sebagai cermin dan lensa…(Subcomandate Marcos)
Awal
Ungkapan Marcos, pemimpin gerilyawan EZLN, di atas boleh jadi juga merupakan panorama gerakan sosial di Indonesia. Sebagian gerakan sedang tertatih-tatih, sebagian yang lain baru mulai menemukan kata dan kemampuannya untuk bertindak. Pertanyaannya adalah: situasi internal semacam apa yang mengakibatkan gerakan sosial di Indonesia tertatih-tatih?
Dalam dugaan saya, ada beberapa hal yang menyebabkan hal itu terjadi. Pertama, tidak semua gerakan sosial di Indonesia mampu mencerna situasi perubahan sosial yang terjadi, baik pada skala mondial maupun nasional. Perubahan sosial yang dimaksud adalah situasi transisional di Indonesia dari rejim otoriter yang dipandu oleh kapitalisme negara ke arah rejim demokrasi yang dipandu oleh kapitalisme pasar bebas. Pergeseran semacam itu, mungkin saja, kurang dibaca secara kompleks: bagaimana logika demokrasi liberal itu berjalan; bagaimana efek dari modus kapitalisme neoliberal itu; dan yang terpenting adalah bagaimana gerakan semestinya memperbaharui analisa dan pembacaannya atas situasi ekonomi, sosio-politik dan kebudayaan dalam masyarakat Indonesia saat ini.
Kedua, salah satu akibat dari kemiskinan analisis tersebut, maka bukan tak mungkin gerakan sosial menjadi mengalami kekeringan imajinasi, kemiskinan arah gerakan dan kemandulan yang dapat mengujungkannya menjadi kematian. Kekeringan imajinasi dan kemiskinan dan kemandulan arah gerakan itu mulai tampak dari sepinya ruang publik dari kiprah dan prakarsa gerakan sosial. Beberapa permasalahan kerakyatan semisal tragedi lumpur Lapindo, harga minyak goreng yang terus menanjak, penggusuran berbagai sektor informal dan isu-isu nasional yang lain gagal disikapi dengan cara yang strategis sekaligus elegan. Situasi semacam ini mengakibatkan gerakan eksistensi gerakan sosial seakan surut dari ruang publik, sebab tak bisa memberi warna dan melakukan perimbangan atas sistuasi ekonomi-politik dan kebudayaan kontemporer. Selain itu, ruang kiprah dari gerakan sosial juga semakin menyempit. Hal ini ditandai oleh ketakmampuan gerakan sosial untuk menyentuh dan memberi warna pada “aparatus-aparatus ideologis” semisal, media, lembaga pendidikan, lembaga keagamaan, bahkan pada lembaga keluarga. Absennya apa yang disebut oleh Louis Althusser sebagai “perjuangan radikal pada taraf ideologi” ini mengakibatkan kita tak bisa menjalankan taktik hegemoni—suatu strategi bagi kaum pergerakan untuk merajut rantai kemenangan dengan mengandalkan keterpikatan dan kepercayaan (consent) masyarakat untuk mengikuti gerakan sosial.
Ketiga, karena itulah, kiprah dan prakarsa gerakan sosial di Indonesia juga semakin diabaikan. Artinya, kepemimpinan intelektual dari gerakan sosial di Indonesia—sesuatu yang sangat dianjurkan oleh Antonio Gramsci—akan semakin diragukan. Jika demikian yang terjadi, maka gerakan sosial hanyalah akan dipandang sebagai sekumpulan orang marah tanpa arah, gerakan tanpa program, dan atau perkumpulan yang tanpa tujuan. Sebuah gerakan yang tuna-acuan!. Akibatnya tentu saja, kepemimpinan moral—satu aspek yang lagi-lagi juga dikedepankan oleh Gramsi—dari gerakan sosial juga akan diragukan. Gema ketidakpercayaan terhadap eksistensi gerakan sosial pun saat ini kerapkali disuarakan. Mulai dari dituduh hanya menciptakan huru-hara, mengabaikan kepentingan publik, hingga dituding sebagai agen imperialisme global. Ketiadaan kepemimpinan intelektual dan moral itulah yang saat ini menyebabkan gerakan sosial seakan-akan menjadi kekurangan relevansinya dalam masyarakat Indonesia. Akibatnya, peranannya mulai kalah mentereng oleh ‘subyek-subyek’ politik dan kebudayaan yang lain: politisi, kaum agamawan, selebritis, atau bahkan asosiasi bisnis. Kemunduran dan ketiadaan gerakan sosial dalam suatu negara tentu saja sangat merugikan. Bagaimanapun, melalui gerakan sosiallah artikulasi sosio-politik dari individu atau sebuah kolektifitas bisa terjamin. Melalui gerakan sosial pula, laju kejahatan negara dan kebuasan modal bisa ditahan, dan transformasi sosial bisa diimpikan.
Selengkapnya silah klik Dian Yanuardhi
Mereka yang Merebut Kembali Jalan Raya
Memperkenalkan blog Sahabat Rumah Asa........
Dian Yanuardy di http://dyanuardy.wordpress.com/
Mereka yang Merebut Kembali Jalan Raya
oleh: Dian Yanuardy
Pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan di pinggir jalan raya kini semakin lazim dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Sebagaimana elemen-elemen sosial yang lain — seperti halnya polisi, pemilik rumah makan, pengendara motor dan mobil, atau perusahaan periklanan — mereka juga menjadikan keramaian jalan raya sebagai tumpuan utama kehidupan. Tak ada bedanya antara perusahaan periklanan yang memasang iklan-iklan besar dan menarik mata dengan pengamen yang melengkingkan suaranya. Tak ada bedanya antara polisi yang mencari sasaran tilang dengan penjaja koran yang mencari sasaran pembeli. Semua elemen itu sama dan tak bisa dibedakan. Dalam arti bahwa mereka sama-sama menggunakan jalan raya untuk mencari makan dan penghidupan.
Namun mengapa elemen yang pertama (pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan), dalam leksikon ilmu sosial sekalipun, disebut dengan nada minor yaitu sebagai kaum miskin kota (lumpen proletariat)? Dan mengapa pula elemen yang kedua (polisi, pengusaha, dan mereka yang bermobil atau bermotor di jalan raya) disebut dengan sebutan terhormat: aparatus negara, pelaku ekonomi, atau pengguna jalan raya? Meski sama-sama menggunakan jalan raya, mengapa relasi di antara keduanya tak pernah setara? Mengapa yang disebut sebagai kaum miskin kota selalu terancam pengusiran? Mengapa para pengemis, penjaja koran, pedagang kakilima selalu didefinisikan sebagai pihak yang mengganggu ketertiban? Bagaimana ‘mestinya’ kita memandang kelompok ini?
Konstruksi Marginalitas
Relasi yang tak setara semacam itu selalu dibangun dalam suatu konstruksi marginalitas. Bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Konstruksi marginalitas itu dibentuk oleh suatu mekanisme kekuasaan yang beragam, dari kekuasaan ekonomi-politik hingga kuasa budaya. Sebagai hasil dari marginalitas dalam ranah ekonomi-politik, secara umum kaum miskin kota merupakan residu dari sistem ekonomi dan pembangunan yang berporos pada bias kota (urban bias) yang dimulai semenjak pasca Perang Dunia Kedua, yaitu semenjak berkembangnya model pembangunan yang mematok model modernisasi negara-negara Barat sebagai acuan. Strategi umum dari model pembangunan ini adalah mengutamakan pembangunan dan modernisasi yang bertumpu pada pertumbuhan dan pengembangan kota. Di beberapa negara yang sedang berkembang, akibat dari duplikasi kebijakan ini adalah munculnya gelombang migrasi ke kota secara massif. Alasan perubahan nasib, sempitnya peluang kerja di desa dan daya tarik industralisasi di kota menyebabkan migrasi ke kota bertambah dari tahun ke tahun. Gelombang migrasi inilah yang kemudian turut menyuburkan keberadaan kaum miskin kota.
.......
.......
Karena itu, bagi saya, mereka adalah agen kebudayaan dan politik yang penting. Kemampuan kaum marjinal merebut, menduduki, dan memberi makna baru pada jalan raya patut dipelajari oleh gerakan mahasiswa yang semakin kehilangan visi dan imajinasi. Mengambil istilah Gilles Deleuze dan Felix Guattari, saya percaya bahwa kaum yang merebut kembali jalan raya ini adalah ‘kaum nomad’ yang tak suka pada pijakan yang tetap, dan yang tak memiliki ‘ruang tinggal’ yang baku dan teratur. Bagi saya, mereka telah menyebarkan benih-benih ‘pikiran-pikiran nomadik’ (nomadic thought), yaitu suatu gagasan dan pemikiran yang tak pernah terikat pada sumber-sumber dan sistem otoritas tertentu. Pikiran-pikiran nomadik yang berupaya menggoncang kestabilan, menghancurkan basis-basis otoritas, dan mengajak kita untuk tak pernah puas dengan kemapanan.[]
Selengkapnya silah klik Dian Yanuardi
Dian Yanuardy di http://dyanuardy.wordpress.com/
Mereka yang Merebut Kembali Jalan Raya
oleh: Dian Yanuardy
Pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan di pinggir jalan raya kini semakin lazim dijumpai di kota-kota besar di Indonesia. Sebagaimana elemen-elemen sosial yang lain — seperti halnya polisi, pemilik rumah makan, pengendara motor dan mobil, atau perusahaan periklanan — mereka juga menjadikan keramaian jalan raya sebagai tumpuan utama kehidupan. Tak ada bedanya antara perusahaan periklanan yang memasang iklan-iklan besar dan menarik mata dengan pengamen yang melengkingkan suaranya. Tak ada bedanya antara polisi yang mencari sasaran tilang dengan penjaja koran yang mencari sasaran pembeli. Semua elemen itu sama dan tak bisa dibedakan. Dalam arti bahwa mereka sama-sama menggunakan jalan raya untuk mencari makan dan penghidupan.
Namun mengapa elemen yang pertama (pengemis, pengamen, penjaja koran, pedagang kakilima, anak jalanan), dalam leksikon ilmu sosial sekalipun, disebut dengan nada minor yaitu sebagai kaum miskin kota (lumpen proletariat)? Dan mengapa pula elemen yang kedua (polisi, pengusaha, dan mereka yang bermobil atau bermotor di jalan raya) disebut dengan sebutan terhormat: aparatus negara, pelaku ekonomi, atau pengguna jalan raya? Meski sama-sama menggunakan jalan raya, mengapa relasi di antara keduanya tak pernah setara? Mengapa yang disebut sebagai kaum miskin kota selalu terancam pengusiran? Mengapa para pengemis, penjaja koran, pedagang kakilima selalu didefinisikan sebagai pihak yang mengganggu ketertiban? Bagaimana ‘mestinya’ kita memandang kelompok ini?
Konstruksi Marginalitas
Relasi yang tak setara semacam itu selalu dibangun dalam suatu konstruksi marginalitas. Bukan sesuatu yang terjadi secara alamiah. Konstruksi marginalitas itu dibentuk oleh suatu mekanisme kekuasaan yang beragam, dari kekuasaan ekonomi-politik hingga kuasa budaya. Sebagai hasil dari marginalitas dalam ranah ekonomi-politik, secara umum kaum miskin kota merupakan residu dari sistem ekonomi dan pembangunan yang berporos pada bias kota (urban bias) yang dimulai semenjak pasca Perang Dunia Kedua, yaitu semenjak berkembangnya model pembangunan yang mematok model modernisasi negara-negara Barat sebagai acuan. Strategi umum dari model pembangunan ini adalah mengutamakan pembangunan dan modernisasi yang bertumpu pada pertumbuhan dan pengembangan kota. Di beberapa negara yang sedang berkembang, akibat dari duplikasi kebijakan ini adalah munculnya gelombang migrasi ke kota secara massif. Alasan perubahan nasib, sempitnya peluang kerja di desa dan daya tarik industralisasi di kota menyebabkan migrasi ke kota bertambah dari tahun ke tahun. Gelombang migrasi inilah yang kemudian turut menyuburkan keberadaan kaum miskin kota.
.......
.......
Karena itu, bagi saya, mereka adalah agen kebudayaan dan politik yang penting. Kemampuan kaum marjinal merebut, menduduki, dan memberi makna baru pada jalan raya patut dipelajari oleh gerakan mahasiswa yang semakin kehilangan visi dan imajinasi. Mengambil istilah Gilles Deleuze dan Felix Guattari, saya percaya bahwa kaum yang merebut kembali jalan raya ini adalah ‘kaum nomad’ yang tak suka pada pijakan yang tetap, dan yang tak memiliki ‘ruang tinggal’ yang baku dan teratur. Bagi saya, mereka telah menyebarkan benih-benih ‘pikiran-pikiran nomadik’ (nomadic thought), yaitu suatu gagasan dan pemikiran yang tak pernah terikat pada sumber-sumber dan sistem otoritas tertentu. Pikiran-pikiran nomadik yang berupaya menggoncang kestabilan, menghancurkan basis-basis otoritas, dan mengajak kita untuk tak pernah puas dengan kemapanan.[]
Selengkapnya silah klik Dian Yanuardi
Label:
Anak Jalanan,
Pedagang Kaki Lima,
Pengamen,
Pengemis,
Penjaja Koran
Selasa, 08 April 2008
SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN
Strategi-Taktik Untuk Gerakan Lingkungan Hidup Radikal
Apakah anda pernah berpikir, perjuangan kita adalah medan perang yang tidak imbang. Mensiasati situasi ini pernahkah anda berpikir untuk membidik ke titik-titik yang mematikan musuh (sistim dan struktur yang menindas dan hegemonik). Entah siapa Ted Kaczynski yang menulis artikel ini, yang pasti ocehannya bisa merangsang kita untuk berpikir ulang dan mengasah terus menerus kepekaan kita dalam perang ini........
salam hangat untuk green warriors
SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN
Oleh : Ted Kaczynski
Sumber : http://kerahputih.net/Material/artikel/Ted_Kaczynski_pg.html
1. Tujuan artikel ini
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menunjukkan sebuah prinsip sederhana dari konflik manusia, sebuah prinsip yang mana para oponen dari sistem tekno-industrial ini dilihat secara mendasar. Prinsipnya adalah bahwa dalam setiap bentuk konflik, apabila engkau ingin memenangkannya, engkau harus menyerang musuhmu di tempat yang dapat membuatnya sakit.
Aku harus menjelaskan bahwa saat aku berbicara tentang “menyerang di tempat yang mematikan”, aku tidak secara khusus mengartikannya sebagai sebuah serangan-serangan fisikal atau berbagai bentuk kekerasan fisikal. Sebagai contohnya, dalam perdebatan verbal “menyerang di tempat yang mematikan” akan dapat berarti melancarkan argumen-argumen menyerang posisi terlemah dari oponenmu. Dalam sebuah pemilihan presidental “menyerang di tempat yang mematikan” akan berarti berhasil memenangkan negara dari oponen-oponenmu dengan mendapatkan suara terbanyak. Tetapi tetap saja, dalam mendiskusikan prinsip ini aku akan menggunakan analogi pertempuran fisikal, sebab hal tersebut jelas dan gamblang.
Apabila seseorang memukulmu, engkau akan mempertahankan dirimu dengan memukulnya kembali di lengannya, tetapi engkau tak dapat melukai seseorang tersebut dengan cara tersebut. Agar dapat memenangkan perkelahian, engkau harus menyerangnya di tempat yang dapat menimbulkan rasa sakit. Artinya, engkau harus mampu melampaui kepalannya dan memukul bagian-bagian yang paling lemah dan sensitif dari tubuh seseorang tersebut. Anggap saja sebuah bulldozer milik sebuah perusahaan penebangan telah meruntuhkan pepohonan dekat rumahmu dan engkau ingin menghentikannya. Pisau besar dari bulldozer itulah yang telah merusak bumi dan mencabut pepohonan, tetapi adalah sesuatu yang membuang waktu apabila merusak pisau besar tersebut dengan menggunakan gada. Apabila engkau bisa meluangkan waktu yang cukup lama, kerja keras seharian memukuli pisau besar tersebut, mungkin engkau memang akan berhasil cukup membuatnya rusak sehingga pisau besar tersebut tak dapat digunakan lagi. Tetapi, diperbandingkan dengan bulldozer secara keseluruhannya, pisau besar itu cenderung murah dan dapat dengan mudah diganti. Pisau besar itu hanya “kepalan” yang digunakan bulldozer untuk menyerang bumi. Untuk mengalahkan mesin ini engkau harus melampaui “kepalan” tersebut dan menyerang bagian-bagian vital dari bulldozer. Mesin, misalnya, dapat dihancurkan dalam waktu singkat dan mudah dengan cara-cara yang sudah banyak dikenal di kalangan para radikal.
Dalam poin ini aku harus menjelaskan bahwa aku tidak merekomendasikan siapapun untuk merusak bulldozer (kecuali bulldozer tersebut adalah miliknya sendiri) ataupun segala dalam artikel ini diinterpertasikan sebagai sebuah perekomendasian aktivitas-aktivitas ilegal dalam berbagai bentuknya. Aku adalah seorang narapidana, dan apabila aku mendorong aktivitas ilegal, artikel ini tak akan diperbolehkan untuk keluar dari penjara. Aku menggunakan bulldozer sebagai analogi karena hal tersebut jelas dan gamblang serta akan diapresiasi oleh para radikal.
2. Teknologi adalah target
Telah banyak diketahui bahwa “variabel-variabel dasar yang menentukan proses sejarah kontemporer dihadirkan oleh perkembangan teknologi” (Celso Furtado). Teknologi, di atas segalanya, bertanggung jawab atas kondisi-kondisi dunia saat ini dan akan mengontrol perkembangannya di masa depan. Dengan demikian, “bulldozer” yang harus kita hancurkan adalah teknologi modern itu sendiri. Banyak dari para radikal yang menyadari hal ini dan kemudian menyadari bahwa tugas mereka adalah mengeliminasi seluruh sistem tekno-industrial. Tetapi sayangnya mereka tidak cukup memperhatikan kebutuhan untuk menyerang sistem ini di tempat yang paling mematikan.
Menghancurkan McDonald’s atau Starbuck jelas tak bermakna apa-apa. Lagipula aku juga tidak peduli pada McDonald’s ataupun Starbuck. Aku tidak peduli apakah seseorang menghancurkannya atau tidak. Hal tersebut bukanlah sebuah aktivitas revolusioner. Bahkan apabila semua rantai makanan cepat saji disingkirkan, sebagai hasilnya sistem tekno-industrial ini hanya akan sedikit menderita kerusakan minimal, yang dengannya dapat dengan mudah tetap bertahan hidup tanpa rantai makanan cepat saji. Saat engkau menyerang McDonald’s atau Starbuck, engkau tidak menyerang di tempat yang mematikan.
Beberapa bulan lalu aku menerima sebuah surat dari seorang anak muda di Denmark yang percaya bahwa sistem tekno-industrial harus dieliminasi karena, sebagaimana yang ia katakan, “apa yang akan terjadi apabila kita terus menerus hidup dengan cara seperti ini?” Secara khusus, bagaimanapun juga, bentuk aktivitas “revolusioner” nya adalah menggasak peternakan-peternak an penghasil bulu binatang. Sebagai sebuah cara untuk melemahkan sistem tekno-industrial, aktivitas tersebut benar-benar tidak berguna. Bahkan apabila para pembebas binatang tersebut berhasil sepenuhnya dalam mengeliminasi industri bulu binatang, mereka tidak akan menimbulkan kerusakan apapun bagi sistem ini, karena sistem ini akan dapat berjalan terus dengan mulus tanpa bulu binatang.
Aku setuju bahwa mengurung binatang-binatang liar di kandang adalah sesuatu yang tak dapat ditoleransi, dan mengakhiri praktek-praktek demikian adalah sebuah tindakan yang mulia. Tetapi ada banyak sekali tindakan yang mulia, seperti mencegah kecelakaan lalu lintas, menyediakan tempat bernaung bagi para gelandangan, melakukan daur ulang, atau menolong orang tua menyeberang jalan. Tetapi tak seorangpun kecuali seseorang terlalu bodoh, menganggap hal-hal di atas sebagai sebuah aktivitas revolusioner, ataupun membayangkan bahwa hal-hal tersebut dilakukan untuk melemahkan sistem ini.
3. Industri penebangan kayu adalah sebuah isu sampingan
Dalam mengambil contoh lain, tak seorangpun yang waras percaya bahwa segala sesuatu yang bersifat liar dapat bertahan hidup lebih lama lagi apabila sistem tekno-industrial terus eksis. Banyak dari para environmentalis radikal setuju bahwa ini adalah sebuah kasus dan kemudian mengharapkan sistem ini kolaps. Tetapi semua praktek yang mereka lakukan adalah menyerang industri penebangan kayu.
Aku benar-benar tidak keberatan atas serangan-serangan mereka pada industri penebangan kayu. Pada faktanya, hal tersebut adalah sebuah isu yang dekat dengan hatiku dan aku merasa senang dengan setiap keberhasilan para radikal melawan industri penebangan kayu. Sebagai tambahan, bagi alasan-alasan yang perlu kujelaskan di sini, aku berpikir bahwa oposisi terhadap inudstri penebangan kayu seharusnya menjadi sebuah komponen dari upaya-upaya pelenyapan sistem ini.
Dengan sendirinya, menyerang industri penebangan kayu bukanlah sebuah cara yang efektif dalam usaha melawan sistem, kalaupun terjadi even yang diharapkan di mana para radikal berhasil menghentikan seluruh penebangan hutan di manapun di dunia ini, hal tersebut tidak akan merontokkan sistem ini. Dan hal tersebut tidak dapat menyelamatkan alam liar secara permanen. Cepat atau lambat iklim politik akan berubah dan penebangan akan kembali terjadi. Bahkan apabila penebangan tidak pernah terjadi lagi, akan ada kejadian-kejadian lain yang mana dengannya alam liar akan kembali dihancurkan, atau apabila tidak dihancurkan paling tidak akan dijinakkan dan didomestikasi. Penambangan dan eksplorasi mineral, hujan asam, perubahan iklim, dan kepunahan spesies, menghancurkan alam liar; alam liar dijinakkan dan didomestikasi melalui rekreasi, studi ilmiah dan manajemen sumber daya, termasuk di antaranya penelusuran jejak binatang secara elektrik, budidaya pengembangbiakkan ikan, dan penanaman pohon-pohon yang direkayasa secara genetik.
Alam liar dapat diselamatkan secara permanen hanya dengan cara mengeliminasi sistem tekno-industrial, dan engkau tak dapat mengeliminasi sistem tersebut dengan cara menyerang industri penebangan kayu. Sistem ini akan dapat dengan mudah bertahan hidup dari kematian industri penebangan kayu karena produk-produk kayu, walaupun sangat berguna bagi sistem ini, apabila dibutuhkan dapat diganti dengan material-material lain. Konsekuensinya, saat engkau menyerang industri penebangan kayu, engkau tidak menyerang di tempat yang dapat menyakitinya. Industri penebangan kayu hanyalah “kepalan” (atau salah satu kepalan) yang digunakan sistem untuk menghancurkan alam liar, dan, sebagaimana juga dalam pertandingan tinju, engkau tak dapat menang dengan cara menyerang kepalan musuh. Engkau harus berusaha melampaui kepalan tersebut dan menyerang organ-organ sistem yang paling vital dan sensitif. Secara legal, tentu saja, dengan melakukan aksi protes yang damai.
4. Mengapa sistem ini tegar
Sistem tekno-industrial benar-benar tegar karena ia memiliki apa yang disebut sebagai struktur “demokratis” yang menghasilkan fleksibilitas. Karena sistem diktatorial cenderung kaku, tensi-tensi sosial dan resistansi dapat dibangun di dalamnya hingga pada titik yang merusak dan memperlemah sistem, dan mungkin mengarah para revolusi. Tetapi dalam sebuah sistem “demokratis”, saat tensi sosial dan resistansi yang dibangun mulai membahayakan, sistem ini akan cukup dapat memberikan respon, cukup mengkompromikannya, sehingga akan menurunkan tensi ke tingkat yang aman.
Selama tahun 1960-an, untuk pertama kalinya orang-orang mulai sadar bahwa polusi lingkungan adalah sebuah masalah yang serius, sebagian besarnya adalah karena kotoran yang terlihat dan berbau dalam udara di atas kota-kota besar mulai membuat orang-orang secara fisik tak merasa nyaman. Ada cukup banyak protes yang timbul sehingga Agensi Perlindungan Lingkungan dibentuk dan beberapa tindakan lain diambil untuk mengatasi masalah. Tentu saja, kita semua tahu bahwa masalah-masalah polusi kita masih sangat jauh dari penyelesaian. Tetapi telah cukup tindakan dilakukan sehingga keluhan-keluhan publik dapat diredam dan tekanan pada sistem semakin menyurut dalam tahun-tahun berikutnya.
Dengan demikian, menyerang sistem tersebut seperti memukul sebuah karet. Sebuah pukulan dengan gada akan dapat membuat besi padat berkeping-keping, karena besi padat sifatnya kaku dan karenanya rapuh. Tetapi engkau dapat memukul sebuah karet tanpa merusaknya karena sifatnya yang fleksibel: ia mengatasi protes, cukup lama hingga protes tersebut kehilangan kekuatan dan momentumnya. Kemudian sistem tersebut memantul kembali. Maka, dalam upaya untuk menyerang sistem di tempat yang dapat mematikannya, engkau harus memilih isu-isu yang tak dapat diatasi oleh sistem ini, yang akan menghabisinya. Dan yang dibutuhkan bukanlah kompromi dengan sistem, melainkan sebuah perjuangan hidup mati.
6. Para radikal harus menyerang sistem ini pada titik-titik yang menentukan
Untuk dapat secara efektif bertujuan mengeliminasi sistem tekno-industrial, para revolusioner harus menyerang sistem ini pada titik-titik yang mana dalam serangan tersebut, musuh tak dibiarkan memiliki kesempatan untuk pulih. Mereka harus menyerang organ-organ vital sistem ini. Tentu saja, saat aku menggunakan kata “serang” aku tidak mengartikannya sebagai serangan fisikal melainkan dengan bentuk protes dan resistansi legal.
Beberapa contoh organ-organ vital dari sistem ini adalah:
1. Industri tenaga listrik. Sistem ini benar-benar tergantung pada jaringan tenaga listrik.
2. Industri komunikasi. Tanpa komunikasi yang gencar, sebagaimana dengan telefon, radio, televisi, e-mail dan semacamnya, sistem ini tak dapat bertahan hidup.
3. Industri komputer. Kita semua tahu bahwa tanpa komputer sistem ini akan kolaps dengan cepat.
4. Industri propaganda. Industri propaganda meliputi industri hiburan, sistem edukasi, jurnalisme, advertising, public-relation, dan berbagai macam politik serta industri kesehatan mental. Sistem ini tak dapat berfungsi kecuali orang-orang di dalamnya cukup jinak dan mampu menyesuaikan diri serta memiliki perilaku-perilaku yang harus dimiliki oleh mereka sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem ini. Fungsi dari industri propaganda adalah untuk melatih orang-orang sebuah jenis pemikiran dan kebiasaan.
5. Industri bioteknologi. Sistem ini memang belum secara fisik tergantung pada bioteknologi yang maju (sejauh yang aku tahu). Tapi tanpa kecuali, sistem ini tak dapat diberi keleluasaan dalam berjalan dengan isu bioteknologi, yang merupakan isu kritis sistem ini, sebagaimana yang akan kuperdebatkan setelah ini.
Sekali lagi: saat engkau menyerang organ-organ vital sistem ini, sangatlah penting untuk tidak menyerang mereka dalam konteks nilai-nilai yang mereka anut sendiri, melainkan dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dalam pandangan sistem ini. Misalnya, apabila engkau menyerang industri tenaga listrik dalam konteks bahwa industri tersebut menghasilkan polusi bagi lingkungan, sistem ini akan dengan mudah meredam protes dengan mengembangkan metoda-metoda yang lebih bersih dalam menghasilkan sumber daya listrik. Apabila memang sudah terlalu buruk situasinya, sistem ini akan dapat beralih sepenuhnya pada tenaga angin dan solar. Memang sangat baik upaya mereduksi kerusakan lingkungan, tetapi hal tersebut tidak akan mengakhiri sistem tekno-indutrial. Hal tersebut juga tidak merepresentasikan sebuah kemenangan atas nilai-nilai fundamental sistem ini.
Untuk menyelesaikan segala urusan dalam penyerangan terhadap sistem, engkau harus menyerang generator-generator pembangkit tenaga listrik sebagai sesuatu yang prinsipil, berdasarkan argumen bahwa ketergantungan pada listrik telah membawa orang-orang menjadi tergantung pada sistem ini. Inilah landasan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sistem ini.
7. Bioteknologi mungkin dapat menjadi sasaran terbaik bagi penyerangan politis
Mungkin sasaran paling menjanjikan bagi penyerangan politis adalah industri bioteknologi. Walaupun secara umum berbagai revolusi diletupkan oleh sekelompok minoritas, sangatlah berguna untuk meraih dukungan tertentu, simpati, atau setidaknya persetujuan dari populasi secara umum.
Gol-gol dari aksi yang politis adalah untuk mendapatkan dukungan atau persetujuan semacam itu. Apabila engkau mengkonsentrasikan penyerangan politismu, misalnya pada industri tenaga listrik, hal tersebut akan benar-benar sulit dalam mendapatkan dukungan di luar minoritas radikal, karena sebagian besar orang menolak mengubah cara hidup mereka, khususnya perubahan-perubahan yang menyulitkan mereka.
Atas alasan ini, beberapa akan rela untuk meninggalkan ketergantungannya pada listrik. Tetapi orang-orang belum merasa bahwa diri mereka tergantung pada bioteknologi yang maju sebagaimana mereka tergantung pada listrik. Mengeliminasi bioteknologi tidak akan mengubah hidup mereka secara radikal. Secara kontras, hal tersebut mungkin akan dapat memperlihatkan pada orang-orang bahwa kesinambungan pengembangan bioteknologi akan mentransformasikan cara hidup mereka dan menyapu bersih nilai-nilai manusia selama ini. Dengan demikian, dalam menantang bioteknologi, para radikal harus mampu memobilisir dengan cara mereka sendiri yang merupakan resistansi alamiah manusia terhadap perubahan.
Dan bioteknologi adalah sebuah isu yang mana sistem ini tak akan dapat menanggung kehilangannya. Ia juga adalah sebuah isu yang mana sistem ini harus memperjuangkannya hingga akhir, yang mana hal ini jelas adalah sesuatu yang kita butuhkan. Tetapi—diulangi sekali lagi—amatlah esensial untuk tidak menyerang bioteknologi dalam konteks nilai-nilai yang dianut oleh sistem ini sendiri, melainkan dalam konteks nilai-nilai yang tidak sesuai bagi sistem ini.
Misalnya, apabila engkau menyerang bioteknologi, khususnya dengan berlandaskan pada alasan bahwa hal tersebut akan merusak lingkungan, atau bahwa pangan-pangan yang dimodifikasi secara genetik akan dapat merusak kesehatan, maka sistem ini dapat dan akan menyerap seranganmu dengan memberi celah untuk kompromi—dengan kata lain, dengan memberlakukan pengawasan yang lebih ketat pada riset genetik dan percobaan yang lebih teliti serta memberlakukan regulasi bagi tanaman-tanaman yang dimodifikasi secara genetik. Kegelisahan orang-orang lantas akan menyurut dan protes menjadi layu.
8. Semua bioteknologi harus diserang sebagai sebuah urusan prinsipil
Maka, dibandingkan memprotes satu atau lain hal mengenai konsekuensi negatif dari bioteknologi, engkau harus menyerang seluruh bioteknologi modern secara prinsipil, dalam landasan seperti (a) bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang merendahkan seluruh makhluk hidup; (b) bahwa hal tersebut memberi terlalu banyak kekuasaan ke tangan sistem ini; (c) bahwa hal tersebut secara radikal akan mentransformasikan nilai-nilai fundamental manusia yang telah eksis selama ribuan tahun; dan berbagai landasan lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sistem ini.
Dalam merespon serangan jenis ini, sistem ini akan dipaksa untuk berdiri dan berjuang. Ia tak dapat menyerap seranganmu dengan membawanya pada isu yang lebih besar, karena bioteknologi berada di pusat seluruh perusahaan yang berteknologi maju, dan karena saat mundur sistem ini tak akan hanya membuat langkah mundur secara taktis, ia akan terpaksa menerima kekalahan strategis besar dalam kode etiknya sendiri. Nilai-nilai tersebut akan dikuburkan dan pintu akan terbuka bagi serangan-serangan politis lebih lanjut, yang akan menebang fondasi-fondasi sistem ini.
Sekarang memang benar bahwa Dewan Representatif AS baru-baru ini melarang kloning manusia, dan setidaknya beberapa anggota kongres bahkan memberikan beberapa alasan yang tepat mengenainya. Dari yang kubaca, alasan-alasan tersebut berada dalam konteks religius, alasan-alasan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat diterima secara teknologis. Dan hal seperti itulah yang patut diperhitungkan.
Dengan demikian, keputusan para anggota kongres atas kloning manusia merupakan sebuah kekalahan sejati bagi sistem ini. Tetapi hal tersebut hanyalah sebuah kekalahan yang sangat sangat kecil, karena ruang lingkup pelarangannya masih sangat sempit—hanya sebagian kecil dari bioteknologi yang terpengaruh—dan lagipula karena dalam jangka waktu dekat di masa depan, kloning manusia secara praktis masih kecil kegunaannya bagi sistem ini. Tetapi aksi dari Dewan Representatif telah menunjukkan bahwa hal ini dapat menjadi sebuah titik lemah sistem ini, dan sebuah serangan yang lebih luas terhadap seluruh bioteknologi mungkin dapat menimbulkan kerusakan serius bagi sistem dan nilai-nilai yang dianutnya.
9. Kaum radikal belum menyerang biotek secara efektif
Beberapa dari kaum radikal memang menyerang bioteknologi, baik secara politis maupun secara fisikal, tetapi sejauh yang kuketahui mereka menjelaskan sikap oposisi mereka terhadap biotek dalam konteks nilai-nilai yang dianut oleh sistem ini. Keluhan-keluhan mereka adalah resiko kerusakan lingkungan dan dampak buruknya bagi kesehatan. Dan mereka tidak menyerang industri biotek di tempat yang mematikan.
Menggunakan analogi perkelahian fisik sekali lagi, anggap engkau harus mempertahankan dirimu dari serangan gurita raksasa. Engkau tak akan mampu menyerang balik secara efektif dengan memutus tentakelnya. Engkau harus menyerang kepalanya. Dari apa yang kubaca tentang aktivitas-aktivitas mereka, para radikal yang bekerja melawan bioteknologi melakukan tak lebih dari upaya untuk memutuskan tentakel sang gurita. Mereka berusaha meyakinkan para petani biasa, secara individual, agar memutuskan untuk tidak menanam benih yang direkayasa secara genetik.
Tetapi ada ribuan pertanian di Amerika, sehingga meyakinkan para petani secara individual menjadi sebuah cara yang sangat tidak efisien dalam penentangan terhadap rekayasa genetik. Akan lebih efektif apabila upaya persuasif itu dilakukan terhadap para ilmuwan riset yang terlibat dalam kerja-kerja bioteknologikal, atau para eksekutif perusahaan seperti Monsanto, untuk meninggalkan industri bioteknologi. Para ilmuwan riset yang baik adalah mereka yang memiliki talenta khusus dan telah menjalani pelatihan yang ekstensif, sehingga mereka sulit untuk dicari penggantinya. Hal yang sama juga berlaku bagi para eksekutif perusahaan. Yakinkan beberapa saja dari mereka untuk meninggalkan biotek akan memberikan kerusakan yang besar bagi industri bioteknologi daripada meyakinkan ribuan petani untuk tidak menanam bibit yang direkayasa secara genetik.
10. Serang di tempat yang mematikan
Amatlah terbuka argumen-argumen mengenai apakah aku benar saat berpikir bahwa bioteknologi adalah isu terbaik dalam upaya menyerang sistem secara politis. Tetapi jelas tak perlu diperdebatkan lagi bahwa kaum radikal dewasa ini telah membuang-buang energi mereka pada isu-isu yang hanya memiliki sedikit atau malah tidak ada relevansinya bagi kelangsungan hidup sistem teknologikal ini. Dan bahkan saat mereka mereka mengalamatkan isu-isunya dengan tepat, para radikal tidak menyerang di tempat yang mematikan. Maka daripada berderap pergi menuju tempat World Trade Summit berikutnya untuk mengeluarkan kemarahan atas globalisasi, kaum radikal lebih baik meluangkan waktunya untuk berpikir bagaimana menyerang sistem ini di tempat yang mematikan. Dengan cara legal, tentu saja.
silah baca pula studi kasus gerakan lingkungan hidup di AS
Apakah anda pernah berpikir, perjuangan kita adalah medan perang yang tidak imbang. Mensiasati situasi ini pernahkah anda berpikir untuk membidik ke titik-titik yang mematikan musuh (sistim dan struktur yang menindas dan hegemonik). Entah siapa Ted Kaczynski yang menulis artikel ini, yang pasti ocehannya bisa merangsang kita untuk berpikir ulang dan mengasah terus menerus kepekaan kita dalam perang ini........
salam hangat untuk green warriors
SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN
Oleh : Ted Kaczynski
Sumber : http://kerahputih.net/Material/artikel/Ted_Kaczynski_pg.html
1. Tujuan artikel ini
Tujuan dari artikel ini adalah untuk menunjukkan sebuah prinsip sederhana dari konflik manusia, sebuah prinsip yang mana para oponen dari sistem tekno-industrial ini dilihat secara mendasar. Prinsipnya adalah bahwa dalam setiap bentuk konflik, apabila engkau ingin memenangkannya, engkau harus menyerang musuhmu di tempat yang dapat membuatnya sakit.
Aku harus menjelaskan bahwa saat aku berbicara tentang “menyerang di tempat yang mematikan”, aku tidak secara khusus mengartikannya sebagai sebuah serangan-serangan fisikal atau berbagai bentuk kekerasan fisikal. Sebagai contohnya, dalam perdebatan verbal “menyerang di tempat yang mematikan” akan dapat berarti melancarkan argumen-argumen menyerang posisi terlemah dari oponenmu. Dalam sebuah pemilihan presidental “menyerang di tempat yang mematikan” akan berarti berhasil memenangkan negara dari oponen-oponenmu dengan mendapatkan suara terbanyak. Tetapi tetap saja, dalam mendiskusikan prinsip ini aku akan menggunakan analogi pertempuran fisikal, sebab hal tersebut jelas dan gamblang.
Apabila seseorang memukulmu, engkau akan mempertahankan dirimu dengan memukulnya kembali di lengannya, tetapi engkau tak dapat melukai seseorang tersebut dengan cara tersebut. Agar dapat memenangkan perkelahian, engkau harus menyerangnya di tempat yang dapat menimbulkan rasa sakit. Artinya, engkau harus mampu melampaui kepalannya dan memukul bagian-bagian yang paling lemah dan sensitif dari tubuh seseorang tersebut. Anggap saja sebuah bulldozer milik sebuah perusahaan penebangan telah meruntuhkan pepohonan dekat rumahmu dan engkau ingin menghentikannya. Pisau besar dari bulldozer itulah yang telah merusak bumi dan mencabut pepohonan, tetapi adalah sesuatu yang membuang waktu apabila merusak pisau besar tersebut dengan menggunakan gada. Apabila engkau bisa meluangkan waktu yang cukup lama, kerja keras seharian memukuli pisau besar tersebut, mungkin engkau memang akan berhasil cukup membuatnya rusak sehingga pisau besar tersebut tak dapat digunakan lagi. Tetapi, diperbandingkan dengan bulldozer secara keseluruhannya, pisau besar itu cenderung murah dan dapat dengan mudah diganti. Pisau besar itu hanya “kepalan” yang digunakan bulldozer untuk menyerang bumi. Untuk mengalahkan mesin ini engkau harus melampaui “kepalan” tersebut dan menyerang bagian-bagian vital dari bulldozer. Mesin, misalnya, dapat dihancurkan dalam waktu singkat dan mudah dengan cara-cara yang sudah banyak dikenal di kalangan para radikal.
Dalam poin ini aku harus menjelaskan bahwa aku tidak merekomendasikan siapapun untuk merusak bulldozer (kecuali bulldozer tersebut adalah miliknya sendiri) ataupun segala dalam artikel ini diinterpertasikan sebagai sebuah perekomendasian aktivitas-aktivitas ilegal dalam berbagai bentuknya. Aku adalah seorang narapidana, dan apabila aku mendorong aktivitas ilegal, artikel ini tak akan diperbolehkan untuk keluar dari penjara. Aku menggunakan bulldozer sebagai analogi karena hal tersebut jelas dan gamblang serta akan diapresiasi oleh para radikal.
2. Teknologi adalah target
Telah banyak diketahui bahwa “variabel-variabel dasar yang menentukan proses sejarah kontemporer dihadirkan oleh perkembangan teknologi” (Celso Furtado). Teknologi, di atas segalanya, bertanggung jawab atas kondisi-kondisi dunia saat ini dan akan mengontrol perkembangannya di masa depan. Dengan demikian, “bulldozer” yang harus kita hancurkan adalah teknologi modern itu sendiri. Banyak dari para radikal yang menyadari hal ini dan kemudian menyadari bahwa tugas mereka adalah mengeliminasi seluruh sistem tekno-industrial. Tetapi sayangnya mereka tidak cukup memperhatikan kebutuhan untuk menyerang sistem ini di tempat yang paling mematikan.
Menghancurkan McDonald’s atau Starbuck jelas tak bermakna apa-apa. Lagipula aku juga tidak peduli pada McDonald’s ataupun Starbuck. Aku tidak peduli apakah seseorang menghancurkannya atau tidak. Hal tersebut bukanlah sebuah aktivitas revolusioner. Bahkan apabila semua rantai makanan cepat saji disingkirkan, sebagai hasilnya sistem tekno-industrial ini hanya akan sedikit menderita kerusakan minimal, yang dengannya dapat dengan mudah tetap bertahan hidup tanpa rantai makanan cepat saji. Saat engkau menyerang McDonald’s atau Starbuck, engkau tidak menyerang di tempat yang mematikan.
Beberapa bulan lalu aku menerima sebuah surat dari seorang anak muda di Denmark yang percaya bahwa sistem tekno-industrial harus dieliminasi karena, sebagaimana yang ia katakan, “apa yang akan terjadi apabila kita terus menerus hidup dengan cara seperti ini?” Secara khusus, bagaimanapun juga, bentuk aktivitas “revolusioner” nya adalah menggasak peternakan-peternak an penghasil bulu binatang. Sebagai sebuah cara untuk melemahkan sistem tekno-industrial, aktivitas tersebut benar-benar tidak berguna. Bahkan apabila para pembebas binatang tersebut berhasil sepenuhnya dalam mengeliminasi industri bulu binatang, mereka tidak akan menimbulkan kerusakan apapun bagi sistem ini, karena sistem ini akan dapat berjalan terus dengan mulus tanpa bulu binatang.
Aku setuju bahwa mengurung binatang-binatang liar di kandang adalah sesuatu yang tak dapat ditoleransi, dan mengakhiri praktek-praktek demikian adalah sebuah tindakan yang mulia. Tetapi ada banyak sekali tindakan yang mulia, seperti mencegah kecelakaan lalu lintas, menyediakan tempat bernaung bagi para gelandangan, melakukan daur ulang, atau menolong orang tua menyeberang jalan. Tetapi tak seorangpun kecuali seseorang terlalu bodoh, menganggap hal-hal di atas sebagai sebuah aktivitas revolusioner, ataupun membayangkan bahwa hal-hal tersebut dilakukan untuk melemahkan sistem ini.
3. Industri penebangan kayu adalah sebuah isu sampingan
Dalam mengambil contoh lain, tak seorangpun yang waras percaya bahwa segala sesuatu yang bersifat liar dapat bertahan hidup lebih lama lagi apabila sistem tekno-industrial terus eksis. Banyak dari para environmentalis radikal setuju bahwa ini adalah sebuah kasus dan kemudian mengharapkan sistem ini kolaps. Tetapi semua praktek yang mereka lakukan adalah menyerang industri penebangan kayu.
Aku benar-benar tidak keberatan atas serangan-serangan mereka pada industri penebangan kayu. Pada faktanya, hal tersebut adalah sebuah isu yang dekat dengan hatiku dan aku merasa senang dengan setiap keberhasilan para radikal melawan industri penebangan kayu. Sebagai tambahan, bagi alasan-alasan yang perlu kujelaskan di sini, aku berpikir bahwa oposisi terhadap inudstri penebangan kayu seharusnya menjadi sebuah komponen dari upaya-upaya pelenyapan sistem ini.
Dengan sendirinya, menyerang industri penebangan kayu bukanlah sebuah cara yang efektif dalam usaha melawan sistem, kalaupun terjadi even yang diharapkan di mana para radikal berhasil menghentikan seluruh penebangan hutan di manapun di dunia ini, hal tersebut tidak akan merontokkan sistem ini. Dan hal tersebut tidak dapat menyelamatkan alam liar secara permanen. Cepat atau lambat iklim politik akan berubah dan penebangan akan kembali terjadi. Bahkan apabila penebangan tidak pernah terjadi lagi, akan ada kejadian-kejadian lain yang mana dengannya alam liar akan kembali dihancurkan, atau apabila tidak dihancurkan paling tidak akan dijinakkan dan didomestikasi. Penambangan dan eksplorasi mineral, hujan asam, perubahan iklim, dan kepunahan spesies, menghancurkan alam liar; alam liar dijinakkan dan didomestikasi melalui rekreasi, studi ilmiah dan manajemen sumber daya, termasuk di antaranya penelusuran jejak binatang secara elektrik, budidaya pengembangbiakkan ikan, dan penanaman pohon-pohon yang direkayasa secara genetik.
Alam liar dapat diselamatkan secara permanen hanya dengan cara mengeliminasi sistem tekno-industrial, dan engkau tak dapat mengeliminasi sistem tersebut dengan cara menyerang industri penebangan kayu. Sistem ini akan dapat dengan mudah bertahan hidup dari kematian industri penebangan kayu karena produk-produk kayu, walaupun sangat berguna bagi sistem ini, apabila dibutuhkan dapat diganti dengan material-material lain. Konsekuensinya, saat engkau menyerang industri penebangan kayu, engkau tidak menyerang di tempat yang dapat menyakitinya. Industri penebangan kayu hanyalah “kepalan” (atau salah satu kepalan) yang digunakan sistem untuk menghancurkan alam liar, dan, sebagaimana juga dalam pertandingan tinju, engkau tak dapat menang dengan cara menyerang kepalan musuh. Engkau harus berusaha melampaui kepalan tersebut dan menyerang organ-organ sistem yang paling vital dan sensitif. Secara legal, tentu saja, dengan melakukan aksi protes yang damai.
4. Mengapa sistem ini tegar
Sistem tekno-industrial benar-benar tegar karena ia memiliki apa yang disebut sebagai struktur “demokratis” yang menghasilkan fleksibilitas. Karena sistem diktatorial cenderung kaku, tensi-tensi sosial dan resistansi dapat dibangun di dalamnya hingga pada titik yang merusak dan memperlemah sistem, dan mungkin mengarah para revolusi. Tetapi dalam sebuah sistem “demokratis”, saat tensi sosial dan resistansi yang dibangun mulai membahayakan, sistem ini akan cukup dapat memberikan respon, cukup mengkompromikannya, sehingga akan menurunkan tensi ke tingkat yang aman.
Selama tahun 1960-an, untuk pertama kalinya orang-orang mulai sadar bahwa polusi lingkungan adalah sebuah masalah yang serius, sebagian besarnya adalah karena kotoran yang terlihat dan berbau dalam udara di atas kota-kota besar mulai membuat orang-orang secara fisik tak merasa nyaman. Ada cukup banyak protes yang timbul sehingga Agensi Perlindungan Lingkungan dibentuk dan beberapa tindakan lain diambil untuk mengatasi masalah. Tentu saja, kita semua tahu bahwa masalah-masalah polusi kita masih sangat jauh dari penyelesaian. Tetapi telah cukup tindakan dilakukan sehingga keluhan-keluhan publik dapat diredam dan tekanan pada sistem semakin menyurut dalam tahun-tahun berikutnya.
Dengan demikian, menyerang sistem tersebut seperti memukul sebuah karet. Sebuah pukulan dengan gada akan dapat membuat besi padat berkeping-keping, karena besi padat sifatnya kaku dan karenanya rapuh. Tetapi engkau dapat memukul sebuah karet tanpa merusaknya karena sifatnya yang fleksibel: ia mengatasi protes, cukup lama hingga protes tersebut kehilangan kekuatan dan momentumnya. Kemudian sistem tersebut memantul kembali. Maka, dalam upaya untuk menyerang sistem di tempat yang dapat mematikannya, engkau harus memilih isu-isu yang tak dapat diatasi oleh sistem ini, yang akan menghabisinya. Dan yang dibutuhkan bukanlah kompromi dengan sistem, melainkan sebuah perjuangan hidup mati.
6. Para radikal harus menyerang sistem ini pada titik-titik yang menentukan
Untuk dapat secara efektif bertujuan mengeliminasi sistem tekno-industrial, para revolusioner harus menyerang sistem ini pada titik-titik yang mana dalam serangan tersebut, musuh tak dibiarkan memiliki kesempatan untuk pulih. Mereka harus menyerang organ-organ vital sistem ini. Tentu saja, saat aku menggunakan kata “serang” aku tidak mengartikannya sebagai serangan fisikal melainkan dengan bentuk protes dan resistansi legal.
Beberapa contoh organ-organ vital dari sistem ini adalah:
1. Industri tenaga listrik. Sistem ini benar-benar tergantung pada jaringan tenaga listrik.
2. Industri komunikasi. Tanpa komunikasi yang gencar, sebagaimana dengan telefon, radio, televisi, e-mail dan semacamnya, sistem ini tak dapat bertahan hidup.
3. Industri komputer. Kita semua tahu bahwa tanpa komputer sistem ini akan kolaps dengan cepat.
4. Industri propaganda. Industri propaganda meliputi industri hiburan, sistem edukasi, jurnalisme, advertising, public-relation, dan berbagai macam politik serta industri kesehatan mental. Sistem ini tak dapat berfungsi kecuali orang-orang di dalamnya cukup jinak dan mampu menyesuaikan diri serta memiliki perilaku-perilaku yang harus dimiliki oleh mereka sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem ini. Fungsi dari industri propaganda adalah untuk melatih orang-orang sebuah jenis pemikiran dan kebiasaan.
5. Industri bioteknologi. Sistem ini memang belum secara fisik tergantung pada bioteknologi yang maju (sejauh yang aku tahu). Tapi tanpa kecuali, sistem ini tak dapat diberi keleluasaan dalam berjalan dengan isu bioteknologi, yang merupakan isu kritis sistem ini, sebagaimana yang akan kuperdebatkan setelah ini.
Sekali lagi: saat engkau menyerang organ-organ vital sistem ini, sangatlah penting untuk tidak menyerang mereka dalam konteks nilai-nilai yang mereka anut sendiri, melainkan dengan nilai-nilai yang tidak sesuai dalam pandangan sistem ini. Misalnya, apabila engkau menyerang industri tenaga listrik dalam konteks bahwa industri tersebut menghasilkan polusi bagi lingkungan, sistem ini akan dengan mudah meredam protes dengan mengembangkan metoda-metoda yang lebih bersih dalam menghasilkan sumber daya listrik. Apabila memang sudah terlalu buruk situasinya, sistem ini akan dapat beralih sepenuhnya pada tenaga angin dan solar. Memang sangat baik upaya mereduksi kerusakan lingkungan, tetapi hal tersebut tidak akan mengakhiri sistem tekno-indutrial. Hal tersebut juga tidak merepresentasikan sebuah kemenangan atas nilai-nilai fundamental sistem ini.
Untuk menyelesaikan segala urusan dalam penyerangan terhadap sistem, engkau harus menyerang generator-generator pembangkit tenaga listrik sebagai sesuatu yang prinsipil, berdasarkan argumen bahwa ketergantungan pada listrik telah membawa orang-orang menjadi tergantung pada sistem ini. Inilah landasan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut sistem ini.
7. Bioteknologi mungkin dapat menjadi sasaran terbaik bagi penyerangan politis
Mungkin sasaran paling menjanjikan bagi penyerangan politis adalah industri bioteknologi. Walaupun secara umum berbagai revolusi diletupkan oleh sekelompok minoritas, sangatlah berguna untuk meraih dukungan tertentu, simpati, atau setidaknya persetujuan dari populasi secara umum.
Gol-gol dari aksi yang politis adalah untuk mendapatkan dukungan atau persetujuan semacam itu. Apabila engkau mengkonsentrasikan penyerangan politismu, misalnya pada industri tenaga listrik, hal tersebut akan benar-benar sulit dalam mendapatkan dukungan di luar minoritas radikal, karena sebagian besar orang menolak mengubah cara hidup mereka, khususnya perubahan-perubahan yang menyulitkan mereka.
Atas alasan ini, beberapa akan rela untuk meninggalkan ketergantungannya pada listrik. Tetapi orang-orang belum merasa bahwa diri mereka tergantung pada bioteknologi yang maju sebagaimana mereka tergantung pada listrik. Mengeliminasi bioteknologi tidak akan mengubah hidup mereka secara radikal. Secara kontras, hal tersebut mungkin akan dapat memperlihatkan pada orang-orang bahwa kesinambungan pengembangan bioteknologi akan mentransformasikan cara hidup mereka dan menyapu bersih nilai-nilai manusia selama ini. Dengan demikian, dalam menantang bioteknologi, para radikal harus mampu memobilisir dengan cara mereka sendiri yang merupakan resistansi alamiah manusia terhadap perubahan.
Dan bioteknologi adalah sebuah isu yang mana sistem ini tak akan dapat menanggung kehilangannya. Ia juga adalah sebuah isu yang mana sistem ini harus memperjuangkannya hingga akhir, yang mana hal ini jelas adalah sesuatu yang kita butuhkan. Tetapi—diulangi sekali lagi—amatlah esensial untuk tidak menyerang bioteknologi dalam konteks nilai-nilai yang dianut oleh sistem ini sendiri, melainkan dalam konteks nilai-nilai yang tidak sesuai bagi sistem ini.
Misalnya, apabila engkau menyerang bioteknologi, khususnya dengan berlandaskan pada alasan bahwa hal tersebut akan merusak lingkungan, atau bahwa pangan-pangan yang dimodifikasi secara genetik akan dapat merusak kesehatan, maka sistem ini dapat dan akan menyerap seranganmu dengan memberi celah untuk kompromi—dengan kata lain, dengan memberlakukan pengawasan yang lebih ketat pada riset genetik dan percobaan yang lebih teliti serta memberlakukan regulasi bagi tanaman-tanaman yang dimodifikasi secara genetik. Kegelisahan orang-orang lantas akan menyurut dan protes menjadi layu.
8. Semua bioteknologi harus diserang sebagai sebuah urusan prinsipil
Maka, dibandingkan memprotes satu atau lain hal mengenai konsekuensi negatif dari bioteknologi, engkau harus menyerang seluruh bioteknologi modern secara prinsipil, dalam landasan seperti (a) bahwa hal tersebut adalah sesuatu yang merendahkan seluruh makhluk hidup; (b) bahwa hal tersebut memberi terlalu banyak kekuasaan ke tangan sistem ini; (c) bahwa hal tersebut secara radikal akan mentransformasikan nilai-nilai fundamental manusia yang telah eksis selama ribuan tahun; dan berbagai landasan lain yang tidak sesuai dengan nilai-nilai sistem ini.
Dalam merespon serangan jenis ini, sistem ini akan dipaksa untuk berdiri dan berjuang. Ia tak dapat menyerap seranganmu dengan membawanya pada isu yang lebih besar, karena bioteknologi berada di pusat seluruh perusahaan yang berteknologi maju, dan karena saat mundur sistem ini tak akan hanya membuat langkah mundur secara taktis, ia akan terpaksa menerima kekalahan strategis besar dalam kode etiknya sendiri. Nilai-nilai tersebut akan dikuburkan dan pintu akan terbuka bagi serangan-serangan politis lebih lanjut, yang akan menebang fondasi-fondasi sistem ini.
Sekarang memang benar bahwa Dewan Representatif AS baru-baru ini melarang kloning manusia, dan setidaknya beberapa anggota kongres bahkan memberikan beberapa alasan yang tepat mengenainya. Dari yang kubaca, alasan-alasan tersebut berada dalam konteks religius, alasan-alasan tersebut bukanlah sesuatu yang dapat diterima secara teknologis. Dan hal seperti itulah yang patut diperhitungkan.
Dengan demikian, keputusan para anggota kongres atas kloning manusia merupakan sebuah kekalahan sejati bagi sistem ini. Tetapi hal tersebut hanyalah sebuah kekalahan yang sangat sangat kecil, karena ruang lingkup pelarangannya masih sangat sempit—hanya sebagian kecil dari bioteknologi yang terpengaruh—dan lagipula karena dalam jangka waktu dekat di masa depan, kloning manusia secara praktis masih kecil kegunaannya bagi sistem ini. Tetapi aksi dari Dewan Representatif telah menunjukkan bahwa hal ini dapat menjadi sebuah titik lemah sistem ini, dan sebuah serangan yang lebih luas terhadap seluruh bioteknologi mungkin dapat menimbulkan kerusakan serius bagi sistem dan nilai-nilai yang dianutnya.
9. Kaum radikal belum menyerang biotek secara efektif
Beberapa dari kaum radikal memang menyerang bioteknologi, baik secara politis maupun secara fisikal, tetapi sejauh yang kuketahui mereka menjelaskan sikap oposisi mereka terhadap biotek dalam konteks nilai-nilai yang dianut oleh sistem ini. Keluhan-keluhan mereka adalah resiko kerusakan lingkungan dan dampak buruknya bagi kesehatan. Dan mereka tidak menyerang industri biotek di tempat yang mematikan.
Menggunakan analogi perkelahian fisik sekali lagi, anggap engkau harus mempertahankan dirimu dari serangan gurita raksasa. Engkau tak akan mampu menyerang balik secara efektif dengan memutus tentakelnya. Engkau harus menyerang kepalanya. Dari apa yang kubaca tentang aktivitas-aktivitas mereka, para radikal yang bekerja melawan bioteknologi melakukan tak lebih dari upaya untuk memutuskan tentakel sang gurita. Mereka berusaha meyakinkan para petani biasa, secara individual, agar memutuskan untuk tidak menanam benih yang direkayasa secara genetik.
Tetapi ada ribuan pertanian di Amerika, sehingga meyakinkan para petani secara individual menjadi sebuah cara yang sangat tidak efisien dalam penentangan terhadap rekayasa genetik. Akan lebih efektif apabila upaya persuasif itu dilakukan terhadap para ilmuwan riset yang terlibat dalam kerja-kerja bioteknologikal, atau para eksekutif perusahaan seperti Monsanto, untuk meninggalkan industri bioteknologi. Para ilmuwan riset yang baik adalah mereka yang memiliki talenta khusus dan telah menjalani pelatihan yang ekstensif, sehingga mereka sulit untuk dicari penggantinya. Hal yang sama juga berlaku bagi para eksekutif perusahaan. Yakinkan beberapa saja dari mereka untuk meninggalkan biotek akan memberikan kerusakan yang besar bagi industri bioteknologi daripada meyakinkan ribuan petani untuk tidak menanam bibit yang direkayasa secara genetik.
10. Serang di tempat yang mematikan
Amatlah terbuka argumen-argumen mengenai apakah aku benar saat berpikir bahwa bioteknologi adalah isu terbaik dalam upaya menyerang sistem secara politis. Tetapi jelas tak perlu diperdebatkan lagi bahwa kaum radikal dewasa ini telah membuang-buang energi mereka pada isu-isu yang hanya memiliki sedikit atau malah tidak ada relevansinya bagi kelangsungan hidup sistem teknologikal ini. Dan bahkan saat mereka mereka mengalamatkan isu-isunya dengan tepat, para radikal tidak menyerang di tempat yang mematikan. Maka daripada berderap pergi menuju tempat World Trade Summit berikutnya untuk mengeluarkan kemarahan atas globalisasi, kaum radikal lebih baik meluangkan waktunya untuk berpikir bagaimana menyerang sistem ini di tempat yang mematikan. Dengan cara legal, tentu saja.
silah baca pula studi kasus gerakan lingkungan hidup di AS
Sabtu, 05 April 2008
Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia
Seri Studi Demos
http://www.demosindonesia.org
Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia
Rita Olivia Tambunan
Dalam artikel ini akan dibahas pendapat mereka yang berasal dari organisasi kiri tentang masalah-masalah dan pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia pasca 1998. Pada mereka akan ditanyakan apa yang dianggap masalah utama dalam demokratisasi di Indonesia, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah itu, dan bagaimana melakukannya. Pendapat mereka tersebut akan didiskusikan berdasarkan hasil temuan riset Demos tentang "Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia" putaran pertama yang telah selesai dilakukan pada awal tahun 2004 (selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat sebagai riset Demos putaran I).
Untuk kepentingan penulisan artikel ini, organisasi kiri (left based organisation) akan diartikan sebagai organisasi yang cita-cita perjuangannya adalah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat dengan jalan menghapus penindasan terhadap rakyat serta melawan kediktatoran modal dan kekuasaan. Secara umum organisasi kiri adalah organisasi yang memperjuangkan nasib kaum terpinggir dalam sistem politik dan ekonomi seperti buruh, petani, kaum miskin kota. Organisasi kiri percaya bahwa pembangunan seharusnya ditujukan untuk kebaikan setiap orang, dan bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang saja. Ciri khas lain organisasi kiri adalah keyakinan pada jurang lebar antara dua kelas sosial dalam masyarakat (kelas pemilik modal dan kelas pekerja) sebagai salah satu sumber ketidakadilan sosial. Kelas pekerja diisi oleh mereka yang tidak memiliki akses terhadap modal dan alat produksi. Yang termasuk dalam kelas ini antara lain adalah buruh, tani, kaum miskin kota. Sebaliknya kelas pemodal adalah mereka yang menguasai modal dan alat produksi sehingga memiliki otoritas ekonomi yang jauh lebih besar, dan karena itu aksesnya pada kekuasaan politik jauh lebih besar, bahkan mendominasi, dibanding kelas pekerja. Organisasi kiri percaya bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial, maka perlu ada porsi kekuasaan ekonomi dan politik yang diambil alih oleh kaum proletar dengan menggunakan kekuatan gerakan massa. Karenanya, seringkali dalam dinamika politik Negara, organisasi kiri mengambil peran sebagai organisasi oposisi.
Dalam konteks sosial-politik Indonesia kini, jika menggunakan indikator tegas dan memperhatikan trauma politik-historis yang ditinggalkan oleh era Orde Baru, agak sulit untuk menentukan masih ada/tidaknya keberadaan organisasi kiri. Tetapi dengan menggunakan rumusan tersebut di atas, paling tidak dapat diidentifikasi beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai organisasi kiri di Indonesia saat ini.
baca selanjutnya
http://www.demosindonesia.org
Gerakan Kiri dan Demokratisasi di Indonesia
Rita Olivia Tambunan
Dalam artikel ini akan dibahas pendapat mereka yang berasal dari organisasi kiri tentang masalah-masalah dan pilihan-pilihan demokratisasi di Indonesia pasca 1998. Pada mereka akan ditanyakan apa yang dianggap masalah utama dalam demokratisasi di Indonesia, apa yang harus dilakukan untuk menghadapi masalah itu, dan bagaimana melakukannya. Pendapat mereka tersebut akan didiskusikan berdasarkan hasil temuan riset Demos tentang "Masalah-masalah dan Pilihan-pilihan Demokratisasi di Indonesia" putaran pertama yang telah selesai dilakukan pada awal tahun 2004 (selanjutnya dalam tulisan ini akan disingkat sebagai riset Demos putaran I).
Untuk kepentingan penulisan artikel ini, organisasi kiri (left based organisation) akan diartikan sebagai organisasi yang cita-cita perjuangannya adalah perwujudan keadilan sosial bagi seluruh lapisan masyarakat dengan jalan menghapus penindasan terhadap rakyat serta melawan kediktatoran modal dan kekuasaan. Secara umum organisasi kiri adalah organisasi yang memperjuangkan nasib kaum terpinggir dalam sistem politik dan ekonomi seperti buruh, petani, kaum miskin kota. Organisasi kiri percaya bahwa pembangunan seharusnya ditujukan untuk kebaikan setiap orang, dan bukan hanya untuk keuntungan segelintir orang saja. Ciri khas lain organisasi kiri adalah keyakinan pada jurang lebar antara dua kelas sosial dalam masyarakat (kelas pemilik modal dan kelas pekerja) sebagai salah satu sumber ketidakadilan sosial. Kelas pekerja diisi oleh mereka yang tidak memiliki akses terhadap modal dan alat produksi. Yang termasuk dalam kelas ini antara lain adalah buruh, tani, kaum miskin kota. Sebaliknya kelas pemodal adalah mereka yang menguasai modal dan alat produksi sehingga memiliki otoritas ekonomi yang jauh lebih besar, dan karena itu aksesnya pada kekuasaan politik jauh lebih besar, bahkan mendominasi, dibanding kelas pekerja. Organisasi kiri percaya bahwa untuk mewujudkan keadilan sosial, maka perlu ada porsi kekuasaan ekonomi dan politik yang diambil alih oleh kaum proletar dengan menggunakan kekuatan gerakan massa. Karenanya, seringkali dalam dinamika politik Negara, organisasi kiri mengambil peran sebagai organisasi oposisi.
Dalam konteks sosial-politik Indonesia kini, jika menggunakan indikator tegas dan memperhatikan trauma politik-historis yang ditinggalkan oleh era Orde Baru, agak sulit untuk menentukan masih ada/tidaknya keberadaan organisasi kiri. Tetapi dengan menggunakan rumusan tersebut di atas, paling tidak dapat diidentifikasi beberapa organisasi yang dapat digolongkan sebagai organisasi kiri di Indonesia saat ini.
baca selanjutnya
Label:
Demokrasi,
hak asasi manusia,
Politik
Green Politics dan Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Seri Studi Demos
http://www.demosindonesia.org
Green Politics dan Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Sofian M. Asgart
Gerakan "politik hijau" di Indonesia diawali dengan adanya kesadaran yang dipacu kondisi nasional kita dimana terjadi berbagai kerusakan lingkungan hidup akibat pembangunan yang terlalu berorientasi pertumbuhan dan strategi pembangunan yang eksploitatif sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, Emil Salim kerap mengkampanyekan model pembangunan alternatif. Paradigmanya bukan dengan membendung dan bersifat anti-pembangunan. Juga tidak dengan berbalik arah untuk hidup sangat sederhana secara subsisten, namun dengan melaksanakan pola pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development).
Menurutnya, hakekat pembangunan ke depan adalah mengupayakan keberlanjutan (sustainability) kehidupan. Untuk keberlanjutan kehidupan ini, pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.
Wacana mengenai pembangunan berkelanjutan di Indonesia timbul-tenggelam sejak tahun 1980-an. Diskursus ini bergulir sejalan dengan pasang-surutnya gerakan demokratisasi di tanah air. Tafsir negara mengenai pembangunan berkelanjutan sangat dominan seiring sentralisme Orde Baru yang mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1980-1990-an. Transisi demokrasi yang ditandai lahirnya semangat reformasi tahun 1998 turut mereposisi peta wacana pembangunan berkelanjutan. Fase ini memunculkan peran signifikan kalangan organisasi non-pemerintah (ornop) dan masyarakat sipil lainnya untuk turut merespon wacana pembangunan berkelanjutan dengan polemik yang lebih dinamik. Walhi, Kehati, Bina Desa, HUMA, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), merupakan ornop yang aktif mengkampanyekan green politics di tanah air dengan turut mewacanakan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu alternatifnya.
Risalah kecil ini ingin memotret perdebatan dan implementasi pembangunan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan ornop dengan mendasarkan pada sebagian temuan penelitian Demos yang relevan dengan isu pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu bentuk gerakan "politik hijau" di Indonesia
baca selanjutnya
http://www.demosindonesia.org
Green Politics dan Gerakan Demokratisasi di Indonesia
Sofian M. Asgart
Gerakan "politik hijau" di Indonesia diawali dengan adanya kesadaran yang dipacu kondisi nasional kita dimana terjadi berbagai kerusakan lingkungan hidup akibat pembangunan yang terlalu berorientasi pertumbuhan dan strategi pembangunan yang eksploitatif sehingga mengancam kelestarian lingkungan hidup. Untuk itu, Emil Salim kerap mengkampanyekan model pembangunan alternatif. Paradigmanya bukan dengan membendung dan bersifat anti-pembangunan. Juga tidak dengan berbalik arah untuk hidup sangat sederhana secara subsisten, namun dengan melaksanakan pola pembangunan secara berkelanjutan (sustainable development).
Menurutnya, hakekat pembangunan ke depan adalah mengupayakan keberlanjutan (sustainability) kehidupan. Untuk keberlanjutan kehidupan ini, pembangunan berkelanjutan memiliki beberapa prasyarat. Pertama, menjangkau perspektif jangka panjang melebihi satu-dua generasi sehingga kegiatan pembangunan perlu mempertimbangkan dampak jangka panjang. Kedua, menyadari berlakunya hubungan keterkaitan (interdependency) antar pelaku-pelaku alam, sosial dan buatan manusia. Pelaku alam terdapat dalam ekosistem, pelaku sosial terdapat dalam sistem sosial, dan pelaku buatan manusia dalam sistem ekonomi. Ketiga, memenuhi kebutuhan manusia dan masyarakat masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang memenuhi kebutuhannya. Keempat, pembangunan dilaksanakan dengan menggunakan sumber daya alam sehemat mungkin, limbah-polusi serendah mungkin, ruang-space sesempit mungkin, energi diperbarui semaksimal mungkin, energi tidak-diperbarui sebersih mungkin, serta dengan manfaat lingkungan, sosial, budaya-politik dan ekonomi seoptimal mungkin. Kelima, pembangunan diarahkan pada pemberantasan kemiskinan, perimbangan ekuitas sosial yang adil serta kualitas hidup sosial, lingkungan, dan ekonomi yang tinggi.
Wacana mengenai pembangunan berkelanjutan di Indonesia timbul-tenggelam sejak tahun 1980-an. Diskursus ini bergulir sejalan dengan pasang-surutnya gerakan demokratisasi di tanah air. Tafsir negara mengenai pembangunan berkelanjutan sangat dominan seiring sentralisme Orde Baru yang mencapai puncak kejayaannya pada dekade 1980-1990-an. Transisi demokrasi yang ditandai lahirnya semangat reformasi tahun 1998 turut mereposisi peta wacana pembangunan berkelanjutan. Fase ini memunculkan peran signifikan kalangan organisasi non-pemerintah (ornop) dan masyarakat sipil lainnya untuk turut merespon wacana pembangunan berkelanjutan dengan polemik yang lebih dinamik. Walhi, Kehati, Bina Desa, HUMA, AMAN (Aliansi Masyarakat Adat Nusantara), merupakan ornop yang aktif mengkampanyekan green politics di tanah air dengan turut mewacanakan pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu alternatifnya.
Risalah kecil ini ingin memotret perdebatan dan implementasi pembangunan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah dan ornop dengan mendasarkan pada sebagian temuan penelitian Demos yang relevan dengan isu pembangunan berkelanjutan sebagai salah satu bentuk gerakan "politik hijau" di Indonesia
baca selanjutnya
Label:
Demokrasi,
hak asasi manusia,
Politik
Jumat, 04 April 2008
KASUS KENDARI, WAJAH PENGURUS NEGARA DALAM PENGELOLAAN KOTA
SADAR
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 111 Tahun IV - 2008
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
--------------------------------------------------------------------------------
KASUS KENDARI, WAJAH PENGURUS NEGARA DALAM PENGELOLAAN KOTA
Oleh Khalisah Khalid *
Tanggal 26 Maret 2008, menjadi catatan hitam bagi pembangunan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di kota Kendari. Tindakan kekerasan dan premanisme dilakukan oleh Walikota Kendari terhadap massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tolak Peng! gusuran Kendari (peserta kongres Sarekat Hijau Indonesia, PKL,! mahasis wa dan gerakan pro demokrasi dan HAM lainnya). Tindakan premanisme ini kemudian berbuntut pada tindakan kekerasan berikutnya, dimana aparat kepolisian yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara, membiarkan (by ommission) proses premanisme ini berlanjut dan justru bahkan terlibat dalam tindak kekerasan itu sendiri secara brutal, dengan menggunakan kekuasaan secara berlebihan (excessive use of power). Padahal pada bulan April 2008, Pemerintah Indonesia akan melaporkan penegakan HAM di Indonesia dalam forum internasional, khususnya terkait dengan kemajuan dalam reformasi di dalam tubuh kepolisian. !
Penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL), bukanlah cerita baru dalam seluruh proses pengurusan kota-kota di Indonesia. Pedagang Kaki Lima dan kaum miskin kota lainnya, selalu dipandang sebagai kelas rendah yang menjadi objek dari cerita pembangunan kota oleh sebuah entitas yang memiliki power system dimana tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, tata guna lahan berada di genggaman penguasa dan pemilik modal yang hari ini sedang berkolaborasi dengan sangat manis.
Parahn! ya, pengurus wilayah yang memiliki kekuatan sistem kuasa terse! but, men ggunakan praktek-praktek kekerasan dan premanisme dalam pengelolaan kotanya. Penggusuran dan penyerangan hanyalah sekian kecil dari penggunaan kekerasan oleh pengurus wilayah. Kekerasan dan premanisme bahkan tidak dibenarkan dengan alasan apapun, karena ketika kekerasan digunakan sebagai pemegang kendali dalam pengelolaan kota, maka jarak antara pengurus negara dan rakyat yang mengalami krisis akan semakin jauh, bahkan berada di ruang yang saling berbeda.
Kota sesungguhnya, merupakan sebuah gambaran wilayah yang melingkupi sebuah entitas kehidupan masyarakat di dalamnya, dengan karakteristik masyarakat yang biasa mengikutinya dan dari berbagai macam struktur kelas yang melingkupinya. Pertumbuhan kota dengan kelengkapan problematikanya s! eperti laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat akibat kebijakan negara yang masih berpikir sentralistik, berkonsekuensi pada masalah permukiman dan problem kependudukan lainnya. Dengan dasar pemikiran yang sederhana itulah seharusnya, politik pembangunan ruang-ruang perkotaan ditujukan bagi seluruh warga kota di dalamnya, tanpa membedakan status sosial, jenis kelamin, umur dan lain-lain, karena ruang kota seharusnya memberikan jaminan atas perlindungan seluruh hak warga kota di dalamnya.
Penataan ruang merupakan sebuah politik kebijakan yang menjadi awal banyaknya sejumlah intimidasi yang dilakukan oleh pengurus negara terhadap warga negaranya sendiri, dan penataan ruang kota ini justru yang sering dijadikan sebagai alat ! legitimasi negara untuk mengusir warganya dengan mengatasnamak! an lingk ungan hidup dan ketertiban umum. Padahal dalam penataan ruang, harus memenuhi pra syarat sebelumnya yakni bagaimana tata ruang dapat memberikan jaminan atas pelayanan alam (ekologis), memberikan jaminan keberlanjutan fungsi-fungsi sosial, dan memberikan jaminan atas keberlanjutan kehidupan warganya (ekonomis). Sayangnya, pra syarat tersebut seringkali terabaikan oleh pengurus negara. Sehingga yang terjadi kemudian, melihat ruang justru sebagai sebuah pengkaplingan kawasan-kawasan yang banyak mengabaikan hak rakyat atas ruang-ruang hidupnya.
Pra syarat tersebut juga seringkali diputarbalikkan sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Kadang kala mengatasnamakan lingkungan hidup seperti menggusur pedagang yang berada di ruang ter! buka hijau, atau atas nama ketertiban umum seperti melarang pedagang kaki lima, pengamen atau pedagang asongan untuk mencari nafkah. Padahal di banyak kasus, pemerintah justru melegalisasi alih fungsi lahan yang semula berfungsi sebagai darah resapan atau tangkapan air, menjadi pusat-pusat komersil.
Penataan ruang, seharusnya juga dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini tidak memiliki akses dan kontrol yang cukup terhadap proses pembangunan perkotaan. Penataan ruang kota saat ini masih diskriminatif bagi kelompok rentan seperti kelompok miskin kota. Politik penataan ruang tidak memberikan penghormatan (to respect) , perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap ruang hidup orang-orang miskin yang selama ini telah memberikan subsidi kepada negara melalui cara bertahan hidup mereka dengan bekerja di sektor informal seperti menjadi pedagang asongan, pengamen dan lain-lain yang sesungguhnya sedang membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Krisis ekonomi yang dialami oleh kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta pada tahun 1997, secara gamblang menjelaskan kepada kita semua bahwa sektor informal lah yang mampu bertahan dari hantaman krisis ekonomi tersebut.
Perda yang mengatur soal ketertiban umum, semakin memperlihatkan bahwa rakyat miskin tidak boleh ada atau ! bahkan tidak boleh hidup di kota. Akses dan kontrol rakyat miskin terhadap ruang, kemudian dihilangkan secara paksa oleh institusi negara melalui perangkat hukumnya yang memang sejak awal tidak pernah dihitung sebagai warga negara. Padahal Indonesia sudah meratifikasi kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), yang artinya negara bukan saja hanya memastikan hak tersebut dapat terpenuhi, tetapi negara juga harus mendorong dan memfasilitasi agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi, khususnya bagi kelompok rentan.
Dalam kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap Perda Ketertiban Umum di DKI Jakarta menyatakan secara tegas, bahwa Perda tersebut yang selalu dijadikan legitimasi untuk menggusur PKL dan miskin kota, bertentangan den! gan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tidak membawa manfaa! t bagi p erbaikan kualitas hidup manusia Indonesia. Dan diindikasi kuat, Perda yang mengatur ketertiban umum di daerah lain juga banyak melanggar konstitusi negara.
Bukan hanya Perda tentang ketertiban umum ini yang dinilai sedang melakukan penghilangan terhadap sebuah entitas rakyat miskin, Perda tentang tata ruang kota juga hanya menjadi alat untuk menggusur rakyat miskin kota. Selain itu, dalam skala nasional, kita bisa juga dapat melihat sesungguhnya untuk siapa penataan ruang itu, misalnya di dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang No. 26/2007 yang sudah disahkan pada bulan April lalu, secara filosofis memang tidak berpihak kepada rakyat miskin, melainkan kepada pemilik modal besar.
!
Tentu saja realitas politik ini semakin memberikan potret yang utuh kepada kita semua, bahwa kota di negara ini memang tidak lagi memberikan politik ruang yang sah kepada kelompok rentan di Ibukota ini untuk bisa hidup di bumi dan tanah yang sesungguhnya secara konstitusi termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Perda tentang ketertiban umum hanya menjadi tameng atas kegagalan paradigma pembangunan yang selalu bertumpu pada nilai-nilai pertumbuhan ekonomi dengan jargon kesejahteraan dengan sistem ekonomi dan politik yang sentralistik. Padahal pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan akumulasi modal, dan tidak pernah memberikan distribusi yang adil bagi seluruh rakyat, terutama bagi rakyat miskin yang tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya.
Kasus kekerasan yang terjadi di Kendari, sesungguhnya memberikan pelajaran penting bagi pengurus kota yang lain, bahwa penggusuran bukan sebuah alternatif di dalam pengelolaan kota. Penggusuran hanya memicu konflik yang lebih panjang, dan bahkan dapat mengakumulasi kemarahan rakyat. Jika pengurus kota Kendari dapat secara konsisten mengimplementasikan visi pembangunan kotanya sampai tahun 2020 untuk mewujudkan kota Kendari sebagai kota dalam taman yang bertakwa, maju, demokratis dan sejahtera, secara politik visi itu harus diturunkan kepada tingkatan rakyat yang selalu menjadi korban dari pembangunan, dalam hal ini kelompok rentan seperti pedagang kaki lima. Belajar melihat krisis dari rakyat, tanyakan kepada rakyat ! apa yang bagi rakyat miskin sebagai sebuah keselamatan dan kesejahteraan. Jika membaca krisis rakyatnya saja tidak mampu, apalagi mengimplementasikan visi dengan jargon kesejahteraan dan demokratis. Sehingga, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kota, bahkan tidak ada relasi sama sekali dengan krisis yang dialami oleh rakyat miskin kota. Karenanya, kekerasan dan menggunakan kekuatan preman menjadi tidak relevam, apalagi hanya untuk melanggengkan sistem kekuasaannya.
Kasus kekerasan dan premanisme yang terjadi di Kendari juga semakin meyakinkan kita, bahwa laporan pemerintah Indonesia tentang bagaimana penegakan HAM dilakukan dengan salah satu indikatornya komitmen reformasi dalam tubuh institusi kepolisian, ternyata tidak menda! sar dan bahkan berbanding terbalik dengan kenyataan di lapanga! n, salah satunya penyerbuan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian ke dalam kampus UNHALU di Kendari.
*Penulis adalah Biro Politik dan Ekonomi Pimpinan Pusat Sarekat Hijau Indonesia (SHI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Simpul Untuk Keadilan dan Demokrasi
Edisi: 111 Tahun IV - 2008
Sumber: www.prakarsa-rakyat.org
--------------------------------------------------------------------------------
KASUS KENDARI, WAJAH PENGURUS NEGARA DALAM PENGELOLAAN KOTA
Oleh Khalisah Khalid *
Tanggal 26 Maret 2008, menjadi catatan hitam bagi pembangunan demokrasi dan penegakan hak asasi manusia di kota Kendari. Tindakan kekerasan dan premanisme dilakukan oleh Walikota Kendari terhadap massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Rakyat Tolak Peng! gusuran Kendari (peserta kongres Sarekat Hijau Indonesia, PKL,! mahasis wa dan gerakan pro demokrasi dan HAM lainnya). Tindakan premanisme ini kemudian berbuntut pada tindakan kekerasan berikutnya, dimana aparat kepolisian yang seharusnya memberikan jaminan perlindungan kepada warga negara, membiarkan (by ommission) proses premanisme ini berlanjut dan justru bahkan terlibat dalam tindak kekerasan itu sendiri secara brutal, dengan menggunakan kekuasaan secara berlebihan (excessive use of power). Padahal pada bulan April 2008, Pemerintah Indonesia akan melaporkan penegakan HAM di Indonesia dalam forum internasional, khususnya terkait dengan kemajuan dalam reformasi di dalam tubuh kepolisian. !
Penggusuran terhadap pedagang kaki lima (PKL), bukanlah cerita baru dalam seluruh proses pengurusan kota-kota di Indonesia. Pedagang Kaki Lima dan kaum miskin kota lainnya, selalu dipandang sebagai kelas rendah yang menjadi objek dari cerita pembangunan kota oleh sebuah entitas yang memiliki power system dimana tata kuasa, tata produksi, tata konsumsi, tata guna lahan berada di genggaman penguasa dan pemilik modal yang hari ini sedang berkolaborasi dengan sangat manis.
Parahn! ya, pengurus wilayah yang memiliki kekuatan sistem kuasa terse! but, men ggunakan praktek-praktek kekerasan dan premanisme dalam pengelolaan kotanya. Penggusuran dan penyerangan hanyalah sekian kecil dari penggunaan kekerasan oleh pengurus wilayah. Kekerasan dan premanisme bahkan tidak dibenarkan dengan alasan apapun, karena ketika kekerasan digunakan sebagai pemegang kendali dalam pengelolaan kota, maka jarak antara pengurus negara dan rakyat yang mengalami krisis akan semakin jauh, bahkan berada di ruang yang saling berbeda.
Kota sesungguhnya, merupakan sebuah gambaran wilayah yang melingkupi sebuah entitas kehidupan masyarakat di dalamnya, dengan karakteristik masyarakat yang biasa mengikutinya dan dari berbagai macam struktur kelas yang melingkupinya. Pertumbuhan kota dengan kelengkapan problematikanya s! eperti laju pertumbuhan penduduk yang terus meningkat akibat kebijakan negara yang masih berpikir sentralistik, berkonsekuensi pada masalah permukiman dan problem kependudukan lainnya. Dengan dasar pemikiran yang sederhana itulah seharusnya, politik pembangunan ruang-ruang perkotaan ditujukan bagi seluruh warga kota di dalamnya, tanpa membedakan status sosial, jenis kelamin, umur dan lain-lain, karena ruang kota seharusnya memberikan jaminan atas perlindungan seluruh hak warga kota di dalamnya.
Penataan ruang merupakan sebuah politik kebijakan yang menjadi awal banyaknya sejumlah intimidasi yang dilakukan oleh pengurus negara terhadap warga negaranya sendiri, dan penataan ruang kota ini justru yang sering dijadikan sebagai alat ! legitimasi negara untuk mengusir warganya dengan mengatasnamak! an lingk ungan hidup dan ketertiban umum. Padahal dalam penataan ruang, harus memenuhi pra syarat sebelumnya yakni bagaimana tata ruang dapat memberikan jaminan atas pelayanan alam (ekologis), memberikan jaminan keberlanjutan fungsi-fungsi sosial, dan memberikan jaminan atas keberlanjutan kehidupan warganya (ekonomis). Sayangnya, pra syarat tersebut seringkali terabaikan oleh pengurus negara. Sehingga yang terjadi kemudian, melihat ruang justru sebagai sebuah pengkaplingan kawasan-kawasan yang banyak mengabaikan hak rakyat atas ruang-ruang hidupnya.
Pra syarat tersebut juga seringkali diputarbalikkan sesuai dengan kepentingan politik penguasa. Kadang kala mengatasnamakan lingkungan hidup seperti menggusur pedagang yang berada di ruang ter! buka hijau, atau atas nama ketertiban umum seperti melarang pedagang kaki lima, pengamen atau pedagang asongan untuk mencari nafkah. Padahal di banyak kasus, pemerintah justru melegalisasi alih fungsi lahan yang semula berfungsi sebagai darah resapan atau tangkapan air, menjadi pusat-pusat komersil.
Penataan ruang, seharusnya juga dapat memenuhi rasa keadilan bagi semua orang, khususnya bagi kelompok rentan yang selama ini tidak memiliki akses dan kontrol yang cukup terhadap proses pembangunan perkotaan. Penataan ruang kota saat ini masih diskriminatif bagi kelompok rentan seperti kelompok miskin kota. Politik penataan ruang tidak memberikan penghormatan (to respect) , perlindungan (to protect) dan pemenuhan (to fullfil) terhadap ruang hidup orang-orang miskin yang selama ini telah memberikan subsidi kepada negara melalui cara bertahan hidup mereka dengan bekerja di sektor informal seperti menjadi pedagang asongan, pengamen dan lain-lain yang sesungguhnya sedang membantu pemerintah untuk mengurangi tingkat kemiskinan. Krisis ekonomi yang dialami oleh kota-kota besar di Indonesia seperti Jakarta pada tahun 1997, secara gamblang menjelaskan kepada kita semua bahwa sektor informal lah yang mampu bertahan dari hantaman krisis ekonomi tersebut.
Perda yang mengatur soal ketertiban umum, semakin memperlihatkan bahwa rakyat miskin tidak boleh ada atau ! bahkan tidak boleh hidup di kota. Akses dan kontrol rakyat miskin terhadap ruang, kemudian dihilangkan secara paksa oleh institusi negara melalui perangkat hukumnya yang memang sejak awal tidak pernah dihitung sebagai warga negara. Padahal Indonesia sudah meratifikasi kovenan hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), yang artinya negara bukan saja hanya memastikan hak tersebut dapat terpenuhi, tetapi negara juga harus mendorong dan memfasilitasi agar hak-hak tersebut dapat terpenuhi, khususnya bagi kelompok rentan.
Dalam kajian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) terhadap Perda Ketertiban Umum di DKI Jakarta menyatakan secara tegas, bahwa Perda tersebut yang selalu dijadikan legitimasi untuk menggusur PKL dan miskin kota, bertentangan den! gan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan tidak membawa manfaa! t bagi p erbaikan kualitas hidup manusia Indonesia. Dan diindikasi kuat, Perda yang mengatur ketertiban umum di daerah lain juga banyak melanggar konstitusi negara.
Bukan hanya Perda tentang ketertiban umum ini yang dinilai sedang melakukan penghilangan terhadap sebuah entitas rakyat miskin, Perda tentang tata ruang kota juga hanya menjadi alat untuk menggusur rakyat miskin kota. Selain itu, dalam skala nasional, kita bisa juga dapat melihat sesungguhnya untuk siapa penataan ruang itu, misalnya di dalam Undang-Undang tentang Penataan Ruang No. 26/2007 yang sudah disahkan pada bulan April lalu, secara filosofis memang tidak berpihak kepada rakyat miskin, melainkan kepada pemilik modal besar.
!
Tentu saja realitas politik ini semakin memberikan potret yang utuh kepada kita semua, bahwa kota di negara ini memang tidak lagi memberikan politik ruang yang sah kepada kelompok rentan di Ibukota ini untuk bisa hidup di bumi dan tanah yang sesungguhnya secara konstitusi termaktub di dalam Undang-Undang Dasar 1945. Perda tentang ketertiban umum hanya menjadi tameng atas kegagalan paradigma pembangunan yang selalu bertumpu pada nilai-nilai pertumbuhan ekonomi dengan jargon kesejahteraan dengan sistem ekonomi dan politik yang sentralistik. Padahal pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan akumulasi modal, dan tidak pernah memberikan distribusi yang adil bagi seluruh rakyat, terutama bagi rakyat miskin yang tidak memiliki akses dan kontrol terhadap sumber daya.
Kasus kekerasan yang terjadi di Kendari, sesungguhnya memberikan pelajaran penting bagi pengurus kota yang lain, bahwa penggusuran bukan sebuah alternatif di dalam pengelolaan kota. Penggusuran hanya memicu konflik yang lebih panjang, dan bahkan dapat mengakumulasi kemarahan rakyat. Jika pengurus kota Kendari dapat secara konsisten mengimplementasikan visi pembangunan kotanya sampai tahun 2020 untuk mewujudkan kota Kendari sebagai kota dalam taman yang bertakwa, maju, demokratis dan sejahtera, secara politik visi itu harus diturunkan kepada tingkatan rakyat yang selalu menjadi korban dari pembangunan, dalam hal ini kelompok rentan seperti pedagang kaki lima. Belajar melihat krisis dari rakyat, tanyakan kepada rakyat ! apa yang bagi rakyat miskin sebagai sebuah keselamatan dan kesejahteraan. Jika membaca krisis rakyatnya saja tidak mampu, apalagi mengimplementasikan visi dengan jargon kesejahteraan dan demokratis. Sehingga, kebijakan yang dibuat oleh pemerintah kota, bahkan tidak ada relasi sama sekali dengan krisis yang dialami oleh rakyat miskin kota. Karenanya, kekerasan dan menggunakan kekuatan preman menjadi tidak relevam, apalagi hanya untuk melanggengkan sistem kekuasaannya.
Kasus kekerasan dan premanisme yang terjadi di Kendari juga semakin meyakinkan kita, bahwa laporan pemerintah Indonesia tentang bagaimana penegakan HAM dilakukan dengan salah satu indikatornya komitmen reformasi dalam tubuh institusi kepolisian, ternyata tidak menda! sar dan bahkan berbanding terbalik dengan kenyataan di lapanga! n, salah satunya penyerbuan yang dilakukan oleh aparat Kepolisian ke dalam kampus UNHALU di Kendari.
*Penulis adalah Biro Politik dan Ekonomi Pimpinan Pusat Sarekat Hijau Indonesia (SHI), sekaligus anggota Forum Belajar Bersama Prakarsa Rakyat dari Simpul Jabodetabek.
Kamis, 03 April 2008
YANG MERAH DAN YANG HIJAU: PERSPEKTIF KIRI DALAM MEMAHAMI EKOLOGI (bag 3)
Ekologi,Kapitalisme,Sosialisasi Alam (bagian 3)
Sumber : seri bacaan ilmiah yang diterjemahkan dan disunting oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Lembaga PEMBEBASAN, Media dan Ilmu Sosial 20
Baca SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN Strategi-Taktik Untuk Gerakan Lingkungan Hidup Radikal
Oleh: Katherine Yih
Gerakan pro lingkungan di AS, menurut perkiraan Murray Bookchin’s, “bisa jadi merupakan salah satu gerakan paling radikal dalam kurun waktu mulai dari tahun enam puluhan hingga sekarang.” Perspektif ekologi radikal, yang meliputi antara lain ekologi mendalam, ekologi sosial, bioregionalisme, ekofeminisme, maupun pandangan-pandangan Marxis, semuanya mengandung beberapa kritik mendasar atas tatanan politik/ekonomi/sosial yang berkembang di dunia, yang karena itu membedakannya dari environmentalisme arus-utama (terkemuka). Namun, sekalipun tanpa para environmentalis arus-utama (terkemuka), apakah “gerakan” tersebut yang lebih merupakan pencampuradukan organisasi-organisasi yang terbangun oleh beragam idelogi dan menerapkan strategi yang jauh saling berbeda benar-benar memiliki kemauan atau kemampuan untuk mewujudkan perubahan struktural yang dibutuhkan guna menunda dan memulihkan kehancuran lingkungan?
Perspektif kiri dalam ekologi khususnya ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis paling menjanjikan dalam hal merumuskan dan memecahkan persoalan seputar hubungan antara manusia dengan isi alam yang lainnya. Mereka memberikan komitmen pada keadilan dan pemahaman bahwa kapitalisme pada akhirnya menghalangi kesetaraan sosial maupun rasionalitas ekologi. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan penting di antara pandangan-pandangan tersebut, yang berhubungan dengan keampuhan politisnya.
Salah satu titik perbedaan mendasar antara penganut ekologi sosial dan kaum Marxis adalah tingkat penekanan yang mereka berikan untuk persoalan-persoalan ekologis dalam keseluruhan program politik mereka. Penganut ekologi sosial menempatkan ekologi sebagai elemen inti dalam program mereka, dari situ semua yang lainnya dianggap kurang-lebih mengikuti. Bagi kaum Marxis yang memiliki kepekaan ekologis, rasionalitas ekologis lebih merupakan sasaran kritik yang terkait dengan persoalan lain dalam analisis dan program yang lebih luas—menjadi merah sama perlunya dengan menjadi hijau.
Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal sepele dan menimbulkan konsekuensi di lapangan. Sebagai contoh, di Burlington, Vermont (di Burlington sebagian besar anggotanya penganut ekologis sosial), Partai Hijau mengajukan seorang kandidat dalam pemilu raya 1989, yang pertarungan utamanya adalah antara Partai Demokrat dan seorang kandidat independen yang didukung oleh kaum sosialis yang tergabung dalam Koalisi Progresif. Sehingga keikutsertaan Partai Hijau mengancam terpecahnya suara bagi Koalisi Progresif. Akhirnya, Koalisi Progresif menang dengan mudah; hanya 3,4 persen suaranya yang terbagi untuk Partai Hijau. Pada pemilihan anggota Dewan Kotapraja tahun 1990, kandidat Partai Hijau di satu daerah pemilihan jelas-jelas menyatakan bahwa tujuannya bukanlah kemenangan melainkan mengalahkan Koalisi Progresif; Koalisi Progresif kehilangan daerah pemilihan tersebut dengan selisih suara yang tipis dibandingkan dengan jumlah suara milik Partai Hijau.
Adalah penting untuk melihat ideologi dan analisis yang mendasari ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis tentang ekologi secara lebih rinci guna mengevaluasi implikasi-implikasi politiknya dan potensi mereka dalam menghadirkan tatanan sosial serta ekologi yang didambakan.
Ekologi Sosial
Karena berakar dari pandangan anarkis, maka ekologi sosial sangat anti-kapitalis dan menolak semua bentuk dominasi. Banyak kaum Hijau-kiri merupakan pendukung ekologi sosial; yang cukup dikenal adalah Murray Bookchin, yang menggunakan pertama kali istilah tersebut di tahun 1964 dalam esainya Ecology and Revolutionary Thought.
Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait erat dengan kebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi yang salah, melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas, yakni kapitalisme. Selebihnya, sama seperti Marxis, ia menyatakan bahwa “kelas, juga eksploitasi, merupakan landasan bagi akumulasi kapitalis dan keniscayaan menuju pembusukan serta penghancuran planet ini.”
Ekologi sosial memandang manusia terutama sebagai makhluk sosial, bukan sebagai spesies yang tidak dapat dibeda-bedakanmakhluk sosial, yang menurut Bookchin, “sangat berbeda-beda oleh karena status mereka sebagai orang kaya dan miskin, lelaki dan perempuan, hitam dan putih, gay dan ‘straight’, tertindas dan penindas.” Ekologi sosial “menekankan tuntutan keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang secara semena-mena mengeksploitasi manusia, karenanya membutuhkan kemerdekaan kaum tertindas.”
Meski mereka tak diragukan lagi humanis, ekologis sosial tidak memandang alam semata-mata sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan material manusia. Jelas sekali ada penilaian estetis seperti terlihat pada kutipan ini: Lepas dari bayang-bayang keraguan apapun, kita sangat membutuhkan kepekaan ekologisyang ditandai oleh ketakjuban pada evolusi alam dan semarak biosfer dengan beragam bentuknya…Lebih dari itu, alam merupakan suatu proses—proses mengagumkan yang dapat dinikmati dengan caranya sendiri….
Masyarakat ideal bagi penganut ekologi sosial, menurut pendapat Howard Hawkins, adalah sebuah “konfederasi non-hirarkis—masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, dan demokratis, yang berbasiskan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi,” atau, dalam kata-kata Bookchin, “masyarakat berorientasi ekologis yang berbasiskan komunitas-komunitas dengan tata-nilai kemanusiaan yang bersifat bebas, terkonfederasi, yang di dalamnya manusia akan memiliki kendali langsung, tanpa perantara/ perwakilan, atas kehidupan sosial dan perorangannya.”
Hawkins mengkaji aspek langsung, tanpa perantara/perwakilan tersebut: Dengan melandaskan diri pada majelis kerakyatan sebagai kesatuan publik non-hirarkis yang menangani semua kepentingan sosial seperti ekonomi [model anarko-komunis], maka akan terbangun solidaritas sosial yang lebih solid ketimbang memfokuskan diri pada persoalan ekonomi secara lebih sempit seperti model dewan. Dengan menyatukan kembali produksi dan konsumsi, anarko-komunisme hendak menghindari pembagian antara satuan-satuan usaha dan konsumsi yang berbeda-beda, kepentingan-kepentingan ekonomi yang terpisah-pisah, dan kemungkinan munculnya hirarki di antara mereka.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, demokratis, dan dengan tata-nilai kemanusiaan, maka manusia akan memiliki kendali yang lebih besar atas masyarakatnya dan saling memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar satu sama lainnya, yang akan membuat mereka mengelola lingkungan dan sumber daya alamnya secara rasional.
Tentang bagaimana cara untuk menuju ke sana, beberapa penganut ekologi sosial, seperti Brian Tokar, mengatakan bahwa caranya adalah dengan menciptakan alternatif-alternatif yang telah berjalan dengan baik, khususnya bioregionalisme, dikombinasikan dengan konfrontasi langsung dengan perangkat-perangkat/lembaga-lembaga kapitalis (contohnya demonstrasi di Wall Street setelah Hari Bumi, 23 April 1990). Para bioregionalis, yang tidak semuanya mengaku sebagai ekologi sosial, mendukung penarikan diri yang lebih besar dari ekonomi pasar dan memantapkan kemandirian pencukupan kebutuhan regional serta hubungan ekonomi kerjasama di antara komunitas-komunitas yang disatukan.
Ketika strategi ini dijalankan, pandangan tentang masyarakat alternatif tersebut terjerumus dalam tradisi utopian, miskin akan teori yang teruji tentang bagaimana transisi terjadi di bawah hegemoni kapitalis. Bukannya menganggap negara sosialis sebagai tahap yang diperlukan menuju masyarakat tanpa kelas, misalnya, namun kaum ekologis sosial (seperti Bookchin dan Hawkins) justru menolak habis negara, yang menurut mereka sudah pasti merupakan lembaga hirarkis dan tidak demokratis. Juga tak ada pemikiran mengenai dunia ketigabagaimana dunia ketiga terkait dengan negeri-negeri maju dalam hubungan yang tidak setara dan bagaimana aksi di satu tempat mempengaruhi keadaan di tempat lain.
Marxisme dan Ekologi
Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik, menyediakan kerangka yang lebih luas dan matang ketimbang ekologi sosial. Karena itu, keduanya lebih berguna untuk memahami dunia, termasuk dunia “alam”, dan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi tindakan politik. Dua aspek dari teori Marxis yang paling relevan untuk memahami dan melakukan aksi atas isu-isu tentang ekologi serta lingkungan adalah materialisme dialektik dan teori akumulasi.
Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada dan menyadari relevansinya dengan diskusi ekologi karena implikasinya pada cara kita memahami alam. Kini sudah menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis profesional bahwa alam tidaklah statis, bukan sesuatu yang selalu sama, sekalipun tanpa gangguan manusia. Dengan ukuran komunitasnya maupun dengan ukuran biosfernya, alam tidak berada “dalam keseimbangan”, tidak juga berada dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita tahu tidak ada kekuatan apapun yang dapat memastikan kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun komposisi spesies dari komunitas-komunitas. Jadi pernyataan tentang keseimbangan dan keselarasan bersifat idealis dan ideologis. ( “Keseimbangan alam” dinyatakan sebagai analog dari “tangan yang tak terlihat” dalam ekonomidi mana persaingan di antara kekuatan-kekuatan yang berbeda dianggap akan meleburkan dirinya dalam sistem yang seimbang dan stabil.)
Dalam esai mereka Dialectics and Reductionism in Ecology (Dialektika dan Reduksionisme dalam Ekologi) Richard Levins dan Richard Lewontin melancarkan kritik atas idealisme dan juga menolak materialisme reduksionis. Sebagai gantinya mereka mengajukan pendekatan materialis dialektik untuk mengkaji alam. Reduksionisme menggunakan asumsi dasar bahwa fenomena dapat digambarkan secara keseluruhan sebagai gejala dari obyek yang terisolasi, atau dengan kata lain, bahwa “yang keseluruhan” (misalnya komunitas), dapat dipahami semata sebagai penjumlahan dari “yang sebagian” (misalnya spesies dalam komunitas), yang tidak memiliki gejalanya sendiri. Namun, dalam reduksionisme, bagian maupun keseluruhan sama sekali tidak saling menentukan atau mempengaruhi. Keyakinan reduksionis akan dunia atomistik tersebut menyebabkan kegagalan teori ilmiah dan aplikasinyakarena membenarkan penelitian atas bagian-bagian dalam sekat-sekat pembatas antara satu sama lainnya dan meremehkan kebutuhan untuk memahami saling keterhubungan, asal-usul saling keterkaitan, dan sifat-sifat dari keseluruhan yang rumit.
“Ekologi harus menjawab persoalan saling ketergantungan dan otonomi relatif, kemiripan dan perbedaan, umum dan khusus, kesempatan dan kebutuhan, keseimbangan dan perubahan, kontinuitas dan diskontinuitas, proses-proses kontradiktif,” tulis mereka. Menurut mereka filsafat yang efektif untuk memahami karakteristik dan proses-proses tersebut adalah materialisme dialektik, yang “tesis utamanya adalah pendapat bahwa alam mengandung kontradiksi-kontradiksi, bahwa ada kesatuan dan interpenetrasi dari apa yang kelihatannya eksklusif tak saling pengaruh, dan karenanya isu utama bagi ilmu pengetahuan adalah kajian tentang kesatuan dan kontradiksi tersebut.”
Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang harus menjadi Marxis terlebih dulu untuk menjadi ilmuwan yang baik, kritis, sadar akan kontradiksi dalam alam dan menyadari asumsi-asumsi perorangan. Namun Levins dan Lewontin memberi alasan kuatdengan didukung oleh contoh-contoh ekologi populasi dan komunitas, mereka mengatakan bahwa, bagi kita, tak cukup sekadar menggunakan pendekatan materialis, melainkan harus menggunakan pendekatan materialis dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk akal. Pendapat tersebut benar, khususnya dalam ekologi, karena melibatkan penelitian atas sistem yang kompleks secara intrinsik. Hal tersebut mendukung janji-janji materialisme dialektik untuk menjadi alat yang dapat lebih diandalkan ketimbang alat konvensionalyakni cara-cara reduksionis, yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengalihkan teknologi padat modal dan energi menjadi teknologi yang lebih “padat-ide”.
Aspek khusus lain yang relevan dari Marxisme adalah teori akumulasi, yang menjelaskan bahwa syarat pertumbuhan kapitalisme dihasilkan dari upaya kekuatan-kekuatan (perusahaan) dalam menghadapi tekanan-tekanan kompetisi di antara mereka, sehingga memaksa mereka memotong biaya dan mengakumulasikan modal sebagai cara untuk bertahan hidup. Teori tersebut menjelaskan kebutuhan kekuatan-kekuatan kapitalis yang berkompetisi untuk mengeksternalkan sebanyak mungkin biaya produksi menjadi beban masyarakat dalam jumlah besar, termasuk biaya “cuci tangan”(berupa) insentif tetap bagi aktivitas produksi dan konsumsi yang menghasilkan banyak limbah; dan ekspansi internasional kekuatan kapitalis ketika mereka mencari pasar baru, sumber daya baru dan, lebih banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya.
Sehingga, terdapat konflik mendasar antara kapitalisme dan rasionalitas ekologis. Seperti yang dikatakan oleh Paul Sweezy, bahwa catatan buruk (di bidang lingkungan) kapitalisme disebabkan oleh sifat bawaannya yang mengusung proses akumulasi modal yang tak terkendali. Sistem tersebut tak memiliki mekanisme pengerem/pengendali selain krisis ekonomi berkala; satuan-satuan individual yang menyusunnyamodal yang terpisah-pisahharus tanggap terhadap peluang-peluang meraup keuntungan dalam jangka pendek, atau tersingkir; tak ada bagian dalam sistem itu yang membuka diri atau sesuai dengan suatu perencanaan jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi pelaksanaan sebuah program ekologi yang efektif.
Banyak yang berpendapat, merujuk pada catatan lingkungan negeri-negeri sosialis maju, bahwa sosialisme bukan solusi, dan menegaskan bahwa negeri sosialis juga berada di bawah tekanan besar untuk mengakumulasikan modal, mendorong perilaku yang sama dengan perusahaan-perusahaan kapitalis. James O’Connor membantah pendapat kebanyakan tersebut dengan mengatakan bahwa tekanan untuk mengurangi biaya lebih kecil di dalam negeri sosialis (maupun dalam satuan-satuan produksinya) ketimbang dalam perusahaan-perusahaan kapitaliskarena perusahaan-perusahaan kapitalis dibimbing oleh norma-norma pasar; sedangkan perusahaan-perusahaan sosialis dibimbing oleh norma-norma politik. Walaupun pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan kunci dalam negeri sosialis, namun tak ada kebutuhan pertumbuhan sistemik dalam kadar yang sama. Pertumbuhan lebih cenderung menjadi sebuah keputusan politik…. Memang, watak pengerukan sumber daya yang berani dan tak terencananya bertujuan demi pemanfaatan, bukan demi keuntungan, dan pertumbuhan dipandang sebagai sarana, bukan merupakan tujuan antara maupun tujuan akhir, kendati dalam prakteknya tentu tidak selalu demikian.
O’Connor berpendapat bahwa ekonomi sosialis berpotensi menggunakan dan membuang sumber daya dalam jumlah yang lebih kecil ketimbang ekonomi kapitalis, dan konsumsi personal di bawah sosialisme menghasilkan lebih sedikit polusi. Karena dipaksa oleh permintaan, ekonomi kapitalis didasarkan pada pemenuhan kebutuhan berbentuk komoditi, melibatkan penciptaan “kebutuhan-kebutuhan” yang diindividualkan dalam semua jenis komoditi. Di lain pihak, ekonomi sosialis menekankan konsumsi kolektif, tempat pemberhentian massal, fasilitas rekreasi dan liburan bersama, penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan permukiman bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan oleh Sweezy dan Magdoff, negeri-negeri sosialis setidaknya berpotensi membuat beberapa kemajuan signifikan menuju produksi yang rasional secara ekologis.
Kendati demikian, negeri-negeri dengan kebijakan-kebijakan sosialis secara umum memiliki catatan lingkungan yang kurang baik. Sebagian karena keadaan tempat pemerintahan sosialis itu beradarelatif miskin, mendapat serangan-serangan dari luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami ketergantungan ekonomi ala Dunia Ketiga, suatu posisi yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional. Hambatan-hambatan yang saling berhubungan dalam memenuhi kebutuhan material penduduknya, mendorong pembentukan pertahanan militer yang cukup kuat, dan berlanjutnya produksi dan ekspor tanaman industri serta bahan mentah untuk perdagangan luar negerinya, sehingga pengambil kebijakan sosialis lebih menekankan pada akumulasi oleh negarasuatu adopsi yang tidak kritis atas banyak bagian dari pembangunan kapitalis, yang catatannya sangat buruk saat berhadapan dengan lingkungan (meskipun, tentu saja, ada beberapa pengecualian).
Tapi factor-faktor yang melekat pada ideologi sosialis juga memberikan sumbangan terhadap karakter kebijakan ekonomi sosialis tersebut. Salah satunya adalah produksionisme Marxisme, yang dicatat oleh Arthur MacEwan sebagai kelemahan penting yang menyebabkan diutamakannya kemajuan dalam produksi di atas kemajuan dalam bidang lain, dan subordinasi tujuan-tujuan lain di bawah akumulasi sosialis. Faktor lain, dalam pandangan Michael Redclift, adalah cara Marxisme mengkonseptualisasikan nilai (value)mendasarkannya pada waktu kerja, karena memang begitu adanya, ketimbang mendasarkannya pada sifat-sifat bawaan dari material alam, sehingga membuat “nilai” lingkungan menjadi tak jelas.
Akhirnya, karena gagal menyadari demokrasi yang sepenuh-penuhnya maka ekonomi dan politik di bawah kapitalisme atau sosialisme menjadi persoalan mendasar dalam krisis ekologis. Seperti ditulis oleh Barry Commoner, “pemerintahan sosial produksi telah gagal diwujudkan baik dalam negeri kapitalisme maupun negeri sosialisme. Apa yang dibutuhkan adalah perluasan demokrasi hingga ke ajang di mana keputusan produksi dibuat.” Agak senada, Redclift mengatakan bahwa individu-individu baik dalam masyarakat industrial kapitalis maupun sosialis makin dibatasi dalam ikut bertanggung jawab atas lingkungan terdekat mereka sendiri dan lingkungan lain di masyrakat yang lain. Dalam penelitiannya tentang gerakan Hijau di Eropa Timur, ia menyimpulkan bahwa krisis ekologi berhubungan erat dengan penghargaan yang kurang terhadap hak-hak dasar manusia, kebebasan informasi, dan demokrasi partisipatoris.
Meskipun kecenderungan bawaan kapitalisme membuang sampah (ke lingkungan) adalah konsekuensi dari syarat-syarat pertumbuhannya, kita tidak boleh “meragukan kecerdikan kapitalisme dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri,” seperti diperingatkan oleh Andre Gorz dalam Ecology in Politics. Dalam tingkat tertentu, terlihat jelas bahwa kapitalisme bisa menerima keprihatinan ekologi, sejauh solusi-solusinya bisa dikomoditikan. Jika masyarakat akan puas dengan air minum yang bersihsementara sungai dan air tanah berpolusimaka kami akan menjual air dalam botol dan menyaringnya untuk disimpan. Jika agen pengontrol biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan bagi produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan mungkin penggunaan pestisida yang berbahaya akan berkurang. Perusahaan-perusahaan kapitalis, jauh-jauh hari sebelum dipaksa, bukan saja karena alasan politik tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mmpertimbangkan sumber-sumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah dan populasi serangga bermanfaat, sebagai persediaan modal dalam perhitungan mereka.
Kendati beberapa masalah lingkungan dapat dipermak di sana-sini dalam konteks kapitalisme, tapi tidak demikian halnya dengan masalah lingkungan secara keseluruhan. Itu karena kecenderungan kapital untuk berekspansi secara internasionalketika kapital dibatasi di tingkat lokal (contohnya, ketika pemerintah setempat menanggapi tekanan dari para environmentalis dan menerapkan regulasi berbiaya tinggi pada industri swasta demi perlindungan lingkungan), maka ia akan pindah.
Tindakan Politik
Dalam pemahaman akhir, tuntutan akan rasionalitas ekologis dalam skala besar merupakan tuntutan radikal karena pemenuhannya membutuhkan perubahan struktural yang mendasar. Hal itu tentu tidak dipahami sepenuhnya oleh gerakan lingkungan, banyak partisipannya melihat bahwa tuntutan dan tujuan aksi-aksi mereka hanyalah untuk menerapkan perangkat-perangkat khusus perlindungan lingkungan. Peran khusus dari sayap kiri (ekologis sosial dan Marxis) dalam gerakan lingkungan adalah untuk secara berkelanjutan mengekspresikan politik dari keprihatinan ekologisbahwa kemerosotan lingkungan bukan lah masalah “industri” atau “modernisasi” yang lepas dari hubungan-hubungan sosial produksi dan pertukaran. Bukan pula persoalan ideologi, yang selesai dengan kesadaran lingkungan yang lebih besar atau perubahan dalam gaya hidup perorangan. Kemerosotan lingkungan adalah persoalan kontrol yang tidak demokratis atas sumber daya-sumber daya dan proses pengambilan keputusan.
Walaupun pandangan ekologi sosial dan Marxis memiliki kesamaan dalam humanisme dan anti kapitalismenya, sesungguhnya mereka berbeda dalam cara mewujudkannya. Dalam praktek politik, posisi tegas Marxisme adalah bahwa ekologi tidak dapat (secara tersendiri) menjadi tujuan khusus dari suatu masyarakat atau suatu program. Sebaliknya, ekologis sosial, seperti yang mereka tunjukkan dalam analisis-analisis dan peran politiknya dalam partai-partai Hijau dan organisasi-organisasinya, mendefinisikan politiknya dalam konteks ekologi dan menurunkan model masyarakat mereka dari ekologi atau kriteria-kriteria ekologis. Misalnya, ekologis sosial melihat desentralisasi sebagai elemen kunci dari masyarakat yang rasional secara ekologis. Namun, seperti dinyatakan oleh O’Connor, merujuk pengalaman Cina, desentralisasi industri, dalam ukuran ekonomi, mempersulit upaya untuk mewujudkan pengelolaan limbah, dan menyebabkan permasalahan-permasalahan polusi yang parah di tingkat lokal. Terlebih lagi, menentukan ekologi sebagai satu-satunya kriteria untuk aksi, seseorang mungkin akan menolak kapitalisme tapi tak tahu ke mana harus pergi. Seperti dipahami oleh Gorz, “ekologi tidak perlu melakukan penolakan terhadap otoritarianisme, solusi-solusi teknofasis,” karena dengan itu aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan perlindungan lingkungan dapat diterapkan pada penduduk secara paksa.
Konflik yang sering dikedepankan adalah, di satu sisi, antara lapangan kerja atau keberlangsungan ekonomi dan, di sisi lain, kualitas lingkungan. Konflik tersebut sebenarnya tidak ada. Contohnya, menghadapi perlawanan kaum pecinta lingkungan (environmentalist)terakhir paling terlihat dalam kampanye Redwood Summer tahun 1990 untuk menyelamatkan Redwoods yang sudah lama tumbuh di California utaraindustri kayu California menyalahkan upaya-upaya pelestarian atas hilangnya lapangan kerja perkayuan. Kenyataannya industri itu sendiri yang bertanggung jawab. Dalam dekade terakhir saat produksi kayu di Humboldt County (salah satu lokasi aksi-aksi Redwood Summer) meningkat hingga lebih 50%, jumlah pekerja perkayuan menurun hingga 35%. Otomatisasi dan ekspor gelondongan untuk digergaji di luar negeri menyebabkan hilangnya lapangan kerja, dan walau ada penebangan berlebihan lapangan kerja perkayuan akan tetap menurun di kemudian hari.
Analisis politik yang lebih besar diperlukan untuk bergerak menuju tatanan yang lebih sosial dan rasional secara ekologis. Program yang menghubungkannya harus mencakup baik tujuan rasionalitas ekologis maupun tujuan keadilan dan demokrasi yang lebih didefinisikan secara sosial. Perspektif Marxis menyediakan elemen penting dalam analisis politiknya yang lebih besardengan kritiknya pada kapitalisme dan khususnya teori akumulasi. Akumulasi kapitalis tidak hanya mendasari dan menggerakkan perusakan lingkungan, tapi juga penderitaan-penderitaan yang lain, seperti penerapan kontrol ekonomi dan politik oleh kepentingan kapitalis atas manusia di seluruh dunia. Hasilnya, jika kapitalisme adalah masalahnya, maka secara logis tidak lengkap dan secara politis dangkal jika membangun gerakan semata berbasis utama pada keprihatinan ekologis.
Akumulasi kapitalis, dan mobilitas, ekspansi, serta kontrol yang mengikutinya, memiliki implikasi langsung terhadap aksi politik kita di seputar isu lingkungan. Aksi kita harus diluaskan secara geografis jika tidak ingin menghasilkan kualitas lingkungan (yang baik) dan keselamatan untuk sekelompok orang tapi dengan mengorbankan lingkungan, kesehatan, atau nyawa orang lain. Contohnya, agitasi oleh para pecinta lingkungan dan konsumen di AS dalam menolak residu dari pestisida yang mengendap dan menyebabkan kanker (organoklorin seperti DBCP) telah membuat perusahaan-perusahaan yang memproduksinya “membuang” pestisida-pestisida tersebut ke Dunia Ketiga dan menggantinya dengan pestisida yang tidak menetap di tubuh tapi lebih beracun (organofosfat seperti parathion). Hasilnya, buruh tani di AS dan di luar negeri, yang mengerjakan tanaman budidaya untuk pasar AS, kemudian menderita lebih banyak keracunan dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Di AS sendiri, kaum pecinta lingkungan menghasilkan dampak yang tak merataterdapat kecenderungan yang nyata untuk menempatkan sampah mematikan di lingkungan miskin orang-orang African-American, Latino dan penduduk asli Amerika berkaitan dengan rasisme dan kurangnya kekuatan politik komunitas-komunitas tersebut dibandingkan dengan warga yang lebih kaya atau tetangga kulit putih mereka.
Melemahnya negara-bangsa berhadapan dengan kapital adalah alasan lain mengapa pengorganisasian lingkungan harus berlingkup internasional. Pada musim gugur 1989 misalnya, dalam menanggapi Belanda yang memberlakukan aturan emisi kendaraan, Prancis membawanya ke pengadilan Eropa. Pemerintah Prancis berargumen bahwa hukum Belanda menunjukkan pengingkaran terhadap kesepakatan Pasar Umum, karena mobil Prancis akan terhalangi untuk dijual di Belanda. Prancis memenangkan kasus tersebut.
Sebagai tambahan, untuk mengkonsolidasikan dan mempolitisir perlawanan-perlawanan lokal yang sudah adamelawan pembuangan limbah beracun, pestisida, penambangan tak terkendali, dan lain sebagainyademi kesatuan dan dampak politik yang lebih besar, kita perlu mulai mengkoordinasikannya dalam gerakan nasional dan internasional. Itu sama dengan internasionalisasi pengorganisasian buruh, yang diperlukan karena alasan yang sama.
Banyak gerakan lingkungan di Dunia Ketiga terdiri dari orang-orang yang lingkungan hidupnya mengalami ancaman langsung dari polusi dan ekstraksi sumber daya. Beberapanya secara sadar anti imperialis dan atau sosialis. Tapi gerakan dan organisasi-organisasi Dunia Ketiga tersebut biasanya kekurangan sumber daya untuk melakukan lebih banyak koordinasi internasional. Organisasi-organisasi lingkungan progresif yang berbasis di negeri-negeri yang lebih kaya dapat memainkan peran penting dalam internasionalisasi aktivisme lingkungan, tidak hanya dengan kerja solidaritas jangka panjang, seperti pekerjaan New World Agriculture Group di Nikaragua, tapi juga melalui pembangunan jaringan organisasi-organisasi dan koordinasi aktivisme dalam skala internasional. Contoh dari organisasi yang membantu membangun jaringan internasional dan mengkoordinir aksinya adalah Pesticide Action Network, Greenpeace (yang sudah mengangkat dan melawan ekspor pestisida serta limbah beracun berbahaya), dan mereka yang membantu mengorganisir Fourth Internasional Congress in the Fate and Hope of the Earth yang diselenggarakan di Managua bulan Juni 1989, termasuk Earth Island Institute dan Environmental Project on Central America (EPOCA).
Karena mustahil menerapkan rasionalitas ekologis dalam skala luas di bawah kapitalisme, para pecinta lingkungan dan gerakan lingkungan dapat, dan di beberapa bagian dunia sudah, menjadi agen-agen perubahan revolusioner. Untuk mewujudkan potensi itu, para aktivis harus mengingat bahwa:
• permasalahan-permasalahan ekologi adalah masalah politis dalam makna bahwa maslah-maslah tersebut dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan-kesenjangan kontrol atas sumber daya dan kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa;
• ekologi tidak dapat menjadi program politik itu sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari analisa dan program yang lebih luas;
• perlu memehami kapitalisme, dan khususnya dinamika akumulasi modal, agar mengerti mengapa kerusakan lingkungan terjadi dan akan terus berlanjut dalam dunia yang kapitalistik;
• oleh karena mobilitas dan ekspansi modal, serta melemahnya negara-bangsa, maka perlu mengkoordinasikan strategi secara internasional.
Sumber : seri bacaan ilmiah yang diterjemahkan dan disunting oleh Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) dan Lembaga PEMBEBASAN, Media dan Ilmu Sosial 20
Baca SERANG DI TEMPAT YANG MEMATIKAN Strategi-Taktik Untuk Gerakan Lingkungan Hidup Radikal
Oleh: Katherine Yih
Gerakan pro lingkungan di AS, menurut perkiraan Murray Bookchin’s, “bisa jadi merupakan salah satu gerakan paling radikal dalam kurun waktu mulai dari tahun enam puluhan hingga sekarang.” Perspektif ekologi radikal, yang meliputi antara lain ekologi mendalam, ekologi sosial, bioregionalisme, ekofeminisme, maupun pandangan-pandangan Marxis, semuanya mengandung beberapa kritik mendasar atas tatanan politik/ekonomi/sosial yang berkembang di dunia, yang karena itu membedakannya dari environmentalisme arus-utama (terkemuka). Namun, sekalipun tanpa para environmentalis arus-utama (terkemuka), apakah “gerakan” tersebut yang lebih merupakan pencampuradukan organisasi-organisasi yang terbangun oleh beragam idelogi dan menerapkan strategi yang jauh saling berbeda benar-benar memiliki kemauan atau kemampuan untuk mewujudkan perubahan struktural yang dibutuhkan guna menunda dan memulihkan kehancuran lingkungan?
Perspektif kiri dalam ekologi khususnya ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis paling menjanjikan dalam hal merumuskan dan memecahkan persoalan seputar hubungan antara manusia dengan isi alam yang lainnya. Mereka memberikan komitmen pada keadilan dan pemahaman bahwa kapitalisme pada akhirnya menghalangi kesetaraan sosial maupun rasionalitas ekologi. Kendati demikian, ada beberapa perbedaan penting di antara pandangan-pandangan tersebut, yang berhubungan dengan keampuhan politisnya.
Salah satu titik perbedaan mendasar antara penganut ekologi sosial dan kaum Marxis adalah tingkat penekanan yang mereka berikan untuk persoalan-persoalan ekologis dalam keseluruhan program politik mereka. Penganut ekologi sosial menempatkan ekologi sebagai elemen inti dalam program mereka, dari situ semua yang lainnya dianggap kurang-lebih mengikuti. Bagi kaum Marxis yang memiliki kepekaan ekologis, rasionalitas ekologis lebih merupakan sasaran kritik yang terkait dengan persoalan lain dalam analisis dan program yang lebih luas—menjadi merah sama perlunya dengan menjadi hijau.
Perbedaan-perbedaan tersebut bukanlah hal sepele dan menimbulkan konsekuensi di lapangan. Sebagai contoh, di Burlington, Vermont (di Burlington sebagian besar anggotanya penganut ekologis sosial), Partai Hijau mengajukan seorang kandidat dalam pemilu raya 1989, yang pertarungan utamanya adalah antara Partai Demokrat dan seorang kandidat independen yang didukung oleh kaum sosialis yang tergabung dalam Koalisi Progresif. Sehingga keikutsertaan Partai Hijau mengancam terpecahnya suara bagi Koalisi Progresif. Akhirnya, Koalisi Progresif menang dengan mudah; hanya 3,4 persen suaranya yang terbagi untuk Partai Hijau. Pada pemilihan anggota Dewan Kotapraja tahun 1990, kandidat Partai Hijau di satu daerah pemilihan jelas-jelas menyatakan bahwa tujuannya bukanlah kemenangan melainkan mengalahkan Koalisi Progresif; Koalisi Progresif kehilangan daerah pemilihan tersebut dengan selisih suara yang tipis dibandingkan dengan jumlah suara milik Partai Hijau.
Adalah penting untuk melihat ideologi dan analisis yang mendasari ekologi sosial dan pandangan-pandangan Marxis tentang ekologi secara lebih rinci guna mengevaluasi implikasi-implikasi politiknya dan potensi mereka dalam menghadirkan tatanan sosial serta ekologi yang didambakan.
Ekologi Sosial
Karena berakar dari pandangan anarkis, maka ekologi sosial sangat anti-kapitalis dan menolak semua bentuk dominasi. Banyak kaum Hijau-kiri merupakan pendukung ekologi sosial; yang cukup dikenal adalah Murray Bookchin, yang menggunakan pertama kali istilah tersebut di tahun 1964 dalam esainya Ecology and Revolutionary Thought.
Bookchin memandang kemerosotan kualitas lingkungan terkait erat dengan kebutuhan/keinginan kapitalisme. Jadi, bukan industri dan teknologi yang salah, melainkan sistem ekonomi yang tak pernah puas, yakni kapitalisme. Selebihnya, sama seperti Marxis, ia menyatakan bahwa “kelas, juga eksploitasi, merupakan landasan bagi akumulasi kapitalis dan keniscayaan menuju pembusukan serta penghancuran planet ini.”
Ekologi sosial memandang manusia terutama sebagai makhluk sosial, bukan sebagai spesies yang tidak dapat dibeda-bedakanmakhluk sosial, yang menurut Bookchin, “sangat berbeda-beda oleh karena status mereka sebagai orang kaya dan miskin, lelaki dan perempuan, hitam dan putih, gay dan ‘straight’, tertindas dan penindas.” Ekologi sosial “menekankan tuntutan keadilan dari kaum tertindas terhadap masyarakat yang secara semena-mena mengeksploitasi manusia, karenanya membutuhkan kemerdekaan kaum tertindas.”
Meski mereka tak diragukan lagi humanis, ekologis sosial tidak memandang alam semata-mata sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhan material manusia. Jelas sekali ada penilaian estetis seperti terlihat pada kutipan ini: Lepas dari bayang-bayang keraguan apapun, kita sangat membutuhkan kepekaan ekologisyang ditandai oleh ketakjuban pada evolusi alam dan semarak biosfer dengan beragam bentuknya…Lebih dari itu, alam merupakan suatu proses—proses mengagumkan yang dapat dinikmati dengan caranya sendiri….
Masyarakat ideal bagi penganut ekologi sosial, menurut pendapat Howard Hawkins, adalah sebuah “konfederasi non-hirarkis—masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, dan demokratis, yang berbasiskan kepemilikan bersama atas alat-alat produksi,” atau, dalam kata-kata Bookchin, “masyarakat berorientasi ekologis yang berbasiskan komunitas-komunitas dengan tata-nilai kemanusiaan yang bersifat bebas, terkonfederasi, yang di dalamnya manusia akan memiliki kendali langsung, tanpa perantara/ perwakilan, atas kehidupan sosial dan perorangannya.”
Hawkins mengkaji aspek langsung, tanpa perantara/perwakilan tersebut: Dengan melandaskan diri pada majelis kerakyatan sebagai kesatuan publik non-hirarkis yang menangani semua kepentingan sosial seperti ekonomi [model anarko-komunis], maka akan terbangun solidaritas sosial yang lebih solid ketimbang memfokuskan diri pada persoalan ekonomi secara lebih sempit seperti model dewan. Dengan menyatukan kembali produksi dan konsumsi, anarko-komunisme hendak menghindari pembagian antara satuan-satuan usaha dan konsumsi yang berbeda-beda, kepentingan-kepentingan ekonomi yang terpisah-pisah, dan kemungkinan munculnya hirarki di antara mereka.
Asumsi yang digunakan adalah bahwa dalam masyarakat tanpa kenegaraan, terdesentralisasi, demokratis, dan dengan tata-nilai kemanusiaan, maka manusia akan memiliki kendali yang lebih besar atas masyarakatnya dan saling memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar satu sama lainnya, yang akan membuat mereka mengelola lingkungan dan sumber daya alamnya secara rasional.
Tentang bagaimana cara untuk menuju ke sana, beberapa penganut ekologi sosial, seperti Brian Tokar, mengatakan bahwa caranya adalah dengan menciptakan alternatif-alternatif yang telah berjalan dengan baik, khususnya bioregionalisme, dikombinasikan dengan konfrontasi langsung dengan perangkat-perangkat/lembaga-lembaga kapitalis (contohnya demonstrasi di Wall Street setelah Hari Bumi, 23 April 1990). Para bioregionalis, yang tidak semuanya mengaku sebagai ekologi sosial, mendukung penarikan diri yang lebih besar dari ekonomi pasar dan memantapkan kemandirian pencukupan kebutuhan regional serta hubungan ekonomi kerjasama di antara komunitas-komunitas yang disatukan.
Ketika strategi ini dijalankan, pandangan tentang masyarakat alternatif tersebut terjerumus dalam tradisi utopian, miskin akan teori yang teruji tentang bagaimana transisi terjadi di bawah hegemoni kapitalis. Bukannya menganggap negara sosialis sebagai tahap yang diperlukan menuju masyarakat tanpa kelas, misalnya, namun kaum ekologis sosial (seperti Bookchin dan Hawkins) justru menolak habis negara, yang menurut mereka sudah pasti merupakan lembaga hirarkis dan tidak demokratis. Juga tak ada pemikiran mengenai dunia ketigabagaimana dunia ketiga terkait dengan negeri-negeri maju dalam hubungan yang tidak setara dan bagaimana aksi di satu tempat mempengaruhi keadaan di tempat lain.
Marxisme dan Ekologi
Marxisme, sebagai filsafat dan teori ekonomi-politik, menyediakan kerangka yang lebih luas dan matang ketimbang ekologi sosial. Karena itu, keduanya lebih berguna untuk memahami dunia, termasuk dunia “alam”, dan memberikan landasan yang lebih kokoh bagi tindakan politik. Dua aspek dari teori Marxis yang paling relevan untuk memahami dan melakukan aksi atas isu-isu tentang ekologi serta lingkungan adalah materialisme dialektik dan teori akumulasi.
Materialisme dialektik, sebagai filsafat, menjadi ada dan menyadari relevansinya dengan diskusi ekologi karena implikasinya pada cara kita memahami alam. Kini sudah menjadi pemahaman umum di kalangan ekologis profesional bahwa alam tidaklah statis, bukan sesuatu yang selalu sama, sekalipun tanpa gangguan manusia. Dengan ukuran komunitasnya maupun dengan ukuran biosfernya, alam tidak berada “dalam keseimbangan”, tidak juga berada dalam “keadaan terbaik”-nya. Kita tahu tidak ada kekuatan apapun yang dapat memastikan kesetimbangan stabil dari jumlah populasi ataupun komposisi spesies dari komunitas-komunitas. Jadi pernyataan tentang keseimbangan dan keselarasan bersifat idealis dan ideologis. ( “Keseimbangan alam” dinyatakan sebagai analog dari “tangan yang tak terlihat” dalam ekonomidi mana persaingan di antara kekuatan-kekuatan yang berbeda dianggap akan meleburkan dirinya dalam sistem yang seimbang dan stabil.)
Dalam esai mereka Dialectics and Reductionism in Ecology (Dialektika dan Reduksionisme dalam Ekologi) Richard Levins dan Richard Lewontin melancarkan kritik atas idealisme dan juga menolak materialisme reduksionis. Sebagai gantinya mereka mengajukan pendekatan materialis dialektik untuk mengkaji alam. Reduksionisme menggunakan asumsi dasar bahwa fenomena dapat digambarkan secara keseluruhan sebagai gejala dari obyek yang terisolasi, atau dengan kata lain, bahwa “yang keseluruhan” (misalnya komunitas), dapat dipahami semata sebagai penjumlahan dari “yang sebagian” (misalnya spesies dalam komunitas), yang tidak memiliki gejalanya sendiri. Namun, dalam reduksionisme, bagian maupun keseluruhan sama sekali tidak saling menentukan atau mempengaruhi. Keyakinan reduksionis akan dunia atomistik tersebut menyebabkan kegagalan teori ilmiah dan aplikasinyakarena membenarkan penelitian atas bagian-bagian dalam sekat-sekat pembatas antara satu sama lainnya dan meremehkan kebutuhan untuk memahami saling keterhubungan, asal-usul saling keterkaitan, dan sifat-sifat dari keseluruhan yang rumit.
“Ekologi harus menjawab persoalan saling ketergantungan dan otonomi relatif, kemiripan dan perbedaan, umum dan khusus, kesempatan dan kebutuhan, keseimbangan dan perubahan, kontinuitas dan diskontinuitas, proses-proses kontradiktif,” tulis mereka. Menurut mereka filsafat yang efektif untuk memahami karakteristik dan proses-proses tersebut adalah materialisme dialektik, yang “tesis utamanya adalah pendapat bahwa alam mengandung kontradiksi-kontradiksi, bahwa ada kesatuan dan interpenetrasi dari apa yang kelihatannya eksklusif tak saling pengaruh, dan karenanya isu utama bagi ilmu pengetahuan adalah kajian tentang kesatuan dan kontradiksi tersebut.”
Mungkin berlebihan jika berpendapat bahwa seseorang harus menjadi Marxis terlebih dulu untuk menjadi ilmuwan yang baik, kritis, sadar akan kontradiksi dalam alam dan menyadari asumsi-asumsi perorangan. Namun Levins dan Lewontin memberi alasan kuatdengan didukung oleh contoh-contoh ekologi populasi dan komunitas, mereka mengatakan bahwa, bagi kita, tak cukup sekadar menggunakan pendekatan materialis, melainkan harus menggunakan pendekatan materialis dialektik pada hal-hal khusus agar dunia menjadi masuk akal. Pendapat tersebut benar, khususnya dalam ekologi, karena melibatkan penelitian atas sistem yang kompleks secara intrinsik. Hal tersebut mendukung janji-janji materialisme dialektik untuk menjadi alat yang dapat lebih diandalkan ketimbang alat konvensionalyakni cara-cara reduksionis, yang menggunakan ilmu pengetahuan untuk mengalihkan teknologi padat modal dan energi menjadi teknologi yang lebih “padat-ide”.
Aspek khusus lain yang relevan dari Marxisme adalah teori akumulasi, yang menjelaskan bahwa syarat pertumbuhan kapitalisme dihasilkan dari upaya kekuatan-kekuatan (perusahaan) dalam menghadapi tekanan-tekanan kompetisi di antara mereka, sehingga memaksa mereka memotong biaya dan mengakumulasikan modal sebagai cara untuk bertahan hidup. Teori tersebut menjelaskan kebutuhan kekuatan-kekuatan kapitalis yang berkompetisi untuk mengeksternalkan sebanyak mungkin biaya produksi menjadi beban masyarakat dalam jumlah besar, termasuk biaya “cuci tangan”(berupa) insentif tetap bagi aktivitas produksi dan konsumsi yang menghasilkan banyak limbah; dan ekspansi internasional kekuatan kapitalis ketika mereka mencari pasar baru, sumber daya baru dan, lebih banyak lagi tempat baru untuk membuang limbahnya.
Sehingga, terdapat konflik mendasar antara kapitalisme dan rasionalitas ekologis. Seperti yang dikatakan oleh Paul Sweezy, bahwa catatan buruk (di bidang lingkungan) kapitalisme disebabkan oleh sifat bawaannya yang mengusung proses akumulasi modal yang tak terkendali. Sistem tersebut tak memiliki mekanisme pengerem/pengendali selain krisis ekonomi berkala; satuan-satuan individual yang menyusunnyamodal yang terpisah-pisahharus tanggap terhadap peluang-peluang meraup keuntungan dalam jangka pendek, atau tersingkir; tak ada bagian dalam sistem itu yang membuka diri atau sesuai dengan suatu perencanaan jangka panjang yang mutlak sangat penting bagi pelaksanaan sebuah program ekologi yang efektif.
Banyak yang berpendapat, merujuk pada catatan lingkungan negeri-negeri sosialis maju, bahwa sosialisme bukan solusi, dan menegaskan bahwa negeri sosialis juga berada di bawah tekanan besar untuk mengakumulasikan modal, mendorong perilaku yang sama dengan perusahaan-perusahaan kapitalis. James O’Connor membantah pendapat kebanyakan tersebut dengan mengatakan bahwa tekanan untuk mengurangi biaya lebih kecil di dalam negeri sosialis (maupun dalam satuan-satuan produksinya) ketimbang dalam perusahaan-perusahaan kapitaliskarena perusahaan-perusahaan kapitalis dibimbing oleh norma-norma pasar; sedangkan perusahaan-perusahaan sosialis dibimbing oleh norma-norma politik. Walaupun pertumbuhan ekonomi juga menjadi tujuan kunci dalam negeri sosialis, namun tak ada kebutuhan pertumbuhan sistemik dalam kadar yang sama. Pertumbuhan lebih cenderung menjadi sebuah keputusan politik…. Memang, watak pengerukan sumber daya yang berani dan tak terencananya bertujuan demi pemanfaatan, bukan demi keuntungan, dan pertumbuhan dipandang sebagai sarana, bukan merupakan tujuan antara maupun tujuan akhir, kendati dalam prakteknya tentu tidak selalu demikian.
O’Connor berpendapat bahwa ekonomi sosialis berpotensi menggunakan dan membuang sumber daya dalam jumlah yang lebih kecil ketimbang ekonomi kapitalis, dan konsumsi personal di bawah sosialisme menghasilkan lebih sedikit polusi. Karena dipaksa oleh permintaan, ekonomi kapitalis didasarkan pada pemenuhan kebutuhan berbentuk komoditi, melibatkan penciptaan “kebutuhan-kebutuhan” yang diindividualkan dalam semua jenis komoditi. Di lain pihak, ekonomi sosialis menekankan konsumsi kolektif, tempat pemberhentian massal, fasilitas rekreasi dan liburan bersama, penanganan kesehatan bersifat pencegahan, dan permukiman bersama. Sehingga, seperti juga dikemukakan oleh Sweezy dan Magdoff, negeri-negeri sosialis setidaknya berpotensi membuat beberapa kemajuan signifikan menuju produksi yang rasional secara ekologis.
Kendati demikian, negeri-negeri dengan kebijakan-kebijakan sosialis secara umum memiliki catatan lingkungan yang kurang baik. Sebagian karena keadaan tempat pemerintahan sosialis itu beradarelatif miskin, mendapat serangan-serangan dari luar dan, khususnya bagi yang kecil, mengalami ketergantungan ekonomi ala Dunia Ketiga, suatu posisi yang tidak menguntungkan dalam pasar internasional. Hambatan-hambatan yang saling berhubungan dalam memenuhi kebutuhan material penduduknya, mendorong pembentukan pertahanan militer yang cukup kuat, dan berlanjutnya produksi dan ekspor tanaman industri serta bahan mentah untuk perdagangan luar negerinya, sehingga pengambil kebijakan sosialis lebih menekankan pada akumulasi oleh negarasuatu adopsi yang tidak kritis atas banyak bagian dari pembangunan kapitalis, yang catatannya sangat buruk saat berhadapan dengan lingkungan (meskipun, tentu saja, ada beberapa pengecualian).
Tapi factor-faktor yang melekat pada ideologi sosialis juga memberikan sumbangan terhadap karakter kebijakan ekonomi sosialis tersebut. Salah satunya adalah produksionisme Marxisme, yang dicatat oleh Arthur MacEwan sebagai kelemahan penting yang menyebabkan diutamakannya kemajuan dalam produksi di atas kemajuan dalam bidang lain, dan subordinasi tujuan-tujuan lain di bawah akumulasi sosialis. Faktor lain, dalam pandangan Michael Redclift, adalah cara Marxisme mengkonseptualisasikan nilai (value)mendasarkannya pada waktu kerja, karena memang begitu adanya, ketimbang mendasarkannya pada sifat-sifat bawaan dari material alam, sehingga membuat “nilai” lingkungan menjadi tak jelas.
Akhirnya, karena gagal menyadari demokrasi yang sepenuh-penuhnya maka ekonomi dan politik di bawah kapitalisme atau sosialisme menjadi persoalan mendasar dalam krisis ekologis. Seperti ditulis oleh Barry Commoner, “pemerintahan sosial produksi telah gagal diwujudkan baik dalam negeri kapitalisme maupun negeri sosialisme. Apa yang dibutuhkan adalah perluasan demokrasi hingga ke ajang di mana keputusan produksi dibuat.” Agak senada, Redclift mengatakan bahwa individu-individu baik dalam masyarakat industrial kapitalis maupun sosialis makin dibatasi dalam ikut bertanggung jawab atas lingkungan terdekat mereka sendiri dan lingkungan lain di masyrakat yang lain. Dalam penelitiannya tentang gerakan Hijau di Eropa Timur, ia menyimpulkan bahwa krisis ekologi berhubungan erat dengan penghargaan yang kurang terhadap hak-hak dasar manusia, kebebasan informasi, dan demokrasi partisipatoris.
Meskipun kecenderungan bawaan kapitalisme membuang sampah (ke lingkungan) adalah konsekuensi dari syarat-syarat pertumbuhannya, kita tidak boleh “meragukan kecerdikan kapitalisme dan kemampuannya untuk menyesuaikan diri,” seperti diperingatkan oleh Andre Gorz dalam Ecology in Politics. Dalam tingkat tertentu, terlihat jelas bahwa kapitalisme bisa menerima keprihatinan ekologi, sejauh solusi-solusinya bisa dikomoditikan. Jika masyarakat akan puas dengan air minum yang bersihsementara sungai dan air tanah berpolusimaka kami akan menjual air dalam botol dan menyaringnya untuk disimpan. Jika agen pengontrol biologis dapat dikemas dan dijual demi keuntungan bagi produsen pertanian, hal itu akan dilakukan, dan mungkin penggunaan pestisida yang berbahaya akan berkurang. Perusahaan-perusahaan kapitalis, jauh-jauh hari sebelum dipaksa, bukan saja karena alasan politik tapi juga karena alasan ekonomi, sudah mmpertimbangkan sumber-sumber daya ekologi, seperti unsur hara tanah dan populasi serangga bermanfaat, sebagai persediaan modal dalam perhitungan mereka.
Kendati beberapa masalah lingkungan dapat dipermak di sana-sini dalam konteks kapitalisme, tapi tidak demikian halnya dengan masalah lingkungan secara keseluruhan. Itu karena kecenderungan kapital untuk berekspansi secara internasionalketika kapital dibatasi di tingkat lokal (contohnya, ketika pemerintah setempat menanggapi tekanan dari para environmentalis dan menerapkan regulasi berbiaya tinggi pada industri swasta demi perlindungan lingkungan), maka ia akan pindah.
Tindakan Politik
Dalam pemahaman akhir, tuntutan akan rasionalitas ekologis dalam skala besar merupakan tuntutan radikal karena pemenuhannya membutuhkan perubahan struktural yang mendasar. Hal itu tentu tidak dipahami sepenuhnya oleh gerakan lingkungan, banyak partisipannya melihat bahwa tuntutan dan tujuan aksi-aksi mereka hanyalah untuk menerapkan perangkat-perangkat khusus perlindungan lingkungan. Peran khusus dari sayap kiri (ekologis sosial dan Marxis) dalam gerakan lingkungan adalah untuk secara berkelanjutan mengekspresikan politik dari keprihatinan ekologisbahwa kemerosotan lingkungan bukan lah masalah “industri” atau “modernisasi” yang lepas dari hubungan-hubungan sosial produksi dan pertukaran. Bukan pula persoalan ideologi, yang selesai dengan kesadaran lingkungan yang lebih besar atau perubahan dalam gaya hidup perorangan. Kemerosotan lingkungan adalah persoalan kontrol yang tidak demokratis atas sumber daya-sumber daya dan proses pengambilan keputusan.
Walaupun pandangan ekologi sosial dan Marxis memiliki kesamaan dalam humanisme dan anti kapitalismenya, sesungguhnya mereka berbeda dalam cara mewujudkannya. Dalam praktek politik, posisi tegas Marxisme adalah bahwa ekologi tidak dapat (secara tersendiri) menjadi tujuan khusus dari suatu masyarakat atau suatu program. Sebaliknya, ekologis sosial, seperti yang mereka tunjukkan dalam analisis-analisis dan peran politiknya dalam partai-partai Hijau dan organisasi-organisasinya, mendefinisikan politiknya dalam konteks ekologi dan menurunkan model masyarakat mereka dari ekologi atau kriteria-kriteria ekologis. Misalnya, ekologis sosial melihat desentralisasi sebagai elemen kunci dari masyarakat yang rasional secara ekologis. Namun, seperti dinyatakan oleh O’Connor, merujuk pengalaman Cina, desentralisasi industri, dalam ukuran ekonomi, mempersulit upaya untuk mewujudkan pengelolaan limbah, dan menyebabkan permasalahan-permasalahan polusi yang parah di tingkat lokal. Terlebih lagi, menentukan ekologi sebagai satu-satunya kriteria untuk aksi, seseorang mungkin akan menolak kapitalisme tapi tak tahu ke mana harus pergi. Seperti dipahami oleh Gorz, “ekologi tidak perlu melakukan penolakan terhadap otoritarianisme, solusi-solusi teknofasis,” karena dengan itu aturan-aturan dan kegiatan-kegiatan perlindungan lingkungan dapat diterapkan pada penduduk secara paksa.
Konflik yang sering dikedepankan adalah, di satu sisi, antara lapangan kerja atau keberlangsungan ekonomi dan, di sisi lain, kualitas lingkungan. Konflik tersebut sebenarnya tidak ada. Contohnya, menghadapi perlawanan kaum pecinta lingkungan (environmentalist)terakhir paling terlihat dalam kampanye Redwood Summer tahun 1990 untuk menyelamatkan Redwoods yang sudah lama tumbuh di California utaraindustri kayu California menyalahkan upaya-upaya pelestarian atas hilangnya lapangan kerja perkayuan. Kenyataannya industri itu sendiri yang bertanggung jawab. Dalam dekade terakhir saat produksi kayu di Humboldt County (salah satu lokasi aksi-aksi Redwood Summer) meningkat hingga lebih 50%, jumlah pekerja perkayuan menurun hingga 35%. Otomatisasi dan ekspor gelondongan untuk digergaji di luar negeri menyebabkan hilangnya lapangan kerja, dan walau ada penebangan berlebihan lapangan kerja perkayuan akan tetap menurun di kemudian hari.
Analisis politik yang lebih besar diperlukan untuk bergerak menuju tatanan yang lebih sosial dan rasional secara ekologis. Program yang menghubungkannya harus mencakup baik tujuan rasionalitas ekologis maupun tujuan keadilan dan demokrasi yang lebih didefinisikan secara sosial. Perspektif Marxis menyediakan elemen penting dalam analisis politiknya yang lebih besardengan kritiknya pada kapitalisme dan khususnya teori akumulasi. Akumulasi kapitalis tidak hanya mendasari dan menggerakkan perusakan lingkungan, tapi juga penderitaan-penderitaan yang lain, seperti penerapan kontrol ekonomi dan politik oleh kepentingan kapitalis atas manusia di seluruh dunia. Hasilnya, jika kapitalisme adalah masalahnya, maka secara logis tidak lengkap dan secara politis dangkal jika membangun gerakan semata berbasis utama pada keprihatinan ekologis.
Akumulasi kapitalis, dan mobilitas, ekspansi, serta kontrol yang mengikutinya, memiliki implikasi langsung terhadap aksi politik kita di seputar isu lingkungan. Aksi kita harus diluaskan secara geografis jika tidak ingin menghasilkan kualitas lingkungan (yang baik) dan keselamatan untuk sekelompok orang tapi dengan mengorbankan lingkungan, kesehatan, atau nyawa orang lain. Contohnya, agitasi oleh para pecinta lingkungan dan konsumen di AS dalam menolak residu dari pestisida yang mengendap dan menyebabkan kanker (organoklorin seperti DBCP) telah membuat perusahaan-perusahaan yang memproduksinya “membuang” pestisida-pestisida tersebut ke Dunia Ketiga dan menggantinya dengan pestisida yang tidak menetap di tubuh tapi lebih beracun (organofosfat seperti parathion). Hasilnya, buruh tani di AS dan di luar negeri, yang mengerjakan tanaman budidaya untuk pasar AS, kemudian menderita lebih banyak keracunan dan tingkat kematian yang lebih tinggi. Di AS sendiri, kaum pecinta lingkungan menghasilkan dampak yang tak merataterdapat kecenderungan yang nyata untuk menempatkan sampah mematikan di lingkungan miskin orang-orang African-American, Latino dan penduduk asli Amerika berkaitan dengan rasisme dan kurangnya kekuatan politik komunitas-komunitas tersebut dibandingkan dengan warga yang lebih kaya atau tetangga kulit putih mereka.
Melemahnya negara-bangsa berhadapan dengan kapital adalah alasan lain mengapa pengorganisasian lingkungan harus berlingkup internasional. Pada musim gugur 1989 misalnya, dalam menanggapi Belanda yang memberlakukan aturan emisi kendaraan, Prancis membawanya ke pengadilan Eropa. Pemerintah Prancis berargumen bahwa hukum Belanda menunjukkan pengingkaran terhadap kesepakatan Pasar Umum, karena mobil Prancis akan terhalangi untuk dijual di Belanda. Prancis memenangkan kasus tersebut.
Sebagai tambahan, untuk mengkonsolidasikan dan mempolitisir perlawanan-perlawanan lokal yang sudah adamelawan pembuangan limbah beracun, pestisida, penambangan tak terkendali, dan lain sebagainyademi kesatuan dan dampak politik yang lebih besar, kita perlu mulai mengkoordinasikannya dalam gerakan nasional dan internasional. Itu sama dengan internasionalisasi pengorganisasian buruh, yang diperlukan karena alasan yang sama.
Banyak gerakan lingkungan di Dunia Ketiga terdiri dari orang-orang yang lingkungan hidupnya mengalami ancaman langsung dari polusi dan ekstraksi sumber daya. Beberapanya secara sadar anti imperialis dan atau sosialis. Tapi gerakan dan organisasi-organisasi Dunia Ketiga tersebut biasanya kekurangan sumber daya untuk melakukan lebih banyak koordinasi internasional. Organisasi-organisasi lingkungan progresif yang berbasis di negeri-negeri yang lebih kaya dapat memainkan peran penting dalam internasionalisasi aktivisme lingkungan, tidak hanya dengan kerja solidaritas jangka panjang, seperti pekerjaan New World Agriculture Group di Nikaragua, tapi juga melalui pembangunan jaringan organisasi-organisasi dan koordinasi aktivisme dalam skala internasional. Contoh dari organisasi yang membantu membangun jaringan internasional dan mengkoordinir aksinya adalah Pesticide Action Network, Greenpeace (yang sudah mengangkat dan melawan ekspor pestisida serta limbah beracun berbahaya), dan mereka yang membantu mengorganisir Fourth Internasional Congress in the Fate and Hope of the Earth yang diselenggarakan di Managua bulan Juni 1989, termasuk Earth Island Institute dan Environmental Project on Central America (EPOCA).
Karena mustahil menerapkan rasionalitas ekologis dalam skala luas di bawah kapitalisme, para pecinta lingkungan dan gerakan lingkungan dapat, dan di beberapa bagian dunia sudah, menjadi agen-agen perubahan revolusioner. Untuk mewujudkan potensi itu, para aktivis harus mengingat bahwa:
• permasalahan-permasalahan ekologi adalah masalah politis dalam makna bahwa maslah-maslah tersebut dihasilkan atau sangat dipengaruhi oleh kesenjangan-kesenjangan kontrol atas sumber daya dan kekuatan politik di antara kelompok-kelompok dan bangsa-bangsa;
• ekologi tidak dapat menjadi program politik itu sendiri, melainkan harus menjadi bagian dari analisa dan program yang lebih luas;
• perlu memehami kapitalisme, dan khususnya dinamika akumulasi modal, agar mengerti mengapa kerusakan lingkungan terjadi dan akan terus berlanjut dalam dunia yang kapitalistik;
• oleh karena mobilitas dan ekspansi modal, serta melemahnya negara-bangsa, maka perlu mengkoordinasikan strategi secara internasional.
Label:
Ekologi,
Ideologi,
Kapitalisme,
sosialisme
Langganan:
Postingan (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat