Nyanyian Nurani Untuk Andini Lensun dan Warga Buyat adalah kumpulan puisi yang ditulis oleh 31 sahabat yang perduli atas ketidakadilan dan kesewenang-wenangan yang ditimpakan kepada Andini Lensun dan warga buyat oleh perusahaan tambang raksasa dan kompradornya (pemerintah-penguasa). Memang hukum hari ini tidak memihak kepada para korban, peradilan belum lagi menjadi rumah kebenaran dan keadilan. Berbagai upaya hukum yang dilakukan oleh warga dan jejaring NGO, akhirnya kandas. Tetapi biarkan api perlawanan tetap membara dan nurani tetap dihidupkan, karena diam adalah pengkhianatan. Kumpulan puisi biarkan jadi nyanyian nurani dan jadi doa yang meggerakan.
Salam
Andreas Iswinarto.
* nyanyian nurani saya gulirkan saat sedang belajar di Walhi 3 tahun lalu, dan saya rasa tetap relevan hingga saat ini
Doa untuk Buyat
Bayi perempuan itu terkulai di pangkuan ibunya. Kondisi fisiknya lemah. Andini Lensun, begitu pasangan Hanri Lensun dan Masna Stirman menabalkan nama anak kesayangannya yang baru berusia tiga bulan. Menurut Masana, ia tak pernah menyangka Andini akan lahir dalam kondisi yang mengkhawatirkan.
”…saat hamil saya memang suka makan ikang, karena dorang Newmont bilang tidak ada pencemaran, kalau tak makang ikang torang pun bingung mau makang apa, torang nggak punya doi untuk beli yang laing,” tutur warga Buyat pante itu polos dengan linangan air mata, sambil menimang bayinya.
Andini bukanlah bayi yang normal. Kulit di sekujur tubuhnya terkelupas. Benjolan-benjolan kecil muncul juga dari kepala hingga kakinya. Bahkan, di bagian perut muncul benjolan sejak ia lahir. Sabtu, 3 Juli 2004, Andini telah kembali kepada Sang Pencipta. Tepat, 5 bulan masa hidupnya.
Untuk Kisah mendalam tentang Andini dan Warga Buyat, klik:
Laporan dari Teluk Buyat (2): “Kami adalah Generasi Benjol”, Republika, 5 Agustus 2004
http://www.republika.co.id/ASP/koran_detail.asp?id=168712&kat_id=3
Narasi ini kemudian bergulir, perempuan, laki-laki dari berbagai latar belakang
terdorong terakan goresan nurani dan mendengungkan berbareng dalam jurnal Nyayian Duka Untuk Andini Lensun dan Warga Buyat jadi mantra, jadi doa....
: Andini
Oleh Lanjar
Mungkin ini waktu yang tepat buat kami
Belajar mencinta, tak cuma dengan mata dan telinga tetapi dengan hati
Belajar memberi, tak cuma dengan ratap dan tanya tetapi dengan tindakan peduli
: Andini
Mungkin ini waktu yang tepat buat kami
Meneriakkan rintihan sakitmu, segala deritamu, derita saudara-saudara kami di Buyat sana
Tapi, ...
: Andini
Kau dimana?
Matahari masih malu-malu kala kaok burung Gagak mengabarkan kematianmu
Sontak telingamu menangkap, rebahku terganggu, gamang, galau langsung menyerbu
Kisah-kisah Resah tengah menjadi menu harian di seluruh penjuru
Orang-orang menuju ke Buyatmu dengan terburu-buru
Anak kecil, orang tua, orang sakit, para medis, pembaik, pejabat, penjahat berjejer satu-satu
Melihat lautmu, Mercurimu serta angkuhnya tembok Newmontmu
: Andini
Pilar-pilar para raja adalah permainanmu
Hingga jukung tua membawamu pergi
Namun, setiap malam kau selalu kembali
Mengisi anggur di setiap gelas kami
Langit pecah dalam rintihanmu
Malaikat-malaikat di surga menutup muka karena malu
Dan setan-setan bawah laut muncul ke permukaan
Dengan wajah serupa Putri tujuh rembulan
Membawa persik pelipur lara
Yang disematkan di atas ranjang Zaitun
Jakarta, 17 September 2004 [31]
-----------------------------------------------------------------
Andini: Jiwa yang Terbuang
Oleh Abdul Halim
Demikian mudahkah!
Kejujuran, Kepedulian, dan Kewajiban
Berguguran di reruntuhan Air MaTa
Beriring MuLuT penuh KoToRaN
DusTa……
Racun……
dan KePalSuAn.
Andini, SeBuTaN PuTrI "MaLanG" ItU...
Tak terdengar lagi.
UANG, Tuhan SemesTa MaSa KiNi
BerGeLinTiR maTa PATAH oleh Kilauan-NyA
IroniS, di tengah DENTUMAN protes Anak-Anak Bangsa.
Andini,
PuTrI BANGSA yang Terbuang.
Tapi……
AngiN Semangatmu, SelaLu BerKoBaR dan BerKiBaR.
17 Agustus 2004, MeRdEkA Bangsamu
Di depan MeRaH PuTiH,
Ikrar diriKu, “Perjuanganmu Tiada Pernah Berakhir.”
TeGaRu, 18 Agustus 2004 [30]
-----------------------------------------------------------------------
In Memoriam: Andini Lensun
[Aug 12, 2004]
Oleh Nur Hidayati
Voice from the grave (1)
here
forty days I've been
in this cold dark hole
as cold as their hearts
as dark as their mind
what rights do they have?
stealing sun from my days
stealing smile from my face
what rights do they have?
hiding facts
spreading lies
what rights do they have?
playing God
cursing people eternal pain
unbearable
what rights do they have?
Voice from the grave (2)
bukan inginku menjemput nirwana
secepat ini
seperih ini
bukan mauku tangisan ibu
menyayat
merintih
belum jua puas
kutatap purnama
kudengar debur ombak
di Buyat
belum jua puas
kurasa hangat dekap
kudengar lirih doa
ibuku
usai sudah derita
kering sudah air mata
abadi aku kini
di pangkuan Ilahi Rabbi [29]
------------------------------------------------
Andini,
menyaksikanmu adalah keperihan rahimku
saat menguak membelah dunia
tangis lirih sakitmu
adalah kepiluan jantungku
yang tak mampu membantu menolongmu
panas dadamu
adalah mengerasnya payudaraku
karena penuhnya susu yang tak kau isap lagi
rintahan ajalmu
adalah teriakanku....
Tuhan.......di mana keadilan....
Anakku,
kematianmu
adalah kematian rasa penguasa-penguasa kita
yang menutup rapat mata hatinya
dan menimbun hati dan jiwanya dengan kerakusan kuasa
Kini, kain kafan telah membungkusmu pulang pada-Nya
dalam luka lara yang tak kuasa bunda gantikan
Tarikan nafas terakhirmu adalah pesan buatku
dalam terjal perjuangan
dalam ketegaran
tuk selamatkan sahabat dan kawanmu
dari nista pertambangan
Selamat jalan, Andini.......
(Medio Agustus, Wening 2004) [28]
-------------------------------------------------------------
Anak Bermain Perahu di Teluk Buyat
Oleh Hasan Aspahani
"Lihat, kapalku terisi sarat, mengangkut
59 ton emas, menjauh dari Teluk Buyat..."
Angin dari langit masih hembus yang dulu,
ombak dari laut masih hempas yang dulu.
Yang mendebur ke dada perahu, mengapung-apungkan
jaring yang tersangkut sejak dulu. Nasib nelayan kakekku.
Jauh, jauh. Kini mengayuh delapan kilo,
ke tengah laut. Sebab di teluk itu tak ada lagi
kerapu, kepiting bahkan juga seekor udang batu.
"Lihat, kapalku berisi kepenuhan,
pulang ke teluk membawa ikan.
Ada pesta, tengah malam disuguhkan.
Kita cuma nelayan, tak dapat undangan."
Empat tahun sudah air raksa menguap
di udara dan air mandi Teluk Buyat.
Mengendap dalam tubuh ikan, terperangkap
juga di darah kami, anak-anak nelayan.
Kelak kami menyebutnya racun yang tak tertawarkan.
Tapi, "Tak ada pencemaran, tak ada pencemaran."
Mereka sudah meneliti, mencocok-cocokkan jawaban, dan
tergesa mengambil kesimpulan. "Tak ada pencemaran!"
Tapi, "Lihat! Ada koreng di kulitmu...."
Cuma perahuku datang kembali membawa
sabun mandi. Ke Teluk Buyat. Mengubah
air tangis jadi gelombang berbuih. Jadi perih.
"Dan, bila luka juga, tak ingin kubagi
perih yang tak kau pernah pahami ini.
Tenggelamkah sudah semua perahu?" [27]
----------------------------------------------------------
Tiada Lagi...
Tangisan kesakitan itu kini tiada lagi...
Berganti nisan batu yang sunyi dan harum bunga...
Kami tak akan pernah melupakanmu..
Kau mencoba bertahan hidup selama lima bulan..
Namun sakit itu tak tertahankan lagi...
Setiap gerak adalah keperihan yang sangat..
Kami antarkan engkau berbaring selamanya...
Senyuman terakhirmu akan menjadi kutukan
Bagi raksasa penghisap emas itu...
Selamat jalan Andini...
Semua penderitaanmu tak akan sia-sia...
Oleh Anonim [26]
-----------------------------------------------
Tragedi Buyat
Oleh Agung Alit
Hatiku tersayat akan derita warga Buyat
Derita yang ditoreh tangan-tangan berkhianat
Buyat dirampok, disihir menjadi tambang tanpa tembang
Kini dari perut Buyat terburai limbah Mercuri laknat
Buyat tertampar
Andini Lensun terkapar,
Entah siapa esok menyusul
Tragedi Buyat, hikayat pejabat pusat
Tragedi Buyat, hikayat tak berakhlak
Tragedi Buyat, hikayat tak bertobat
Denpasar, 9 Agustus 2004 [25]
---------------------------------------------------------
Elegi Teluk Buyat [Hikayat I]
Kita saksikan bersama, kawan !
Deburan sang samudera nan begitu menggairahkan
Mencerca tiap detik pada hempasan pasir pantai
Merobek kesunyian yang menyelubungi saat ini
Kita lihat bersama, sahabat !
Beronggok perahu nan menunggu sang nahkoda menerjang
Mengharap sentuhan mesra sang kemudi di kelam malam
Merindukan kepulan tembakau sang anak buah nan meredu
Merindukan siraman asinnya Buyat masa lalu
Mari kita lihat bersama...
Salahkan siapa, dan bela siapa
Ataukah kita hanya berdiam di sini saja ??
Tidak kawan....
Mereka tidak salah.....tidak.....
Mereka hanya mengais karunia Allah dalam lautan
Mereka hanya memenuhi kewajiban seorang ayah
Mereka hanya mengisi perut-perut yang keroncongan
Tidak benar sahabat.....
Bila mereka harus terima semua ini...
Mereka tidak mengalirkan darah yang harus mereka bayar
Mereka tidak mengundang kutukan yang mereka derita
Lalu........
Kepada siapa kita harus bertanya ?
Kepada siapa kita harus menagih ?
yang pasti jangan tanya kepada rumput yang bergoyang
Jakarta, 9 Agustus 2004, 13:36 pm
Ayewith
[Terinpirasi dan terbuat untuk saudara-saudaraku di Teluk Buyat, sabar saudaraku, dan kami akan berusaha membantu dengan segala upaya kami] [24]
-----------------------------------------------
Renungan Buyat [Hikayat II]
Di layar kulihat sang pejabat mengabarkan berita gembira
"Teluk Buyat telah steril"
Diiringi meriah tepukan sang penjilat palsu
Dalam rengkuhan moral yang tak bermoral
Di media kubaca juga tentangnya
"Pejabat menolak mencicipi Ikan Teluk Buyat"
Beralas sejuta macam kata yang dikarang secepat kilat
Bermandi keringat kepalsuan akan peduli...
Hai Sang Penguasa....
Lihatlah tangan-tangan kecil mereka
Menggapai yang tak mungkin dapat tergapai
Lihatlah peluh tulus mereka
Haruskah mereka menanggung semua ini?
Haruskah mereka derita semua ini?
Wahai Sang Pejabat....
Ingatlah setiap kata yang engkau ujar
Catatlah setiap momen yang engkau jalani
Sedikit ucapmu begitu besar di hati mereka
Sedikit tindakmu begitu bermakna di hari mereka
Tolong....tolonglah....
Jangan pernah pungkiri apa yang terjadi
Jangan pernah ingkari apa yang terjadi
Jakarta, 9 Agustus 2004, 13:47 pm
Ayewith
[Untuk sang pejabat yang plin-plan menyakiti hati sang jelata...Allahu Akbar] [23]
-----------------------------------------------------------------------------
Berjalan menatap biru langit antara kaki langit
Beriring dengan camar-camar nan molek meliuk menarikan syair
Bersama mengarungi antara biru langit dan biru laut
Bersama kemilau deburan ombak di tepian pantai
Engkau yang berkulit legam dalam ombak yang menderu
Menggantung harap bersama perahu kayu yang telah lapuk
Menyambut mentari pagi dengan sumringah indah senyuman banggamu
Membayang indah istri dan anak menanti di tepian buritan kapal berlabuh
Seraya melambai dalam senyum kemenangan
Mentari telah mengintip di penghujung pandangan Tapanuli hari ini
Kemilau ombak tiada lagi semuram kilau kemarin
Ombak kini lebih kinclong berteman kilat Mercuri yang indah
Ombak kini lebih cerah bersama kilat Mercuri yang melenakan
Ombak kini penuh dengan amarah dan kepalsuan
Ombak yang memburu dalam nadi dan darahmu, sang legam
Ombak menggerogoti dalam nafasmu, sang raja teluk
Mentari terus menggantung dalam biru langit Tapanuli
Mengiringi langkah-langkah yang tanpa harapan, kini
Mengiringi derita tentang rintihan kepiluan, saat ini
Menyertai maut yang terus menjalar dalam indah Teluk Buyat
Wahai sang legam....
Tangisan kepedihanmu adalah perjuanganmu
Rintihan kepiluanmu adalah dosa sang penebar maut
Perih dan pedih gerakmu adalah pengikis pengisap emas itu
Derita nestapamu adalah layar bagi kami dunia luas
Jeritan sanak keluargamu adalah bom sang penguasa negri
Rapuhnya kepak sang camar adalah SK sang penguasa hidup
Wahai sang legam...
Engkau adalah mata pena sang jurnalis dunia
Engkau adalah kanvas sang pelukis fana
Engkau adalah kamera sang pemotret kehidupan
Engkau adalah mobil sang sopir jalur duniawi
Teruskan perjuangan bersama...
Tunjukkan kepada dunia apa adanya
Lihatkan kepada dunia apa yang tertera
Tanpa kurang atau lebih dari Sang Penguasa Jagad
Jakarta, 10 Agustus 2004, 10:51 am
Ayewith
[Teruntuk saudaraku di Teluk Buyat.. Deritamu adalah deritaku dan pedihmu adalah pedihku] [22]
--------------------------------------------------------------
Semesta Memejam
Oleh Nurman Priatna
(Seisak sajak untuk Teluk Buyat)
Cahaya apa yang bisa ampuni
Kegelapan yang kita ciptakan sendiri?
Kala air yang menyembuhkan
Dikawin-paksakan dengan Merkuri
Hingga jadi bumerang yang melibas
Jiwa-jiwa tak berdosa
Dan inilah gelap yang redupkan segala cahaya;
Gelap mata-mata manusia
Yang bereinkarnasi
Jadikan gelap semesta
Terkutuklah penghulu-penghulunya!
Semoga semua isak tangis di Buyat
Hantui jiwa mereka selamanya
Semesta memejam,
Kembali kutanya langit muram,
"Cahaya apa yang bisa terangi
Kegelapan yang kita ciptakan,
Selagi kita nyata bersemayam di dalamnya?"
Belantara Jakarta, 9 Agustus 2004
(Teriring doa dan duka cita mendalam untuk Andini Lensun dan semua di Teluk Buyat) [21]
-----------------------------------------
Gerutuan dan Mantra Bebas dalam Nyanyian Nurani untuk Andini Lensun dan Warga Buyat
Oleh Ambo Tang
1. Naba’ Duka buat Nurani al-Makarim
Ya…. An-Naba'
Dulu dengan bangga kita bisa
Beritakan dan bernyanyi:
"Bukan lautan hanya kolam susu
Kail dan jala cukup menghidupimu
Tiada topan tiada badai kau temui
Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat, kayu dan batu jadi tanaman
Ikan dan udang menghampiri dirimu"
Ya…Al-Makarim
Kini dengan bingung dan mulia
kita hanya menggerutu:
"Bukan lautan hanya kolam busuk
Korupsi dan utang cukup menghidupimu
Tiada aman tiada damai kau temui
Orang bilang tanah kita tanah bangkai
Emas, perak, dan minyak jadi bencana
Minamata dan maut menghampiri dirimu"
2. Mantra Maut buat Pejempol Tambang
Derai airmata mengalir di relung-relung pipi
Berai minamata menyebar di lorong-lorong bahari
Kerai pusara melebar di sudut-sudut wanua
Cerai jasad menjauh dari simpul-simpul nyawa
Lerai pikir merenggang dari pojok-pojok hati
Kemana lagi budak harus bertuan?
Kemana lagi rakyat harus beraja?
Kemana lagi bangsa harus bernegara?
Kemana lagi hamba harus bertuhan?
Kemana lagi ratap akan berharap?
Kemana lagi doa akan berjawab?
Kemana lagi rintih akan bersahut?
Kemana lagi perih akan berbalut?
Jiwa-jiwa kini tak lagi dihargai
Bangsa dan negara pun telah digadai
Oleh bangsat-bangsat pembantai
Yang jempolnya mengundang badai
Duhai Penguasa Bumi
Duhai Pemilik Jiwa
Deritakanlah derita Andini
Pada diri para pembantai
Bi adzamatika yaa Rabbi
Bi nubuwwatika yaa Nabi [20]
-------------------------------------
Matahariku Hilang Tuhan
Oleh Jeanny Suryadi
Matahariku hilang tuhan,
Semua menjadi gelap untukku bisa bermain...bahkan
Mereka juga membawa pergi kawan-kawanku.
atau aku yang sudah tidak ada di sana? kenapa?!
2004
cukup pak!
jangan bilang akan mengadakan subsidi pendidikan!
jangan bilang akan ada sekolah murah?
sedang aku sudah buta untuk membaca, dan sudah terlalu
lumpuh untuk bisa berjalan..
August 2004
apa benar ini naskah untukku?
peran seorang anak tanpa matahari? kemana - mana
menjinjing gumpalan penyakit yang sampai jatuh ke jiwa?
menghancurkan apa-apa yang kata mereka adalah milik
saya, tidak bisa diabadikan bahkan juga di kepala
-selain butiran pengantar jenazah.
untuk Andini.
tidak banyak yang kulihat di sini, karena keriputnya
sudah jatuh mengering menutup kelopak mata,
tapi aku dengar ibu menangis!
Andini
ini bukan tangan, tuhan..tapi mainan yang sudah
rusak,
ini bukan kepala tuhan, tapi batu karang usang,
dan ini bukan jiwa, tapi lapangan untuk berguling
dalam dusta dan uang.
saya bukan manusia tuhan...itu kata mereka...
2004, Manusia di Buyat. [Andini] [19]
--------------------------------------------
Dan semestapun berduka
Oleh WeES
Cukup jauh jarak Buyat hingga Yogya
tapi ratapanmu Andini
sayup terbawa angin: menyusup ke hati
mungkin ini jawaban dari isyarat
kenapa kemarau kali ini
mendung senantiasa menggantung
rupanya mereka berduka buatmu: Andini
dan ketika racun disebar di laut
siapapun dia pelakunya
entah melanggar aturan atau apa namanya
saat itu: pengkhianatan hati nurani tarjadi
Hai....... kamu! Kamu! Kamu!
yang menangguk untung
dengan diam-diam menebar bencana!
untuk membuka matamu, telingamu,
Butuh korban berapa banyak lagi? [18]
--------------------------------------------------
Sekarat Buyat
Sret, lima bulan Andini Lensun bernafas
lalu tiada
Sret, sekarat Buyat
masuk berita
Sret, ancaman menganga
yang ada jadi sekarat
Berapa lembar lagi laporan
Berapa halaman lagi berita
Berapa karat lagi nyawa
Imperialis pertambangan
Adalah tuhan segala setan
Dengan sekarat segala sisa
Enyahkan segera
Enyahkan segera
Oleh Ben Abel [17]
------------------------------------------------
Kami tak pernah melukai orang dewasa
Tapi tangan-tangan mereka
Telah menghancurkan
Tangan-tangan kecil kami
Setiap nafas kami
adalah kesakitan panjang
Setiap tangis kami
adalah hapusan pengharapan
untuk melihat dunia ini
lebih lama lagi
Air susu yang kami minum
menjadi racun
yang tak pernah ada penawarnya
bunda-bunda kami pun
tak berdaya
Dengan sakit yang menyiksa
sepanjang hari-hari kami
semenjak kami bersemayam
dalam rahim bunda
kami ingin hidup panjang
menikmati indahnya Buyat
mengukir cita-cita
untuk Tanah Buyat
Tapi tangan-tangan orang dewasa
telah hancurkan tangan kecil kami
anak-anak Buyat
Oleh Lilie [16]
-------------------------------
Teluk Buyat,O!
: Andini
Oleh Indah IP
Mungkin ini waktu yang tepat
buat kami
Belajar mencinta
Tak cuma dengan mata dan telinga
tapi juga hati
Belajar memberi
Tak cuma dengan ratap dan tanya
tapi juga tindak nyata
Akhirnya, Andini
kepergian selalu jadi waktu yang tepat
untuk belajar mencinta
dengan dewasa
6 Agustus 2004, 15.00 Wib [15]
------------------------------------
Kidung Dukaku
Oleh Bening
Kutatap dunia dengan kedua mata kecilku
Kusapa mentari dengan kedua lengan mungilku
Dengan senyumku
Begitu banyak harapan tersirat
Kulihat mata ayah bundaku
Penuh dengan kegembiraan
Mensyukuri kehadiranku di dunia ini
Kutapaki lapangan bermain
Bermain bersama dengan teman-temanku
Tertawa riang dan lepas tanpa beban
Berlari bebas
Mengejar kesenangan menjadi seorang anak kecil
Tapi kemudian
Aku terbaring di sini
Masih memandang dunia ini
Tapi dengan mata nanar
Tiada lagi kulihat kegembiraan di mata ayah dan bundaku
Semua kegembiraan telah tergantikan dengan kesedihan
Dengan pilu, melihat deritaku
Aku tidak dapat lagi berlari bebas
Tidak dapat lagi tertawa lepas
Kakiku sudah tak mampu menopang tubuh kecilku
Tubuhku sudah tak dapat merasakan apapun lagi
Perlahan kurasakan tubuhku menjadi ringan
Ringan tanpa beban
Kudengar isak tangis bundaku
Sementara ayah berdiri dengan tegar menopang bunda
Aku bingung
Tak tahu apa yang terjadi
Aku hanyalah anak kecil
Yang hanya mengerti bermain, bertingkah lucu, dan
membuat kedua orang tuaku tersenyum
Mengapa kalian jahat padaku
Apa salahku sehingga kalian membunuhku
Dengan racun yang kalian tebarkan di desaku
Tidak pernahkah kalian berpikir kalau aku juga ingin
hidup seperti kalian
Bisa sekolah tinggi
Dan menjadi orang yang berhasil
Menghembuskan nama harum keluargaku, desaku
Kini aku hanya bisa merasakan nisan dingin
Bertuliskan namaku
Tanah basah menjadi selimutku
Harum bunga semerbak sebagai aroma tempat tinggalku
Dan melihat kesedihan teman-teman kecilku yang dulu kerap
bermain bersamaku
Menjalani derita
Tolonglah kami.........
Jangan biarkan mereka seperti aku
Jakarta Terik, 6 Agustus 2004 [15]
---------------------------------------
Adik Andini Lensun
Oleh Run
Kita seharusnya tidak mempertanyakan bagaimana Andini Lensun meninggal
tapi yang harus kita pertanyakan, bagaimana Andini hidup dengan menanggung beban yang begitu berat
Merkuri itu telah merenggut nyawa anak negeri
Dik Andini, kami hanya bisa marah, kami hanya bisa protes
dan kami akan terus melanjutkan perjuangan kamu
kami kirimkan doa-doa suci untukmu semoga Adik Andini hidup tenang di alam sana.
Amin….. [14]
----------------------------------
Buyat
Tragedi menyayat
Buyat
Tangisan rakyat
Buyat
Menyongsong mayat-mayat
Buyat
Siapa hendak melayat?
Oleh Febuana Kusuma [13]
-------------------------------------
Hiiikayat Buyat
Sajak Syam Asinar Radjam
Hiiikayat Buyat I: Andini
Pada setiap anak telah dibagikan masing-masing satu
luka,
Hanya padanya terasa demikian runcing mengendap
Luka-luka yang menusuk mata
Mencari celah melukai kantung-kantung air mata
Kering! Kering!
Lukanya luka yang tak harus ada
* * *
Hiiikayat Buyat II
Kulihat darah!
Menetes, belum mencurah
Mengalir masih, menuju gumpal
Hei, Lihat bersama!
Ada yang diundang sengaja; BENCANA!
* * *
Hiiikayat Buyat III
Kenapa aku tak menduka?
Meski ikan dan laut telah bernanah!
* * *
Hiiikayat Buyat IV
Mari ambil penggaris,
Bentangkan pula peta.
Berapa jauh bencana dari depan rumah kita?
Penjahatnya tertawa di meja gambar!
* * *
Jakarta, 4 - 5 Agustus 2004 [12]
-----------------------------------------
Catatan Kecil buat Adik: Andini dan kawan-kawan
Oleh Buruli
Dik,
Kalau besok tiba-tiba mengganas gelombang, itu karena
doa para ikan! Air mata yang mengalir lebih asin dari lautan
" Mereka tak hanya membunuh kita! Mereka juga
membunuh sesamanya: manusia!"
Sebenarnya bukan salah racun, mereka juga sedih
"Ini sama sekali bukan tempat kami!" Kata mereka
Tapi sebagian manusia itu memang tak peduli
Bahkan bila yang terbunuh adalah saudara mereka sendiri
"Jadi tolong jangan salahkan kami!" Isak racun malu hati
Para ikan berteriak! Racun berteriak!
Bila nanti kau dengar ada sesuatu yang besar dan
meledak
Itu karena akhirnya seisi samudera berteriak!
"Terbakarlah engkau yang begitu tega membunuhi"
Ah,
Tutuplah telingamu, Dik!
Lebul, 4 Agustus 2004, 1:43 am) [11]
--------------------------------------------
Ratatotok
Ratap Buyat
Jakarta, 4 Agustus 2004
Oleh tJongPaniti [10]
------------------------------------------
Menunggu Kilat Merkuri
Oleh Dwi Muhtaman
Di atas perahu meninggi bintang-bintang pengharapan
Menggantung berabad-abad hingga lapuk buritan kayu
hitam
Layar yang berkobar mengantarkanku pada kaki langit
Berebut gelombang dan debur jantung samudra Teluk Buyat
Bertukar ajal dan gelora napas
Membawa hidup pulang dalam belanga dan tawa anak istri
Menaburkan pasir ke angkasa
dalam riang percikan sinar bulan
dan angin malam
do'a-do'a
Dan berlabuh
Dari jauh
Hingga abad berkarat kini
Dan kau datang tanpa mengetuk pintuku
Menebar kilau dari jaman yang sesak
Kilatan maut melesat dari roda-roda penggilingan
Mengubur dasar samudra
Bagi kemewahan tuan dan nyonya di lingkar jari-jari
Dan lingkar leher jenjang nyalang
Gaya terkini
Lalu
Diam-diam
Diam-diam
Kilau Merkuri mengantarkan semua ini
Tajam mengiris, tajam yang tak kurasakan
Syaraf demi syaraf, sayat demi sayat
Dari kilauan lautan yang sama,
dari debur ombak Teluk Buyat yang itu juga
yang berabad-abad melapisi kulitku hingga legam
yang berabad-abad anginnya menjadi napasku
yang berabad-abad asinnya menggarami hidupku
Hingga kau datang diam-diam
dan aku-tanpa kutahu-menunggu kilat Merkuri di ujung leherku
tajam siaga mengiris diam-diam hingga ajal
syaraf demi syaraf, sayat demi sayat
mayat demi mayat
Sebentar menanti seperti begitu lama mati
Dan kau sibuk mengeja syaraf demi syaraf
Ayat demi ayat kau taburkan untuk penyangkalan
Di antara mayat yang bergelimpangan
Dari kilauan Merkuri
mata pisau pada ujung leherku
Dan kau ingin menghapus riwayat ini?
Bogor, 4 Agustus 2004 [9]
--------------------------------------------
...Andini...
Kemarin,...
Kala mentari hadir menyapamu kau sambut dengan sejuta
senyum
Seraya berkata kau akan hidup seribu tahun lagi...
Hari ini, ...
saat mentari hadir mengajakmu bercengkrama,
Bercerita tentang hari esok yang penuh cinta
Kau sambut dengan tatapan kosong,
tak berdaya, tak mampu menggerakkan anggota badanmu
dan...
bahkan kau tak mampu lagi mengeluarkan suara
deritamu..
...Andini...
Kau telah beku dalam tidurmu yang damai
Tak ada lagi jerit sakitmu...
...Andini...
Kami akan selalu mengingatmu
Kami akan selalu melanjutkan perjuangan dan
cita-citamu
Kami antar kau ke pembaringan terakhirmu
Selamat jalan Andini...
Tidurlah dalam damai dan kasih-Nya.
...perngorbananmu tak akan pernah sia-sia...
Makassar, Agustus 2004
Oleh Alam Cakke [8]
----------------------------------------
ANDINI
Oleh Sepmiwawalma
ANdai Daku Insaf mulai hari iNI
Maka kisah ANDINI dan ANDINI yang lain
BUYAT dan BUYAT yang lain
hanya sebuah catatan sejarah yang tak perlu terulang
lagi.
Tak akan ada lagi derita ini.
Derita tentang...
Rintihan kesakitan..
Tangis kepiluan..
Air mata kedukaan..
Teriakan penderitaan..
Helaan nafas penuh tekanan..
Langkah tanpa harapan..
Sebuah perjalanan tanpa kepastian..
Dan janji kehidupan yang penuh kesia-siaan..
Dan Andinipun menulis
Ingin kusalahkan Tuhan
Kenapa aku dilahirkan hanya untuk berjumpa dengan
semua derita ini. Bukan bukan Tuhan yang salah..
Kamu..
Kamu.. semua yang salah
Yang tidak berbuat apapun juga.
Palangkaraya, 3 Agustus 2004 [7]
------------------------------------------
Untuk kita semua,
Adakah yang lebih berarti dalam hidup ini selain soal
kemanusiaan? Kepergian seorang Andini dan derita kaum
Buyat hanyalah sebuah potongan episode panjang sejarah
penistaan kemanusiaan...
Bila hidup ini hanya untuk soal siapa yang merasakan
apa maka pernahkan kita semua memikirkan suatu saat
nanti kita juga akan mengalami tragedi kemanusiaan
itu,...
Kita dengan kemampuan nalar dan logika dapat berkelit
dan berdebat, ...... Tapi penderitaan dan kematian itu
bukan soal nalar dan logika rasional serta bukan juga
soal untuk diperdebatkan,...
Tapi dia adalah soal yang harus dirasakan,...
Bila kita belum memiliki kesempatan untuk merasakannya
maka tunggulah saatnya.
Kalaupun tidak di dunia yang hanya sepenggal waktu
ini, dunia abadi akan menanti kita dengan penderitaan
dan kematian yang abadi pula.
Bogor, 3 Agustus 2004
Oleh Rasdi Wangsa [6]
--------------------------------------------
Andai
Oleh Mastuati
Andai aku bisa mengembalikan waktu
dan menata negeri ini sedari awal, Andini
Aku akan menatanya dengan kasih dan kejujuran,
sehingga kau bisa bermain dan bermanja
dialam yang mengucapkan terima kasih,
karena kita telah memeliharanya
dengan cinta.
Andini, aku percaya bahwa
kau telah kembali kerumah Sang Pencipa
dengan selamat dan sejahtera.
Palangkaraya, 2 Agustus 2004 [5]
----------------------------------------------
Masihkah kita bisa nyenyak di atas rintihan kepedihan masyarakat Buyat?
Masihkan kita punya nurani atas tangisan ibu-ibu di Buyat?
dan yang paling penting ...
Masihkah kita punya nyali untuk teriak dengan lantang
...
Oleh Arifin Amril [4]
--------------------------------------
Kalaulah mungkin,
Kudekap nian tubuhmu yang rapuh Andini,
dan nyanyikan perih tubuhmu,
agar si rakus itu, tahu bahwa tubuhmu memang perih
tahukah kamu Andini? duka, tangis, dan jerit bundamu
adalah tangis pilu bagi mereka yang bernasib sama,
lihatlah, pongahnya Newmont,
juga sedang menebar maut di tanah Tapanuli, Sumut
hanya sedikit yang tahu, atau yang peduli
bahwa 5 tahun lagi,
teman kita di Madina juga bernasib sama
Oleh Megianto Sinaga - Medan [3]
-------------------------------------------
Aku Andini
Oleh Marselina
(Aku ketika di dalam kandungan)
Di sini gelap, tempatnya semakin sempit..
karena tubuhku semakin membesar
sementara kapasitas perut Ibuku terbatas sekali...
Aku ingin melihat cahaya di luar sana...
dan menikmati hangatnya pelukan Ibu.
(Aku sesudah dilahirkan..)
Ibuku baiiikkk sekali..
Ayahku juga
Mereka keluargaku
kami keluarga yang sangat sederhana
kami memang tidak berlimpah harta
tapi kami berlimpah cinta...
Pada awal hidupku, semua terlihat baik adanya
Dulu, ketika aku masih di surga, Tuhan bilang,
"sebentar lagi Aku akan mengirimmu ke bumi."
Seketika itu juga tubuhku dipenuhi oleh sukacita
Sudah kubayangkan bagaimana indahnya dunia
penuh tantangan dan harapan....
Kemudian Tuhan berkata "Anak-Ku, bumi tidak seindah
kelihatannya"
Dan aku terdiam....
Kini, kusadari Tuhan benar adanya..
Ragaku tidak senyaman dulu..
Pusing memenuhi kepalaku, sementara mual menyelimuti
perutku..
Dan sekujur tubuhku penuh dengan benjolan
seperti gunung yang akan memuntahkan lahar panasnya..
Tuhan... apa salahku..???
Belum lama aku di bumi..
Aku bahkan belum mampu melakukan sesuatu untuk
menolong diriku
Aku hanya bisa menangis
Mengharap sedikit bantuan dari keluarga dan manusia
lain...
Lambat laun tubuhku semakin melemah...
aku pasrah...
aku merindukan kembali surga tempat aku dulu tinggal..
Lambat laun kumulai mengetahui masalahnya
karena setiap malam malaikat surga datang menjengukku
dan bercerita tentang yang sesungguhnya terjadi
kami berbincang dengan bahasa yang kami mengerti
Malaikat itu bilang, Tuhan sudah menyiapkan tempat
istimewa untukku di surga...
Dia menungguku... sampai aku siap untuk kembali pada-Nya
Kulihat Ibuku... Kulihat keluargaku...
Kulihat juga raksasa besar siap mencengkeram mereka
siap menghancurkan keluargaku.. dan saudara-saudaraku
di Buyat...
Raksasa itu tidak berbentuk manusia...
Tapi dia sangat besar dan mempunyai tangan besar yang
tidak kelihatan.. Raksasa itu sudah membuang racun di
air kami..
Ikan kami mati... Mata pencaharian kami mati...
dan lambat laun, saudara-saudaraku di Buyat pun akan
mati
Dan kini.... aku pun mati...
Semoga kematianku menjadi pertanda awal kekalahan sang
raksasa di bumi...
Aku, Andini... [2]
------------------------------------
"Langit Mendung Di Teluk Buyat"
Oleh Jpang
Wajah-wajah tertutup jelaga
Tangan-tangan terbalut nestapa
Sebatang tubuh mungil mati ternoda
Ikan-ikan entah ke mana
Ganggan hijau berubah warna
Burung-burung tak lagi bersuara
Andini Lensun mati sia-sia
Segerombolan aura kematian menunggu titik penantian
Ruh malaikat maut semakin mendekati pucuk ubun-ubun
Laskar bencana datang dan nyaris membunuh satu
dasawarsa
Awan gelap menyelimuti langit mendung di Teluk Buyat
Teluk Buyat menyaksikan Andini Lensun mati sia-sia
Bayi kecil nenyerupa paras oma-opa
Dengan bilur keganasan limbah bahan kimia
Terbungkus landir minamata
Langit mendung di Teluk Buyat
Berpuluh manusia meregang nyawa
Bertahan dalam kepedihan benjolan kepala
Atau badan merana menjelang garis penutup usia
Sayap-sayap camar lelah merintihkan kepedihan
Menarikan dansa kesuraman di atas dahan-dahan bakau
Menukik tajam menyayat reruntuhan karang
Lalu patah terhempas gelombang kerakusan
Perak dan emas menyaksikan kepiluan Teluk Buyat
Matanya melelehkan kegelisahan
Yang mencengkeram pedas di tabir kekuasaan adidaya
Kilaunya mewarnai horison benua kebanyakan
Meninggalkan bekas Merkuri dan Arsen di Teluk Buyat
Juli 2004 [1]
seri puisi lainnnya di blog ini
Ranting Bengkirai
Hikayat Bulan
Awal Perjamuan
Little Monkey Drummer Bukan Palu
Selasa, 22 Januari 2008
Nyanyian Nurani Untuk Andini Lensun
Label:
Andini Lensun,
Hati Nurani,
Kesewenangan Newmont,
Puisi,
Warga Buyat
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Koleksi Galeri Rupa Kerja Pembebasan
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
E-Book Bumi, Air dan Kekayaan Alam Dikuasi Siapa?
Setengah Abad UUPA 1960: Tahun Emas Perjuangan Rakyat Tani; Laksanakan Pembaruan Agraria Sejati
E-Book : Matahari Baru di Setiap Hari Baru
untuk (mengeja keteladanan) MUNIR, WIJI THUKUL, MARSINAH dan semua sahabat rakyat itu (jadi doa)
E-Book : Aksi Diam Kamisan di Depan Istana Negara
E-Book : Songsong Proklamasi Kebangkitan Rakyat Indonesia
E-Book : Jelang Detik-detik Proklamasi – Ilalang dan Jerami Kering di Pekarangan Istana Buto
E-Book : Everyday is Earth Day! Lawan Keserakahan Untuk Masa Depan Anak-Cucu Kita
E-Book : Rumput-rumput Paku pada Wajah Bapak Ibu Tani
E-Book : Palu Besi atau Paku-paku Besi di Tubuh Kaum Buruh
E-Book : Panen Raya (milik sendiri) di Kampung Adat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar